Canggung.
Hanya itu yang Rosetta rasakan setelah mendengar pengakuan dari Marco di Restoran Polpettine kemarin siang. Dia selalu menghindari kontak mata dan mencegah insiden yang sama untuk terulang lagi pada mereka. ‘Itu sangat mengganggu,’ batinnya.Mengganggu kenyamanan Rosetta dalam menentukan sikap pada Marco. Pria yang harus dia jauhi sebab baginya Marco merupakan sosok berbahaya yang penuh tipu daya. Orang yang dekat dengan kriminal dan lekat dengan dunia gelapnya yang kelam.Namun, mampukah Rosetta melakukannya? Ada ritme ganjil yang mempengaruhi degup jantungnya setiap kali mereka saling berinteraksi atau bersentuhan. Itu refleks membuatnya merasa akan hancur pada waktu yang sama di dalam sepasang iris biru milik Marco.“Mengapa kau lama sekali?”“Se-sebentar lagi,” sahut Rosetta yang mendadak tersentak dari lamunan panjangnya.“Kau hanya punya tiga menit atau aku akan menerobos masuk ke dal“Percayalah, Rosetta. Kau sempurna. Kau berdiri di depan cermin sejak tadi dan membuatku menunggu hampir satu jam lamanya,” komentar Marco yang membaringkan dirinya dengan salah satu siku yang menopang kepala di pinggir ranjang.“Satu jam? Mengapa kau sangat berlebihan padaku?”“Tidakkah kau sadar bahwa waktu berdetak jauh lebih lama saat kau menantikan sesuatu?”“Apa kau bosan?”“Bosan? Denganmu? Tidak pernah. Aku sanggup menontonmu merias wajah seperti itu selamanya.”“Aku hanya ingin memeriksa dandanan yang sudah kau rusak sebelumnya,” sindir Rosetta yang kemudian berputar ke belakang untuk mengecek bagian punggungnya.Jemari Rosetta mencoba meraih ritsleting yang kelewat panjang itu. Dia ingin menarik sekaligus menaikkan deretan geriginya ke atas, tetapi gagal. Marco yang menyaksikan pemandangan lucu tersebut pun langsung mengumbar tawanya.“Let me now if you need a hand,” goda pria
Dua pasang kaki itu—jenjang dengan sepatu hak tingginya dan kokoh dengan sepatu pantofelnya—melangkah menuruni lantai helipad di atas kapal pesiar yang sedang berlayar. Pemandangan yang spontan membuat semua mata terpusat hanya pada mereka. Jenis perhatian yang membuat kedua pipi Rosetta terasa panas.“Mengapa orang-orang menatap ke arah kita?” bisik Rosetta yang langsung berpura-pura mengecek rok gaun koktailnya.“Kau bersama Marco Botticelli dan kau seperti bunga mawar yang indah sekarang. Itu akan mengundang para lebah datang. Sesuatu yang sulit untuk dihindari, bukan?”“Jika itu membuatku dipelototi sepanjang waktu, maka aku tidak ingin menjadi bunga mawar.”“Kau milikku. Tidak ada seorang pun yang akan berani menyentuhmu bahkan hanya untuk satu inci saja. Mereka juga tahu itu. Mereka tidak akan mengganggumu.”“Tetap saja aku—”“Berhentilah berbisik-bisik, Rosetta. Angkat dagumu dan keluarkan seluruh kepercayaan diri yang kau punya.”“Aku tidak yakin aku
Marco dan Rosetta memasuki salah satu dari sepuluh dek yang mengirim mereka menuju ke ruang utama. Tempat itu luas dan megah—terlalu nyaman malah, sedangkan para tamu sudah memenuhi kursi-kursi yang dilapisi kain velvet lembut berwarna senada dengan nuansa panggung yang membara dalam merah.Rosetta kembali terpana menyaksikan setiap detail fantastis yang dia lihat. Marco yang mengetahui reaksi Rosetta pun hanya tertawa menanggapi. Dia kemudian menjelaskan sedikit mengenai kapal pesiar yang sedang mereka tumpangi pada wanita itu.“Meredith memang dilengkapi dengan fasilitas canggih. Dia bukan hanya sekadar transportasi biasa, tetapi monster laut. Berlapis baja anti peluru dan dilindungi oleh sistem pertahanan rudal yang mumpuni. Ada kapal selam khusus yang tersemat untuk perlindungan diri bagi pemiliknya. Sempurna, bukan?”“Meredith jenis kapal perusak,” gumam Rosetta yang merasa ngeri.“Itu sesuai untuk Mikhail Medvedev. Dia be
“Mengapa dia menatapku seperti itu?” gumam Rosetta yang langsung bergidik selepas mengetahui Fabio sedang memandang ke arahnya.Rosetta memalingkan wajah dengan cepat, lantas meremas-remas jemarinya demi menetralisasi perasaan gugup yang menaungi dirinya. Acara kembali bergulir setelah Marco berhasil memiliki sebotol anggur seharga US$520 ribu tadi. Satu per satu benda lelang ditampilkan dan terjual dalam sekejap.Mereka pun sampai pada barang terakhir yang akan menjadi buruan sekaligus koleksi paling apik untuk ditawar. Wanita bunny itu kembali menyorong kereta dorongnya. Dia menjentikkan jari, kemudian membuka kain antelas berwarna hitam yang mengilat itu dengan hati-hati.“Antik. Fenomenal. Prestise. Akan menjadi objek yang istimewa bagi Anda. Kalung dengan batu giok yang siap memikat orang-orang untuk mengoleksinya. Kami menamainya The Dragon’s Eye.”The Dragon’s Eye yang memantulkan cahaya itu terlihat berkilau diterpa ole
Baku tembak pun terjadi. Namun, peluru Marco gagal menembus anggota tubuh Fabio yang langsung dilindungi oleh para bawahannya. Mereka melancarkan serangan balik dan aksi saling balas-membalas seketika berlangsung dalam situasi pelik yang menegangkan.Bubuk mesiu berjatuhan di sejumlah area—menciptakan lubang-lubang baru yang terisi dengan proyektil salah sasaran, lantas menumbangkan beberapa meja sebagai tameng. Fabio berhasil melarikan diri dari tempat itu diikuti oleh tiga orang yang mengiringinya keluar. Jauh dari lokasi semula. Hanya ada lima orang yang tersisa. Tiga di antaranya tertembak oleh Marco dan tumbang dalam sekejap. Satu lainnya terkena di bagian dada—jatuh menggelepar dalam kematian yang menyakitkan, kemudian meninggalkan satu orang yang masih bertahan dengan gigih. Dia balik menembaki Marco bersama para bawahannya tanpa gentar.Marco mundur—menyerahkan satu orang itu untuk diurus oleh mereka, lantas berlari keluar. Dia meng
Caritta memutuskan untuk berpelesir ke Bari pagi itu. Meninggalkan semua kekacauan yang sempat merundungnya selama beberapa hari terakhir. Dia pergi dengan mengantongi saldo rekening yang mendadak membengkak hanya dalam kurun waktu yang kelewat singkat. Caritta merasa beruntung. Dia langsung menjadi jutawan tanpa harus repot-repot mengerahkan seluruh tenaganya untuk berdiri di belakang meja kasir—yang menurutnya sangat menjemukan—seperti dahulu. Lagi pula, melayani para pelanggan—yang lapar dan bersikap menyebalkan—juga mustahil untuk membuatnya mengecap predikat miliarder dalam waktu semalam. Gaji Caritta sebagai kasir di salah satu restoran cepat saji terlalu kecil baginya. Dia memang punya sejumlah kebutuhan sekaligus standar taraf hidup yang terlampau tinggi. Anggap saja, wanita itu memandang sesuatu lewat kacamata yang lain—segi yang berbeda dari orang-orang kebanyakan. Ambisius. Energik. Penakluk. Khusus untuk yang satu itu, Caritta merupakan ahliny
Rasa kebas di sekujur tubuh wanita itu kian lama kian menjadi-jadi. Pingsan dan tenggelam dalam ombak yang menyapunya, dia hanya mampu berpasrah tanpa berani menyimpan harap untuk tetap hidup. Dia tahu persentasenya akan kecil sebab berenang sama sekali bukan keahlian yang dia punya.Ombak sekali lagi datang menggulung tubuhnya. Dia terombang-ambing di antara gemuruh air laut yang menghempasnya ke pusaran arus raksasa. Satu-satunya yang dia yakini, yaitu mustahil dia akan selamat dari amukan laut yang sedang marah itu.Kantong paru-parunya terasa penuh sekarang. Mungkin akan pecah dalam empat menit lagi atau bisa jadi akan menggelembung seperti pelampung. Mencuat ke permukaan dan menghancurkan dadanya secara spontan.Wanita itu mendadak merindukan oksigen yang biasa mengisi sistem pernafasannya. Bukan garam dengan kadar tinggi yang terasa mencekik lehernya sekarang. Kepalanya pening—dijejali bunyi dentam yang meledak menyakiti kedua telinganya.
Caritta terbaring dengan kondisi basah kuyup di tepi dermaga. Terbatuk-batuk mengeluarkan semua air laut yang baru saja tertelan olehnya. Berusaha menghirup sebanyak mungkin oksigen yang terasa murni di sekitarnya.Kelegaan itu spontan turun merangkul erat punggung Caritta. Dia kembali bernapas—menjaring udara seperti seharusnya, bukan lagi kadar garam yang berambisi memecahkan seluruh fragmen di paru-parunya. Gemetar, dia menyibak sebagian rambut depannya yang menutupi wajah. Sepasang mata Caritta kemudian mengerjap-ngerjap menjernihkan pandangan. Langit menjadi pemandangan pertama yang dia lihat kala itu—cerah, nyaris tanpa awan. Warna oranye menyapu lembut kawasan barat dan menunjukkan gurat peralihan waktu.Caritta langsung mengedarkan pandang ke sekeliling dan menangkap sesosok pria asing yang tengah mengamati wajahnya dari atas. “Katakan padaku. Kau tidak nyata, bukan?”Pria itu menyipitkan mata dan Caritta lagi-lagi mendesis, “Kau
Rosetta spontan menghapus air matanya dengan terburu-buru. Ludovic yang melihat aksinya kemudian menahan kedua pergelangan tangan Rosetta dan menggeleng lembut. Seringai samar tergambar di sudut bibirnya sebelum berujar, “Tidak ada yang salah dengan kesedihanmu, Sayang. Kita semua memang merasa kehilangan.”“Maaf—”“You don’t have to be sorry,” potong pria itu.“Aku tidak bermaksud untuk membandingkanmu dengan Marco. Aku hanya... hanya... menghibur diri dari luka yang masih belum sembuh sepenuhnya.”“Aku tahu itu,” desah Ludovic yang merangkul pinggang Rosetta ke sisi tubuhnya.“Aku tidak mendengarmu datang,” kata Rosetta selepas berhasil menguasai emosinya lagi dan jejak air mata di wajahnya mengering.Ludovic beralih mengulurkan kedua tangannya pada tubuh kecil Beatrice dan mendekapnya dalam gendongan, lantas menjawab, “Aku naik taksi kemari. Taleo sedang sibuk membantuku mengawasi pabrik. Lagi pula, aku juga ingin mengunjungi kakakku sesekali.”“Beatrice baru saja menaruh buket bun
Seorang wanita dalam balutan jumpsuit nuansa hitam dan sepatu berhak rendah model pointed-toe pump yang senada itu baru saja turun dari mobil. Benda yang ditentengnya adalah dua buket bunga forget me not. Diletakkan dengan hati-hati pada sebuah keranjang bambu yang dihadiahkan seseorang padanya kemarin sore.Punggungnya berbalik cepat, mengulurkan kedua tangannya ke arah jok, lantas menggendong tubuh bocah kecil yang sedang menggenggam sebuah bola plastik di tangan kirinya tersebut. Bibir menggemaskan itu tertawa sewaktu ibunya mengecup ringan salah satu pipinya selepas dia dirangkul erat dalam gendongan. Sepasang iris biru lautnya kemudian mengerjap-ngerjap melihat ke sekeliling yang terasa asing baginya.“Apa kau menyukainya, Sayang? Memang bukan pemandangan yang biasa kau lihat, tetapi Mom janji kau akan menikmatinya. Tempatnya sangat rindang dan nyaman untuk kau bertemu dengan Dad,” katanya sambil menyelipkan sehelai rambut cokelatnya yang berkibar ditiup angin ke daun telinga kan
“Segelas martini dingin di sore yang cerah merupakan sesuatu yang sempurna untuk menutup hari, bukan?” ucap Ludovic yang mengerling pada Taleo sambil mengangkat gelas miliknya ke atas.“Tentu saja, Tuan Muda.”“Bersulang?” tawar pria itu lagi dan mendekatkan bibir gelasnya pada bibir gelas Taleo.Taleo mengangguk mengiyakan dengan senyum samar yang menghiasi wajahnya. Dia memajukan gelas dan bunyi denting sontak saling beradu di udara. Kedua alisnya terangkat membentuk ekspresi setuju.“Untuk hidup yang lebih baik ke depannya,” harap Ludovic yang kemudian terkekeh menertawakan kalimatnya sendiri.“Dan kebahagiaan bagi Tuan Muda,” tambah Taleo yang menelengkan kepalanya.Ludovic menyesap martininya dengan hati-hati. Dua butir buah zaitun yang mengendap di dasar gelas pun menggelinding naik ke permukaan. Berlomba-lomba mendekati mulut pria itu dan menyumpalnya lewat gravitasi yang berubah oleh sisi gelas yang condong.“Rasanya nikmat sekali seperti dosa,” desah Ludovic selepas menyeka b
Sebelum Rosetta sempat mencerna maksud dari ucapan Marco, pria itu sudah membuka pintu mobil dan membantingnya dengan kasar. Para bawahannya maju lebih dahulu, memasang benteng perlindungan bagi tuannya, lantas mengacungkan senjata laras panjang di tangan mereka pada kelompok Salvoni.Rosetta yang gemetar dan putus asa di dalam Mercedes-Benz berbodi tangguh itu menutup mulutnya sendiri. Membungkam kesiapnya sebelum berubah menjadi jerit ngeri yang akan melenyapkan pita suaranya. Berjuang menekan ketegangan yang menari di sekeliling mereka ke lapisan paling dasar.Ketenangan yang didambakan Rosetta kembali menjauh dari jangkauan. Segala sesuatunya mengabur dari pandangan dan memaksa Rosetta untuk bergerak atau dia akan terperangkap tanpa proteksi. Dia kemudian berlindung ke balik jok kemudi, menarik sebuah kotak kayu yang ada di bawahnya dan mengambil sebuah pistol bermetode dual action yang tersimpan di dalam sana.Jemari Rosetta meraih benda itu dengan hawa dingin yang seketika melun
Langit terasa runtuh menimpa Rosetta selepas dia sadar siang itu. Pandangannya kemudian memindai ke seantero kamar. Ada seorang dokter pribadi yang sudah dia kenal dengan baik sedang merawatnya. Pria berkacamata minus kepercayaan Marco itu melemparkan senyum tipis pada Rosetta. Dia memeriksa tekanan darahnya yang kelewat rendah. Bercakap-cakap dengan Marco sebentar sebelum melanjutkan pengecekan lainnya.“Apa itu benar? Caritta? Dia... dia sudah... apa polisi tidak salah mengidentifikasi?” tanya Rosetta yang berjuang keras menahan bulir air matanya jatuh.Marco mengetatkan rahangnya dalam diam. Berharap dapat mentransfer kekuatan lebih untuk kekasihnya yang masih syok atas kabar buruk itu. Namun, satu-satunya yang mampu dia katakan hanya mengiyakan dengan ekspresi muram.Marco tahu Rosetta terpukul atas berita kematian saudari kembarnya. Siapa yang menyangka bahwa jasad Caritta akan ditemukan di tepi dermaga dengan kondisi setengah membusuk karena terseret gelombang? Hasil penyelidik
Dua minggu berlalu dengan cepat. Pagi itu cuaca sedikit lebih cerah dan membuat Rosetta terbangun karena sinar matahari yang menerobos masuk melalui sisi jendela. Dia mengerjap-ngerjap sebentar sebelum memutuskan untuk bangkit dari balik selimut menuruni ranjang.Satu tangan Rosetta terulur ke depan. Kepalanya setengah menunduk sambil menyibak sebagian tirai dan mengintip suasana di luar. Cahaya itu pun langsung menembus indra penglihatannya dalam sekejap.Kening Rosetta otomatis mengernyit. Sepasang matanya menyipit sebagai reaksi silau yang tertangkap olehnya. Dia menoleh ke arah ranjang, memperhatikan Marco yang masih berkutat dengan mimpi-mimpinya di sana.“Salah satu pemandangan yang ingin selalu kulihat adalah pria itu ada di dekatku setiap hari,” bisik Rosetta yang berdiri di depan tirai dalam kondisi tersibak separuh.Kesadarannya akan sesuatu yang penting mendadak menyentak pikiran Rosetta. Langkahnya kemudian berlalu menuju ke nakas yang ditata persis di samping kiri ranjang
“Rosetta? Siapa yang peduli? Bunuh saja sekalian.”Suara lain yang lebih rendah dari suara pertama menyahut, “Itu mudah untukku, tetapi bagaimana dengan Marco?”“Dia bagianku.”“Menghabisi satu tikus kecil lemah seperti kekasihnya akan jadi penggenapan rekorku yang ke seratus,” balasnya dengan nada puas.“Bagaimana dengan Ludovic?”“Siapa Ludovic?”“Putra kedua Botticelli. Kau tidak tahu dia?” tanya rekannya lagi.“Aku tidak pernah mendengar reputasinya di dunia bawah.”Pria dengan cerutu yang menyala di bibirnya itu mengembuskan asap tebal sambil mendongakkan kepalanya ke atas dan menjawab, “Dia memang tidak menggeluti dunia yang sama dengan kakaknya. Aku juga hanya melihatnya sesekali. Dia mengelola pabrik dan perkebunan anggur. Mereka mengambil jalan yang berbeda.”“Itu mengingatkanku pada sebuah lelucon tentang iblis dan malaikat yang pernah kudengar sewaktu kecil,” kekeh pria yang sedang memegangi sebotol bir di tangan kirinya itu. “Dia lebih terlihat seperti pengecut yang selal
“Tiga kali lipat dari tarif biasa. Harga yang menggiurkan, bukan? Bagaimana menurutmu?” bujuk Fabio lewat telepon selulernya.“Lima.”“Lima? Apa kau berniat merampokku?”“Kau memesanku secara khusus, Tuan Salvoni. Kau tahu aku sedang terburu-buru dan akan meninggalkan Puglia esok pagi.”“Baiklah. Kita sepakat,” balas Fabio kemudian dengan berat hati.Caritta yang mendeteksi nada enggan dalam suara pria itu hanya mengulum senyum puas tanpa menanggapi. Pelanggan terakhirnya akan membuat jumlah saldo di rekeningnya kembali membengkak. Setelah itu, dia akan pulang dan membuka sebuah toko roti seperti orang tuanya dahulu. Kembali ke Magnolia Springs akan menumbuhkan harapan baru dalam hidup Caritta lagi. Sesuatu yang dia pikir mustahil untuk dia punya selepas kekacauan yang telah terjadi selama belakangan terakhir. Mimpi-mimpi itu akan segera terwujud, pikirnya.“Sampai jumpa satu jam lagi, Tuan Salvoni!” tutup Caritta di ujung sana.Caritta menumpangi taksi untuk tiba di kediaman Salvoni
“Apa yang terjadi?” tanyanya lagi.“Ka-kaki kiriku terkilir.”Marco langsung bergerak sigap dan memindahkan tubuh Rosetta dari jangkauan Ludovic dengan hati-hati. Menariknya ke dalam pangkuan. Memandangi wajah kekasihnya dengan penuh arti, seolah-olah mengisyaratkan bahwa dia tahu sesuatu.“Kau tidak membutuhkan ini,” desis Marco yang kemudian melepaskan mantel kasmir juga syal rajut itu dan melemparkannya lagi pada Ludovic.“Aku tidak suka mencium bau pria lain di tubuhmu,” sambungnya sambil menyampirkan mantel kardigan miliknya di kedua pundak Rosetta.“Ma-maafkan aku,” bisik Rosetta yang menunduk menghindari tatapan tajam Marco.“Apa kau telah membuat kesalahan yang begitu besar sampai-sampai kau harus mengucapkan permintaan maaf padaku?” pancingnya tanpa memedulikan Ludovic yang ekspresinya berubah padam oleh rasa jengkel.“Tidak. Maksudku, aku minta maaf karena sudah merepotkanmu. Kau harus menggendongku gara-gara kakiku yang sakit.”“Kau baru sadar sekarang?” balas pria itu ketu