"Sekarang, kemasi barangmu. Tuan Bresslin sudah menunggu," Andaru menepuk pundak Sarah pelan, lalu mengarahkannya keluar. "Tunggu!" Sarah memaksa untuk bergeming di tempatnya. "Kenapa lagi?" Andaru menghela napas panjang dan memandang Sarah penuh tanda tanya. "Apa tidak boleh aku berpamitan pada Papa, sebentar saja," nada suara Sarah begitu memelas. "Menurut kesepakatan, kamu tidak boleh bertemu dengan ayahmu sampai dia berhasil membayar ganti rugi. Anggap saja itu sebagai penyemangat pak Abizar untuk terus berusaha," kilah Andaru yang mulai terlihat tak sabar. "Ayo!" ujarnya setengah memaksa. Tak ada alasan lagi bagi Sarah untuk menolak. Satu-satunya yang bisa dia lakukan sekarang adalah menuruti semua perkataan Andaru. Dia sama sekali tak berkomentar ketika mobil Andaru berhenti di depan rumahnya. Tanpa bersuara, Sarah segera masuk ke dalam rumah dan berkemas dalam waktu secepat mungkin. Satu koper besar beroda dia seret keluar dan Sarah masukkan ke dalam bagasi mobil Andaru. H
Sarah tampak kebingungan menentukan arah. Villa itu begitu besar dengan banyak lorong dan cabang. Kadang, Sarah salah berbelok hingga akhirnya dia tiba di dapur atau ruangan kosong tanpa perabotan apapun. Gadis itu bergidik ngeri ketika pikiran buruknya menghampiri. Mungkin saja Theodore Bresslin adalah seorang penjahat yang bersembunyi di tempat terpencil, sehingga dia dapat dengan leluasa menyembunyikan jejak-jejak kejahatannya."Kamarmu berada di lantai dua! Naiklah tangga, lalu belok kiri. Kamarmu tepat berada di ujung!" suara Theo nyaring terdengar dari pengeras suara yang terpasang di sebelah kamera pengawas yang terdapat di tiap sudut ruangan.Sarah kembali menyeret kopernya ke lantai dua dan mengikuti petunjuk dari Theo. Sebelum memasuki kamar, gadis itu sempat menatap ke arah kamera pengawas yang terpasang di sudut pintu, lalu menggeleng pelan.Setelah meletakkan koper begitu saja di sisi ranjang, Sarah lalu duduk di tepian sembari meraih ponselnya. Seg
Sedikit terkejut, Sarah menoleh ke asal suara. Dilihatnya pria berambut gondrong itu berjalan pelan ke arahnya. "Masak sederhana saja," jawab Sarah malas-malasan sambil kembali fokus pada sayuran di depannya."Hmm," pria jangkung itu berpindah ke sebelah Sarah, lalu bersandar pada meja dapur dan bersedekap. "Memasaklah sedikit lebih banyak, aku juga ingin mencicipi masakanmu."Sarah tak menjawab. Tangannya cekatan menumis dan memasukkan bumbu-bumbu. Sementara tangan lainnya lihai menggoreng beberapa potong ayam. Tak sampai satu jam, hasil karyanya sudah siap dan dia hidangkan ke atas meja."Di mana peralatan makannya?" Sarah kebingungan mencari letak piring dan sendok di dapur luas itu."Di dalam kabinet," Theodore mengarahkan telunjuknya ke arah atas kepala Sarah, lalu mengambil tempat di salah satu kursi makan.Setelah menemukan tempat yang dimaksud, Sarah segera mengambil peralatan makan dan menatanya dengan rapi di atas meja.Sarah juga
"Seorang tahanan tak pernah memasak sendiri, apalagi memasak untuk sipir," balas Sarah seraya menyeringai. Dia merasa bangga karena berani menyentil Theo.Lain halnya dengan Theodore yang semakin merah padam. Dia memilih untuk tidak menanggapi celotehan Sarah. Dia hanya diam sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku celana, lalu menariknya sebatang menggunakan bibir.Theo tak memedulikan Sarah yang terus memperhatikan dirinya. Dia malah maju mendekati gadis yang tetap duduk terpaku di tempatnya itu sambil menyalakan rokok. Theo mencondongkan tubuhnya, lalu mengepulkan asapnya tepat ke wajah Sarah hingga gadis itu terbatuk. "Sekarang waktunya jam malam. Tahanan harus masuk ke kamar, atau akan menerima konsekuensi!" tegas Theo dengan raut wajah datar."Memangnya apa konsekuensinya?" alih-alih takut, gadis itu malah mendongak, seakan menantang pria rupawan di depannya."Apapun yang tidak kau sukai," giliran Theo yang menyeringai sambil terus memang
Theo membuka jendela lebar-lebar saat dia membawa rokok yang masih menyala masuk ke kamar pribadinya. Ruangan luas yang terletak di lantai bawah itu tampak sangat rapi. Berbagai benda seni bernilai mahal, terpajang di dalamnya. Mulai dari lukisan, patung bahkan sampai pada ranjangnya sendiri terbuat dari kayu mahoni yang penuh dengan ukiran.Theo mencondongkan tubuh atletisnya, bertumpu pada kusen jendela yang menghadap langsung ke halaman samping sambil menghisap rokok perlahan sampai hampir habis terbakar. Dia lalu mematikan puntungnya di asbak yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Mata elangnya mengawasi suasana hening di luar. Untuk beberapa saat lamanya, Theo terdiam dan memperhatikan sesuatu yang mencurigakan di depan sana, bergerak-gerak di antara tanaman rambat yang tumbuh lebat di tembok pagar.Pria rupawan itu menegakkan badannya, lalu tersenyum samar saat dilihatnya seekor kelincilah yang keluar dari tanaman tersebut. Dia menghela napas lega sebelum beranjak keluar
"Sarah ..." geram Theo. Matanya melotot tajam pada gadis yang tengah berdiri terpaku itu.Buru-buru Sarah mematikan kran, lalu meletakkan shower itu di tempatnya. "Pegangan showernya licin," kilah Sarah seraya meringis. Fahmi pun ikut terkekeh, meskipun pada akhirnya dia memilih untuk menghentikan tawanya dan menunduk dalam-dalam. Melihat hal itu, emosi Theo semakin tak terkendali. Dia kepalkan tangannya erat-erat, lalu dia pukuli wajah dan perut Fahmi hingga pria itu merintih kesakitan.Seumur hidupnya, Sarah hidup dalam kasih sayang dan tidak pernah mendapatkan maupun melihat kekerasan di sekitarnya. Akan tetapi, kali ini dia melihat secara langsung, di depan matanya, ketika Theo dengan beringas menghajar Fahmi. Pria itu begitu mengerikan di mata Sarah. Wajah tampan itu tak terlihat karena berubah menjadi monster menakutkan. Tanpa sadar, Sarah beringsut mundur beberapa langkah sampai betis bagian belakangnya menabrak kloset, sehingga dia jatuh terduduk."Kau pilih bicara, atau kupat
Theodore berdiri di antara Sarah yang berdarah-darah dan Fahmi yang lemas terikat. Diapun memutuskan untuk mendekati Fahmi dan melepaskan ikatannya. "Kubebaskan kau untuk berbuat semaumu. Satu hal yang patut kau ingat, tak semudah itu kau bisa mendapatkan mahkota Blood Diamond. Katakan itu pada siapapun bosmu," ujarnya dengan nada dingin, lalu meninggalkan Fahmi begitu saja.Theo beralih pada Sarah. Dia segera membopong gadis malang itu dan membawanya keluar dari villa. Dengan hati-hati, Theo memasukkan Sarah ke dalam mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat.Dalam hitungan menit, mobil Theo tiba di pelataran rumah sakit dan langsung ditangani oleh petugas medis. "Anda keluarganya?" tanya salah seorang perawat. "Ya!" jawab Theo begitu saja.Perawat itu mengangguk dan memperbolehkan Theo masuk ke ruang tindakan untuk menemani Sarah yang masih tak sadarkan diri. Seorang dokter jaga sudah bersiap memeriksa luka di pergelangan tangan Sarah, dibantu oleh beberapa perawat lainnya. "Men
Theo buru-buru meletakkan mangkuk bubur di atas meja kecil di sisi ranjang, lalu meraih tangan Sarah. "Lihat ini, jahitanmu kembali terbuka!" tegurnya.Sarah meringis dan mendesis pelan. Rasa perih sekaligus takut, bercampur menjadi satu di dalam dada. Dia berusaha berontak ketika Theo menahan lengannya. Namun, apa daya tenaga Sarah masih terlalu lemah. "Bagaimana ini?" Theo tampak panik dan kebingungan melihat darah yang makin banyak merembes di sela pori-pori perban.Dalam kekalutan, Theo meraih ponselnya di saku celana dan mulai menghubungi seseorang. "Agung! Aku butuh dokter yang bisa dipanggil kemari. Aku butuh untuk menjahit luka," ujarnya."Menjahit luka?" ulang Agung dari seberang sana."Iya!" sahut Theo cepat."Luka siapa? Anda terluka?" tanya Agung lagi."Bukan, bukan aku, tapi seseorang," Theo melirik pada Sarah yang masih tampak ketakutan."Sekarang, Sir?""Iya, sekarang!" jawab Theo dengan nada tinggi."Oke, Sir! Tunggu sebentar!" Agung menutup panggilannya begitu saja,
Asisten kepercayaan Theo itu menatap sang majikan dan Sarah secara bergantian. "Kalian ... akan menikah?" tanya Andaru."Kurasa tak pantas untuk menjawab pertanyaanmu di tengah keadaan berduka seperti saat ini, Andaru," sahut Theo mengingatkan."Oh, maafkan saya. Saya hanya ...." Andaru tak melanjutkan kata-katanya, lalu memandang Sarah dengan tatapan terluka. "Kalau begitu, saya permisi," ucap Andaru beberapa saat kemudian. "Saya harus mengurus pemakaman seperti yang diinginkan oleh Tuan Bresslin."Andaru mengangguk hormat pada Charlotte dan Austin, sebelum membalikkan badan meninggalkan ruang perawatan Sarah. Sesaat setelah menutup pintunya, Andaru menarik napas panjang dan mengempaskannya perlahan."Mas Andaru, terima kasih sudah memberikan saya tumpangan sementara sebelum pulang ke Indonesia," ucap Pradnya yang tiba-tiba sudah berdiri di luar kamar perawatan Sarah.Andaru sedikit terkejut. Dia mengusap-usap dadanya, kemudian tersenyum ramah pada Pradnya. "Tidak masalah, jangan ter
Sarah kini sudah berpakaian yang pantas. Charlotte meminjamkan dress cantik bermotif bunga untuk gadis cantik yang baru saja mengikrarkan hubungannya dengan Theo itu. Sambil menggenggam kertas kecil bertuliskan nomor ruangan, Sarah berlari-lari kecil melintasi koridor rumah sakit.Akan tetapi, sesampainya di kamar yang sesuai dengan catatannya, Sarah tak menemukan siapapun di sana. Ruang perawatan itu kosong. "Sebenarnya mereka berniat untuk merawatku di situ, tapi aku menolak. Aku merasa baik-baik saja," tiba-tiba terdengar sebuah suara yang teramat Sarah kenal dari arah belakang. Sarah langsung menoleh dan berbalik. "Theo! Syukurlah kau baik-baik saja!" ujarnya seraya menghambur ke pelukan Theo yang hangat."Maafkan aku karena telah memberimu catatan yang salah." Kata-kata Theo membuat Sarah mengernyit, lalu mengurai pelukannya. "Apa maksudmu?" tanya Sarah ragu."Aku menyuruhmu ke rumah sakit, bukan untuk mendatangi ruangan ini," jawab Theo dengan sorot mata yang tak dapat diartik
"Saya tadi diam-diam menyelinap ke ruang bawah tanah saat anak buah Ammar menyeret mas Andaru dan bapak," tutur Pradnya. "Saat itulah saya mendengar bahwa mereka akan mengeksekusi anda semua tepat tengah hari nanti.""Kenapa harus menunggu sampai tengah hari?" celetuk Andaru. "Untuk memastikan bahwa Ammar sudah menerima mahkotanya lebih dulu," jelas Theo."Jadi, anda berniat untuk menjebak Ammar dengan mahkota itu?" Andaru terbelalak tak percaya. "Apakah pihak berwajib sudah merespons?" "Aku yakin mereka akan segera menanggapi laporan Cedric, mengingat kedekatanku dulu dengan Pak Walikota," gumam Theo."Nanti saja bicaranya, Tuan-tuan. Kita harus segera pergi dari sini sebelum mereka datang," sela Pradnya. Theo dan Andaru saling pandang, lalu mengangguk. "Ayo!"Mereka bertiga bergegas keluar dari ruangan sempit yang mirip sel tersebut. Theo memimpin di depan, dibantu oleh Pradnya yang bertugas sebagai penunjuk arah. "Belok kanan, Sir," ujar Pradnya lirih.Theo terus melangkah waspa
"Andaru? Kau sudah datang?' Theo memicingkan mata seraya berusaha untuk bangkit. "Yes, Sir. Orang-orang Ammar mencegat kami di bandara, sama seperti yang telah anda rencanakan sebelumnya," jawab Andaru sambil membantu Theo untuk duduk. "Apa mereka sudah bergerak ke kandangku?" tanya Theo lagi. "Berdasarkan pengamatan Cedric, mereka sudah mendapatkan mahkotanya, Tuan," jelas Andaru. "Apakah yang kalian maksud itu adalah mahkota yang hendak dicuri oleh gerombolan Fahmi dulu?" sela seseorang yang tak lain adalah Abizar. "Oh, Abizar. Um, maksudku ... Pak Abizar. Apa kabarmu?" sapa theo dengan bahasa tubuh yang terlihat canggung. "Beginilah, Pak," sahut Abizar sembari tersenyum getir. "Saya hanya ingin cepat-cepat bertemu dengan putri saya," lanjutnya. Theo tertegun sejenak, lalu tersenyum. "Putrimu aman bersama kedua orang tuaku," ujarnya pelan. "Benarkah? Oh, syukurlah," Abizar mengembuskan napas lega. "Lalu ... bagaimana setelah ini, Pak?" tanya Andaru. "Kau tenang saja," Theo
Ammar tertawa nyaring hingga suaranya menggema ke setiap sudut ruangan. "Sarah Delila bukan barang dagangan. Dia tidak dijual. Kami hanya menjual keperawanannya saja, tapi tidak dengan tubuhnya," tolak Ammar. "Oh, jadi Sarah Delila hanyalah properti?" Theo memicingkan mata seraya menatap tajam ke arah pria berambut hitam dan lurus itu. "Benar sekali. Sarah Delila adalah properti kami. Seumur hidupnya, gadis itu adalah milik organisasi kami," tegas Ammar. "Bagaimana jika kutukar dengan mahkota Blood Diamond?" Theo mengangkat satu alisnya. Senyum menyeringai terukir di wajah tampan itu. Ammar terkesiap untuk sesaat. Tampaknya dia berpikir keras untuk menjawab tawaran Theo. "Aku sudah menyuruh anak buahmu untuk menggeledah kediaman Baskoro dan villamu yang berada di Bali. Mahkota itu tak ada di sana," ujarnya. "Tentu saja tak ada di sana. Aku tak pernah membawa mahkota itu ke Indonesia," Theo tertawa mengejek. "Ta-tapi, anak buahku sudah menyelidiki bahwa mahkota itu selalu kau bawa
Theo mengendarai motor dalam kecepatan tinggi dan tiba di tempat yang dituju sepuluh menit kemudian. Dia memarkirkan motornya secara asal di depan sebuah gedung tua yang sudah tak terpakai di sisi lain kota London. Theo seolah tak takut jika seseorang membawa motornya pergi.Tak ingin membuang waktu, Theo menendang pintu masuk gedung kosong itu sekuat tenaga, hingga terlepas dari engselnya. Dilayangkannya pandangan ke sekeliling aula yang tampak tak terawat itu. Theo lalu mendekat ke arah lift yang akan membawanya ke bawah tanah. Dia berniat masuk ke sana ketika menyadari bahwa lift itu telah rusak. "Apa-apaan ini?" geramnya tak percaya.Tangan kekar Theo menggebrak pintu lift sekencang mungkin, lalu berbalik mengitari ruangan luas tersebut untuk mencari jalan turun lain. Namun sepertinya, lift tersebut hanyalah satu-satunya cara menuju markas rahasia Ammar. Theo memutar otak, lalu menghubungi anak buahnya. "Aku kesulitan memasuki markas Ammar, Cedric. Apakah kau tidak mempunyai infor
"Sebenarnya kau tidak benar-benar menghilang, Jonathan. Aku menyuruh Troy untuk selalu melacak keberadaanmu," sela Charlotte sembari menyunggingkan senyum puas."Betul sekali. Itu karena aku yang paling cerdas di keluarga ini," timpal Troy bangga. "Theodore Bresslin menjadi tokoh dunia hitam yang paling disegani, sampai-sampai pak walikota meminta dukungannya untuk mencalonkan ulang," lanjutnya. "Sayang sekali, Theo harus tergelincir kerikil kecil saat jatuh cinta pada istri sepupunya sendiri.""Sejak saat itu, Theo benar-benar menghilang dari jangkauan kami dan sama sekali tak terlihat atau terdengar kabarnya sampai detik ini," sambung Austin."Aku sudah tidak berkecimpung lagi di dunia hitam. Dulu aku membekukan bisnisku dan mengalihkannya ke sektor legal, sebelum aku pindah ke Indonesia," tutur Theo."Patah hati membuat orang berubah," Brendan menggeleng pelan."Akan tetapi, sekarang ... aku terpaksa harus menghidupkan kembali jaringanku untuk menghancurkan orang-orang yang sudah m
"Kami tidak pernah mengusirmu, Jonathan. Kau sendiri yang memilih untuk menjauh," sanggah Austin. Pria yang masih terlihat gagah di usianya yang tak lagi muda itu melipat kedua tangannya di dada sambil sesekali melirik ke arah Sarah. "Duduk dulu, Nak. Kita cari tempat yang lebih nyaman untuk mengobrol," Charlotte meraih tangan Sarah dan mengajaknya ke teras berukuran luas yang terletak di samping mansion. Sementara anggota keluarga yang lain mengikuti langkah Charlotte. Ibunda Theo itu mendudukkan Sarah di atas kursi rotan berbantal busa yang empuk."Oh, ya. Di sini gerah sekali. Kurasa kau harus melepas dulu mantelmu," saran Charlotte."Um," setitik keringat dingin mengalir di dahi Sarah. Dia menoleh pada Theo seolah hendak meminta pertolongan."Justru itu dia kubawa kemari, Bu. Aku ingin meminjam beberapa helai pakaian untuknya," sahut Theo."Apa maksudmu?" Charlotte mengernyit tak mengerti."Begini ...." Theo kebingungan merangkai kata. Dia sempat menggaruk-garuk pelipisnya yang t
"Apa?" seru Sarah dan pria paruh baya itu secara bersamaan."Sarah, perkenalkan. Dia ayahku. Dia bernama Austin Dawson," ujar Theo yang tak mempedulikan keterkejutan dua orang tersebut."Siapa namamu, Young Lady?" pria bernama Austin itu terlihat sangat berwibawa. Dia menatap lembut seraya mengulurkan tangan."My name is Sarah Delila Ramdhan," Sarah menelan ludah sebelum membalas uluran tangan Austin."Darimana asalmu?" tanya Austin lagi."Um ...." Sarah yang kebingungan, menoleh pada Theo."Kami bertemu di Bali. Dia yang berhasil mengeluarkanku dari tempurung," kelakar Theo sambil terbahak."Ibumu harus diberitahu," Austin buru-buru berbalik dan meraih gagang telepon antik yang terpajang di atas meja kerja. "Theo ...." Sarah semakin was-was menatap pria rupawan di sampingnya. Berdasarkan pengamatan, jelas sudah bahwa Theo bukanlah pria biasa-biasa. Mansion dan sosok sang ayah cukup menjadi bahan penilaian Sarah bahwa mereka berasal dari keluarga kelas atas. Sementara dirinya hanyalah