Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu
“Eleanore.”
Sosok yang sedari tadi diam tergugu itu sama sekali menolak untuk mengangkat kepalanya. Ia merasakan neraka dunia perlahan-lahan dibukakan dengan sukarela untuknya. Ia bertanya-tanya sedari tadi, kejahatan atau kesalahan apa yang telah ia perbuat sehingga ia harus merasakan kesukaran hidup seperti ini.
Sejak empat puluh menit yang lalu ia duduk dengan tegang di ruang kepala sekolah. Kepala sekolahnya secara pribadi memanggilnya terkait skandal yang ia sendiri tak menyadarinya. Sejak mendudukkan diri di atas kursi panas, ia tahu jika hidupnya tengah dalam masalah besar. Kepala sekolahnya tanpa tedeng aling-aling langsung menghardiknya dengan mengatakan jika ia telah merugikan sekolah dengan skandal memalukan tersebut. Pria tua itu marah-marah tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu pada Ele. Baru ketika Ele memberanikan diri untuk memotong ucapan kepala sekolahnya, Ele disodorkan la
Ele mengerjap sekali.Ia tak menyangka jika jawaban yang keluar dari bibir perawatnya adalah kalimat tanya yang ia sendiri pun kesulitan menjawabnya. Ele menelan ludah dan otaknya seketika berkabut. Ia ragu dengan ucapan Van dan buru-buru tertawa pelan dengan nada sarkastik terbaik yang ia pernah lontarkan.“Aku tak perlu dikasihani. Aku—”“Aku bukan kasihan. Aku peduli. Dan aku sayang padamu.”“Stop it—”“No, I won’t,” potong Van. “Kau mungkin canggung mendengarnya tapi itu lah yang ku rasakan. Aku sayang denganmu, Ele. Ini bukan perasaan iba karena keadaanmu.”“Berhenti lah membual atau kau ku pecat sekarang juga.”“Kalau pun kau memecatku, aku akan tetap datang lagi besok pagi. Dan besok paginya lagi. Dan seterusnya. Aku tak akan pergi kecuali kau benar-benar memintaku pergi dengan pikiran jernih. Saat kau memang sudah memiliki orang yan
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Ele nyaris melemparkan selembar seratus ribu rupiah kepada pengemudi taksi yang baru saja ia naiki. Ia tak peduli jika kelak akan dicap sebagai orang yang tidak sopan, tidak sabaran, dan ceroboh karena nyaris saja iaterserempet sembuah motor pembawa ayam jika saja supir taksi itu tidak meneriakinya agar tidak membuka pintu taksi sembarangan. Ia tak peduli apa yang di pikirkannya. Yang saat ini memenuhi pikirannya adalah sosok yang belakangan ini melambungkannya ke awan lalu menjatuhkannya begitu saja hingga ke bawah tanah. Tora. Nyaris. Nyaris saja ia tidak mempercayai kata-kata dari Poppy. Namun di perjalanan ia menimbang-nimbang lagi dan memutuskan jika meminta penjelasan secara langsung dari Tora pasti akan lebih baik. Lelaki itu jelas berutang penjelasan padanya. Ele mengabaikan teguran dari seorang satpam yang mengatakan jika dirinya tidak boleh masuk begitu saj
Ele yakin dirinya sudah gila. Ele yakin ia pasti gila sejak membiarkan Van menyelimutinya dengan handuk tebal lalu menggendongnya keluar dari kamar mandi. Ia yakin juga dirinya mulai tidak waras karena ia dengan mudahnya membiarkan Van mengusap tubuhnya menggunakan handuk dengan gerakan selembut bulu. Van bahkan menggosok rambut basah Ele sambil berceloteh tentang nikmatnya piknik di tepi danau sambil memberi makan bebek. Menurut Ele, random sekali pemikiran perawatnya itu, namun ia suka mendengarkannya. Sepertinya Ele harus mengambil langkah ancang-ancang supaya tidak kebablasan dalam menanggapi perlakuan manis perawatnya itu. Jika boleh jujur, kehadiran seseorang di saat ia sedang merasa down benar-benar merupakan sebuah obat yang manjur bagi siapa pun. Termasuk dirinya. Kehadiran Van di sampingnya saat ini bisa dibilang mustahil untuk iaabaikan begitu saja. Sulit untuk ia hiraukan sementara orang itu mengulurkan tangannya agar Ele tidak tenggelam dalam kep
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu “Jangan pergi.” Reynold menoleh ke arah Sang Adik yang berdiri dengan lunglai di sebelahnya. “Aku hanya mau beli makan dan minum untuk kita. Wajahmu pucat pasi, Ele. Nanti kau pingsan.” “Aku tidak lapar tidak haus. Di sini saja, Kak. Siapa tahu sebentar lagi operasinya selesai.” Sosok pembawa senyum secerah mentari yang tadinya hendak meninggalkan Sang Adik kini duduk kembali di atas kursi. Mereka berdua menatap lemas pada pintu biru muda di depannya di mana di dalamnya terdapat Sang Ibunda yang sedang dioperasi oleh tim dokter. Semalam keadaan ibu Ele dan Reynold mendadak turun menjadi kritis. Tubuhnya tiba-tiba saja kejang-kejang dan akhirnya ia kehilangan kesadarannya. Ele yang pulang ke rumah dalam keadaan kacau dan basah kuyup seolah tak memiliki tenaga untuk memikirkan masalah pribadinya. Padahal mereka bertiga baru saja berkumpul di kamar Sang Ibunda. Mereka menghabiskan quality ti
Van mengernyitkan keningnya dalam-dalam. Ia menggeleng beberapa kali karena khawatir jika indera pendengarannya terganggu. Apa kah ia tidak salah dengar? Ele memintanya untuk tinggal? “Ini hanya aku yang halu atau memang kau baru saja memintaku untuk di sini saja?” “Di sini saja,” gumam Ele. Ia sendiri juga heran kenapa dirinya malah melarang perawatnya pergi. “Pakai saja pakaianku dulu. Temani aku.” Dengan kehati-hatian teramat sangat Van mengusap lembut pipi Ele. ”Kau mau aku menemanimu sampai tertidur?” tanyanya lembut. Ele memejamkan mata saat usapannya begitu menghangatkan wajahnya. “Ya,” bisiknya. “Baik lah.” Van mengecup puncak kepala Ele. Gerakan itu membuat Ele refleks membuka netranya saat bibir hangatVan singgah di mahkota kepalanya. “Kau berbaring lah dulu. Aku akan ganti baju. Hmm, memangnya kau punya baju seukuranku?” “Ada beberapa pakaian lama Kak Rey yang tertinggal di lemariku. Cari saja.” “Oke, tunggu sebentar
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Sudah sepuluh hari berlalu saat Ibu Ele dan Rey membuka matanya. Eleanore dan Reynold yang kala itu menemani Sang Ibu pun bergegas memeluknya erat-erat. Ibunya tersenyum senang pada mereka berdua. Sang Ibu bahkan mampu mengelus-elus anak-anaknya yang duduk di tepi ranjangnya. Beberapa jam setelahnya bahkan ia sudah mampu berkomunikasi walau belum lancar. Setidaknya beberapa kata dapat Ele tangkap dari bibir pucatnya. Ele bersyukur. Sangat sangat bersyukur. Ele dan Sang Kakak bergantian merawatnya. Mereka menyuapinya, membersihkan tubuhnya dengan handuk basah, memutarkan lagu kesukaannya, dan apa pun yang dibutuhkan. Seperti yang saat ini tengah Reynold lakukan. Sang Ibu memintanya untuk memutar lagu lawas berjudul Nothing Compares to You milik penyanyi Sinead O’Connor. Ia bilang jika lagu itu mengingatkannya akan Ayah. Mereka berdua dulu di masa lalu suka sekali mendengarkan lagu itu bersama-sama dari pe
Gerah. Van merasa sangat gerah di dalam kenyamanan yang melingkupinya. Rasanya seperti tubuhnya tengah tertutup oleh selimut tebal berbahan dasar bulu angsa yang pernah dibuatkan oleh mamanya. Selimut bulu itu pernah jadi favoritnya semasa kecil. Bahkan ia selalu minta dibawakan selimut itu kemana pun ia pergi bersama orang tuanya. Akan tatapi, kali ini bukan selimut yang menghangatkan tubuhnya. Van mengerjapkan matanya selama beberapa kali dan mencoba bangun dari lelapnya. Sedetik setelah netranya benar-benar terbuka, ia menyadari bahwa hawa hangat yang membuatnya gerah merupakan keberadaan seorang gadis manis yang tidur di sebelahnya. Sosok yang ia sayangi di masa lalu dan masa kini. Ele masih dengan lelapnya memejamkan mata indahnya. Ia meletakkan wajahnya di dada Van, menempelkan tubuhnya sedekat mungkin dengan tubuh perawatnya. Tangan kanannya dengan nyaman menekan sedikit celah di dada Van yang tak tertutupi wajahnya. Sementara itu, tangan kirin
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Tora mengaduk-aduk mangkuk serealnya dengan tak bersemangat. Hampa. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Ia merasa begitu kosong. Tak utuh. Seperti ada kepingan yang hilang. Kepingan yang memang sengaja ia hilangkan. Kepingan itu sejatinya berarti untuk membuatnya utuh, namun dengan bodohnya ia malah membuangnya. Ia tanpa ragu membuang berlian dan menyimpan batu karang. Ia akui dirinya memang keterlaluan. Mendorong seseorang pergi dengan cara yang ia lakukan memang sangat kejam. Terkesan jahat. Atau memang benar-benar jahat. Tora tahu, setidaknya bukan dengan cara seperti itu ia seharusnya berpisah dari kekasihnya. Bukan seperti itu caranya mengungkapkan betapa ia sangat menyesal dan sangat ingin memutar balik waktu. Akan tetapi, ia tak bisa menampik bahwa ada satu sisi di dirinya yang mengatakan bahwa ini semua akan berakhir.
“Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari
“Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau
Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka
Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m
Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia
“Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang
Dokter mata…Ingatan Ele berkelana pada kenangan beberapa tahun silam. Kepalanya memutar ulang kenangan di masa sulitnya. Riuhnya suara orang-orang yang berlalu lalang sembari mendorong kursi roda. Bau menyengat khas dari tempat orang berobat. Gumaman-gumaman menyedihkan yang dilontarkan untuknya. Semuanya bagai mimpi buruk untuknya.Ia teringat bahwa hampir semua dokter yang ia temui mengatakan jika indera pengelihatannya tak bisa lagi diperbaiki. Semua jawaban yang ia terima selalu mengecewakan. Tak ada yang mampu membuatnya memupuk asa jika suatu saat ia akan kembali melihat terangnya dunia, birunya langit, atau indahnya warna daun yang gugur di halaman rumahnya.Sejak saat Ele aku menyerah dan menghapus segala kemungkinan yang ia impikan.“Ele?” panggil Van pelan.Ucapan-ucapan menyakitkan yang ia dengar bahkan dari ayahnya sendiri begitu mengusik batinnya. Apa lagi Agatha selalu memperlakukannya bak orang yang sama sekali ta
Sekali lagi, Van kembali meludahkan darah yang menggenang di mulutnya.Setelahnya, ia kembali duduk di dapur di mana Ele tengah menunggunya dengan sekantung es batu yang dibebat dalam kain. Pria itu mengusap hidungnya yang berlumuran darah menggunakan tisu. Tisu itu ia remat dan ia lempar ke atas tumpukan tisu lain yang sedari tadi ia gunakan untuk menghapus darah di wajahnya. Ia memandang ke arah Ele yang dengan lembut memintanya untuk duduk tenang sementara gadis itu berniat mengurangi nyeri perawatnya.Ele menarik sebuah kursi dan duduk di depan Van. Gadis itu dengan perlahan mengulurkan tangannya dan mencari-cari wajah Van. Jemari Ele bergerilya sambil menekan pelan wajah perawatnya itu. Hingga saat Van mengaduh pelan, saat itu lah Ele menemukan bekas hantaman Yuna.“Bagian ini sakit?” tanya Ele pelan.“Tidak,” jawab Van berdusta.Ele lalu menekan bagian yang dimaksud dan mendengar geraman tertahan dari Van.&ldqu
Suara Ele nyaris habis karena tertawa.Gadis itu menyerahkan microphone kepada Kiano alias Ghani yang tengah gila-gilaan menyanyi sambil berjoged bersama Yuna. Setelah mic itu ia serahkan, Ele kemudian menyerah lagi pada tawanya. Ia beringsut secara perlahan menuju ke sofa. Tangannya menyentuh tenggorokannya yang terasa gatal. Ia butuh minum atau tenggorokannya akan sekarat saat ini juga. Total sudah tujuh lagu ia nyanyikan bersama Yuna dan Kiano. Tak heran tenggorokannya sakit dan ia kelelahan sekali.Ele terkikik mendengarkan suara sumbang Yuna yang tengah menyanyikan lagu Good 4 U milik Olivia Rodrigo. Telinganya tak bisa menolerir lagi suara wanita itu. Bagi Ele, suara Yuna benar-benar payah. Ia terdengar sepertiorang yang akan digilas jempolnya dengan container. Sangat cempereng dan mengerikan, namun cukup menghibur baginya karena Yuna tak hanya menyanyi melainkan menari tanpa henti.Di sisi lain, Kiano ternyata memiliki suara yan