Semenjak si kembar ada di rumah keluarga Adi, seluruh keluarga kompak bergantian merawat dan melayani keperluan si kembar, apalagi Faris sebagai Papa kandung dari si kembar, dia senantiasa siaga setiap saat, sepulang kantor langsung pulang, hanya untuk menatap dan bercanda dengan si kembar.Secara bergantian pula Faris, Dimas dan Naya ke rumah Ivana untuk mengambil stock asi buat si kembar."Ris, kamu pindah sana ke kamarmu sendiri, nggak enak kalau kamu tidur di sini," kata Mama sambil melirik Nanny si kembar yang sedang tertidur di sofa sebelah Ghani, malam itu tanpa sengaja Faris tertidur di sofa sebelah Ghina, karena terlalu senang hingga sedikit mengabaikan istirahatnya.Faris hanya mengangguk tanpa membantah terus melangkah pergi dari kamar si kembar menuju kamarnya sendiri, beberapa kali terlihat Mama Via menggelengkan kepalanya, saat melihat Faris berulang kali mengangkat tangannya menutupi mulut yang menguap karena mengantuk dengan kemeja dan dasi yang sudah tidak rapi lagi.
"Ke mana Naya, Dim? Kenapa dia membiarkanmu sendirian saja, turun ke bawah?" tanya Mama Via yang sedang membenahi meja makan dengan lauk dan nasi yang di bawa oleh seorang asisten rumah tangga, saat di lihatnya Dimas sendirian, sedang berjalan turun dari anak tangga."Tadi sehabis sholat subuh, tidur lagi, Ma. Mungkin masih kecapekan," jawab Dimas sambil menatap meja makan, tak berani berbalas pandang dengan Mama. Hanya menganggukkan kepala sebentar, kemudian Mama Via beranjak dari dapur, naik anak tangga ke lantai atas."Aku tinggal ke kamarnya si kembar ya, Dim. Nggak papa kan?" pamit Mama yang berhenti di tengah anak tangga, sambil membalikkan badannya menghadap ke arah Dimas. "Iya, Ma. Silahkan!" jawab Dimas sambil cengar cengir sendiri.Setelah punggung Mama Via tidak kelihatan lagi dari tempat Dimas berada, segera tangannya meraih piring dan meletakkan beberapa pilihan lauk di piringnya.Baru saja Dimas menyuapkan makanan ke dalam mulut, terdengar langkah sepatu turun dari ta
"Ris, nanti sore ada waktu nggak?" tanya Rika yang kebetulan sengaja datang ke kantor Faris, siang itu."Aku harus pulang cepat, karena Mama tidak ada yang bantu untuk menjaga si kembar, bagaimana kalau kamu ikut ke rumah saja? selain bisa lebih dekat dengan saudara dan Mamaku, juga biar bisa lebih akrab lagi dengan si kembar. Bukankah nantinya mereka akan menjadi anak -anakmu pula." jawab Faris, sambil terus menanda tangani berkas berkas yang berada di hadapannya. Tentu saja dia tak melihat bagaimana perempuan yang sekarang dekat dengannya itu, sedang memasang raut muka yang tak mengenakkan."Tidak bukan seperti itu yang aku mau, maksudku kita berdua saja tanpa di ganggu," jawab Rika, dengan tangan kanan menarik salah satu kursi yang berada di depan meja Faris."Apa maksudmu dengan di ganggu, siapa yang mengganggu?" Seketika itu pula, Faris menghentikan aktifitasnya, kemudian mengalihkan pandangan yang semula pada kertas di atas meja, terganti ke wajah cantik di depannya."Kamu ber
Baru saja ponselnya di letakkan di atas meja, benda pipih itu kini bergetar dan berbunyi lagi. [Assalamualaikum, Ma. Ada apa?] sapa Faris saat ada nama Mama di layar ponselnya.[Ris, apakah kamu meminta seseorang untuk mengirimkan orang ke rumah ini? Sebab orang yang dulu menjaga rumah di Damar, sekarang ada di sini.][Iya, Ma. Tadi Faris yang meminta pada pak Parman. Pokoknya Mama sekarang tenang saja, nanti kalau aku sampai di rumah, akan ku jelaskan kenapa aku mengundang mereka, ok!"] jawab Faris. [Iya, Mama menunggumu. Hati hati dalam perjalanan pulang, Ris.][Iya, Mama, aku akan selalu ingat nasehatmu, Mama juga jangan lupa istirahat, apa perlu aku tambah Nanny buat si kembar.] [Tidak! Tidak perlu. Mama sudah sangat senang sekali bisa merawat dan mengurusi mereka dengan menggunakan tangan Mama sendiri.] Mendengar apa yang di katakan Mamanya, seketika pula terbersit senyum di bibir Faris. [Baiklah, Ma. Apa pun asalkan kau senang, aku akan usahakan.][Hahaha ... Makasih ya Ris.
"Kau sudah pulang Ris?" tanya Mama Via yang sedang berada di ruang makan, langsung menoleh pada Faris yang sedang melintasi ruang makan hendak menaiki tangga."Iya, Ma," jawab Faris yang menghentikan langkah menuju anak tangga Namun berbalik ke ruang makan, menemui Mama Via dulu, memeluk dan menciumi kedua pipi wanita yang sudah melahirkannya."Mandi dan turunlah makan, mama tunggu di sini," titah Mama sambil tersenyum."Iya, Ma." Faris menjawab sambil terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai atas di mana kamarnya berada.Sedangkan mama Via meneruskan aktifitas menyiapkan makan malam, yang tadi sempat terhenti karena kedatangan anak lelakinya.Selang beberapa saat, Faris sudah turun dari lantai atas dengan menggunakan kaos dan celana pendek, santai sekali."Naya dan Dimas ke mana, Ma? Dinas malamkah?" tanya Faris sembari duduk di kursi tempat biasanya kalau dia makan."Hari ini, hari ke tujuh Rizal meninggal dunia. Tadi Dimas dan Naya sudah pamit mau datang ke pengajiannya.
Hari yang indah, setelah beberapa tahun lamanya Naya dan Ivana berkutat di perkuliahan akhirnya hari ini mereka akan resmi menyandang gelar kehormatan.Keluarga Naya dan keluarga Dimas serta keluarga Ivana berkumpul menjadi satu, tak lupa si kembar bersama Nanny dan pengawalnya. Ada yang berbeda saat nama Ivana di sebut, air mata semua keluarga tak terbendung, mengingat jasa almarhum Rizal yang telah banyak membantu dan mendukung Ivana hingga bisa mendapatkan gelar akademiknya saat ini. "Ayah Damar, maaf ada sesuatu hal penting yang ingin saya bicarakan pada Ayah dan Ivana, kalau berkenan setelah acara ini selesai, kita berkumpul dulu di rumah saya, bagaimana?" pinta Faris yang secara khusus menghampiri ayah Damar setelah selesai foto, bersama putrinya."Penting sekali kah Faris?" Ayah Damar bukannya memberikan jawaban malah balik bertanya."Menurut saya iya, karena ini tentang keinginan terakhir Papa Adi yang ingin saya sampaikan." Faris memberikan sedikit keterangan tentang pent
Dua minggu sejak pembicaraan serius di rumah mama Via. Kini si kembar sudah berada di rumah Ayah Damar kembali, dan semuanya berjalan normal. Termasuk keseharian Ivana pasca meninggalnya Rizal."Hai Ivana, masih ingat aku?" Seorang wanita cantik dengan penampilan muslimah sejati, Menyapa dan berdiri di dekat Ivana, yang tengah menikmati sarapan atau lebih tepat lagi bisa disebut juga makan siang."Senang bisa bertemu denganmu! Tapi maaf, apakah kita pernah saling berkenalan sebelum ini?" Ivana menjawab setelah butuh waktu lama untuk perempuan cantik itu mengumpulkan ingatannya, Namun sungguh, sosok di balik hijab yang berdiri di depannya ini tidak ada dalam benak Ivana."Aku Rika, mantan calon istrinya Faris," jawab perempuan itu sambil mengulurkan tangannya pada Ivana"Oo ... mantan calon istrinya mas Faris!" jawab Ivana, tangannya pun menerima jabat tangan yang di tawarkan oleh perempuan yang bernama Rika."Senang berkenalan denganmu, apa ada yang bisa saya bantu?" Lagi, Ivana men
Namun, sebelum benar benar keluar dari pintu kantin, ponsel milik Ivana berbunyi, hingga membuat Dimas dan Faris yang masih berada di dekatnya langsung menoleh.Ternyata, dari tadi Ivana lupa meng-aktifkan lagi ponselnya yang sengaja ia non aktifkan karena sedang sholat dhuhur, dan begitu di nyalakan kuota datanya, terdapat banyak panggilan dari nomer ayah Damar. Juga sebuah pesan di aplikasi hijau dari ayah Damar mengabarkan bahwa sang putri sakit dan akan di bawa ke rumah sakit, jadi Ivana tidak perlu pulang cukup menunggu di lobi rumah sakit."Ya Allah!" teriak Ivana panik, setelah selesai membaca pesan yang ayah Damar kirimkan padanya. Hingga tak terasa air matanya langsung membasahi pipi, dengan setengah berlari, Ivana berbelok arah menuju ruang lobi rumah sakit, seperti pesan ayah Damar di aplikasi hijau.Dimas dan Faris yang penasaran dengan kepanikan yang tanpa sengaja terlihat dari sikap dan jeritan tertahan Ivana, mengambil keputusan untuk mengikutinya dari arah belakang.Be
“Sebelum kamu tanyakan itu pada Ivana, kita berandai andai dulu, apa jawabanmu kalau kamu berada di posisi Ivana?" Faris terdiam saat mendengar apa yang di katakan oleh mama, pertanyaan yang di balik kini ke dirinya sendiri."Aku memilih tidak mau berhenti?!" jawab Faris, terdengar lemah tak bersemangat.Bukan tanpa alasan Faris memilih tidak menerima, karena dia sendiri tahu bagaimana keras dan gigihnya Ivana saat berusaha menyelesaikan kuliah yang pada saat itu dalam kondisi sakit hati, karena proses bercerai dengan dirinya dan dalam kondisi hamil."Lalu apa yang membuatmu hingga bisa yakin atau berharap Ivana mau menuruti ucapanmu untuk berhenti menjadi Dokter? Apakah karena kamu sekarang mempunyai status sebagai CA-LON suami?!" tanya mama Via, terdengar penuh dengan tekanan."Aku -""Ada apa denganmu? Kenapa tiba tiba menjadi seorang lelaki yang suka mengikat istrimu? Wanita bekerja bukan hanya karena uang tapi juga agar bisa bersosialisasi."Mama Via kembali melontarkan pertanya
Triiiiing!Mama Via yang baru saja menjejakkan kakinya di kamar setelah menemani Naya hingga terlelap di kamarnya, segera mencari di mana tadi sumber suara berada. Sudah lama dirinya tak mendengar bunyi ponsel sejak kepergian almarhum.Di ambilnya benda pipih berwarna emas yang tadi lupa ia letakkan di nakas dekat kamar mandi, dan membawanya menuju ke balkon di depan kamarnya, walau pun sudah tak bersuara lagi.Seakan ingin berlama lama di balkon, mama Via sengaja memakaikan minyak seree untuk obat anti nyamuk, juga sebagai minyak penghangat pengganti, penghalau rasa dingin.Damar! Nama yang tertera di pesan aplikasi warna hijau, membuatnya kembali tersenyum dengan arti yang tak mungkin di jelaskan.Namun dia tidak segera merta membuka pesan itu, malah membuka pesan dengan foto profil pernikahan dirinya dengan almarhum.Air matanya basah seketika itu pula, saat membaca pesan pesan yang ada, lengkap dengan emoji emoji dan stiker yang dulu sangat almarhum sukai.“Apakah kamu sungguh
Faris seketika terdiam saat melihat di meja sebelah kiri dekat etalase sana, Ivana duduk berhadap hadapan dengan Dokter Mark, Dokter yang dia anggap sebagai saingan berat dalam menaklukan hati bekas bininya sampai saat ini. Setelah menimbang sebentar, Faris melangkahkan kaki ke arah kasir, tidak langsung mendatangi meja Ivana dan Dokter itu."Mbak, pesan kopi hitam tanpa gula, tolong dijadikan satu dengan bill dokter Ivana, biar sekalian saya bayar," ujarnya pada seorang perempuan yang menggunakan seragam di balik mesin penghitung."Baik, silahkan di tunggu sebentar." Perempuan di balik kasir itu pun memberikan kertas yang entah apa isinya kepada temannya yang menggunakan seragam sama corak beda warna.Faris sesekali terlihat mencuri pandang pada Ivana dan Dokter yang terlihat sangat akrab, dengan sesekali di iringi tawa oleh keduanya."Terima kasih," kata Faris, sesaat kemudian dirinya sudah menerima cup kopi dengan menggunakan tangan kanan, dan tangan kiri menerima kertas bukti
“Apa yang sebenarnya membuatmu berat, Via?” tanya Damar saat ini mereka ada di teras, di temani seorang maid yang duduk di kursi yang diletakkan agak jauh, Namun masih bisa mendengar apa yang tamu dan nyonya sedang bicarakan.“Aku hanya heran kenapa kamu seperti sangat ingin agar aku mau menerima pernikahan ini, apakah kamu tak ingin bertemu dengan istrimu lagi nantinya di akhirat, karena aku pernah mendengar jika kita menikah lagi, maka kita tak akan bertemu nantinya dengan pasangan kita yang pertama.”Damar menghela napas panjang, memandangi perempuan yang semakin terlihat cantik karena dalam bingkaian kerudung berwarna pastel saat ini “Kamu itu aneh, Vi … pikiranmu itu terlalu jauh menurutku, sebaiknya saat ini yang kita pikirkan adalah apakah amalan kita bisa menuntun kita masuk ke surganya, nanti saat di surga Allah akan mengabulkan apa yang kita inginkan, bukan? Jadi kita bisa minta untuk dikumpulkan lagi seperti dulu, ada Ana, Adi, kita dan seluruh keluarga kita.”Damar terdi
“Sayaaang, apa yang kau dapatkan dari riadohmu selama ini?” tanya ayah Damar pada Ivana setelah hampir sepuluh hari melebihi dari target yang anaknya janjikan kepada Naya, Dimas, dan Faris.“Aku hanya bermimpi Faris bersama Rizal yang tersenyum kepadaku, Ayah,” ujar Ivana, pagi itu saat sedang sarapan bersama.pp0⅔“Alhamdulillah, aku yakin itu adalah tanda bagus kalau Tuhan menyetujui apa yang Rizal amanatkan kepadamu dan Faris,” seru Nenek dengan mata binar terlihat sangat bahagia.Melihat sang Nenek, Ivana datang mendekat dan mengusap wajah yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah banyak itu dengan perlahan, dari saking bahagianya sang Nenek sampai membuat basah kedua matanya.“Terima kasih … Sayang.” Nenek berkata lembut, dua perempuan cantik berbeda generasi itu saling tatap dalam arti yang sama pula.“Lalu bagaimana dengan Via, Damar? Apakah kamu juga mendapatkan hal yang sama seperti yang di impikan oleh anakmu.”Damar hanya tersenyum, tak menjawab apa yang di tanyakan
“Aku tak menyangka kalau mantannya Farislah yang ternyata berasal dari keluarga Kamandaka, aku jadi tak heran, pantas saja lelaki itu tidak mau lepas begitu saja, apalagi melihat kedekatan antara dua keluarga itu sudah terjalin dnegan sangat baik sekali, pasti mereka juga sedang mengincar kekayaan kamandaka yang tak habis habis itu!” ujar Papi Yunus dengan sesekali memukul pahanya sendiri dengan tangannya yang terkepal, pelan.“Andai kita tahu kalau yang kaya ternyata mantan istrinya, nggaklah mungkin aku akan bersusah payah membelikan tas dan beramah tamah dengan keluarga Faris.”Mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya, Rika hanya bisa tersenyum dalam tangis, tak menyangka hidupnya bakalan se rumit itu, padahal di kelilingi oleh orang terdekat Namun entah kenapa tidak pernah dirasa tulus mencintainya.“Kenapa kamu malah tersenyum seperti itu? Kamu senang ya, karena apa yang di lakukan oleh mami dan papi kali ini ternyata salah besar?!” tanya Mami dengan wajah tak mengen
“Umroh?!” Dengan wajah yang terlihat tak percaya dan hampir bersamaan, Ayah Damar dan mama Via mengucapkan satu pertanyaan yang sama.Dimas dan Faris bukannya menjawab, mereka berdua hanya tersenyum saja, melihat ayah Damar dan mama Via yang tampak salah tingkah.“Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu? Apakah Ivana yang menceritakan padamu tentang mimpi yang aku alami selama beberapa malam ini?!” tanya ayah Damar setelah dia berhasil menenangkan dirinya.“tidak …. Bukan hanya Ivana yang cerita tapi Naya juga, mereka bilang kalau mama tidak bisa tidur karena mimpi yang sama berulang kali, begitu juga dengan ayah Damar. Jadi sekarang apa yang membuat kalian ragu untuk melaksanakan apa yang papa adi inginkan?!” "Via, apakah benar kamu mengalami mimpi yang sama denganku, mimpi bertemu dengan adi di Mekah?" tanya ayah Damar dengan wajah membias bahagia dan penuh harap. Senyum Damar kini terlihat berbeda saat anggukan kepala mama Via terlihat berulang kali tadi sebagai jawaban dari pe
Seorang lelaki yang baru saja masuk, segera memotong ucapan Faris, dan membuat kaget karena kedatangannya yang mendadak, Namun mampu membuat Faris, mama Via, Dimas dan Ivana tesenyum.“Pak Kamandaka!!” seru pak Yunus dengan wajah senang sekaligus bimbang, sehingga tanpa sadar dia berdiri dan menyambut ketika melihat lelaki yang baru saja datang yang nyatanya nanti akan menjadi pengacara keluarga Faris untuk melawan dirinya.“Pak Kamandaka, saya dan istri ingin meminta maaf atas kejadian saat di kantor anda, kami berdua tidak tahu kalau lelaki yang kami usir ternyata anda,” ujar Pak yunus dengan kedua tangan yang tergenggam. Tentu saja ini membuat Rika mengerutkan keningnya, dia menatap Papi dengan mata tak percaya. “Mengusir? Mami dan Papi berani mengusir pak Kamandaka dari kantornya?” Rika yang sedang bermonolog lirih, mengulang apa yang dikatakan oleh Papinya tadi. “Ooo … ini alasan kenapa Papi dan Mami berubah sebaik manusia."Mendengar ucapan Rika, Bu Yunus menepuk bahu anakn
“Minta maap?” Faris mengulang apa yang dikatakan oleh tamunya dengan senyum yang terlihat seperti seringai jahat dan kejam.“Apa saya tidak salah dengar?” ujar Faris, kini dengan wajah datar tanpa ekpresi. Kedua matanya menatap tajam ke ketiga tamunya silih berganti.“Tentu saja, dan lihatlah ini, sengaja aku belikan ini untuk mamamu, agar kamu dapat melihat ketulusan kami,” ujar Nyonya Yunus, dengan kedua tangan yang sedang memegang paper bag dengan tulisan sebuah merk dunia, terulur ke arah Faris.“Apa yang membuat sikap anda menjadi sangat manusia seperti ini?” tanya Faris yang terlihat sudah bisa membaca ada maksud tertentu dari sikap baik dari orang yang kemarin sangat menghina keluarganya.“Faris, kenapa tamunya tidak di persilahkan duduk lebih dulu, Nak?” Faris yang mendengar suara yang sangat dia kenal dari belakang punggungnya, seketika itu juga menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.“Mama, kok sudah keluar dari kamar? Apakah ada yang mengganggumu?” tanya Faris dengan si