PRANG
Jinu tersentak, dan tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang di pegangnya begitu Raiden mengatakan bahwa Edo menitipkan salam untuknya.
"Kau tidak apa? " Tanya Rai yang ikut terkejut.
"A-aku tidak a-apa-apa papa. " Jinu segera berjongkok untuk membersihkan kekacauan yang baru saja dia buat.
"Tinggalkan itu, biar papa yang membereskan. " Perintah Rai, dia takut Jinu akan terluka jika harus membersihkan bekas pecahan gelas tersebut.
"M-maaf papa tadi tanganku licin. " Jinu sedikit menundukkan kepalanya.
"Tidak apa-apa. Papa hanya takut kau akan terluka. " Rai mengusap lembut kepala putranya. "Sekarang kembali ke kamar ya, nanti papa bawakan buah untukmu. " Rai tersenyum lembut.
Jinu mengangguk dan meninggalkan Ra
Edo mengetuk-ngetukkan jari tangannya di atas meja. Sementara tangan lainnya dia gunakan untuk menopang dagu.Selama 30 menit, suasana masih juga canggung. Jinu yang duduk bersebrangan dengannya terus menundukkan kepala. Kedua tangannya dia tautkan untuk menghilangkan rasa gugup."Aku mengajakmu kesini bukan untuk menikmati hening Jinu. " Dengus Edo kesal. Stok kesabarannya mulai menipis."A-aku tidak ada urusan dengan kakak. " Balas Jinu lemah karena merasa gugup."Kenapa kau melakukannya? " Tanya Edo langsung sebelum kesabarannya benar-benar habis. "Aku sudah memperingatkan mu. " Tambahnya lagi."Melakukan apa? " Jinu mengangkat kepalanya agar berhadapan langsung dengan wajah Edo."Kau tahu apa yang aku maksud. ""Itu bukan urusanmu! ""Jinu, aku mengenalmu dari kecil. Dan aku tahu dengan betul kau bukan orang yang seperti itu. " Edo mengungkapkan pendapatnya tentang Jinu yang dia kenal.Jinu tersenyum samar.
Waktu terus berjalan, dan Esa sekarang sudah diperbolehkan pulang. Anna dan Jesfer sudah merapihkan semua barang-barang Esa, namun Esa justru terlihat tidak bersemangat. Sejak pagi dia hanya memandang datar tanpa minat."Sa, apa ada masalah nak? " Tanya Anna lembut dan menyentuh kepala Esa.Esa menggeleng pelan. "Tidak apa-apa ma, aku hanya merasa sedikit aneh. ""Kenapa prince? Mau bercerita? " Tanya Jesfer yang sekarang ikut duduk di samping Esa bersama Anna. Seperti sebuah keluarga utuh dan bahagia.Lagi-lagi Esa menggeleng. "Tidak ada paman. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sedikit bingung. Tapi tidak jelas kenapa. " Jawab Essa disertai dengan kekehan pelan. Jesfer memang selalu bisa membuat Esa mau bercerita. Walaupun apa yang Esa katakan hari ini sangat tidak jelas."Bai
Anna kembali memuntahkan makanannya, sudah 1,5 jam Anna bolak-balik kamar mandi karena rasa mual yang terus membuat perutnya tidak nyaman.Tadi pagi Anna kembali berdebat dengan Esa karena putranya tetap memaksa untuk berangkat melanjutkan PKL ke hotel Dareen. Esa bahkan meminta Edo untuk menjemputnya.Namun perdebatan tersebut tidak berlangsung lama. Selain karena Esa berlari ke luar, Anna juga berlari ke toilet karena sudah tidak mampu menahan rasa mualnya.Wajah Anna tampak pucat, tubuhnya juga terasa sangat lemas. Sejak pagi tidak ada makanan yang berhasil masuk ke perutnya. Bahkan setelah memaksa sarapan, makanan yang berhasil dia telan pun selalu berakhir di toilet.
Anna memberanikan diri untuk memasuki sebuah rumah sakit dikawasan tempat tinggalnya. Perasaannya sangat bercampur aduk, di satu sisi Anna merasa lega karena hasil pengecekan mandirinya tadi pagi adalah negatif, namun dirinya tetap ragu dan bergegas pergi ke rumah sakit untuk benar-benar memastikan semuanya.Jantung nya berdegup kencang begitu masuk kedalam ruangan pemeriksaan. Di sana ada seorang dokter ahli kandungan yang tengah tersenyum ramah begitu melihat Anna masuk."Selamat datang." Sapanya dengan senyuman manis yang tidak pernah luntur dari wajah cantiknya. Anna akui dokter dihadapannya memang sangat manis dan tampan secara bersamaan. Rambut hitam dan juga wajah tirusnya membuat siapa saja akan menyukainya baik perempuan maupun laki-laki."Ah, selamat siang dok." Anna me
Seperti yang Anna inginkan, Esa mengantarnya ke rumah milik Wendy, tempat dimana Dareen kini berada. Dengan langkah tergesa, Anna menekan bel rumah tersebut.Wendy yang tengah mengobrol bersama Dareen dan juga seorang tamu lain menolehkan kepalanya kearah pintu."Perlu aku bukakan pintu?" Ucap tamu tersebut."Tidak perlu, biar aku saja. Kalian lanjutkan obrolannya." Wendy segera berdiri menuju pintu.Begitu pintu terbuka, matanya melebar karena terkejut. "Esa, Anna." Ucap Wendy lemah."Maaf mengganggu malam-malam. Bisakah saya bertemu Dareen?" Ucap Anna to the point. Namun tetap mengedepankan sopan santun.
Dareen termenung di balkon kamarnya, tangannya menggenggam sebuah pigura foto miliknya bersama Dara. Sejak kepulangan Anna dan juga Esa, Dareen mengurung dirinya di kamar. Berkali-kali Wendy dan Dona memintanya untuk keluar dan makan, namun Dareen tak memberi jawaban sama sekali.Pandangannya beralih kepada foto tersebut. Sebuah senyuman hangat terukir dari wajah tampannya yang seolah enggan untuk menua. Diusap nya foto tersebut dengan begitu pelan dan lembut. "Ra, daddy rindu." Gumamnya pelan dan ingatannya kembali ke masa lalu.*FlashbackDara memasuki kamar Dareen dengan rusuh. Suara cempreng dan langkah kaki yang di hentak-hentakkan membuat Dareen menatap kearahnya tajam.
Anna menangis tersedu di kamarnya, pikirannya benar-benar kacau. Semua yang dilakukannya terasa salah. Tak pernah sekalipun dia punya niatan untuk membunuh ataupun membuang anaknya. Meski dia berkata demikian pada Dareen, kenyataannya dia sendiri ragu apakah dia benar-benar bisa meninggalkan anaknya begitu saja, ataukah dia akan menerima dan mencintainya. Semua kejadian ini juga mengingatkannya pada Esa.Dulu, berkali-kali niatan untuk bunuh diri selalu memenuhi pikiran dan juga hatinya. Namun berkali-kali juga janin dalam tubuhnya memberinya kekuatan. Sempat terlintas Anna akan memberikan Esa pada kedua orang tuanya dan pergi jauh untuk memulai hidup baru. Namun semua pemikiran dan niatan tersebut sirna begitu saja seiring dengan pertumbuhan bayi dalam kandungannya. Sampai tiba saatnya Esa dilahirkan, Anna bahkan mengutuk dirinya sendiri karena pernah punya pemikiran seperti itu. Pertama
Seketika hening menyelimuti ruang tunggu mereka begitu ucapan sang dokter yang terlampau pahit keluar begitu saja dari mulutnya.Wenda refleks berjalan mundur dan menutup mulutnya terkejut begitupun dengan Raiden yang tidak kalah terkejut namun tetap sigap mendekap tubuh oleng Wenda.Anna seperti kehilangan nyawanya, sekujur tubuhnya membeku. Tangisnya tiba-tiba diam namun pandangannya begitu kosong. Wendy yang menyadari perubahan ekspresi Anna semakin mendekap tubuh itu dengan begitu erat. "Ibu mohon sayang, tenanglah. Ingat kau tidak boleh sampai stress.""I-ibu, Esa ibu hiks." Anna kembali menangis namun suaranya tidak sekeras tadi. Tangis yang terdengar begitu pilu dan menyakitkan.Anna rasanya ingin menulikan telinganya. Uca
Brenda membolak-balikan kertas yang ada di tangannya untuk membaca secara berulang kali informasi yang tertulis diatasnya. Sudah hampir satu jam Brenda bertahan dengan posisi tersebut dan mengabaikan lawan bicaranya yang duduk bersebrangan dengannya di sofa. Kerutan di kening Brenda tidak hilang sama sekali sejak pertama ia membaca kertas tersebut sampai akhirnya sebuah desahan keras terdengar. "Oke, cukup! Aku rasa aku tidak akan pernah mengerti meski aku baca sampai kertas ini robek sekalipun." Brenda menjatuhkan tubuhnya dan memijat keningnya yang mulai pusing. "Lalu apa yang akan dr. lakukan sekarang?" tanya lawan bicara Brenda yang masih duduk anteng dan memaklumi rasa frustasi yang di perlihatkan oleh seniornya itu.
Wenda menatap punggung Raiden yang sedang membuat sarapan. Tatapan matanya begitu fokus seolah ada sesuatu yang menarik dari punggung lebar milik suami nya itu. Ekspresi Wenda pun berubah-ubah, terkadang dia terlihat bahagia, namun sesaat kemudian berubah menjadi kecewa, sedih, dingin bahkan tidak terbaca sama sekali. Sudah 2 minggu Wenda dan Raiden kembali tinggal bersama. Kondisi kejiwaan Wenda juga mulai stabil, setidaknya dirinya tidak pernah lagi mencoba untuk bunuh diri. Tapi walaupun begitu hubungan mereka tidak membaik seperti yang diharapakan karena Raiden tidak pernah benar-benar menganggap keberadaan Wenda meski mereka tinggal bersama. "Makanlah," ujar Raiden dingin saat menyodorkan sepiring sandwich dihadapan Wenda. Wenda
Dona menatap lekat sebuah album foto yang dia temukan di ruang baca milik keluarga Tucker. Tatapannya begitu fokus saat lembar demi lembar dia buka secara perlahan. Namun semakin lama, semakin banyak lembaran yang terbuka, ekspresi wajahnya justru semakin tidak terbaca. Ada kerutan di keningnya yang menandakan sebuah kebingungan. "Kak Dareen?" gumamnya penuh tanya. "Tapi kenapa fotonya di simpan di akhir, tidak berurutan seperti yang sebelumnya?" Dona mengambil salah satu foto yang tersimpan di bagian akhir album. Album foto yang sedang Dona lihat adalah album yang berisi foto-foto masa kecil Dareen. Mulai dari foto bayi hingga foto saat Dareen memasuki sekolah dasar. Semua tersusun dengan rapi dan berurutan di dalam album tersebut. Tapi ada satu foto ya
Edwin membolak-balik berkas-berkas yang akan dia gunakan untuk menuntut Wenda. Sudah berhari-hari dirinya disibukkan dengan hal yang sama, tapi tidak sedikitpun dia merasa lelah atau putus asa. Wenda memang masih dalam perawatan medis akibat depresi berat, tapi Edwin akan tetap memastikan perempuan tersebut masuk kedalam penjara dan menerima semua balasan dari perbuatannya. "Hah, aku benar-benar tidak mengerti," desah Edwin pelan. "Kali ini apa?" tanya Hanna yang setia mendampingi suaminya di ruang kerja. "Zayn Boseman dan Richard Clay.""Bukankah sudah jelas kenapa mereka saling serang, lalu bagian mana yang membuatmu ma
Dona keluar dari rumah sakit dengan wajah lelah. Sudah beberapa hari ini dia memiliki banyak jadwal operasi. Selain itu, dirinya juga disibukkan dengan pemikiran tentang Jesfer, Jeffrey dan kabar Jeno yang masih abu-abu.Hari ini Dona meminta ijin untuk pulang lebih cepat karena ingin mencari informasi tentang keberadaan Ten, sahabatnya dan satu-satunya orang yang ingin dia mintai penjelasan.Sebelum pergi menuju tempat parkiran mobil, Dona memilih untuk membeli minuman kaleng dan meneguk nya dengan kasar di bangku yang tidak jauh dari parkiran.Dona mendesah kasar begitu cairan tersebut melewati tenggorokannya. "Aku benar-benar bisa gila," desisnya pelan sambil meremat kaleng yang tidak berdosa tersebut hingga tidak berbentuk lagi dan membuangnya asal."Kenapa mereka mempermainkan ku? Siapa yang harus aku percaya sekarang?!" tanyanya pada dirinya sendiri."Maaf tante, ini sampahnya," seor
Ten berlari bagai orang kesetanan. Semua mata para penjaga rumahnya menatap bingung kearah majikannya yang tiba-tiba saja masuk rumah dengan terus berteriak."Mark!" panggil Ten dengan panik."Mark!" lagi Ten memanggil nama putranya.Para maid yang sedang bekerja pun segera menuju sumber suara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi."Dimana Mark?" tanya Ten masih dengan nada panik."Mohon maaf nyonya, tuan muda Mark tidak berada di rumah," jawab salah satu Maid yang menunduk takut."What? Lalu dimana Mark? Siapa yang mengijinkan dia keluar?"emosi Ten seketika naik."Maaf nyonya, sepertinya tuan besar Track yang mengijinkan.""Ten, ada apa?" Track keluar dari ruang kerjanya dan menghampiri Ten yang tengah menatap para maid nya dengan tajam."Mana anakku?" desis Ten tajam.
Dareen mengerang frustasi saat menyaksikan layar laptop yang berada di meja sofa ruang rawat kamar Anna. Bagaimana tidak, di depannya sekarang tengah ada adegan live putra kesayangannya tengah berciuman dengan mesra di atas tempat tidur rumah sakit.Ya, dikamar Esa ada CCTV yang terhubung ke laptop yang sengaja dia letakkan dikamar Anna agar memudahkan Dareen untuk mengawasi keduanya sekaligus.Anna yang juga ikut menyaksikan adegan tersebut hanya bisa meringis. Bagaimanapun dirinyalah yang memberi ijin kepada Jenny untuk menemui Esa, dan sekarang dia harus mendengarkan omelan suaminya.Anna sendiri tidak pernah menyangka hal seperti ini akan terjadi dia bahkan masih tidak percaya jika putranya mampu melakukan hal berani seperti itu, oh Anna sepertinya lupa jika Esa dan Jenny pernah melakukan hal yang lebih berani dari pada itu.
Anna menatap kedua putranya dengan gemas. Sampai saat ini dia masih belum sepenuhnya percaya bahwa dirinya telah melahirkan dua orang bayi yang sangat menggemaskan ini dengan keadaan sehat dan sempurna tanpa kekurangan sesuatu apapun. Meski mereka lahir prematur, dan terkesan lahir karena 'paksaan' tapi beruntung keduanya bayi beserta ibunya sehat.Anna tersenyum lembut saat melihat salah satu putranya masih terjaga. Sepertinya Subin senang bertemu dengan ibunya sehingga dia memilih untuk tetap membuka mata setelah kenyang menyusu. Sementara Yuvin sedang tidur dengan nyenyak. "Subin kenapa belum bobo hm?" tanya Anna dengan gemas saat putranya begitu intens menatap kearahnya.Subin dan Yuvin masih dalam perawatan sehingga Anna hanya bisa menjenguk mereka sesekali saat akan menyusui saja selebihnya dia harus bersabar karena hanya mampu melihat kedua putranya melalui layar kaca."Apa Su
Dareen menatap Esa yang tengah tertidur pulas setelah meminum obatnya. Ada gurat kesedihan yang tampak jelas di wajah tampan pria yang baru saja siuman dari pingsan itu.Satu jam yang lalu Dareen siuman, begitu dia bangun hal pertama yang dia tanyakan adalah keadaan istri dan anak-anaknya terutama Esa yang belum sempat dia temui sama sekali.Lama menatap Esa dalam diam, Dareen kembali mendesah pelan untuk kesekian kalinya. Pembicaraannya dengan Henry beberapa waktu lalu membuatnya frustasi. Esa harus segera di operasi, tapi permasalahannya siapa yang akan menjadi donor untuk putranya itu. Saat ini satu-satunya orang yang belum melakukan pemeriksaan hanya Anna.Sebagai ibu kandung Esa, Anna memiliki persentase kecocokan yang lebih besar dengan Esa, tapi Dareen tidak mau berharap terlebih Anna baru saja melahirkan dan kondisinya sekarang bahkan masih belum sadar