Fikri membuka bundle pertama dan mulai menjelaskan, "Novel pertama berjudul 'Jejak Waktu Tuan Muda'. Ceritanya tentang perjalanan waktu, tapi dengan twist unik di mana tokoh utamanya bisa melihat masa depan melalui mimpi setelah dia kelelahan."Kemudian Naira mendengarkan penjabaran Fikri mengenai tokoh dan juga blurb-nya.Naira mengangguk, tertarik. "Kedengarannya menarik, Bang. Menurut Abang, apa kelebihannya?"Dia ingin tahu terlebih dulu mengenai penilaian Fikri. Ini sesuai dengan gaya Amy jika ada editor yang datang untuk meminta persetujuan naskah."Plotnya sangat original dan penulis ini punya gaya bahasa yang segar. Tapi ...." Fikri ragu sejenak.Naira mengerutkan dahi, menunggu Fikri melanjutkan ucapannya."Tapi apa, Bang?" Naira mendorong.Fikri memandang lekat ke Naira."Endingnya agak lemah, Ra. Aku rasa butuh sedikit polesan agar lebih memuaskan pembaca. Gimana menurutmu?"Kali ini Naira meneliti plot keseluruhan dengan cepat dan menganggukkan kepalanya.“Menurutku, selai
Naira dan Fikri segera berdiri. "Nggak apa-apa, Bos," jawab Fikri. "Kami lagi berdiskusi beberapa naskah baru yang masuk di tempatku."Bastian mengangguk singkat, matanya masih terpaku pada Naira yang tampak gugup. "Naira, ke ruanganku sebentar. Ada hal penting yang perlu kita bahas.""Ba-baik, Pak Bos," jawab Naira terbata-bata. Dia menoleh pada Fikri. "Maaf, Bang. Kita lanjutin nanti, yah?"Fikri mengangguk paham. "Tentu, nggak masalah. Kita bisa lanjutin setelah makan siang."Naira mengikuti Bastian keluar ruangan, meninggalkan Fikri yang memandang mereka dengan sedikit bingung. Di koridor, Bastian berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang, sementara Naira mengikutinya dengan perasaan campur aduk, bertanya-tanya apa yang akan dibahas di ruangan Bastian nanti.Bastian berjalan cepat di koridor, Naira mengikuti di belakangnya dengan gugup."Berapa kali Fikri diskusi ama kamu kayak tadi?" tanya Bastian tiba-tiba, berhenti dan berbalik menghadap Naira.Naira hampir menabrak Bastian kare
Bastian terdiam sejenak, seolah memikirkan jawabannya dengan hati-hati."Yah, itu hadiah atas presentasi kerenmu kemarin, dan aku juga pengin kamu punya pakaian yang layak untuk bekerja di sini. Kamu kan mewakili perusahaan juga, Nai." Untung saja dia menemukan alasan yang bagus.Naira mengerutkan dahinya, merasa ada yang janggal dengan jawaban itu."Tapi Om, aku udah punya banyak baju kerja yang layak. Apa ada alasan lain?"Bastian terlihat sedikit gelisah mendengar pertanyaan lanjutan dari Naira. Dia berdehem pelan, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab."Naira, kamu tau ... kamu karyawan yang berharga banget bagi perusahaan ini."Naira masih menatap Bastian dengan pandangan menyelidik, merasa ada yang tidak dikatakan."Dan juga," Bastian melanjutkan, suaranya sedikit lebih pelan, "kamu adalah putri dari wanita yang sangat berarti bagiku."Naira merasakan jantungnya berdebar lebih kencang mendengar kalimat terakhir Bastian."Maksud Om? Apa ini ada hubungannya ama Mami?"Bastian
Bastian mengalihkan perhatiannya ke Fikri, seolah baru teringat akan kehadirannya."Oh, makanannya?" Bastian melirik piring di depannya yang hampir tidak tersentuh. "Cukup enak. Mungkin kita perlu menambah variasi menu."Fikri mengangguk antusias. "Betul, Pak! Aku rasa karyawan bakalan senang kalo ada lebih banyak pilihan."Sementara itu, Naira berusaha menyelesaikan makanannya dengan cepat, ingin segera pergi dari situasi yang terasa canggung ini."Naira, kau belum nyobain puding cokelatnya," Bastian tiba-tiba berkata, menunjuk ke nampan Naira.Naira tersentak. "Ah, iya ... mungkin nanti aja, Pak. Aku udah kenyang."Bastian mengambil puding dari nampan Naira. "Sayang banget kalo gak dimakan."Tanpa menunggu respon Naira, Bastian mulai menyendok puding tersebut, matanya tidak lepas dari Naira.Fikri merasakan atmosfer yang semakin aneh. Dia berdehem lagi. "Um, Naira, jadi kapan kita bisa lanjutin diskusi kita?"Naira bersyukur ada alasan untuk mengalihkan perhatiannya dari Bastian. "M
Fikri terlihat sedikit bingung mendengar pernyataan tiba-tiba dari Bastian."Oh, baiklah, Pak. Apa ada masalah?" tanya Fikri hati-hati.Bastian menggeleng, wajahnya tetap tenang meski ada ketegangan yang terasa di udara."Nggak ada masalah. Hanya saja, ada beberapa hal penting yang perlu aku diskusikan ama Naira di ruanganku." Bastian mengatakannya dengan wajah lurus saja tanpa banyak fluktuasi ekspresi.Naira menatap Bastian dengan pandangan bertanya-tanya, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Tapi, Pak ...." Naira mencoba protes, namun kata-katanya terpotong."Ini penting, Naira," potong Bastian dengan nada yang tidak bisa dibantah. Dia kemudian kembali berbicara kepada Fikri, "Fikri, kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu yang lain. Terima kasih atas laporannya."Fikri, meski masih terlihat bingung, mulai membereskan berkas-berkasnya."Baik, Pak. Naira, kita bisa lanjutin diskusi ini lain waktu," ujar Fikri.Naira hanya bisa mengangguk lemah, merasa tidak punya pilihan lain."Iy
Naira terdiam, matanya melebar mendengar kata-kata Bastian. Kalimat 'Kau memang harus mencintaiku, Nai.' itu menggema terus di telinganya, membuat jantungnya berdegup kencang.Sejenak, Naira merasakan gelombang emosi yang kompleks. Kata-kata itu terdengar begitu intim, seolah-olah sarat dengan nuansa asmara. Naira merasakan wajahnya memanas, pikirannya berkecamuk.Namun, secepat perasaan itu muncul, Naira berusaha menepisnya. Bagian lain dari hatinya segera berargumen, 'Gak, gak mungkin! Itu pasti cuma ungkapan kasih sayang seorang calon ayah ke calon anaknya. Om Tian kan pacar mami! Iya, tentu aja dia bakalan menjadi sosok papa untukku.'Naira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri dan membuang jauh-jauh prasangka yang menurutnya terlalu berlebihan itu. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa dia salah mengartikan nada suara Bastian."Ma-makasih, Om Tian," Naira akhirnya berhasil menjawab, suaranya sedikit bergetar. "Aku ... aku juga sangat menghargai Om."Naira berusaha t
"Om ... ummhh ...." Naira membalas cumbuan Bastian.Tak mengerti kenapa dirinya malah membiarkan kekasih ibunya melumat bibirnya, Naira bahkan diam ketika Bastian meremas dadanya sehingga dia tak bisa menahan suara aneh keluar dari mulutnya."Anngh~ Om~" Naira tak menyangka dirinya larut dalam momen itu sejenak, tapi mendadak saja kesadarannya segera kembali. Dengan lembut, dia mendorong dada Bastian, memperlebar jarak mereka secara cepat."Om, kita gak bisa," bisik Naira, napasnya terengah, kepalanya menggeleng beberapa kali. "Ini ... ini gak benar, please Om, jangan."Bastian terlihat kecewa, tapi dia menghormati keputusan Naira. Maka, dia sudi menjauhkan diri seraya matanya masih terpaku pada Naira."Sorry, Nai." ujar Bastian pelan.Padahal dia bisa saja memaksakan keinginannya pada Naira yang saat ini sedang dalam posisi lemah. Tapi dia tersadar, tidak akan menyenangkan jika mengambil kesempatan dari seorang wanita yang masih dalam pengaruh alkohol begitu."Oke, gak apa-apa, Om!"
"Eh?" Naira cukup kesulitan menoleh ke Bastian yang baru datang.Sebenarnya, yang tadi terjadi adalah ...."Aduh!" pekik Naira.Tiba-tiba saja, dia merasakan sesuatu tersangkut di bahunya. Dia mencoba meraihnya namun kesulitan."Ugh. Anting-antingku nyangkut," keluh Naira frustrasi.Fikri langsung bangkit dari kursinya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran."Biar kubantu," tawarnya sambil mendekat.Tepat saat Fikri mengulurkan tangannya untuk membantu Naira, pintu terbuka. Bastian masuk dan terhenti, terkejut melihat posisi mereka yang sangat dekat."Apa yang terjadi di sini?" tanya Bastian, nada suaranya sedikit tegang.Naira dan Fikri terlonjak kaget, secara refleks menjauhkan diri satu sama lain. Wajah Naira memucat melihat ekspresi Bastian."Pak Bos! Ini gak seperti yang Pak Bos pikirin. Anting-antingku tersangkut, Bang Fikri cuma bantuin aku," jelas Naira cepat, suaranya sedikit bergetar.Bastian melangkah maju dengan cepat, matanya terfokus pada Naira. Suaranya terdengar tegas keti
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal