Sri bergerak gelisah di kursi penumpang yang berada persis di belakang Hans. Matanya menatap keluar kaca mobil, jalanan kota lancar dan teratur, walaupun Hans sesekali menyalip angkutan umum yang berada di depan mereka.Mata Sri memandang ruko-ruko tua yang berjejer sepanjang jalan, serta beberapa orang yang duduk santai di kafe terbuka yang berada berdekatan di trotoar. Namun, pikirannya jelas tak tertuju pada itu semua.Nadhira, pasti anaknya itu menangis sepanjang malam, atau justru dalam keadaan sakit. Banyak pikiran buruk melintas di kepala Sri. Dia tak sabar untuk mendekap anaknya dan menyusuinya sampai kenyang."Tenanglah, tinggal beberapa menit lagi, kita akan sampai ke penginapan tempat mantan suamimu," ucap Hans peduli, dia mengerti kegelisahan Sri. Bahkan beberapa kali wanita itu menghembuskan nafas."Saya harap, mereka belum kembali ke Jakarta.""Aku juga berharap begitu."Selanjutnya yang terdengar hanya alunan lagu jazz di mobil itu.Sementara, di tempat berbeda, Rini si
Emma mendengus sambil melirik Sri. Mimpi apa dia semalam, entah Sri yang beruntung atau Briyan yang bodoh. Bagaimana bisa, dalam hitungan hari, cleaning service berubah status menjadi manager. Artinya, jabatan Sri setara dengannya. Jika dia menjabat sebagai manager marketing, maka Sri menjabat sebagai manager personal.Emma sempat kaget saat Briyan menelponnya tengah malam, menginformasikan sebuah kejutan yang tak pernah terfikir oleh siapapun. Lebih kaget lagi, saat pertukaran posisi tak wajar itu benar-benar terjadi. Tak lama berselang, Triyono menelponnya menceritakan kejadian yang menimpanya sambil membela diri. Triyono mengaku, bahwa Sri lah yang menggodanya sehingga dia terpancing. Emma sampai bingung dan curiga, bisa-bisanya Briyan memberi posisi terlalu tinggi untuk wanita yang bahkan tak punya ijazah sarjana itu.Yang lebih kaget lagi adalah Sri. Dia merasa keputusan sepihak ini terlalu aneh, seolah-olah ini hanyalah sandiwara yang tak berguna. Sungguh, dia tak ingin jabatan
Novan dan Rini saling pandang, menurut mereka, pria tua yang berwajah bule itu terlalu ikut campur urusan keluarga mereka."Apa maksud anda dengan jalan tengah? Pengadilan telah memutuskan bahwa hak asuh telah diberikan ke pada kami.""Saya mengerti, kami pun tak memaksakan hak asuh diberikan secara hukum pada Sri, tapi, kita berfikir dari segi kemanusiaan, anak itu masih berusia di bawah satu tahun, masih menyusu dengan ibunya, tak adil jika kesempatan untuk mendapatkan ASI kita rampas begitu saja. Kita tidak usah memikirkan dari sudut pandang kita, coba kita pikirkan anak itu. Dia berhak mendapatkan ASI selama dua tahun.""Artinya, selama dua tahun itu Nadhira akan di bawah pengasuhan Sri? Siapa anda, Pak? Mengatur sejauh itu," kata Novan berapi-api."Kamu ayahnya, bukan?" Hans menatap Novan tajam."Tidak saya jawab pun, anda sudah tau.""Ayah macam apa yang lebih memilih anaknya menyusu pada sapi dari pada ibunya sendiri.""Anda lancang.""Saya mengerti." Rini menengahi. "Tidak ses
Nadhira langsung tidur saat Sri selesai memandikannya dan menyusuinya. Sri sangat berterimakasih pada pria asing yang memperkenalkan dirinya sebagai Hans. Ternyata masih ada orang baik di dunia ini, menolong tanpa pamrih dan tak pandang bulu. Setelah berhasil bernegosiasi dengan damai dengan keluarga Novan, Sri begitu terharu bisa membawa anaknya kembali. Suatu saat, Sri ingin membalas jasa pria itu, pria yang memberinya perhatian layaknya seorang ayah pada anaknya."Assalamualaikum." Susi datang, wajahnya cerah saat melihat Nadhira sudah kembali ke kossan ini. "Alhamdulillah." Susi tersenyum haru."Ayo kita bicara di depan, nanti anakmu terganggu.""Oh ya, kamu belum cerita, siapa laki-laki yang mengantarmu kemaren." Susi duduk di kursi kayu di beranda."Namanya Pak Hans. Dia yang menolongku saat mengejar mobil Mas Novan. Dia juga yang membantu bernegosiasi dengan keluarga Novan. Tapi, ada hal yang mengganggu pemikiranku, Mbak.""Apa itu?""Nadhira memang di bawah pengasuhanku, bukan
Mata Briyan memancarkan sinar kekaguman, bagaimana tidak, dalam satu malam, orang yang sama mampu memberi kesan yang berbeda. Briyan begitu takjub, bagaimana bisa blezer itu mampu memberi kesan yang begitu sempurna. Rambut yang biasa dikuncir kuda, digerai indah membingkai wajah datar yang terkesan bosan itu."Aku patut memberi jempol pada Emma, yang bisa mendandanimu begini. Dengan penampilanmu ini, kau terlihat berwibawa dan memancarkan aura manager yang sesungguhnya, woow!" Briyan tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Orang yang disanjung tampak tak peduli."Oh ya! Rapat akan diadakan sepuluh menit lagi, mintalah catatan pada Emma, tentang apa yang perlu kau sampaikan nanti.""Baik, Pak!" Seharusnya Briyan keluar dari ruangan itu, tapi sesuatu yang mengganjal hatinya, kenapa Sri terkesan tak peduli, bahkan terlihat bosan."Tidak ada yang ingin kau tanyakan?"Sri menoleh lagi, sedikit bingung."Tidak.""Oh, baiklah!" Briyan mengutuk dirinya yang seperti orang bodoh. Seharusnya dia
Sri hanya menghembuskan nafasnya kasar, dia baru saja merebahkan tubuhnya di samping Nadhira saat bunyi telpon menganggunya satu jam yang lalu. Sri bangkit pelan-pelan agar Nadhira tidak terbangun. Memang, masih jam sembilan, tapi waktu di malam hari sangat berharga bagi Sri, dia sudah meninggalkan Nadhira seharian, dia juga cukup lelah dengan jabatan baru yang baginya tak begitu menarik. Ditambah lagi saat perkenalan, rata-rata dari mereka, malah mencibir dan berbisik-bisik. Sri yakin, besok, fitnah dan prasangka buruk akan menyebar di resto Nagoya milik Briyan."Mbak, bisa jaga Nadhira sebentar? Cuma lima belas menit, aku ada perlu." Kebetulan Susi belum tidur, dia masih duduk-duduk di beranda kossan sambil mengipas-ngipas dengan kipas sate."Ke mana?""Ini, pak bos ada perlu." Jawaban Sri setengah menggerutu."Baiklah! Jangan lama-lama, berbahaya, wanita secantik kamu laku kalau diculik dan dijual." Susi mencandai Sri. Sri tersenyum tipis."Deket kok, di kafe depan aja.""Ya, hat
Novan menghembuskan nafas kasar, dia tak begitu suka dengan sifat Sri yang selalu mengungkit-ungkit masa lalu. "Waktu itu aku tak sengaja mendorongmu, karena kau memukulku dengan brutal. Kalau dikaji lagi, kita sama-sama bersalah di masa lalu, aku mengakui bahwa aku sempat menyukaimu, tapi setelah tau kau tidak seperti yang aku kira, aku sangat kecewa padamu.""Seperti Mas kira? Mas masih ingat, siapa yang memaksa saya? Memperkosa saya?" Sri meradang."Tak sepenuhnya itu disebut sebagai pemerkosaan, aku tak memaksamu untuk ikut pada acara hotel itu, kalau aku tau kau istri orang, aku takkan mendekatimu, Sri." Novan tak mau kalah. Menurutnya, Sri terlalu berlebihan jika menganggap dirinya adalah korban. "Saya bisa apa? Sebagai karyawan rendahan, saya tak bisa menolak banyak saat bos saya meminta ini dan itu. Saya butuh pekerjaan saat itu, itu makanya saya tak mengatakan bahwa saya telah menikah."Kening Novan berkerut. Kemudian raut itu berubah makin sinis."Apa hubungannya pekerjaan
Wanita baya yang cantik itu menjalin jari-jarinya resah, bahkan dia sesekali menghela nafas kasar karena gusar. Saat ini dia tengah duduk di ruang tamu di kantor utama panti asuhan itu. Terdapat sofa kecil bewarna hijau pudar, di depannya ada meja kecil yang berhiaskan satu pot bunga yang bewarna kuning. Di dinding terpajang struktur kepengurusan panti, serta rak besar berisi kertas-kertas yang diyakini sebagai arsip berharga."Maaf, telah membuat Anda menunggu lama." Seorang wanita yang sebaya dengannya muncul dengan senyum ramah. Wajahnya lembut mencerminkan dia adalah seorang wanita yang penyayang. Rossana yang mengantar wanita itu mohon undur diri."Saya Marisa. Saya yakin, Anda bunda Ratmi anaknya Bunda Alifa, wajah kalian teramat mirip."Bunda Ratmi menjabat tangan Marisa dan mengangguk."Saya Ratmi, pengelola panti ini." Marisa tersenyum."Jadi, saya ke sini ingin mengetahui keberadaan putri saya." Wajah Marisa berubah serius. Bunda Ratmi mendengarkan dengan seksama."Kira-ki
"Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj
Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m
Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul
Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me
Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d
Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan
Marisa muda menyandarkan bahunya yang ramping ke sandaran tempat tidur. Matanya yang sembab melirik laki-laki yang tertidur pulas di sampingnya, seperti biasa, pulang dalam keadaan mabuk minuman keras.Dia dipapah oleh wanita malam yang mengumpati Marisa. Bahkan percakapan hina itu tak mampu dielakkan."Besok aku akan datang lagi ke sini, lakimu belum membayar setelah aku melayaninya, kalau aku tau dia adalah laki-laki kere, dari awal aku sudah menendangnya saat masuk ke dalam kamar. Ternyata apa ini? Gubuk reyot mencerminkan penghuninya yang melarat. Bodohnya aku masih mau mengantar pria payah ini ke rumahnya." Wanita itu menjatuhkan suaminya begitu saja. Marisa tak menjawab. Ini entah yang keberapa kalinya, suaminya diantar oleh pelacur yang berbeda.Marisa melirik pria yang sudah terlelap dalam tidurnya. Dia sudah tak sanggup, tak ada lagi alasan baginya untuk bersama pria itu. Marisa bangkit, kemudian duduk di depan kaca buram yang terdapat di lemari yang sudah tanggal pintunya. D
Dua manusia yang saling berhadapan, saling memandang satu sama lain. Yang satu berwajah datar terkesan bosan, yang satu lagi wajah Briyan yang terlihat tidak bersemangat. Bahkan dia memutar-mutar pulpennya beberapa kali. Terkesan mengabaikan lawan bicaranya."Pak!" sapa wanita yang tak lain adalah Sri. Sudah beberapa menit dia duduk di hadapan pria itu, tapi Briyan terkesan tak peduli."Sebut namaku!" seru Briyan, dia merasa terganggu dengan sapaan resmi itu, sehingga sekat dan jarak di antara mereka semakin jauh."Baiklah! Briyan." Sri menjawab pasrah.Briyan tersenyum tipis, tatapan lembutnya menyapu wajah cantik yang digilainya itu. Kedatangan wanita itu pasti tak jauh dari rencana pengunduran dirinya.Sri memakai blouse merah maroon dan celana panjang warna hitam, rambutnya dikuncir kuda menampakkan anak-anak rambut di kening dan tengkuknya. Bibir mungilnya dipoles dengan warna pink lembut. Wanita sederhana ini selalu sukses memukau setiap laki-laki yang memandangnya."Ini hari t
Kaki keriputnya berjalan terseok. Baju bewarna merah itu sudah berubah warna menjadi kecoklatan karena kotor. Celana hitamnya penuh debu dan kotoran, sedangkan celana bagian kiri sengaja dipotong agar tak mengenai luka yang sudah membusuk. Terlihat luka itu cukup parah, bahkan lalat yang meninggalkan telurnya di sana, telah berhasil membuat telurnya menetas berubah menjadi belatung yang menjijikkan.Dia menyeret kakinya yang terseok. Siapa pun yang berpapasan dengannya menghindar sambil menutup hidung. Pria itu sebenarnya belum terlalu tua, hanya saja rambutnya panjang tak terurus serta sudah memutih. Kalau diamati lebih dekat, bisa dipastikan dia dulunya adalah laki-laki yang rupawan.Dia berjalan terseok-seok, mendekati kerumunan orang-orang yang tengah asik memilih baju obral di kaki lima. Sontak sebagian besar orang itu menghindar, bahkan ada yang tak bisa menahan mual.Pedagang kaki lima itu menjadi kesal karena pembeli pergi gara-gara pria kumal itu."Kau lagi! Pergi!" Bentak p