Akira menggeliat dalam tidurnya ketika indera pendengarannya menangkap sesuatu yang berisik. Ia seperti mendengar suara pintu yang terbuka dan beberapa benda yang bergesekan.
Kelopak matanya terbuka perlahan dan mendapati Can yang baru saja keluar dari kamar mandi dan menaruh satu persatu pakaiannya di keranjang khusus pakaian kotor.
“Can? Kau sudah pulang?” Ia sedikit menegakkan tubuh dan berusaha menyesuaikan pencahayaan meskipun gorden masih tertutup.
Pria itu tersenyum manis. “Aku sudah pulang sejak malam, Akira.”
Akira mengernyit sesaat sebelum menguap dan kembali bertanya. “Jam berapa kau pulang?”
“Jam sebelas malam,” sahutnya jujur dan kembali masuk ke kamar mandi untuk menaruh handuk kecilnya di sana.
Ia kembali keluar kamar mandi dengan setelan santai. Celana pendek dan kaus lengan pendek dengan rambut yang masih sedikit acakan dan terlihat basah.
Air menet
“Aku tinggal di unit apartemen,” sahut Ayse tersenyum manis, memasukkan sendok berisi makan siang ke dalam mulutnya.Para pelayan sebagian makan siang di kursi panjang yang berada di ruang loker. Ayse duduk bersama Susan dengan bekal makan siang yang dirinya bawa. Sebenarnya, ada ruang khusus untuk makan siang, tapi terlalu jauh karena berada di belakang gedung area basement. Di mana kantin untuk para pekerja seperti mereka berada dan berkumpul.Susan tampak terpaku. “Kau serius, Ayse? Bukankah untuk menyewa apartemen selama sebulan cukup mahal? Aku tidak akan sanggup untuk membayarnya. Oleh sebab itu, aku memilih tinggal di rumah Bibiku. Karena orangtuaku berada di desa.”Ayse mengangguk pelan. “Tapi aku masih menyimpan sedikit tabungan,” balasnya.“Sekarang, aku sedang membutuhkan uang untuk menyambung hidup. Ya, sekadar untuk makanku saja sudah lebih dari cukup.”“Kau misterius sekali. Apa kau anak seorang pengusaha yang memilih keluar dan hidup mand
“Nak, bagaimana dengan rapat yang akan dilalukan selama tiga hari di Istanbul?”“Aku sudah menyuruh Sekretarisku untuk menyiapkan semua berkas dan juga keberangkatannya, Pa,” balas pria itu mengalihkan sejenak pandangannya dari layar laptop.Pagi hari setelah sarapan bersama, pria itu memutuskan memasuki ruang kerja di rumah mewahnya. Ia melihat sejenak apa saja yang belum dikerjakannya, termasuk memeriksa email yang semalama dikirimkan Sekretarisnya. Ia cukup lelah dan tidur tepat waktu.Tuan Sener mengangguk dan menumpukan kedua lengannya di atas meja kerja Can. Ia sedikit menautkan jemari tangannya. “Akira sempat mengatakan jika siang ini kau tidak akan ke perusahaan?”“Iya. Aku akan menemaninya mengecek kandungannya,” balas pria itu dengan hangat.“Kandungannya?”Saat itupula Can menipiskan bibirnya, menatap lekat Tuan Sener yang memandangnya lurus. Can menelan saliva susah paya
“Lihatlah Ayse. Dia masih bertahan hingga dua jam di mejanya berada,” cetus Fuat.Ayse menatap pria itu dengan pandangan tidak suka. “Hubungannya dengan diriku apa, Fuat? Bukankah pelanggan bebas duduk semau mereka, selama beberapa jam dia bertahan di sana.”Susan yang baru saja mengantarkan pesanan menatap mereka dengan memicing. “Apa yang kalian bicarakan?”“Seorang pria tampan dan kaya menyukai teman kita,” balasnya cepat yang langsung membuat manik hazel Ayse membeliak.Bibir Susan terbuka sempurna dengan tatapan kaget. “Kau serius?!”“Hei! Berhentilah mengatakan hal yang tidak benar!” seru Ayse mendelik sebal.Fuat tertawa geli melihat wajah memerah dan tatapan tajam perempuan itu. “Jika, tidak ada sesuatu yang menarik pandangannya padamu, kenapa dia tidak beranjak dan keluar? Bahkan, makanan dan minumannya telah habis.”Susan berdecak pelan. “Di mana pria yang
“Sepertinya aku harus berulang kali mengatakan permintaan maafku padamu, Ayse,” ucap pria itu yang membelakangi tubuhnya, sibuk di atas kompor dan menyiapkan malam malam sederhana dengan bahan yang ada di kulkas.Ayse tertawa kecil mendengar gerutukan Can. “Jika saja pikiranku tidak tertuju dan menggebu untuk sampai di unitmu. Mungkin kita bisa singgah ke minimarket terdekat, membeli beberapa bahan tambahan dan bukan sekadar memanfaatkan bahan sisa ini.”“Tenanglah Can ...”“Meskipun hanya spaghetti, aku bahagia bisa makan malam bersamamu,” ucapnya dengan tulus, menyusupkan kedua lengannya dan menautkan jemari tangan Ayse ketika berada di depan perut yang tercetak jelas ketika Can membuka pakaiannya.Sayangnya, mereka masih memakai pakaian lengkap, kecuali Can yang sudah menanggalkan jas dan menyingsingkan lengan kemeja panjangnya hingga sebatas siku.Pria itu mengembuskan napas kasar, lalu mengangg
Iskander menenggak wine begitu tenang meskipun indera pendengarannya menangkap langkah kaki seseorang.“Kakak ... Ada apa kau menyuruhku pulang?!” teriakan itu berasal dari pintu utama dan pria dewasa itu tetap menunggu suara yang familier.Ia duduk di ruang keluarga, menonton film action.“Kakak?”Pria itu menoleh ke arah pintu, menerbitkan senyum hangatnya, “Hai, Ilker ...”“Bagaimana perjalananmu dari Istanbul ke sini? Apakah menyenangkan?”Dengkusan pelan dan bibir mencebik itu justru di dapatkan Iskander. Tanpa peduli jika saudaranya akan tersinggung, Ilker—pria berusia dua puluh tiga tahun—itu mengumpati Iskander, mengambil duduk di sampingnya.Ia pun melirik sekilas minuman Iskander. Pria itu sangat santai menyambut kedatangan dirinya yang sebenarnya penuh dengan amarah. “Kenapa kau menyuruhku untuk pul
“Sampai jumpa, Can. Bekendaralah dengan kecepatan normal,” ucap Ayse sedikit berjinjit dan mencium pipi kanan dan kiri pria itu sekilas.Can menatap lekat Ayse. Keduanya berada di luar unit perempuan itu dan mengantar Can untuk pulang sebatas pintu. Tapi, Ayse mengernyitkan kening mendapati sorot lain dari Can.“Ada sesuatu yang ingin kau katakan?” tanyanya tepat sasaran ketika Can mengerjap.Pria itu menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Malam belum terlalu larut dan ia memang harus pulang dengan jam yang telah mereka sepakati dalam pesan singkat tadi. Sayangnya, Can seolah tidak ingin merusak momen mereka dengan pernyataannya kali ini. Namun, ia harus tetap mengatakannya dan mendapati respons apa pun yang dilontarkan Ayse.“Akira memintaku untuk mengabulkan permintaannya,” cetus pria itu menatap lurus Ayse.Sesaat ia melihat keterdiaman Ayse. Kemudian dengan pelan ia bertanya, “Per
“Akira sayang ... Bibi merasa jika kau sudah lama tidak pulang ke rumahmu, Nak.”Akira terkekeh kecil, membiarkan paras cantiknya terangkum dalam kedua telapak tangan Nyonya Erdem. Ia merasakan kehangatan saat bibir wanita itu menempel di keningnya. Penuh kasih sayang.“Ayo, masuklah, Nak.”Can mengulum senyum dan mengikuti keduanya masuk ke dalam rumah Akira. Rumah dari mendiang Keluarga Muammer, orangtua Akira yang dijaga—dirawat—oleh Paman dan Bibi Akira.Nyonya Erdem adalah Adik dari mendiang Tuan Muammer. Wanita itu pun tidak dikaruniai seorang anak, bahkan diusianya yang akan mendekati usia lima puluh tahun. Jadi, sebagai gantinya, wanita itu merawat sepenuh hatinya pada Akira Muammer.“Jadi, kalian akan berpindah ke mari sementara waktu?” tanyanya melihat tas jinjing yang dibawa Can, diletakkannya di atas sofa.“Tidak, Bibi,” sahut Akira menoleh pada wanita yang m
Ayse membeliak dengan napas tercekat, mendapati Can sudah duduk di sofa dengan pandangan lurus ke arah teve menyala. Pria itu menoleh datar, tidak seperti biasanya dan membuat Ayse merasakan dadanya bergemuruh cepat.“Dari mana saja?” tanyanya beranjak berdiri.“Nyaris sepuluh kali aku meneleponmu dan tidak ada satupun balasan yang kuterima. Ini hari libur, bukan?”Ayse mengangguk ragu, lalu berjalan mendekati Can setelah menutup pintu. “Can ... Aku baru pulang dari minimarket,” lirihnya dengan takut menunjukkan kantung berisi belanjaan.Sebelah alis pria itu terangkat. “Ponselmu akan mengusik aktifitasmu jika kau memang menghidupkannya, Ayse.”Ayse tertegun. “Aku ... Mematikan suara ponsel dan sengaja melakukannya.”Can sedikit kaget, tapi ia berusaha mengendalikannya. “Ada apa? Apa hubungan ini membuatmu lelah, Ayse?”Perempuan itu tersinggung dan menatap tajam Ca
“Can ... bagaimana jika ada yang masuk? Orangtuamu akan mengetahui hasrat putranya yang selama ini tersimpan di balik sikap sopan dan tenangnya. Bahkan, kau bisa membuat namaku buruk sebagai imbasnya.”Pria tampan itu mengulum senyum. Lebih tepatnya ia menahan kedutan kedua sudut bibir, memerhatikan Ayse mendelik sebal seraya berusaha menjauhkan tubuhnya dari dekapan Can.Can berhasil masuk ke kamar Ayse tengah malam dan bahagia mendapati perempuan itu belum tertidur.Ayse sibuk duduk bersandar di kepala ranjang, memainkan iPad miliknya dan membuat desain wajah perempuan itu bersama dirinya. Sungguh ia tidak memerhatikan jika Ayse memiliki imajinasi yang tinggi dan kreatifitas mumpuni.“Kenapa kau belum tidur dan terlihat sibuk membuat sketsa tadi, hm?”Perempuan itu memicingkan mata tidak suka, diabaikan ucapannya. Tapi bagaimanapun Ayse mengalah, mengendurkan perlakuannya yang sedari tadi berusaha mendorong tubuh Can.
“Aku sepakat dengan permintaanmu, Can. Sebaiknya kita lebih fokus merawat anak kita dan aku akan membebaskanmu jika pun kau bersama dia nantinya.”Can menatap lekat perempuan yang duduk di hadapannya. Perempuan itu menatapnya lurus, ditemani oleh Tuan dan Nyonya Erdem yang duduk di sisi Akira.Ia datang berkunjung untuk memperbaiki semuanya, meskipun Can sempat berpikir jika hal ini tidak akan mudah terjadi. Tapi sepertinya ia salah menduga karena tepat di ruang tengah ini, Can mendapatkan kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali.“Tenang saja. Kita akan bercerai sesuai yang sudah kau inginkan sejak awal,” tambahnya menyorot tegas Can.Tidak ada hal yang bisa membuat Can beranggapan jika ucapan itu sekadar hal yang mudah dibohongi Akira. Ia sudah mengucapkan dengan kalimat tegasnya. Kening Can yang sebelumnya mengkerut, kini berangsur menipis.“Keponakanku sudah mengambil pilihan yang kau inginkan, Can. Seharusny
Ayse menggeliat saat dirasakannya ada sentuhan yang terus membelai puncak kepalanya. Ia pun mengerjap, menyipitkan mata sampai ia terkesiap, mendapati wanita yang menjadi Ibu dari pria yang sangat dicintainya, duduk di tepi ranjang untuk menyapa Ayse. “Selamat pagi, Nak.”Dengan cepat Ayse mendudukkan tubuhnya, menatap dengan salah tingkah karena sepertinya ia mulai tidak tahu diri telah berada di mana. Ia menunduk meminta maaf, “Bibi ... Aku lupa menghidupkan alarm, supaya aku bangun lebih pagi. Maafkan aku, Bibi,” ucap Ayse dengan wajah memerah.Ia malu dengan sikapnya sendiri.Tapi, wanita yang tampak lembut menyorotnya, memberikan kehangatan dalam genggaman tangan membuatnya memberanikan diri untuk bersitatap. Sekalipun ia masih belum bisa mengembalikan kepercayaan dirinya. “Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Nak. Ini baru pukul setengah enam pagi. Aku sengaja datang ke mari hanya
PLAK!“BERANINYA KAU MELUKAI PERASAAN KEPONAKANKU, CAN!”Nyonya Sener membungkam mulutnya dan tidak bisa berhenti meneteskan air mata saat putra semata wayangnya diperlakukan dengan kasar. Seumur hidupnya, tidak pernah sedikit pun ia ringan tangan untuk memukul putranya.Anaknya sangat penurut sejak kecil.Entah kenapa hingga detik ini, ia mengambil langkah yang berbeda dan menentang beberapa kesepakatan ‘sah’ di dalam hidupnya.Tuan Sener hanya menatap sendu perlakuan yang sangat wajar diterima Can saat pria itu berani mengambil langkah seperti ini. Ayse berada di samping pria itu dengan bulir air mata yang turun.Pun sama apa yang dirasakan dan terlihat oleh Akira yang berdiri berdampingan dengan Tuan dan Nyonya Erdem.Keduanya tidak ingin membiarkan anak dari keluarganya mendapatkan perlakuan semena-mena. &ldquo
“Ayse?”Perempuan itu langsung tertunduk mendapati Can yang bertamu ke apartemennya. Ayse tidak melihat lagi siapa yang bertamu dari celah kecil. Jika ia tahu, mungkin perempuan itu bisa menyembunyikan mata sembab dengan memakai masker atau jika ada alternatif yang lebih baik, ia akan memilihnya. Kesedihannya harus tersamarkan.“Ha-hai, Can. Kau membawa hadiah untukku?” Ia berusaha mengendalikan ekspresi, tersenyum semringah menatap ke beberapa paper bag yang dibawa Can.Ia seperti melihat beberapa gaun dan kotak sepatu. Mungkin, heels?“Apa yang tidak kau beritahu dengan cepat, Ayse?”Suara dingin itu membuat Ayse terpaksa menatap Can dengan sorot takut. Napas perempuan itu tercekat dan bibirnya terasa kelu melihat Can menatapnya tegas dan dingin.Ayse berdeham sebentar, lalu memundurkan langkahnya, “Silakan masuk.&r
“DASAR PELAYAN TIDAK BECUS! KAU SUDAH MENGOTORI GAUN MAHALKU!”Seluruh tatapan pengunjung restoran tertuju pada dua orang yang kini menjadi objek perhatian. Perempuan muda dengan tinggi 178 sentimeter itu mengumpat, melihat betapa bodohnya pelayan berusia muda di hadapannya telah mengotori gaun miliknya.“Maafkan aku, Nona ...” lirih Ayse, tertunduk dengan nampan dalam pelukannya.Ia berani mengakui hal jika dirinya memang tidak sengaja menumpahkan minuman dingin yang terakhir dibawanya. Itu menjadi permintaan tambahan setelah perempuan itu memesan air putih. Karena pesanan itu diminta terakhir, tidak bersamaan dengan makanan yang sudah terhidang.Perempuan itu mengetatkan rahangnya, menatap tajam Ayse dalam balutan seragam kerjanya. “Seharusnya kau dipecat! Kinerjamu tidak bagus dan kau sangat bodoh!” cecar perempuan dengan wajah memerah dan meraih mantel di sisi kursi lainnya.Ayse semakin merasa
“Tolong, katakan di mana Can sekarang, Nyonya?”Sebuah gelengan lemah dari Nyonya Sener dan tatapan kejujuran itu membuat Nyonya Erdem mengembuskan napas panjang. Ia membuang pandangan, tidak tahu harus bertanya lebih jelas pada siapa di saat Keponakannya sendiri enggan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi.“Ada apa Anda menanyakan keberadaan putra kami, Nyonya?” tanya Tuan Sener, tidak mengerti saat menyambut kedatangan wanita itu yang bingung.Tuan rumah tersebut berinisiatif membawa tamu, sekaligus keluarga dari pihak menantu mereka untuk berbincang di ruang keluarga. Embusan napas itu kembali terdengar dan sorot mata Nyonya Erdem begitu tegas.Nyonya Sener tidak banyak bicara, jika saja kemungkinan di dalam pikirannya tidak singgah terlalu lama. Ia meragukan jika semuanya perlahan dilakukan Can secara ‘terang-terangan’. Raut wajah Nyonya Erdem terlihat jelas dan Ibu satu anak itu berusaha tidak mengetahui
“Selama aku memimpikan sebuah pernikahan. Aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk mempersunting dua perempuan.”“Lalu, kenapa pemikiran aneh itu kau cetuskan? Apa bisa menjadi jalan keluar dari setiap hal yang sudah membuatku muak berada dalam pernikahan menyesakkan ini?”Ayse menggigit bibir bawahnya dan berusaha menahan desakan diri supaya tidak berkaca-kaca. Ia bisa melihat raut kekecewaan dari Can yang perlahan masuk ke dalam kamar. Sorotnya menyatakan jika pria itu sedih dengan ungkapan Ayse yang semakin menyulitkan Can keluar dari lubang yang sama. Ia ingin bebas, meskipun akan sulit karena memikirkan satu nyawa yang akan hadir.“Aku sudah berniat menceraikan Akira, tapi mendengar semua penuturanmu dan rasa sedihku juga terhadap calon anakku. Bagaimana aku bisa lebih baik untuk berpikir? Sejauh ini aku masih bertahan karena kau yang terus mengingatkanku, Ayse.”Perempuan itu terdiam.Henin
Ayse keluar dari apotek, mengeratkan mantel panjang yang membalut tubuh rampingnya. Ia menggigit bibir bawah, merasa sesak dalam hati dan juga denyutan di kepala. Seharian ia menunggu Can mengabarinya. Tapi, tidak ada satu pun hal yang bisa membuatnya tenang. Alhasil, dirinya mengabaikan makan dan merasakan tubuh lemah.Ia menggerakkan tangan, menghentikan taksi yang lewat dan segera masuk, menyebutkan di mana gedung apartemennya berada. Di dalam mobil, ia berusaha untuk tenang, meskipun pelupuk matanya berkaca-kaca.Ayse bahkan tidak bisa menghubungi nomor ponsel milik Can. Ia mengembuskan napas gusar. Berusaha tenang dan harus kembali sehat supaya besok pagi ia bisa pulang ke Ankara.“Ambil saja kembaliannya. Terima kasih telah mengantarku sampai ke sini,” ucapnya tersenyum manis, dibalas anggukan dan sapaan ‘selamat malam’ dari sang sopir ketika taksi sudah singgah di depan lobi.Ayse meringis pelan, masuk ke dal