“Yeah! Saatnya melangkah ke depan menyongsong hal yang menanti!” Naira memberi semangat ke dirinya sendiri.Sedangkan dia tak tahu, di rumah si Bos, Bastian mengerutkan kening saat menerima pesan dari Naira. Tanpa pikir panjang, dia segera menghubungi salon tersebut."Selamat siang, Salon Elegan. Ada yang bisa kami bantu?" jawab resepsionis salon."Ini Bastian Zilong. Saya ingin tahu kenapa Naira membatalkan reservasinya," tanya Bastian dengan nada tegas.Resepsionis terdengar ragu sejenak sebelum menjawab, "Ah, Pak Bastian. Maaf, tadi terjadi sedikit ... keributan antara Nona Naira dan salah satu pelanggan kami.""Keributan? Dengan siapa?" Bastian semakin penasaran."Dengan Nona Rinda, Pak. Pelanggan lama kami," jawab resepsionis hati-hati.Bastian menghela napas panjang. Dia tahu betul siapa Rinda dan masalah apa yang mungkin ditimbulkannya. "Baiklah. Tolong kejar Naira, minta dia untuk tidak pergi dulu.""Baik, Pak. Saya akan menyuruh staff kami untuk—" resepsionis terdiam sejenak.
Perlahan, sebuah senyum kecil muncul di wajah Naira. "Om benar. Aku ... aku gak boleh biarin mereka bikin aku kayak gini."Bastian mengangguk puas. "Itu baru Naira yang aku tau. Jadi, kamu siap menghadapi calon klien kita?"Naira menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk mantap. "Iya, Om. Aku siap.""Bagus," Bastian tersenyum lebar. "Ayo, kita tunjukkan ke mereka presentasi terbaik kamu."Dengan tekad baru, Naira berjalan bersama Bastian menuju ruang meeting. Meskipun masih ada sedikit kegelisahan di hatinya, Naira bertekad untuk tidak membiarkan masa lalunya menghalangi kesuksesannya hari ini.‘Aku bakalan buktiin ke diriku sendiri, ke Om Tian, dan ke semua orang bahwa aku mampu mengatasi segala rintangan! Bahwa aku gak lemah!’ Hati Naira dipenuhi semangat.Saat mereka semakin mendekati ruang pertemuan, langkah Naira semakin melambat. Bastian bisa merasakan keraguan yang semakin besar dari gadis itu."Nai, kita udah sampai. Ayo masuk," ajak Bastian lembut.Memang mereka datang lebih
Ada tiga orang pria berjas rapi dan satu wanita sudah memasuki ruangan.‘Aduh … jantungku deg-degan banget gini. Lututku berasa jeli,’ batinnya, tapi dia berusaha keras menyembunyikan kegugupannya.Bastian, menyadari keadaan Naira, dengan lembut meletakkan tangannya di punggung Naira, memberikan dukungan tanpa kata-kata. Sentuhan itu seolah memberikan kekuatan pada Naira."Selamat pagi, Bapak dan Ibu dari Seroja Group. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk hadir," sapa Bastian dengan suara tegas namun ramah. "Saya Bastian Zilong, dan ini karyawan saya, Naira."Ketika Bastian menoleh ke dirinya, Naira tahu harus berbuat apa."Selamat pagi, Bapak dan Ibu dari Seroja Group. Perkenalkan, saya Naira Karl, Asisten dari Lead Editor GoodRead Zilong E-First. Saya yang akan memimpin presentasi hari ini."Naira, masih dengan lutut yang terasa seperti jelly, melangkah maju dan mengulurkan tangannya disertai wajah seramah mungkin. "Senang bertemu dengan Anda semua," ujarnya.Dia bersyukur su
Setelah Naira menyelesaikan presentasinya, Pak Sudono, CEO Seroja Group, adalah yang pertama mengajukan pertanyaan."Presentasi yang sangat menarik, Nona Naira. Saya punya beberapa pertanyaan. Pertama, bagaimana dengan hak cipta dalam fitur 'Pilihan Alur Cerita' ini? Apakah penulis asli setuju dengan modifikasi cerita mereka?"Naira menjawab dengan percaya diri, "Terima kasih atas pertanyaannya, Pak Sudono. Kami telah mengantisipasi masalah ini. Kami hanya bekerja sama dengan penulis yang bersedia ceritanya dimodifikasi. Mereka akan mendapatkan royalti tambahan untuk setiap alur cerita alternatif."Bastian menambahkan, "Dan kami juga memiliki tim legal yang khusus menangani aspek hak cipta ini, memastikan semua pihak terlindungi secara hukum."Pak Djoko, CFO Seroja Group, mengajukan pertanyaan berikutnya, "Bagaimana dengan biaya pengembangan teknologi AR? Bukankah itu akan sangat mahal?"Naira mengangguk, "Anda benar, Pak Djoko. Pengembangan AR memang membutuhkan investasi besar. Namu
'Kenapa sih malah harus merusak mood dengan ngeliat mereka lagi?' keluh Naira dalam hati.Naira merasakan dadanya sesak. Semua euforia dari keberhasilan presentasinya seolah menguap dalam sekejap. Dia berdiri kaku, tidak mampu mengalihkan pandangannya dari mantan pacar dan mantan sahabatnya itu.Sementara, Ivy mulai menyadari kehadiran Naira yang memang sudah melangkah masuk ke restoran. "Mil, Emil," panggilnya ke Emil yang langsung membeku setelah melihat Naira.Bastian, yang menyadari perubahan sikap Naira, segera mengikuti arah pandangannya. Dia langsung memahami situasi ini. Tanpa ragu, Bastian mengambil tindakan cepat.Dengan lembut namun tegas, Bastian meletakkan tangannya di pinggang Naira, menariknya sedikit lebih dekat. Gerakan ini membuat Naira tersentak dari lamunannya."Kayaknya restoran ini baunya gak sedap karena keringat beberapa orang," ujar Bastian dengan suara cukup keras, sengaja agar Naira fokus pada suaranya. "Ayo, Nai, cari tempat lain yang lebih segar."Naira, m
Dua hari ini Bastian masih menginap di rumah Naira. Namun, suatu pagi setelah Bastian pergi, tetangga di samping kanan rumah bertanya ke Naira."Dik Naira, itu cowok yang sering datang dan menginap di rumah, siapa?" tanya ibu tetangga.Naira sudah menduga pasti ini akan terjadi, cepat atau lambat. Dia sudah menyiapkan jawabannya."Oh, itu saudara dari pihak mami," dustanya."Saran aja nih, Dik. Lebih baik lekas melapor ke Pak RT meski itu saudara sekali pun. Takutnya nanti warga salah paham." Si ibu tetangga memberikan nasehat.Naira mengucapkan terima kasih atas saran itu dan berjanji akan melapor ke RT apabila 'si saudara pihak maminya' akan menginap lagi malam nanti.Ketika di kantor, Naira membujuk Bastian. "Please lah, Om, eh Pak Bos ... jangan nginap lagi di rumah, yah! Aku malas kalo harus urusan ama warga." Naira memasang wajah sememelas mungkin agar Bastian setuju dengan permintaannya. Bastian pun berhenti menginap di rumah Naira atas permintaan gadis itu.Malam itu, Naira
Naira terkesiap, merasakan wajahnya memanas. "A-apa maksud Om?"Bastian tersenyum tipis, "Hanya bercanda. Istirahatlah, besok kita harus ke kantor."Naira mengangguk canggung, masuk ke kamar tamu dengan perasaan campur aduk. Di balik pintu yang tertutup, ia memikirkan tawaran Bastian, bertanya-tanya apakah itu benar-benar hanya candaan belaka.“Ya ampun jantung, oh jantung … bertahanlah di tempatnya, yah!”Naira duduk gelisah di tepi ranjang kamar tamu. Tiba-tiba pikirannya melayang pada ibunya, Elvita, yang sedang berada di luar pulau untuk urusan bisnis. Haruskah dia mengabari ibunya tentang situasi ini?“Tapi aku takut mami salah paham kalo tau aku nginap di rumah Om Tian. Apa aku tanya ke Om Tian dulu, yah? Aku gak mau salah.” Dia mempertimbangkannya.Setelah beberapa saat menimbang-nimbang, Naira akhirnya memberanikan diri keluar dari kamar tamu. Dengan langkah ragu, dia berjalan menuju kamar Bastian dan mengetuk pintu pelan."Om Tian?" panggil Naira lirih.Terdengar suara langkah
Keesokan paginya, Naira bangun lebih awal. Dia bergegas bersiap-siap, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Bastian.“Untung aja aku bawa pakaian kerja ke sini.”Setelah merapikan diri sebisa mungkin dengan pakaian yang dibawa dari rumahnya, dia mengendap-endap ke ruang tengah.‘Kayaknya Om belum bangun, deh! Namanya Bos biasanya bangun seenaknya, kan?’Namun, ternyata dugaannya salah. Bastian sudah ada di sana, duduk di sofa dengan secangkir kopi di tangan."Pagi, Naira," sapa Bastian. "Aku udah bikinin sarapan untuk kamu."Tadinya Naira hendak langsung berangkat ke kantor, tapi karena ternyata Bastian sudah menyiapkan sarapan untuknya, dia tak enak hati kalau menolaknya."Pagi, Om," balas Naira canggung.Akhirnya, Naira pun makan pagi bersama Bastian. Setelah itu dia bersiap berangkat ke kantor.“Pergi duluan, yah Om!” pamitnya.Bastian menoleh heran ke arahnya.“Gak nunggu aku dulu? Aku cuma butuh sekitar 10 menit untuk siap-siap, kok!”Pria itu mulai bangkit dari kur
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal