Seluruh media dan stasiun televisi mulai dibuat bertanya oleh pernikahan seorang pengusaha muda itu. Akman memajukan tanggal pernikahan—tiga hari—dari undangan yang telah disebar. Isu merebak dan pria itu tidak memedulikan lagi bagaimana media akan mencetak berita dan stasiun televisi menyiarkan isu pernikahannya.
Karena pernikahan itu digelar tertutup dan Akman harus menanggung malu dengan menyuruh Asisten pribadi dan Sekretarisnya, mengabarkan pembatalan undangan pernikahan pada rekan kerjanya di luar kota maupun luar negeri.
Ya. Ia meminta Asistennya untuk menghubungi Asisten Keluarga Sener untuk memberitahu berita tersebut. Ia hanya mengundang orang terdekat dan tidak sampai lima puluh orang untuk menyaksikan pernikahannya di area taman rumah yang luas bersama Dariga.
Seluruh mata memandang keduanya, terutama tidak hentinya tanda tanya besar, memerhatikan Ayse duduk di antara kedua sahabatnya di deretan kursi depan.
Can menutup pintu mobil dengan pandangan kosong. Kakinya lemas dan ia terlalu sulit untuk menapaki kaki, menaiki tangga untuk sampai di pintu utama rumahnya.Pria itu nyaris jatuh jika saja tidak menahan telapak tangan kanannya pada body mobil.“Tuan Can? Anda tidak apa-apa?” tanya pengawal berbalut mantelnya, mendekati Can dengan panik.Can menggeleng lemah tanpa memandangnya. “Tidak, Tuan. Kau bisa kembali bekerja,” cetusnya pelan dan membiarkan lelaki itu berlalu, kembali ke area depan.Tangan Can keringat dingin. Begitupula keningnya dan ia terus merasakan denyutan di kepalanya mendapatkan fakta jika ia telah melepas apa yang dirinya jaga selama dua puluh lima tahun dalam hidupnya untuk Akira.Napas Can sesak. “Ayse ...” lirihnya dengan air mata membumbung tinggi di pelupuk matanya.Can tahu jika ia telah mengkhianati perempuan yang sangat dicintainya. Sakit hatinya tidak akan s
BUGH!“BERENGEK!”Iskander terjatuh saat Can sudah lebih dulu melayangkan pukulannya. Pria itu dengan emosi yang sudah ditahannya sejak kemarin, lalu datang ke kediaman Iskander untuk mengambil ponselnya dan juga mengutuk pria itu.Pria itu menyeka sudut bibirnya yang berdarah dan terkekeh pelan. Ia menatap Can yang berdiri dengan napas tersengal. “Jadi, kau sudah tau apa yang kulakukan kemarin?” tanyanya menantang, tidak menutupi hal tersebut.Ia bisa melihat rahang Can yang mengetat. Sebisa mungkin dirinya langsung berdiri dengan berpegangan pada kepala sofa. Dirinya duduk tenang di ruang keluarga dan mendapati Can sudah lebih dulu memukulnya.Ternyata, Can sangat berbahaya jika sedang marah. Ia bahkan tidak mengenal seorang Yavuz Can Sener yang begitu tenang.“Bagaimana dengan obat perangsang itu? Kau ketagihan untuk memakainya lagi?”“Berengsek!” teriak Can dan
Ayse merentangkan kedua tangan, menghirup udara segar di Kota Ankara dari atas balkon unit apartemennya. Ia tersenyum manis, memejamkan sejenak kelopak matanya untuk merasakan kebebasan dalam dirinya.“Setelah dua minggu aku pergi dari kota ini, akhirnya aku bisa kembali,” cetusnya menatap keindahan kota dari ketinggian unit.Bibirnya sedikit menipis mengetahui jika sejak ia menghubungi Can dan tidak mengangkatnya. Saat itupula ia sadar jika Can tidak bisa dihubungi. Ia mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri.“Kau harus berpikir positif, Ayse. Can akan tetap menunggumu dan kau hanya perlu mengunjunginya lebih dulu. Mungkin, dia pun sibuk mengurusi pekerjaannya,” ucapnya meyakinkan diri dan berbalik badan, memasuki unit di mana kedua sahabatnya tengah membereskan pakaian di kamar.Mereka baru tiga jam lalu datang ke mari. Sampai di unit untuk istirahat sejenak lalu berbenah sebelum akhirnya
Perempuan itu menggigit bibir bawahnya dengan terus memandang keluar jalan bersama pilu dan rasa perih dalam hati. Ia menahan isak tangis supaya sopir di depannya tidak mengetahui kerapuhannya.Ayse menahan sikunya di pinggir kaca mobil, memegang sisi kepalanya dan sedikit mencengkeram rambutnya, merasa hentakan kuat rasa pusing di kepalanya.Ia menitikan bulir air mata.Kenapa Tuhan tidak membuatnya bisa merasakan kebahagiaan yang utuh? Sekarang, Ayse semakin hancur. Perasaannya tidak bisa kembali utuh bersama kepingan rasa sakit oleh cintanya yang kandas.Can ... Kenapa sejak dulu aku dipertemukan olehmu, jika pada akhirnya kau akan bersama perempuan lain?Ayse menunduk, membungkam mulutnya meredam isak tangis. Ia memegang tepat di bagian jantung, sakit.Ia benar-benar terluka dengan segala hal yang terjadi hari ini.Aku datang untuk memberikan kejutan atas kehadi
Henna Night begitu membahagiakan untuk Akira. Ia duduk dan ditemani bridesmaid—teman semasa kuliah—sesekali menggoda perempuan yang tangannya sedang dihias. Ukiran khas untuk menyambut hari spesialnya bersama Can besok hari.Khusus malam ini ia ditemani oleh keluarga terdekat dan seluruhnya perempuan. Terutama ketika calon Mama mertuanya menginap, mengikuti prosesi pemakaian Henna.“Kau tampak berseri malam ini, Sayang. Jauh lebih cantik di hari sebelumnya. Tapi, kurasa di saat pernikahanmu datang, itu jauh lebih membuatmu menjadi ratu yang telah mendapatkan pangeran impiannya.”Akira dan kelima temannya tertawa dan sesekali mereka ikut menimpali perempuan yang malam ini mengurai rambutnya.Nyonya Sener tersenyum manis, menangkup sisi wajah Akira. “Besok kau akan menjadi menantuku, Nak,” cetusnya menghadirkan rona merah di pipi Akira.Ia mendongak, menatap kedua wanita yang sangat disayanginya selal
Ayse berdiri di balkon unitnya, memandang ke langit malam yang begitu indah. Ia tersenyum getir, suasana malam ini tidak mencerminkan isi hatinya.Perih menghampiri perasaannya. “Kau sudah resmi menjadi suami dari Akira, Can,” lirihnya.“Perempuan itu resmi menjadi pendamping hidupmu,” lanjutnya.Ayse memegang erat pembatas balkon.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi ia tidak bisa ikut tidur bersama Nur dan Jemima. Ayse tidak merasa kantuk sedikitpun.Ia mengembuskan napas pelan, mengusap sudut matanya yang berair. Ayse tidak ingin terus memperlihatkan wajah sembabnya pada kedua sahabat. Mereka bahkan mengundurkan waktu kepulangan. Setidaknya, Ayse harus bersyukur memiliki sahabat yang sangat menyayanginya.Perempuan itu beranjak dari balkon dan menutupnya, lalu mengambil mantel yang tersampir di sisi pintu unit. “Aku ingin berjalan sekitar gedung apartemen ini,” cetusny
“Biarkan aku yang menghidangkan makanan untuk suamiku, Bibi,” ucap Akira mengambil alih cangkir yang akan diisi air putih untuk Can.“Aku akan menyiapkan sendoknya, Nona.”“Tidak perlu. Kau bisa melayani Mama dan Papaku saja,” sambungnya membuat Nyonya dan Tuan Sener yang baru saja datang dan duduk di kursi mereka, menatap Akira dengan senyum kecilnya.“Kau ingin mengawali statusmu yang baru ini, Sayang?” tanya Nyonya Sener.Akira tertawa kecil seraya menyusun sendok dan garpu di sisi piring Can. Ia masih menunggu suaminya yang gantian membersihkan diri. Pagi ini ia merasa jauh lebih berbeda bisa mendapati suaminya tidur di samping dirinya.Paras tampan Can dan bagaimana pria itu selalu menyayanginya, membuat debaran dalam diri Akira tadi pagi begitu membuncah. Ini luar biasa membahagiakan untuknya.“Aku ingin menjadi istri yang baik dan perhatian untuk Can, Mama,” balasnya tidak me
“Kau tampak bahagia setelah menikah ya ...”Can mendengkus geli, menatap Ozan yang duduk di hadapannya dengan pakaian santai. Pria itu memakai kaus polos berwarna putih berbalut jaket kulit berwarna coklat yang dikenakannya. Pria itu pun memadukannya dengan jeans dan sepatu olahraga.“Apa kau sudah beralih profesi sebagai peramal di bandingkan menjadi seorang Manajer diusia muda?”Ozan nyengir lebar dan dengan santainya mengambil cangkir minuman yang bahkan belum disentuh pemiliknya. Sekretaris Can membawa masuk minuman milik Atasannya bersamaan dengan kehadiran Can di siang hari.“Kau ini, Ozan ...” Can menggeleng pelan, tidak menyangka dengan sikap pria yang lebih muda darinya.Pria keturunan Jerman – Turki itu terkekeh pelan. “Tenggorokanku terasa kering sejak tadi dan kau tidak peduli dengan diriku sebagai tamu.”Can memicingkan matanya dan berucap, “Kau harus tau, jika Asistenk
“Can ... bagaimana jika ada yang masuk? Orangtuamu akan mengetahui hasrat putranya yang selama ini tersimpan di balik sikap sopan dan tenangnya. Bahkan, kau bisa membuat namaku buruk sebagai imbasnya.”Pria tampan itu mengulum senyum. Lebih tepatnya ia menahan kedutan kedua sudut bibir, memerhatikan Ayse mendelik sebal seraya berusaha menjauhkan tubuhnya dari dekapan Can.Can berhasil masuk ke kamar Ayse tengah malam dan bahagia mendapati perempuan itu belum tertidur.Ayse sibuk duduk bersandar di kepala ranjang, memainkan iPad miliknya dan membuat desain wajah perempuan itu bersama dirinya. Sungguh ia tidak memerhatikan jika Ayse memiliki imajinasi yang tinggi dan kreatifitas mumpuni.“Kenapa kau belum tidur dan terlihat sibuk membuat sketsa tadi, hm?”Perempuan itu memicingkan mata tidak suka, diabaikan ucapannya. Tapi bagaimanapun Ayse mengalah, mengendurkan perlakuannya yang sedari tadi berusaha mendorong tubuh Can.
“Aku sepakat dengan permintaanmu, Can. Sebaiknya kita lebih fokus merawat anak kita dan aku akan membebaskanmu jika pun kau bersama dia nantinya.”Can menatap lekat perempuan yang duduk di hadapannya. Perempuan itu menatapnya lurus, ditemani oleh Tuan dan Nyonya Erdem yang duduk di sisi Akira.Ia datang berkunjung untuk memperbaiki semuanya, meskipun Can sempat berpikir jika hal ini tidak akan mudah terjadi. Tapi sepertinya ia salah menduga karena tepat di ruang tengah ini, Can mendapatkan kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali.“Tenang saja. Kita akan bercerai sesuai yang sudah kau inginkan sejak awal,” tambahnya menyorot tegas Can.Tidak ada hal yang bisa membuat Can beranggapan jika ucapan itu sekadar hal yang mudah dibohongi Akira. Ia sudah mengucapkan dengan kalimat tegasnya. Kening Can yang sebelumnya mengkerut, kini berangsur menipis.“Keponakanku sudah mengambil pilihan yang kau inginkan, Can. Seharusny
Ayse menggeliat saat dirasakannya ada sentuhan yang terus membelai puncak kepalanya. Ia pun mengerjap, menyipitkan mata sampai ia terkesiap, mendapati wanita yang menjadi Ibu dari pria yang sangat dicintainya, duduk di tepi ranjang untuk menyapa Ayse. “Selamat pagi, Nak.”Dengan cepat Ayse mendudukkan tubuhnya, menatap dengan salah tingkah karena sepertinya ia mulai tidak tahu diri telah berada di mana. Ia menunduk meminta maaf, “Bibi ... Aku lupa menghidupkan alarm, supaya aku bangun lebih pagi. Maafkan aku, Bibi,” ucap Ayse dengan wajah memerah.Ia malu dengan sikapnya sendiri.Tapi, wanita yang tampak lembut menyorotnya, memberikan kehangatan dalam genggaman tangan membuatnya memberanikan diri untuk bersitatap. Sekalipun ia masih belum bisa mengembalikan kepercayaan dirinya. “Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Nak. Ini baru pukul setengah enam pagi. Aku sengaja datang ke mari hanya
PLAK!“BERANINYA KAU MELUKAI PERASAAN KEPONAKANKU, CAN!”Nyonya Sener membungkam mulutnya dan tidak bisa berhenti meneteskan air mata saat putra semata wayangnya diperlakukan dengan kasar. Seumur hidupnya, tidak pernah sedikit pun ia ringan tangan untuk memukul putranya.Anaknya sangat penurut sejak kecil.Entah kenapa hingga detik ini, ia mengambil langkah yang berbeda dan menentang beberapa kesepakatan ‘sah’ di dalam hidupnya.Tuan Sener hanya menatap sendu perlakuan yang sangat wajar diterima Can saat pria itu berani mengambil langkah seperti ini. Ayse berada di samping pria itu dengan bulir air mata yang turun.Pun sama apa yang dirasakan dan terlihat oleh Akira yang berdiri berdampingan dengan Tuan dan Nyonya Erdem.Keduanya tidak ingin membiarkan anak dari keluarganya mendapatkan perlakuan semena-mena. &ldquo
“Ayse?”Perempuan itu langsung tertunduk mendapati Can yang bertamu ke apartemennya. Ayse tidak melihat lagi siapa yang bertamu dari celah kecil. Jika ia tahu, mungkin perempuan itu bisa menyembunyikan mata sembab dengan memakai masker atau jika ada alternatif yang lebih baik, ia akan memilihnya. Kesedihannya harus tersamarkan.“Ha-hai, Can. Kau membawa hadiah untukku?” Ia berusaha mengendalikan ekspresi, tersenyum semringah menatap ke beberapa paper bag yang dibawa Can.Ia seperti melihat beberapa gaun dan kotak sepatu. Mungkin, heels?“Apa yang tidak kau beritahu dengan cepat, Ayse?”Suara dingin itu membuat Ayse terpaksa menatap Can dengan sorot takut. Napas perempuan itu tercekat dan bibirnya terasa kelu melihat Can menatapnya tegas dan dingin.Ayse berdeham sebentar, lalu memundurkan langkahnya, “Silakan masuk.&r
“DASAR PELAYAN TIDAK BECUS! KAU SUDAH MENGOTORI GAUN MAHALKU!”Seluruh tatapan pengunjung restoran tertuju pada dua orang yang kini menjadi objek perhatian. Perempuan muda dengan tinggi 178 sentimeter itu mengumpat, melihat betapa bodohnya pelayan berusia muda di hadapannya telah mengotori gaun miliknya.“Maafkan aku, Nona ...” lirih Ayse, tertunduk dengan nampan dalam pelukannya.Ia berani mengakui hal jika dirinya memang tidak sengaja menumpahkan minuman dingin yang terakhir dibawanya. Itu menjadi permintaan tambahan setelah perempuan itu memesan air putih. Karena pesanan itu diminta terakhir, tidak bersamaan dengan makanan yang sudah terhidang.Perempuan itu mengetatkan rahangnya, menatap tajam Ayse dalam balutan seragam kerjanya. “Seharusnya kau dipecat! Kinerjamu tidak bagus dan kau sangat bodoh!” cecar perempuan dengan wajah memerah dan meraih mantel di sisi kursi lainnya.Ayse semakin merasa
“Tolong, katakan di mana Can sekarang, Nyonya?”Sebuah gelengan lemah dari Nyonya Sener dan tatapan kejujuran itu membuat Nyonya Erdem mengembuskan napas panjang. Ia membuang pandangan, tidak tahu harus bertanya lebih jelas pada siapa di saat Keponakannya sendiri enggan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi.“Ada apa Anda menanyakan keberadaan putra kami, Nyonya?” tanya Tuan Sener, tidak mengerti saat menyambut kedatangan wanita itu yang bingung.Tuan rumah tersebut berinisiatif membawa tamu, sekaligus keluarga dari pihak menantu mereka untuk berbincang di ruang keluarga. Embusan napas itu kembali terdengar dan sorot mata Nyonya Erdem begitu tegas.Nyonya Sener tidak banyak bicara, jika saja kemungkinan di dalam pikirannya tidak singgah terlalu lama. Ia meragukan jika semuanya perlahan dilakukan Can secara ‘terang-terangan’. Raut wajah Nyonya Erdem terlihat jelas dan Ibu satu anak itu berusaha tidak mengetahui
“Selama aku memimpikan sebuah pernikahan. Aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk mempersunting dua perempuan.”“Lalu, kenapa pemikiran aneh itu kau cetuskan? Apa bisa menjadi jalan keluar dari setiap hal yang sudah membuatku muak berada dalam pernikahan menyesakkan ini?”Ayse menggigit bibir bawahnya dan berusaha menahan desakan diri supaya tidak berkaca-kaca. Ia bisa melihat raut kekecewaan dari Can yang perlahan masuk ke dalam kamar. Sorotnya menyatakan jika pria itu sedih dengan ungkapan Ayse yang semakin menyulitkan Can keluar dari lubang yang sama. Ia ingin bebas, meskipun akan sulit karena memikirkan satu nyawa yang akan hadir.“Aku sudah berniat menceraikan Akira, tapi mendengar semua penuturanmu dan rasa sedihku juga terhadap calon anakku. Bagaimana aku bisa lebih baik untuk berpikir? Sejauh ini aku masih bertahan karena kau yang terus mengingatkanku, Ayse.”Perempuan itu terdiam.Henin
Ayse keluar dari apotek, mengeratkan mantel panjang yang membalut tubuh rampingnya. Ia menggigit bibir bawah, merasa sesak dalam hati dan juga denyutan di kepala. Seharian ia menunggu Can mengabarinya. Tapi, tidak ada satu pun hal yang bisa membuatnya tenang. Alhasil, dirinya mengabaikan makan dan merasakan tubuh lemah.Ia menggerakkan tangan, menghentikan taksi yang lewat dan segera masuk, menyebutkan di mana gedung apartemennya berada. Di dalam mobil, ia berusaha untuk tenang, meskipun pelupuk matanya berkaca-kaca.Ayse bahkan tidak bisa menghubungi nomor ponsel milik Can. Ia mengembuskan napas gusar. Berusaha tenang dan harus kembali sehat supaya besok pagi ia bisa pulang ke Ankara.“Ambil saja kembaliannya. Terima kasih telah mengantarku sampai ke sini,” ucapnya tersenyum manis, dibalas anggukan dan sapaan ‘selamat malam’ dari sang sopir ketika taksi sudah singgah di depan lobi.Ayse meringis pelan, masuk ke dal