“Ya Tuhan ... Kau tampak cantik, Sayang,” ucap Nyonya Erdem berbinar menatap kecantikan Keponakannya yang mematut dirinya di depan cermin.
Akira bersemu seraya merapikan dress di atas lututnya berwarna merah. Kedua lengan dress itu panjang dan memperlihatkan bahu putihnya dengan sempurna. Terutama saat Akira memilih menguncir kuda rambut panjangnya. Leher jenjang itu akan dengan mudah menarik perhatian pria lain.
“Apa aku cantik sungguhan, Bi? Apa Can akan menyukainya?” tanyanya dengan senyum ragu.
Wanita yang belum memasuki usia awal lima puluh tahun itu tertawa. Manik coklatnya tampak mengerjap dan ia sedikit menyibak helaian rambut hitam sebatas bahu.
Pakaiannya tetap mengikuti trend yang ada dengan memadukan kemeja putih dan celana hitamnya dengan ikat pinggang Gucci.
“Untuk apa kau meragukan kecantikanmu, Sayang?” tanyanya meraih kedua bahu Akira, menangkup sisi wajahnya.
<“Kenapa kau tidak menceritakan semuanya padaku dan Jemima, Ayse? Kami sudah melihat ada hal aneh ketika bertanya tentangmu pada Dariga.”Ayse tersenyum getir dan menatap kedua sahabatnya yang datang tanpa Ayse ketahui. Apakah hanya dirinya yang menganggap apartemennya akan aman dan berusaha bersikap baik pada kedua sahabatnya setiap melalui panggilan telepon.Nyatanya Ayse salah besar.“Bahkan, kau tidak memberitahu kedatanganmu ke mari,” sahut Jemima dengan pandangan sedih meskipun tertutup oleh raut datarnya.Ayse mengembuskan napas panjang, lalu menggeleng lemah menatap lekat kedua sahabatnya yang duduk di ruang tengah, di sofa panjang dan Ayse di single sofa.“Maafkan aku ... Semua terlalu membuatku terlalu sakit untuk mengambil langkah yang tepat dan memberitahukan semuanya.”“Tapi apa yang terjadi di antara kau dan Dariga, Ayse?” desak Nur dengan pandangan penuh harap.
‘Hai ... namaku Yavuz Can Sener, kau bisa memanggilku Can. Sekarang, aku ingin mengenal siapa namamu, Nona cantik.’Can tergolong masih kecil, tapi pesona dan senyum manisnya terlalu mampu melumpuhkan pandangan anak perempuan dengan rambut hitam dan manik coklat yang sama.Nyonya Sener menggeleng pelan dengan sikap putranya.‘Ayo, Sayang. Perkenalkan siapa namamu,’ ucap wanita yang duduk di samping anak perempuan itu, membantu mengulurkan tangan berkenalan dengan Can.‘Akira ...’ ucapnya nyaris lirih dan tidak berani menatap Can.‘Namaku ... Akira Muammer,’ lanjutnya membuat Can terlihat sangat senang mendapat responsnya.‘Nama yang cantik,’ pujinya yang kali ini sukses membuat para orang dewasa, termasuk orangtuanya sendiri tertawa. Apalagi melihat Akira yang bersemu.‘Can ... jangan menggoda Akira,” sahut Tuan Sener mengusap puncak kepala putranya yang meman
“Akira ... Can datang menemuimu, Sayang ...”Akira terkesiap. Bahunya menegak, menatap pantulan dirinya di cermin rias hadapannya dan menghentikan gerakannya merius wajahnya mendengar teriakan dari Nyonya Erdem.Suara itu masuk karena Akira tidak menutup pintu kamarnya.“Can?!” pekiknya dengan binaran bahagia.Tanpa memedulikan dirinya yang masih memakai bathrobe berwarna putih, Akira beranjak dari tempat duduknya dan nyaris berlari menuruni anak tangga.Can sudah berdiri dengan sangat tampan, berbalut jaket kulitnya, bersama Nyonya Erdem yang menggeleng lemah dengan penampilan Akira. Helaian rambutnya sedikit terayun dengan gerakan cepat.“Can!”Pria itu tertawa kecil dan membalas pelukan Akira yang melingkarkan kedua tangannya di leher Can. Ia memeluk pinggang ramping itu dengan sedikit usapan lembut di punggungnya.Nyonya Erdem menepuk keningnya
Setelah menikmati suasana yang ada dari atas kastil dan mengambil banyak potret. Can dan Akira memutuskan beristirahat sejenak di kedai sambil menikmati teh hangat dan beberapa camilan untuk mereka.“Kau menikmati minumanmu?” tanya pria tampan itu duduk berhadapan dengan Akira.Perempuan itu menatapnya dengan senyum manis. “Aku lebih menikmati di saat kau bisa tersenyum untukku,” balasnya membuat Can terkekeh pelan.Akira menatapnya lekat. “Aku berkata sungguhan. Cobalah kau tersenyum di saat aku sedang menikmati teh hangat ini. Aku sudah menyimpulkan semakin menikmatinya,” sambungnya menghadirkan senyum manis Can.“Ah, kau ini, Can! Seharusnya tunggu aku meminumnya lagi,” ucapnya setengah kesal yang langsung membuat Can tidak bisa menahan tawanya.Perempuan itu dan dirinya sibuk menikmati minuman dan camilan yang mereka beli. Sesekali tatapan Can beralih ke arah pengunjung kedai yang datang.
“Apa kau tau tempat ini, Ayse?”Perempuan itu mengulas senyum manis dengan desiran halus mengalir dalam tubuhnya. Ia memerhatikan Can yang melakukan panggilan video dan menggerakan kamera depan untuk memperlihatkan latar yang ada di belakang tubuh pria tampan itu.‘Yayasan?’Can mengangguk dengan senyum hangatnya. “Benar. Tepatnya di area taman belakang gedung yayasan.”“Tempat di mana aku memberikan kesan terakhir di antara kita dengan penuh mendebarkan.”Ayse mengulum senyum. Ia benar-benar merasakan kedutan di kedua sudut bibirnya. ‘Tempat berkesan di mana kau telah mengambil ciuman pertamaku,’ balasnya menghadirkan tawa kecil bagi Can.“Itu juga yang pertama untukku dan aku sangat menginginkan apa yang aku jaga selama dua puluh lima tahun ini, menjadi milikmu juga nantinya,” ungkapnya menatap lurus Ayse yang kini duduk di atas ranjangnya dengan salah tingkah.
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Ayse?”Pria itu tampak duduk di meja kerjanya setelah sampai di rumah. Ia terlalu khawatir dengan keadaan perempuan itu. Ia berusaha menyetir dengan kecepatan normal meskipun dalam hatinya jantung pria itu berdetak kuat.Ia terus terngiang suara rintihan dan sesekali napas tersengal Ayse.Kini, perempuan yang duduk di ruang tengah tampak mengulas senyum manis dan wajahnya tidak menunjukkan raut pucat. Lebih rileks dan mengangguk pada Can. ‘Jemima membantuku. Dia membantuku membelikan obat di apotek sebelum datang ke mari dan membawa makan untukku. Meskipun aku harus menahan rasa sakit sedikit lebih lama,’ jelasnya membuat napas Can terembus lebih lega.“Syukurlah, Sayang ... Kau nyaris membuatku panik dan ingin terbang ke sana detik itu juga.”Ayse tersenyum manis dan merasakan letupan dalam hati mendapati Can yang begitu peduli dan sangat perhatian padanya.
Seluruh media dan stasiun televisi mulai dibuat bertanya oleh pernikahan seorang pengusaha muda itu. Akman memajukan tanggal pernikahan—tiga hari—dari undangan yang telah disebar. Isu merebak dan pria itu tidak memedulikan lagi bagaimana media akan mencetak berita dan stasiun televisi menyiarkan isu pernikahannya.Karena pernikahan itu digelar tertutup dan Akman harus menanggung malu dengan menyuruh Asisten pribadi dan Sekretarisnya, mengabarkan pembatalan undangan pernikahan pada rekan kerjanya di luar kota maupun luar negeri.Ya. Ia meminta Asistennya untuk menghubungi Asisten Keluarga Sener untuk memberitahu berita tersebut. Ia hanya mengundang orang terdekat dan tidak sampai lima puluh orang untuk menyaksikan pernikahannya di area taman rumah yang luas bersama Dariga.Seluruh mata memandang keduanya, terutama tidak hentinya tanda tanya besar, memerhatikan Ayse duduk di antara kedua sahabatnya di deretan kursi depan.
Can menutup pintu mobil dengan pandangan kosong. Kakinya lemas dan ia terlalu sulit untuk menapaki kaki, menaiki tangga untuk sampai di pintu utama rumahnya.Pria itu nyaris jatuh jika saja tidak menahan telapak tangan kanannya pada body mobil.“Tuan Can? Anda tidak apa-apa?” tanya pengawal berbalut mantelnya, mendekati Can dengan panik.Can menggeleng lemah tanpa memandangnya. “Tidak, Tuan. Kau bisa kembali bekerja,” cetusnya pelan dan membiarkan lelaki itu berlalu, kembali ke area depan.Tangan Can keringat dingin. Begitupula keningnya dan ia terus merasakan denyutan di kepalanya mendapatkan fakta jika ia telah melepas apa yang dirinya jaga selama dua puluh lima tahun dalam hidupnya untuk Akira.Napas Can sesak. “Ayse ...” lirihnya dengan air mata membumbung tinggi di pelupuk matanya.Can tahu jika ia telah mengkhianati perempuan yang sangat dicintainya. Sakit hatinya tidak akan s
“Can ... bagaimana jika ada yang masuk? Orangtuamu akan mengetahui hasrat putranya yang selama ini tersimpan di balik sikap sopan dan tenangnya. Bahkan, kau bisa membuat namaku buruk sebagai imbasnya.”Pria tampan itu mengulum senyum. Lebih tepatnya ia menahan kedutan kedua sudut bibir, memerhatikan Ayse mendelik sebal seraya berusaha menjauhkan tubuhnya dari dekapan Can.Can berhasil masuk ke kamar Ayse tengah malam dan bahagia mendapati perempuan itu belum tertidur.Ayse sibuk duduk bersandar di kepala ranjang, memainkan iPad miliknya dan membuat desain wajah perempuan itu bersama dirinya. Sungguh ia tidak memerhatikan jika Ayse memiliki imajinasi yang tinggi dan kreatifitas mumpuni.“Kenapa kau belum tidur dan terlihat sibuk membuat sketsa tadi, hm?”Perempuan itu memicingkan mata tidak suka, diabaikan ucapannya. Tapi bagaimanapun Ayse mengalah, mengendurkan perlakuannya yang sedari tadi berusaha mendorong tubuh Can.
“Aku sepakat dengan permintaanmu, Can. Sebaiknya kita lebih fokus merawat anak kita dan aku akan membebaskanmu jika pun kau bersama dia nantinya.”Can menatap lekat perempuan yang duduk di hadapannya. Perempuan itu menatapnya lurus, ditemani oleh Tuan dan Nyonya Erdem yang duduk di sisi Akira.Ia datang berkunjung untuk memperbaiki semuanya, meskipun Can sempat berpikir jika hal ini tidak akan mudah terjadi. Tapi sepertinya ia salah menduga karena tepat di ruang tengah ini, Can mendapatkan kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali.“Tenang saja. Kita akan bercerai sesuai yang sudah kau inginkan sejak awal,” tambahnya menyorot tegas Can.Tidak ada hal yang bisa membuat Can beranggapan jika ucapan itu sekadar hal yang mudah dibohongi Akira. Ia sudah mengucapkan dengan kalimat tegasnya. Kening Can yang sebelumnya mengkerut, kini berangsur menipis.“Keponakanku sudah mengambil pilihan yang kau inginkan, Can. Seharusny
Ayse menggeliat saat dirasakannya ada sentuhan yang terus membelai puncak kepalanya. Ia pun mengerjap, menyipitkan mata sampai ia terkesiap, mendapati wanita yang menjadi Ibu dari pria yang sangat dicintainya, duduk di tepi ranjang untuk menyapa Ayse. “Selamat pagi, Nak.”Dengan cepat Ayse mendudukkan tubuhnya, menatap dengan salah tingkah karena sepertinya ia mulai tidak tahu diri telah berada di mana. Ia menunduk meminta maaf, “Bibi ... Aku lupa menghidupkan alarm, supaya aku bangun lebih pagi. Maafkan aku, Bibi,” ucap Ayse dengan wajah memerah.Ia malu dengan sikapnya sendiri.Tapi, wanita yang tampak lembut menyorotnya, memberikan kehangatan dalam genggaman tangan membuatnya memberanikan diri untuk bersitatap. Sekalipun ia masih belum bisa mengembalikan kepercayaan dirinya. “Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Nak. Ini baru pukul setengah enam pagi. Aku sengaja datang ke mari hanya
PLAK!“BERANINYA KAU MELUKAI PERASAAN KEPONAKANKU, CAN!”Nyonya Sener membungkam mulutnya dan tidak bisa berhenti meneteskan air mata saat putra semata wayangnya diperlakukan dengan kasar. Seumur hidupnya, tidak pernah sedikit pun ia ringan tangan untuk memukul putranya.Anaknya sangat penurut sejak kecil.Entah kenapa hingga detik ini, ia mengambil langkah yang berbeda dan menentang beberapa kesepakatan ‘sah’ di dalam hidupnya.Tuan Sener hanya menatap sendu perlakuan yang sangat wajar diterima Can saat pria itu berani mengambil langkah seperti ini. Ayse berada di samping pria itu dengan bulir air mata yang turun.Pun sama apa yang dirasakan dan terlihat oleh Akira yang berdiri berdampingan dengan Tuan dan Nyonya Erdem.Keduanya tidak ingin membiarkan anak dari keluarganya mendapatkan perlakuan semena-mena. &ldquo
“Ayse?”Perempuan itu langsung tertunduk mendapati Can yang bertamu ke apartemennya. Ayse tidak melihat lagi siapa yang bertamu dari celah kecil. Jika ia tahu, mungkin perempuan itu bisa menyembunyikan mata sembab dengan memakai masker atau jika ada alternatif yang lebih baik, ia akan memilihnya. Kesedihannya harus tersamarkan.“Ha-hai, Can. Kau membawa hadiah untukku?” Ia berusaha mengendalikan ekspresi, tersenyum semringah menatap ke beberapa paper bag yang dibawa Can.Ia seperti melihat beberapa gaun dan kotak sepatu. Mungkin, heels?“Apa yang tidak kau beritahu dengan cepat, Ayse?”Suara dingin itu membuat Ayse terpaksa menatap Can dengan sorot takut. Napas perempuan itu tercekat dan bibirnya terasa kelu melihat Can menatapnya tegas dan dingin.Ayse berdeham sebentar, lalu memundurkan langkahnya, “Silakan masuk.&r
“DASAR PELAYAN TIDAK BECUS! KAU SUDAH MENGOTORI GAUN MAHALKU!”Seluruh tatapan pengunjung restoran tertuju pada dua orang yang kini menjadi objek perhatian. Perempuan muda dengan tinggi 178 sentimeter itu mengumpat, melihat betapa bodohnya pelayan berusia muda di hadapannya telah mengotori gaun miliknya.“Maafkan aku, Nona ...” lirih Ayse, tertunduk dengan nampan dalam pelukannya.Ia berani mengakui hal jika dirinya memang tidak sengaja menumpahkan minuman dingin yang terakhir dibawanya. Itu menjadi permintaan tambahan setelah perempuan itu memesan air putih. Karena pesanan itu diminta terakhir, tidak bersamaan dengan makanan yang sudah terhidang.Perempuan itu mengetatkan rahangnya, menatap tajam Ayse dalam balutan seragam kerjanya. “Seharusnya kau dipecat! Kinerjamu tidak bagus dan kau sangat bodoh!” cecar perempuan dengan wajah memerah dan meraih mantel di sisi kursi lainnya.Ayse semakin merasa
“Tolong, katakan di mana Can sekarang, Nyonya?”Sebuah gelengan lemah dari Nyonya Sener dan tatapan kejujuran itu membuat Nyonya Erdem mengembuskan napas panjang. Ia membuang pandangan, tidak tahu harus bertanya lebih jelas pada siapa di saat Keponakannya sendiri enggan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi.“Ada apa Anda menanyakan keberadaan putra kami, Nyonya?” tanya Tuan Sener, tidak mengerti saat menyambut kedatangan wanita itu yang bingung.Tuan rumah tersebut berinisiatif membawa tamu, sekaligus keluarga dari pihak menantu mereka untuk berbincang di ruang keluarga. Embusan napas itu kembali terdengar dan sorot mata Nyonya Erdem begitu tegas.Nyonya Sener tidak banyak bicara, jika saja kemungkinan di dalam pikirannya tidak singgah terlalu lama. Ia meragukan jika semuanya perlahan dilakukan Can secara ‘terang-terangan’. Raut wajah Nyonya Erdem terlihat jelas dan Ibu satu anak itu berusaha tidak mengetahui
“Selama aku memimpikan sebuah pernikahan. Aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk mempersunting dua perempuan.”“Lalu, kenapa pemikiran aneh itu kau cetuskan? Apa bisa menjadi jalan keluar dari setiap hal yang sudah membuatku muak berada dalam pernikahan menyesakkan ini?”Ayse menggigit bibir bawahnya dan berusaha menahan desakan diri supaya tidak berkaca-kaca. Ia bisa melihat raut kekecewaan dari Can yang perlahan masuk ke dalam kamar. Sorotnya menyatakan jika pria itu sedih dengan ungkapan Ayse yang semakin menyulitkan Can keluar dari lubang yang sama. Ia ingin bebas, meskipun akan sulit karena memikirkan satu nyawa yang akan hadir.“Aku sudah berniat menceraikan Akira, tapi mendengar semua penuturanmu dan rasa sedihku juga terhadap calon anakku. Bagaimana aku bisa lebih baik untuk berpikir? Sejauh ini aku masih bertahan karena kau yang terus mengingatkanku, Ayse.”Perempuan itu terdiam.Henin
Ayse keluar dari apotek, mengeratkan mantel panjang yang membalut tubuh rampingnya. Ia menggigit bibir bawah, merasa sesak dalam hati dan juga denyutan di kepala. Seharian ia menunggu Can mengabarinya. Tapi, tidak ada satu pun hal yang bisa membuatnya tenang. Alhasil, dirinya mengabaikan makan dan merasakan tubuh lemah.Ia menggerakkan tangan, menghentikan taksi yang lewat dan segera masuk, menyebutkan di mana gedung apartemennya berada. Di dalam mobil, ia berusaha untuk tenang, meskipun pelupuk matanya berkaca-kaca.Ayse bahkan tidak bisa menghubungi nomor ponsel milik Can. Ia mengembuskan napas gusar. Berusaha tenang dan harus kembali sehat supaya besok pagi ia bisa pulang ke Ankara.“Ambil saja kembaliannya. Terima kasih telah mengantarku sampai ke sini,” ucapnya tersenyum manis, dibalas anggukan dan sapaan ‘selamat malam’ dari sang sopir ketika taksi sudah singgah di depan lobi.Ayse meringis pelan, masuk ke dal