Pagi ini, Naira baru saja hendak membuka berkas pekerjaannya ketika suara familiar terdengar dari arah pintu. Dia mendongak dan jantungnya seolah berhenti berdetak.Vera—sepupu mendiang istri Bastian, melenggang masuk ke kantor dengan penuh percaya diri sambil membawa keangkuhannya yang biasa. Outfit merahnya yang seksi tentu menarik perhatian semua orang di lobi bawah, terutama karyawan pria. Tapi mata Vera hanya mencari pada satu orang: Bastian."Bas!" seru Vera riang, langsung menghampiri Bastian yang duduk di kursi ruangannya.Bastian terlihat terkejut, tapi tidak menolak ketika Vera memeluknya erat."Vera? Ada apa kamu ke sini lagi?"Bahkan pertanyaan itu juga yang bergaung di benak Naira. Kini terwakilkan oleh Bastian.Vera tersenyum lebar, tangannya masih melingkar di leher Bastian. "Aku kangen sama kamu, Bas. Nggak boleh?"Naira menggigit bibirnya, berusaha fokus pada layar komputer meski telinganya menajam mendengarkan percakapan itu."Ya boleh aja," jawab Bastian, nadanya le
Tengah malam, Naira terisak di balkon kamarnya ketika Bastian sudah lelap usai menuntaskan napsunya.‘Meski aku suka disentuh Om Tian, tapi gak dengan cara kayak gitu. Om mulai kasar waktu begituan. Gak selembut dan sepelan dulu.’Naira mengusap air matanya, menerawang ke langit gelap minim bintang karena tertutup polusi kota.‘Ciuman Om … sentuhan Om … udah gak selembut dulu. Sekarang semua dilakuin seakan aku ini mami yang nyakitin Om. Apa … apa mereka udah pernah gituan? Aku gak sampai hati nanya ke mami. Yah, takut juga sih ama jawaban mami kalo dijawab … ah, Om jahat sekarang. Jahat!’Kemudian, Naira menghapus semua air matanya dan kembali naik ke tempat tidur. Dilihatnya paras tampan pria di kasur meski dalam kondisi lelap. Ingin sekali dia mengelus wajah itu, tapi pasti Bastian akan terbangun dan marah.Meneguk saliva, Naira memutuskan pelan-pelan masuk ke selimut dan tidur.Tanpa dia tau, Bastian membuka matanya saat Naira sudah memunggungi pria itu.***Naira duduk di mejanya
Naira tertegun mendengar pertanyaan Gandi. Jantungnya berdegup kencang, namun dia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. "Maaf, maksud Pak Gandi apa, ya?" tanyanya, pura-pura tidak mengerti.Gandi menatapnya tajam. "Aku cuma penasaran, apakah ada hubungan khusus antara kamu sama Pak Bastian? Atau mungkin ibumu yang dekat dengan pak Bos?"Naira menelan ludah, otaknya berpacu mencari jawaban yang tepat. Dia tak ingin membongkar rahasia hubungannya dengan Bastian, tapi juga tak ingin berbohong mentah-mentah."Ah, Pak Gandi. Saya rasa nggak ada yang spesial antara saya atau ibu saya dengan Pak Bastian," ujar Naira dengan senyum diplomatis. "Saya hanya karyawan magang yang kebetulan ditugaskan sebagai sekretaris pribadi beliau. Sedangkan ibu saya, setahu saya seorang pekerja keras di perusahaan Zilong E-First ini. Tidak lebih dari itu."Gandi mengangguk pelan, namun tatapannya masih menyiratkan keraguan. "Begitu ya? Baiklah kalau begitu. Terima kasih atas penjelasannya, Naira."Setelah
Naira tak bisa menahan tawa gelinya saat dia membayangkan orang seperti Bastian dalam situasi mencret. Pasti seru."Pokoknya, thanks banget kamu mau dengarkan curhatku ini, Len. Aku gak tau harus ke siapa lagi kalo gak ke kamu." Naira mengucap sambil tersenyum penuh rasa syukur."Kamu bisa hubungi aku untuk apa pun, Ra. Aku pasti akan siap sedia untuk kamu." Helena menggenggam kedua tangan Naira di atas meja untuk menguatkan sang sahabat.Naira tersenyum lemah. Meski bebannya belum sepenuhnya terangkat, setidaknya dia merasa sedikit lega setelah berbagi dengan Helena. Namun di sudut hatinya, keraguan masih bercokol.'Gimana aku harus menghadapi Bastian besok? Dan gimana ama pertanyaan Gandi tadi? Gimana kalo ternyata Bastian ama Vera ... urgh! Benci!' Mendadak saja ponsel Naira bergetar dan dia mengambilnya dari tas kecil di dekatnya.'Om Tian!' Membatin, Naira membaca nama pemanggilnya yang ada di layar. 'Mau ngapain Om Tian nelepon?'Naira pun izin menyingkir untuk menerima telepon
‘Hujan.’ Naira menatap ke tetesan air yang mulai berdatangan ke kaca mobil di depannya.Tak lama, hujan deras membasahi kaca depan mobil, membuat pandangan di luar menjadi kabur. Suara tetesan air yang berirama seolah menjadi latar bagi keheningan yang tak nyaman di dalam mobil itu.Naira duduk dengan gelisah di kursi penumpang, menghadap ke luar jendela sambil merapatkan kardigannya.‘Jujur aja, dinginnya malam gak sebanding ama dinginnya sikap Om Tian,’ batin Dania sambil melirik Bastian yang duduk diam di belakang kemudi dengan ekspresi tak terbaca.Atmosfer di antara mereka begitu tegang, seakan setiap tetes hujan menambah beban di dadanya.‘Enaknya aku nyapa duluan apa gimana, yah? Ntar salah, gak? Abisnya, Om sekarang sensi banget, sih. Apa-apa yang aku lakuin pasti salah di mata dia.’Bastian mengemudikan mobil tanpa sepatah kata pun, sementara Naira berusaha keras menenangkan detak jantungnya yang kian tak menentu."Seingatku, aku nggak pernah kasi izin ke kamu untuk keluar ma
‘Boleh kan kalo aku berharap, siapa tau Om berubah kali ini. Apalagi dia … aku yakin dia sebenarnya sayang ama aku, tapi mungkin dia gengsi nunjukinnya.’Batin Naira masih memiliki secercah harapan yang terus dia genggam, meski itu bagaikan bergantung di seutas rambut rapuh.Bastian menghela napas panjang, seolah pertanyaan itu hanya membuatnya semakin kesal. "Naira, aku udah ngomong sebelumnya. Jangan berharap terlalu ama aku. Hubungan ini cuma sementara. Kamu cuma alatku. Aku pikir kamu udah paham sejak awal."Mendengar itu, Naira merasa dunianya runtuh. Meski sudah sering mendengar kata-kata menyakitkan dari Bastian, namun kali ini terasa begitu menyakitkan, ketika harapan yang sudah dia bangun susah-payah, harus benar-benar hancur berkeping-keping.Tapi, meski hatinya berteriak untuk pergi, kakinya tetap tak bisa bergerak. Dia terlalu terikat, terlalu mencintai pria ini hingga tak bisa melihat kehidupan tanpa Bastian di dalamnya."Aku ... aku ngerti." Naira akhirnya berkata dengan
‘Me-melayani….’ Naira mengulang ucapan Bastian di benaknya.Kata-kata itu membuat Naira cukup merinding. Bastian tidak membentak atau pun bersikap kasar secara fisik, namun dia tahu bahwa pria itu bisa menjadi dingin dan tak kenal ampun jika keinginannya tidak dipenuhi.Maka, Naira mengangguk pelan, menundukkan kepala dan menerima nasibnya. Dia terlalu lemah untuk menolak, terlalu cinta untuk melawan.“Akh!” Naira memekik kaget.Bastian meraih pinggangnya dan menariknya lebih dekat, membuat gadis itu hampir kehilangan keseimbangan. Tanpa banyak basa-basi, Bastian mulai menciumi lehernya, menelusuri kulitnya dengan bibir yang panas namun terasa penuh dengan rasa yang terpendam.Naira menutup matanya, berusaha menikmati momen ini meski hatinya terasa berat. Sentuhan Bastian sudah berbeda, tidak lagi seperti dulu. Sekarang pria itu seakan memberikan label baru dalam sentuhannya—kasar, terburu-buru, seolah tidak ada kelembutan yang tersisa.“Akh! Om….” Dia menatap memelas ke Bastian.Nair
“Kamu yang memaksaku begini, Nai….” bisik Bastian sambil melepas mantel kamarnya dan menampilkan tubuh atletis yang lekuknya tergambar jelas oleh pantulan cahaya bulan dari fitrase jendela balkon.Dalam kondisi perasaan yang kacau, Bastian yang awalnya hanya ingin memastikan Naira baik-baik saja di kamarnya, kini ada yang meletup di dalam dirinya.“Pokoknya kamu yang bikin aku gini, Nai….” Bastian seakan sedang merapalkan mantra pembelaan diri sambil dia merayap naik ke tempat tidur Naira.Dalam satu gerakan yang halus namun penuh kuasa, Bastian meraih pinggang Naira, memutar posisi miring tubuh Naira agar menghadap ke tubuhnya yang tegap menjulang di atas.Ada kehangatan yang memancar dari sentuhannya, sebuah panas yang tak hanya menyentuh kulit, tapi juga menyulut api dalam diri Bastian—api yang selama ini berusaha dia jaga agar tetap padam, tapi selalu gagal setiap dia melihat Naira."Cantik, kamu selalu cantik," suara Bastian terdengar seperti bisikan angin, rendah dan penuh miste
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b
“Ve-Vera?” Naira membeku di tempatnya.Kenapa pula justru wanita sialan itu yang ada di depan pintunya? Naira kesal bukan main, merasa dia begitu sial karena bertemu Vera lagi.Dia sudah ingin menutup pintu karena malas meladeni Vera, hanya saja si rival cinta sudah lebih dulu menahan daun pintu tertutup."Aku pikir kamu udah pergi dari hidup Bastian. Tapi ternyata kamu masih mencoba mencuri dia dariku? Bahkan hidup bareng di sini? Dasar murahan!"Terdengar jelas dari suara Vera, betapa dia membenci Naira yang telah menjadi penghalang dia dan Bastian.Naira mengangkat alisnya, menatap Vera dengan pandangan dingin. “Murahan? Heh, apa urusanmu, ya? Mendingan jaga tuh mulut.”Ada ketidakrelaan di hatinya ketika dia dihina oleh Vera.Naira tak tahu bahwa Vera sudah mengerahkan segenap sumber dayanya untuk menemukan dia dan Bastian. Semenjak Bastian menegaskan ke Vera untuk berhenti mengganggunya karena sosok Naira yang sudah dipilih Bastian, Vera terus mengusahakan apa pun agar bisa mene
“Hah~ begitu, yah?”Bastian menghela napas panjang, melirik Naira yang sedang duduk di tempat tidur.Jelas, dia terjebak di antara dua dunia—pekerjaan yang sudah mulai merenggut waktunya, dan usahanya untuk membuktikan kepada Naira bahwa dia benar-benar serius dalam hubungannya.Naira yang mendengar pembicaraan itu melalui loud speaker pun berbisik, “Pergi aja, gak apa-apa, kok!”Mata Naira berkedip-kedip menatap Bastian yang termangu memandanginya, seolah pria itu sedang mencari makna tersembunyi dari ucapannya.Setelah diam sejenak, Bastian akhirnya berkata, “Oke, Gandi. Aku akan ke kantor hari ini. Tolong jadwalkan ulang rapat yang tertunda dan kasi tau semua direksi kalau aku akan segera ke sana.”Setelah menutup telepon, Bastian menatap Naira dengan wajah penuh kebingungan. “Aku harus ke kantor, Nai. Udah terlalu lama aku nggak muncul di sana, dan ini masalah penting. Aku janji nggak akan lama-lama, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini.”“Iya, aku paham, kok!”Naira yan
"Nai, aku mesum gimana, sih?" Bastian berlagak menderita atas tuduhan Naira.Padahal dia menahan tawa geli."Kamu... kamu bisa-bisanya ambil aku dari... dari kasur! Nih! Aku bangun malah udah di lantai gini!" Naira sewot.Wajahnya cemberut dengan bibir mengerucut karena kesal."Loh Nai, kalau aku bawa kamu turun ke lantai, pastinya kamu bakalan terbangun, dong." Bastian memberikan sanggahan.Ucapan Bastian mengakibatkan Naira harus diam untuk berpikir.'Iya juga, sih!' batin Naira. 'Kalo aku ditarik atau dibopong turun dari kasur, ya kali aku gak ngerasa apa pun? Pastinya aku bakalan kebangun. Tapi... kok bisa gitu, sih?'Masih ada banyak tanda tanya di kepala Naira mengenai dirinya ada di lantai bersama Bastian."Nai, mungkin kamu sendiri yang turun ke bawah untuk tidur sama aku." Bastian justru menambahkan lecutan di hati Naira.Dia yang turun ke lantai untuk bersama Bastian?"Enak aja! Pede amat!" pekik kesal Naira.Tapi kalau dipikir-pikir....'Apa aku punya kecenderungan sleep wal