"Aku kira kamu nggak akan datang."
Retno memeluk Fandi setelah masuk ke apartemennya, melepaskan pelukan Retno dengan melangkahkan kakinya ke dapur. Fandi menyadari Retno mengikutinya dari belakang, mengambil makanan yang dibawa dan langsung menyiapkannya. Fandi memilih duduk di meja makan dengan membiarkan Retno melakukan tugasnya, mengeluarkan ponsel dengan membalas pesan."Makan dulu baru ponselnya nanti," ucap Retno saat makanan sudah ada dihadapan mereka.Makan dalam keadaan diam, Fandi memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengakhiri semuanya. Sesekali sudut matanya melihat Retno, berusaha untuk tenang dengan merangkai kata-kata yang tidak akan menyakitinya. Retno membersihkan piring yang mereka pakai untuk makan dan lagi-lagi Fandi hanya diam, beranjak dari tempatnya menuju sofa yang ada di ruangan."Banyak pikiran?" Retno duduk disamping Fandi mengambil tangannya dengan memberikan pijat perlahan "Kemana aja selama ini?""Sibuk," j"Kenapa kamu?" Seno memicingkan matanya menatap Fandi yang tampak kusut.Fandi mengusap wajahnya kasar mendengar pertanyaan Seno. Pertemuan terakhirnya dengan Retno semakin membuatnya pusing, memilih tidak menemui Dona sementara waktu untuk menenangkan diri. "Kenapa sih?" tanya Seno yang sudah mulai kesal dengan sikap Fandi "Kamu nggak lagi cari penyakit, kan? Pernikahan sudah mau depan mata."Fandi menatap Seno dengan tatapan lelah, semua yang dilakukan selama ini adalah salah dan kesalahan yang sangat besar. Mengusap wajahnya kasar dengan hembusan napas yang terdengar lelah, Seno masih setia menatap seakan menunggu jawaban dari Fandi."Kamu nggak melakukan hal gila, kan?" Seno mengulang lagi pertanyaannya."Sayangnya ya," jawab Fandi menundukkan kepalanya."Bagaimana bisa? Dia hamil?" Fandi menggelengkan kepalanya "Lalu?""Dia nggak mau hubungan ini berakhir," jawab Fandi masih menundukkan kepalanya "Dia akan menunggu
"Angin apa kamu bisa disini?" Dona memicingkan matanya ketika melihat Vivi berada di apartemennya."Fandi mana? Kalian nggak tinggal bareng?" tanya Vivi menatap sekitar."Fandi nggak disini lah, dia ada rumah sendiri.""Kamu sering kesana? Tempat ini jarang kamu tinggali?""Banyak tanya!" Dona menjawab malas "Kenapa kamu tiba-tiba datang kesini?" kembali pada topik pertama."Mau tahu tempat tinggalmu, kemarin kan kamu tinggal di hotelnya Leo. Kamu memutuskan cari apartemen dan tinggal disini, walaupun apartemen ini masih masuk dalam perusahaan keluarga." Vivi mulai melangkahkan kakinya melihat keadaan apartemen "Besar, rapi dan tetap berbeda dengan yang di Singapore."Dona hanya menggelengkan kepalanya melihat tindakan Vivi, datang secara tiba-tiba tanpa berita sebelumnya. Azka bahkan tidak menceritakan apapun, mereka masih komunikasi bukan hanya masalah pekerjaan. Azka yang sudah resmi bercerai otomatis dengan status baru, sejau
"Balik ke Singapore? Pernikahan kita nggak lama lagi, terus gimana?" Fandi menatap penasaran."Ayah belum bicara apa-apa lagi, ini aku sama Vivi mau ke Bali liburan." Dona menjawab apa yang dia tahu "Bisa jadi memang ada suatu yang urgent dan aku harus kesana.""Ayah masih ingat sama pernikahan kita, kan?" tanya Fandi memastikan."Jelas masih lah, mungkin memang urgent makanya aku diminta balik." Dona mengulang kembali jawaban dimana tampaknya Fandi tidak mendengarkan.Dona memilih jawaban aman, walaupun sebenarnya sedikitpun tidak bertanya mengenai pernikahannya dengan Fandi. Perasaannya mengatakan jika ayahnya mengetahui sesuatu tentang Fandi, makanya mengambil keputusan itu. Kata urgent yang diucapkan Dona bukan sebenarnya, jika memang urgent tidak mungkin bisa mendapatkan waktu untuk liburan."Kamu mau ikut?" ajak Dona sedikit basa-basi."Pekerjaanku banyak, kamu tahu sendiri." Fandi menyandarkan badannya di sofa sambil menat
"Kamu nggak mikir macem-macem dari omangan Fandi, kan?" tanya Vivi memastikan setelah menceritakan beberapa hal selama pembicaraannya dengan Fandi."Maunya sih nggak, cuman...entahlah." Dona mengangkat bahunya."Ya udah, nggak usah dipikirkan karena sekarang waktunya senang-senang. Benar, Lita?" Lita yang baru duduk menatap bingung kearah Vivi mendengar pertanyaannya dan akhirnya memilih menganggukkan kepalanya.Dona melihat sikap Lita hanya tersenyum tipis "Iya in aja biar kelar, kita kesana aja biarin dia disini cari paklek."Dona mengajak Lita berjalan kearah pantai meninggalkan Vivi seorang diri, dimana pastinya tidak akan peduli. Liburan ini digunakan Vivi mencari pria baru, setidaknya bisa merasakan sesuatu yang sudah lama tidak dirasakan. Hormonnya ingin dilepaskan dan membutuhkan pelampiasan, efek tidak bersentuhan dengan pria."Mbak Dona memang lagi marahan sama Kang Fandi?" tanya Lita membuka pembicaraan."Nggak, memang
"Ada apa kamu kesini?" Fandi menatap Laras yang secara tiba-tiba datang ke rumah "Aku nggak akan bawa kamu masuk kedalam, jadi mau apa?" "Aku bawa makanan buat kamu," jawab Laras tanpa bersalah sambil mengangkat tas yang dibawanya."Aku nggak butuh!"Fandi keluar dari rumah dan langsung melangkahkan kakinya menuju mobil yang biasa dipakai, tidak peduli dengan keberadaan Laras yang secara tiba-tiba sudah ada depan rumahnya. "Mau apa kamu?" Fandi menatap tajam pada Laras."Aku buatkan makanan kesukaan kamu," jawab Laras dengan meletakkan tas diatas kursi penumpang."Kamu bisa pergi." Fandi membiarkan tindakan Laras dan membelalakkan matanya saat pintu disamping penumpang ditutup oleh Laras "APA YANG KAMU LAKUKAN?! SIAPA YANG MEMBERI IJIN KAMU MASUK KESINI?""Kamu nggak mau antar aku pulang? Aku udah capek-capek datang kesini bawain makanan juga." Laras seakan tidak peduli dengan nada kesal yang keluar dari Fandi "Mobil k
"Ayah nggak mencurigakan sesuatu dari Fandi, kan?"Dona memberikan tatapan penuh selidik setelah mereka selesai makan malam dan bersantai di tempat biasanya, usia Dona sudah tidak muda lagi tapi tetap saja bermanja dengan kedua orang tuanya. "Memang Fandi ngapain?" Bima memberikan tatapan penuh rasa ingin tahu.Dona mengerucutkan bibirnya mendengar pertanyaan Bima "Biasanya ayah kalau sudah begini ada yang mau dibicarakan penting dan itu terkait sama pasangannya. Ayah sudah yakin sama Fandi?""Memang kamu nggak yakin?" Via bertanya sebelum Bima membuka mulutnya "Kalau nggak yakin ya sudah akhiri saja, bunda akan bicara sama mamanya Fandi dan membatalkan semuanya."Dona mengerucutkan bibirnya mendengar jawaban sang bunda "Aku tanya sama ayah, bunda malah kesana jalan pikirannya. Aku nggak akan melangkah kalau bunda sama ayah nggak setuju.""Sejauh ini ayah nggak ada masalah sama Fandi, ayah juga nggak melihat hal yang aneh." Bima
"Tempat di Bali gimana?" Fandi menatap sang mama yang sibuk mengatur undangan untuk dikirim ke teman-teman terdekatnya, pernikahannya diadakan di Bali dengan semua dibiayai oleh pihak Dona. Mereka tidak mengundang banyak orang dimana hanya mereka yang penting, lebih dari itu tidak karena baik Dona dan Fandi ingin sesuatu yang sakral dan juga kebersamaan dengan orang yang memang dikenal."Undangannya memang nggak bisa ditambah?" tanya sang mama lagi.Fandi tersenyum mendengarnya "Kalau nambah memang mama yang mau biayai semuanya?""Kenapa nggak terima amplop sih?" Hardian yang secara kebetulan datang membuka suaranya."Memang mereka orang penting?" Laras kali ini yang mengeluarkan suaranya dengan nada sedikit meremehkan."Kalau kita bisa menginap di hotel bintang lima dengan kamar family tanpa bayar alias gratis, kira-kira masuk orang penting?" Berry yang kali ini membuka suaranya dan Laras seketika diam "Undangan ini sudah lebih
"Aku nggak di undang?"Fandi mengangkat kepalanya, sedikit terkejut mendapati Retno dalam ruangannya. Perasaan tidak tenang menghampirinya, berdiri dan melangkahkan kakinya untuk memastikan sesuatu, tapi langkahnya terhenti saat Retno memegang lengannya dan menghentikan langkahnya."Mereka nggak ada yang tahu aku masuk sini," ucap Retno yang memberikan informasi pada Fandi."Tetap nggak benar, kita bicara di tempat lain." Fandi mengambil keputusan cepat."Apartemen?" Fandi seketika menggelengkan kepalanya "Rumah kamu?""Nggak akan!" Fandi menolak langsung "Cafe depan..."Retno mendudukkan tubuhnya di kursi depan meja Fandi tadi mengerjakan pekerjaannya, Fandi mengusap wajahnya kasar melihat apa yang Retno lakukan dan tahu apa yang diinginkannya."Bicara disini atau apartemen?" Retno memberikan pilihan yang semakin membuat Fandi pusing "Tinggal pilih!""Apartemen." Fandi mengambil keputusan gila dan mendapatkan s