"Ma, Faris langsung ke kantor polisi, ya," pamit Faris sambil menciumi telapak tangan Mama Via. Saat mereka selesai berdoa di pusara Papa Adi."Iya, hati hati, Ris. Jangan ngebut!"Selalu begitu pesan Mama Via sejak Papa Adi meninggal karena kecelakaan, seperti ada ketakutan tersendiri bila bersangkutan dengan perjalanan."Iya, siap Ma!" jawab Faris sambil tersenyum dan terus pergi menaiki mobilnya memisahkan diri."Boleh tidak Ma, Nay. Bila seumpama aku mau ngajak kalian sebentar ke tempat yang menurutku istimewa?" tanya Dimas dengan hati hati."Nggak usah, kita langsung pulang aja, lagian kasihan Mama. Takut kecapekan!!" ketus sekali Naya menjawab."Nggak, Mama nggak capek kok, boleh Dim. Memangnya mau di ajak ke mana?" Berbeda dengan jawaban yang Mama Via berikan, lebih membuat gembira hati Dimas."Kalau di sebutin bukan kejutan dong, Ma!" jawab Dimas. "Ah, iya dech, terserah maumu aja, pokoknya Mama ikut!" "Siap, Ma. Makasih atas pengertiannya." Dengan perasaan senang Dimas mu
"Aku mau, Dim." Mama dengan segera membuka pintu mobil dan melangkah keluar sambil terus memperhatikan rumah yang akan di tempati Naya dan Dimas. Entah kenapa ada nyeri di hatinya, yang saat ini di sembunyikannya di balik senyum."Kamu mau 'kan, Sayang?" Dimas mengeratkan genggaman tangannya ke tangan Naya."Mau!" jawab Naya yang semula hanya menunduk kini mulai berani mengangkat muka untuk menatap suaminya. Dimas tersenyum dan mencium kening istrinya sekilas. Kemudian beranjak keluar dari mobil, begitu pula dengan Naya. "Tunggu sebentar."Dimas membukan kunci pagar dan di rentangkan lebar lebar hingga rumah tampak dengan lebih jelas lagi.Dimas merengkuh bahu Mama Via, sedangkan satu tangan yang lain menggenggam erat tangan Naya kemudian dia ajak untuk masuk lebih dalam lagi, hingga berada di depan pintu rumah. "Dimas ingin Mama dan Naya yang membuka pintu ini?" pintanya sambil meletakkan kunci rumah di tangan Naya."Mama aja, nggak papa kan, Dim?" tanya Naya, Namun tangannya
Mendengar ada kata kata 'kejutan' dari mulut Ivana, mata Naya langsung menyipit, dengan dahi yang mengernyit."Berarti kamu tahu ya, apa yang sedang mereka rencanakan waktu itu? Hingga dengan begitu baiknya kau sembunyikan dari aku, waah kamu sudah berpaling pada mereka di bandingkan padaku, emangnya kamu di sogok apa sama Dimas?" Naya merengutkan wajahnya yang berpaling dari Ivana.Ivana tersenyum geli melihat Naya yang merajuk, karena akhirnya sahabatnya ini sadar bahwa sebenarnya ia tahu masalah yang sesungguhnya, hingga membuat Naya yang gemes langsung mencubit kedua pipi Ivana, karena kaget tanpa sadar membuat Ivana sedikit teriak."Sebagai balasan karena kau telah berlaku curang padaku, maka kamu harus mengizinkan si kembar untuk ikut aku ke rumah. Boleh ya, Pleaseee ...." pinta Naya sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada, di tambah dengan wajah yang memelas. Hingga membuat Ivana berpikir lagi. "Aku diskusikan dulu dengan Ayah Damar, boleh? Sungguh aku dilema denga
"Aku baru saja merasakan bahagia, bahagia mempunyai seorang yang mau memperhatikan aku dan anakku, seseorang yang mau mendengarkan dan mengalah. Seseorang yang mau menerimaku apa adanya," dengan tatapan mata kosong Ivana meracau."Allah lebih mencintainya, Va!""Iya aku tahu, dia orang baik, bahkan Allah pun lebih memilih mengambilnya cepat, tapi aku juga masih butuh dia, Nay. Aku masih sangat membutuhkannya." Naya segera memeluk sahabatnya yang masih terduduk di pembaringan."Kamu tahu, Va? Kamu adalah orang yang Allah lagi uji, yang sabar ya, ada aku. Ada keluargamu. Kamu bukan Ivana yang dulu lagi. Kamu adalah Ivana yang sekarang di kelilingi oleh orang orang yang sangat mencintaimu," ujar Naya, mencoba menyemangati Ivana yang patah asa.Tooook! Tooook! Ivana dan Naya terdiam saat mendengar ada suara ketukan di pintu."Va, Mama Via boleh masuk, nggak?!"Naya bergegas turun dari ranjang, saat mendengar suara mamanya."Ma ...!" sapa Naya saat tangannya dengan cepat membuka pintu k
Naya kembali terdiam setelah mendengar penjelasan dari Dimas, suaminya. Mungkin dia kini sedang menduga duga apa yang menjadi amanat dari Rizal ke mereka. "Dim, apakah kamu ikhlas kita berada di rumah mama, bukannya di rumah yang kamu siapkan buat kita?" tanya Naya tiba tiba. Hingga membuat Dimas sontak menatapnya, tajam."Kenapa? Apakah kamu meragukan ucapanku?" tanya Dimas, terdengar tak mengenakkan."Tidak ... aku hanya ingin memperjelas jawabanmu saja, secara kamu kan sudah mati matian membuat rumah dengan berisi perabotan yang kau pilih dengan Papa Adi, masak iya kamu nggak ada rencana untuk di tinggalin?" Naya menjawab sekaligus bertanya. "Ikhlas, asalkan kamu bahagia. Lagian, aku mempunyai rencana, nanti selesai tujuh harinya Papa Adi, aku ingin sesekali mengajak Mama, dan mas Faris untuk menginap di rumah kita, bagaimana, apakah kamu setuju dengan apa yang aku rencanakan?" tanya Dimas sambil tetap fokus pada penglihatan"Atau kalau kau keberatan, atau mungkin takut Mama kec
Phone on[Halo, Dim ada di mana? Di rumah sakit, apa di rumah?] tanya Faris saat mendengar nada sambung di seberang sudah terjawab. [Ada di rumah sakit, Mas. Tapi sepuluh menit lagi aku sudah selesai. Ada apa, Mas?] Terdengar jawaban Dimas.[Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, dan ini tidak bisa di omongin di rumah, bakalan kurang pas rasanya. Apakah kita bisa ketemu di luar dulu, sebelum kau pulang?][Bisa! Share lokasi saja, Mas. Nanti aku datangi kalau sudah selesai di rumah sakit, nggak pa pa kan?][Kalau kamu sudah selesai, kamu telpon aku aja, biar aku nggak nunggu terlalu lama, gimana?][Siap, Mas! ][Makasih ya Dim, aku tunggu panggilanmu! ] Faris tampak berseri saat mendengar kesanggupan adik iparnya.Phone off****"Siapa Ris?" tanya seorang perempuan cantik, dengan busana berjilbab, sangat menarik, terlihat seperti perempuan masa kini."Dimas, aku mengajaknya untuk bicara di luar rumah," jawab Faris pada perempuan yang pernah dia perkenalkan bernama Rika pada Mamanya.
Mendengar ucapan mas Faris yang membahas tentang Papa Adi, Dimas teringat saat saat terakhir, ketika dia bersama dengan Papa mertuanya sedang membahas tentang Faris dan Naya."Mas Faris tahu nggak apa yang sebenarnya Papa Adi inginkan?" Tiba tiba Dimas menyelutuk begitu saja."Maksudmu? Tentang apa?" Faris balik bertanya, karena masih kurang paham dengan pertanyaan Dimas."Tentang mas Faris dan Naya, tentunya Mas!" jawab Dimas gemes karena mas Faris masih nanya juga."Kalau tentang aku, aku paham sekali, karena beliau juga selalu mengatakan ini kepadaku, yaitu menjaga Ivana dan si kembar, serta harus membahagiakannya." Dengan begitu percaya diri, Faris menjawab."Mas Faris tahu nggak? Kenapa Papa dan Mama sangat mencintai Ivana?" Lagi, seolah tak puas dengan jawaban yang mas Faris lontarkan, Dimas kembali mengajukan pertanyaan."Karena dia bersedia menjadi pengantin pengganti untuk keselamatan nama baik keluarga bukan, semua orang juga sudah tahu, Dan. Aku juga tidak bisa memungki
"Ivana mana, Nek? Kok nggak kelihatan?" tanya Naya begitu mereka bertiga sudah tiba di rumah si kembar."Ada di kamarnya, Nay. Kasihan sepertinya dia sedih banget dengan kepergian Rizal, susah makannya, kayaknya sih nangis terus," jawab Nenek dengan wajah sedih."Aku samperin ke atas, boleh ya Nenek?" pamit Naya."Kok masih pakek pamit segala sih, Nay, kayak yang baru ke sini aja. Cepetan deh ke atas, agar cucu Nenek bisa segera senyum lagi."Naya mengangguk dan terus melangkah menaiki anak tangga menunju kamar Ivana, meninggalkan Faris dan Dimas di bawah."Kalian mau ketemu dengan Damar kan, ya?" tanya Nenek pada dua lelaki yabg sedang menunggu di ruang tamu."Iya Nenek, Ayah Damar ada di mana?" tanya Dimas. "Sepertinya tadi ada di kamar si kembar, lagi rewel rewelnya, mungkin nyetrum dengan kondisi hatinya si Ivana kali, ya? Ikut sedih juga." Nenek berkata dengan wajah yang muram."Kalian sudah sampai ternyata." Terdengar tiba tiba suara bariton khas milik Ayah Damar yang sedang m