Malam itu, setelah Naira duduk gelisah di sofa apartemen untuk menunggu Bastian mandi, akhirnya pria itu keluar juga."Om," panggil Naira lirih saat Bastian keluar dari kamarnya. Bastian hanya melirik sekilas, wajahnya tanpa ekspresi. "Udah nggak sabar, yah?"Dari raut wajahnya yang tersenyum, Naira mendapat kesan bahwa itu bukan senyum hangat yang biasa pria itu berikan padanya melainkan senyuman mengejek."Om katanya mo jelasin." Naira menelan ludah. "Om ... kenapa Om tiba-tiba berubah? Apa ... apa maksudnya aku cuma alat balas dendam? Tolong jelasin ke aku, Om."Naira menahan air matanya jangan jatuh dulu karena dia butuh Bastian untuk memberikan penjelasan terlebih dahulu.Bastian terdiam sejenak, sebelum akhirnya menghela napas panjang dan duduk di seberang Naira. "Kamu mau tau kebenarannya?"Naira mengangguk, jantungnya berdegup kencang."Mamimu," Bastian memulai, matanya menatap kosong ke depan. "Elvita. Dia berselingkuh dariku."Naira tersentak. "A-apa? Tapi ... bukannya Om y
Naira menatap Bastian yang menoleh padanya dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar saat dia bicara, "Om, kumohon ... kita hentikan aja semua ini, yah! Balas dendam ini ... nggak ada gunanya. Kita jalani aja hubungan kita kayak biasanya."Saat ini mereka sudah berhadapan, tapi Bastian menolak pelukan Naira.Bastian menatap Naira dingin, ekspresinya tak terbaca. "Kamu pikir semudah itu, Nai? Luka yang mamimu kasi ke aku nggak bisa hilang begitu aja."Mata tajam Bastian seakan sedang merobek-robek netra Naira."Tapi Om," Naira mencoba lagi, "aku bukan mami. Kita bisa mulai dari awal, tanpa bayang-bayang masa lalu."Usai mengatakan itu, Naira merutuki dirinya. Apakah dia terlalu lugu hingga mengucapkan kalimat macam itu? Bastian tertawa getir. "Justru karena kamu bukan mamimu, makanya kamu adalah senjata terbaik untuk membalasnya."Naira tersentak mendengar kata-kata itu. Air matanya mulai mengalir."Om ... aku cinta Om. Beneran cinta Om. Apa itu nggak cukup?"Air matanya sudah semak
Naira memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Dia tahu hubungan ini tidak sehat, bahwa dia seharusnya pergi. Tapi cintanya pada Bastian, sekuat apapun siksaan yang dia terima, membuatnya ingin bertahan.Apalagi dia sudah merasa dirinya bagaikan sampah yang takkan bisa didaur ulang lagi. Takkan ada pria mana pun yang sudi mencintainya jika dia lepas dari Bastian. Ini pemikiran naif Naira."Baiklah, Om," bisiknya pasrah. "Aku bakalan tetap di sisimu. Selamanya."Bastian menarik Naira ke dalam pelukannya, tapi pelukannya terasa dingin dan kaku. Naira menenggelamkan wajahnya di dada Bastian, bertanya-tanya dalam hati.'Apa suatu hari nanti, cintaku bakalan cukup kuat untuk ngelelehkan es di hati Om Tian yang aku cintainya ini?'Sementara itu, jauh di dalam hatinya, Bastian merasakan pergolakan emosi yang tak bisa dia jelaskan. Rasa bersalah, cinta, dan dendam bercampur menjadi satu. Tapi ego dan luka itu terlalu besar untuk mengakui bahwa mungkin, hanya mungkin, dia juga mulai terl
Pagi ini, Naira baru saja hendak membuka berkas pekerjaannya ketika suara familiar terdengar dari arah pintu. Dia mendongak dan jantungnya seolah berhenti berdetak.Vera—sepupu mendiang istri Bastian, melenggang masuk ke kantor dengan penuh percaya diri sambil membawa keangkuhannya yang biasa. Outfit merahnya yang seksi tentu menarik perhatian semua orang di lobi bawah, terutama karyawan pria. Tapi mata Vera hanya mencari pada satu orang: Bastian."Bas!" seru Vera riang, langsung menghampiri Bastian yang duduk di kursi ruangannya.Bastian terlihat terkejut, tapi tidak menolak ketika Vera memeluknya erat."Vera? Ada apa kamu ke sini lagi?"Bahkan pertanyaan itu juga yang bergaung di benak Naira. Kini terwakilkan oleh Bastian.Vera tersenyum lebar, tangannya masih melingkar di leher Bastian. "Aku kangen sama kamu, Bas. Nggak boleh?"Naira menggigit bibirnya, berusaha fokus pada layar komputer meski telinganya menajam mendengarkan percakapan itu."Ya boleh aja," jawab Bastian, nadanya le
Tengah malam, Naira terisak di balkon kamarnya ketika Bastian sudah lelap usai menuntaskan napsunya.‘Meski aku suka disentuh Om Tian, tapi gak dengan cara kayak gitu. Om mulai kasar waktu begituan. Gak selembut dan sepelan dulu.’Naira mengusap air matanya, menerawang ke langit gelap minim bintang karena tertutup polusi kota.‘Ciuman Om … sentuhan Om … udah gak selembut dulu. Sekarang semua dilakuin seakan aku ini mami yang nyakitin Om. Apa … apa mereka udah pernah gituan? Aku gak sampai hati nanya ke mami. Yah, takut juga sih ama jawaban mami kalo dijawab … ah, Om jahat sekarang. Jahat!’Kemudian, Naira menghapus semua air matanya dan kembali naik ke tempat tidur. Dilihatnya paras tampan pria di kasur meski dalam kondisi lelap. Ingin sekali dia mengelus wajah itu, tapi pasti Bastian akan terbangun dan marah.Meneguk saliva, Naira memutuskan pelan-pelan masuk ke selimut dan tidur.Tanpa dia tau, Bastian membuka matanya saat Naira sudah memunggungi pria itu.***Naira duduk di mejanya
Naira tertegun mendengar pertanyaan Gandi. Jantungnya berdegup kencang, namun dia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. "Maaf, maksud Pak Gandi apa, ya?" tanyanya, pura-pura tidak mengerti.Gandi menatapnya tajam. "Aku cuma penasaran, apakah ada hubungan khusus antara kamu sama Pak Bastian? Atau mungkin ibumu yang dekat dengan pak Bos?"Naira menelan ludah, otaknya berpacu mencari jawaban yang tepat. Dia tak ingin membongkar rahasia hubungannya dengan Bastian, tapi juga tak ingin berbohong mentah-mentah."Ah, Pak Gandi. Saya rasa nggak ada yang spesial antara saya atau ibu saya dengan Pak Bastian," ujar Naira dengan senyum diplomatis. "Saya hanya karyawan magang yang kebetulan ditugaskan sebagai sekretaris pribadi beliau. Sedangkan ibu saya, setahu saya seorang pekerja keras di perusahaan Zilong E-First ini. Tidak lebih dari itu."Gandi mengangguk pelan, namun tatapannya masih menyiratkan keraguan. "Begitu ya? Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas penjelasannya, Naira."Setelah
Naira tak bisa menahan tawa gelinya saat dia membayangkan orang seperti Bastian dalam situasi mencret. Pasti seru."Pokoknya, thanks banget kamu mau dengarkan curhatku ini, Len. Aku gak tau harus ke siapa lagi kalo gak ke kamu." Naira mengucap sambil tersenyum penuh rasa syukur."Kamu bisa hubungi aku untuk apa pun, Ra. Aku pasti akan siap sedia untuk kamu." Helena menggenggam kedua tangan Naira di atas meja untuk menguatkan sang sahabat.Naira tersenyum lemah. Meski bebannya belum sepenuhnya terangkat, setidaknya dia merasa sedikit lega setelah berbagi dengan Helena. Namun di sudut hatinya, keraguan masih bercokol.'Gimana aku harus menghadapi Bastian besok? Dan gimana ama pertanyaan Gandi tadi? Gimana kalo ternyata Bastian ama Vera ... urgh! Benci!' Mendadak saja ponsel Naira bergetar dan dia mengambilnya dari tas kecil di dekatnya.'Om Tian!' Membatin, Naira membaca nama pemanggilnya yang ada di layar. 'Mau ngapain Om Tian nelepon?'Naira pun izin menyingkir untuk menerima telepon
‘Hujan.’ Naira menatap ke tetesan air yang mulai berdatangan ke kaca mobil di depannya.Tak lama, hujan deras membasahi kaca depan mobil, membuat pandangan di luar menjadi kabur. Suara tetesan air yang berirama seolah menjadi latar bagi keheningan yang tak nyaman di dalam mobil itu.Naira duduk dengan gelisah di kursi penumpang, menghadap ke luar jendela sambil merapatkan kardigannya.‘Jujur aja, dinginnya malam gak sebanding ama dinginnya sikap Om Tian,’ batin Dania sambil melirik Bastian yang duduk diam di belakang kemudi dengan ekspresi tak terbaca.Atmosfer di antara mereka begitu tegang, seakan setiap tetes hujan menambah beban di dadanya.‘Enaknya aku nyapa duluan apa gimana, yah? Ntar salah, gak? Abisnya, Om sekarang sensi banget, sih. Apa-apa yang aku lakuin pasti salah di mata dia.’Bastian mengemudikan mobil tanpa sepatah kata pun, sementara Naira berusaha keras menenangkan detak jantungnya yang kian tak menentu."Seingatku, aku nggak pernah kasi izin ke kamu untuk keluar ma
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal