Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu
Sudah sepuluh hari berlalu saat Ibu Ele dan Rey membuka matanya.
Eleanore dan Reynold yang kala itu menemani Sang Ibu pun bergegas memeluknya erat-erat. Ibunya tersenyum senang pada mereka berdua. Sang Ibu bahkan mampu mengelus-elus anak-anaknya yang duduk di tepi ranjangnya. Beberapa jam setelahnya bahkan ia sudah mampu berkomunikasi walau belum lancar. Setidaknya beberapa kata dapat Ele tangkap dari bibir pucatnya. Ele bersyukur. Sangat sangat bersyukur.
Ele dan Sang Kakak bergantian merawatnya. Mereka menyuapinya, membersihkan tubuhnya dengan handuk basah, memutarkan lagu kesukaannya, dan apa pun yang dibutuhkan. Seperti yang saat ini tengah Reynold lakukan.
Sang Ibu memintanya untuk memutar lagu lawas berjudul Nothing Compares to You milik penyanyi Sinead O’Connor. Ia bilang jika lagu itu mengingatkannya akan Ayah. Mereka berdua dulu di masa lalu suka sekali mendengarkan lagu itu bersama-sama dari pe
Gerah. Van merasa sangat gerah di dalam kenyamanan yang melingkupinya. Rasanya seperti tubuhnya tengah tertutup oleh selimut tebal berbahan dasar bulu angsa yang pernah dibuatkan oleh mamanya. Selimut bulu itu pernah jadi favoritnya semasa kecil. Bahkan ia selalu minta dibawakan selimut itu kemana pun ia pergi bersama orang tuanya. Akan tatapi, kali ini bukan selimut yang menghangatkan tubuhnya. Van mengerjapkan matanya selama beberapa kali dan mencoba bangun dari lelapnya. Sedetik setelah netranya benar-benar terbuka, ia menyadari bahwa hawa hangat yang membuatnya gerah merupakan keberadaan seorang gadis manis yang tidur di sebelahnya. Sosok yang ia sayangi di masa lalu dan masa kini. Ele masih dengan lelapnya memejamkan mata indahnya. Ia meletakkan wajahnya di dada Van, menempelkan tubuhnya sedekat mungkin dengan tubuh perawatnya. Tangan kanannya dengan nyaman menekan sedikit celah di dada Van yang tak tertutupi wajahnya. Sementara itu, tangan kirin
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Tora mengaduk-aduk mangkuk serealnya dengan tak bersemangat. Hampa. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Ia merasa begitu kosong. Tak utuh. Seperti ada kepingan yang hilang. Kepingan yang memang sengaja ia hilangkan. Kepingan itu sejatinya berarti untuk membuatnya utuh, namun dengan bodohnya ia malah membuangnya. Ia tanpa ragu membuang berlian dan menyimpan batu karang. Ia akui dirinya memang keterlaluan. Mendorong seseorang pergi dengan cara yang ia lakukan memang sangat kejam. Terkesan jahat. Atau memang benar-benar jahat. Tora tahu, setidaknya bukan dengan cara seperti itu ia seharusnya berpisah dari kekasihnya. Bukan seperti itu caranya mengungkapkan betapa ia sangat menyesal dan sangat ingin memutar balik waktu. Akan tetapi, ia tak bisa menampik bahwa ada satu sisi di dirinya yang mengatakan bahwa ini semua akan berakhir.
“Kau dengar sendiri penjelasanku tadi! Bukannya aku tak mau pergi, tapi kau yang melarang aku keluar!” “Omong kosong! Alasan saja!” “Serius, Ele. Aw! Sakit! Jangan pukul kepalaku, nanti aku amnesia!” “Lebay! Keluar kau, Mesum! Pergi jauh-jauh!” “Ouch! Ele … Aku tidak bohong. Sumpah! Kau yang tidak mau melepaskan pelukannya.” “Mana mungkin aku begitu!” “Demi—” Brakk. Terdengar suara pintu yang dibanting tepat di ambang muka Van. Ele murka dan berteriak jika ia tidak ingin pria itu ada di kamarnya lagi. Gadis itu dengan membabi buta memukulnya dan menusuk-nusuk tubuh Van menggunakan tongkat andalannya. Van kehabisan kata untuk menjelaskan. Padahal semalam Ele sendiri yang benar-benar tak mau melepaskan. Van pikir reaksi Ele tak akan semarah ini mendapati bahwa ia ikut tertidur di sebelahnya. Ia pikir Ele tak akan segalak sebelumnya. Nyatanya gadis itu malah dua kali lipat lebih garang. “Ele, buka p
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu Tora dengan tegas mengatakan jika ia akan pergi. Bahu Ele terasa lunglai saat mendengar penolakan Tora yang terdengar tanpa ragu itu. Namun ia buru-burumenggeleng cepat. Ia tak ingin usahanya berakhir sia-sia. “Sebentar saja, Tor. Sebentar saja, please. Ikut lah denganku ke rumah sakit. Ibuku benar-benar ingin bertemu denganmu,” pintanya memelas. Tora baru saja akan menjawab permintaan Ele sebelum kemunculan mendadak papa, mama, Farel, dan Rianti di ambang pintu menghentikan laju bibirnya yang telah terbuka setengah. Mereka sudah membawakan koper Tora dan koper mereka masing-masing. Keempatnya menatap bingung pada sosok kacau dengan rambut berantakan di hadapan anak bungsunya itu. “Siapa dia Tor?” “Mama kira Irene yang datang.” “Ele?” panggil Farel hati-hati. Ele mengabaikan fakta bahwa lelaki yang sedikit lebih tinggi dari Tora itu mengenalin
“Tora…” Sosok yang dipanggil dengan suara ragu-ragu itu menoleh. Ia memandang sahabatnya, Ghani, yang berdiri dengan kikuk di sebelahnya. Tinggi mereka yang berbeda jauh membuat keduanya terlihat begitu jomplang. Tora Van Beurden terlihat tinggi menjulang dengan postur tegap. Tubuh gagahnya membuat ia terlihat mengintimidasi kawan karibnya. Terlebih dengan blazer hitam yang membalut kaus putih beserta celana bahan linen yang ia kenakan membuat penampilannya dua kali lipat lebih mempesona dari pada Ghani. Sementara itu, Ghani yang mengenakan jaket bomber dan celana jins cenderung terlihat cukup mini jika disandingkan dengan sahabatnya. “Aku tidak yakin ini ide yang baik. Masih ada waktu buatku kabur sebelum Ele mendengar suaraku.” Van tertawa pelan. “Ayo lah, Bro. Kau bilang merasa bersalah? Katanya ingin minta maaf dengan Ele karena dulu sempat memojokannya? Sekarang saatnya. Kau mungkin belum perlu mengucap maaf langsung, tapi bersikap baik padanya sudah lum
Kilas Balik 10 Tahun yang Lalu“Tidak.”Seorang wanita berkata dengan tegas sambil menandatangani surat dari pihak rumah sakit. Ia menyerahkan surat itu dan menatap tubuh berlumuran darah yang tengah berada dalam ruang operasi. Wanita itu menatap cemas di balik kaca.“Saya hanya kebetulan ada di tempat kejadian. Karena rumah saya dekat, saya langsung ambil mobil dan membawanya ke rumah sakit. Saya tidak mengenal korban, Sus.”Setelah suster itu menerima surat yang telah ditandatangani oleh Si Wanita, suster itu segera beranjak menuju ke bagian administrasi. Sementara itu, Si Wanita yang terlihat luar biasa bingung kembali menekan nomor yang sedari tadi sulit ia hubungi. Baru lah ketika pada panggilan keempat, panggilan itu diangkat oleh sosok yang sedari tadi ia cari-cari.“Sayang, kau sudah tiba di bandara?”Si Pria di seberang sana menjawabnya dengan suara ter
Mampu kah Ele melanjutkan jawabannya yang menggantung?Jawabannya adalah mampu. Ele terpaksa melanjutkan jawaban singkatnya karena Van mendesak Ele. Van memintanya untuk lebih kooperatif dalam komunikasi yang coba ia jalin. Kendati butuh waktu yang sedikit lebih lama, Ele akhirnya berani menjelaskan lebih lanjut maksud ‘tidak’ yang tadi ia katakan pada Van.“Tidak. Sebenarnya aku hanya kaget. Sudah lama sekali aku tak pernah sedekat ini dengan siapa pun. Menyadari kalau kau tidur bersamaku semalam ... membuatku terkejut,” terang Ele dengan suara lirih.“Kau tahu kalau aku tidak bermaksud macam-macam denganmu, ‘kan? Aku menghargaimu, Ele. Aku bersumpah tak akan berbuat yang tidak-tidak tapi memang semalam kau tidak melepaskanku sama sekali. Aku—”“I know,” sahut Ele masih dengan suara pelan. Tangannya yang tak digenggam Van ia kepalkan dengan cukup erat. Ia lalu menjelaskan penuturannya. “Se
Ada kalanya Ele benci setengah mati pada hidupnya.Sejak netranya tak bisa melihat, ia selalu meminta pada Tuhan untuk mengakhiri nyawanya saja. Ia merasa sendirian di dunia ini. Kendati orang tuanya masih ada, hidup Ele tetap terasa sepi tanpa warna. Sejak ibu dan kakaknya pergi, Ele menghabiskan bertahun-tahunnya dalam kesendirian yang menyiksa. Ia belajar mengeraskan hati dan percaya bahwa dunia sangat kejam padanya. Padahal ia telah berteriak kencang meminta pertolongan namun tak ada seorang pun yang mau mengulurkan tangannya.Ia belajar bahwa sudah sepantasnya menjaga hatinya tetap tertutup rapat adalah kunci ketenangan batin. Ia bisa bertahan hingga sekarang karena kerasnya hati yang ia ciptakan. Ia terbiasa membenci manusia tanpa melihat kebaikan-kebaikan yang orang lain coba berikan padanya. Terkadang kebencian itu malah membuatnya tampak seperti sosok antagonis dalam ceritanya sendiri.Percaya pada orang lain adalah petaka. Ia telah membuktikannya di ma
“Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari
“Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau
Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka
Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m
Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia
“Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang
Dokter mata…Ingatan Ele berkelana pada kenangan beberapa tahun silam. Kepalanya memutar ulang kenangan di masa sulitnya. Riuhnya suara orang-orang yang berlalu lalang sembari mendorong kursi roda. Bau menyengat khas dari tempat orang berobat. Gumaman-gumaman menyedihkan yang dilontarkan untuknya. Semuanya bagai mimpi buruk untuknya.Ia teringat bahwa hampir semua dokter yang ia temui mengatakan jika indera pengelihatannya tak bisa lagi diperbaiki. Semua jawaban yang ia terima selalu mengecewakan. Tak ada yang mampu membuatnya memupuk asa jika suatu saat ia akan kembali melihat terangnya dunia, birunya langit, atau indahnya warna daun yang gugur di halaman rumahnya.Sejak saat Ele aku menyerah dan menghapus segala kemungkinan yang ia impikan.“Ele?” panggil Van pelan.Ucapan-ucapan menyakitkan yang ia dengar bahkan dari ayahnya sendiri begitu mengusik batinnya. Apa lagi Agatha selalu memperlakukannya bak orang yang sama sekali ta
Sekali lagi, Van kembali meludahkan darah yang menggenang di mulutnya.Setelahnya, ia kembali duduk di dapur di mana Ele tengah menunggunya dengan sekantung es batu yang dibebat dalam kain. Pria itu mengusap hidungnya yang berlumuran darah menggunakan tisu. Tisu itu ia remat dan ia lempar ke atas tumpukan tisu lain yang sedari tadi ia gunakan untuk menghapus darah di wajahnya. Ia memandang ke arah Ele yang dengan lembut memintanya untuk duduk tenang sementara gadis itu berniat mengurangi nyeri perawatnya.Ele menarik sebuah kursi dan duduk di depan Van. Gadis itu dengan perlahan mengulurkan tangannya dan mencari-cari wajah Van. Jemari Ele bergerilya sambil menekan pelan wajah perawatnya itu. Hingga saat Van mengaduh pelan, saat itu lah Ele menemukan bekas hantaman Yuna.“Bagian ini sakit?” tanya Ele pelan.“Tidak,” jawab Van berdusta.Ele lalu menekan bagian yang dimaksud dan mendengar geraman tertahan dari Van.&ldqu
Suara Ele nyaris habis karena tertawa.Gadis itu menyerahkan microphone kepada Kiano alias Ghani yang tengah gila-gilaan menyanyi sambil berjoged bersama Yuna. Setelah mic itu ia serahkan, Ele kemudian menyerah lagi pada tawanya. Ia beringsut secara perlahan menuju ke sofa. Tangannya menyentuh tenggorokannya yang terasa gatal. Ia butuh minum atau tenggorokannya akan sekarat saat ini juga. Total sudah tujuh lagu ia nyanyikan bersama Yuna dan Kiano. Tak heran tenggorokannya sakit dan ia kelelahan sekali.Ele terkikik mendengarkan suara sumbang Yuna yang tengah menyanyikan lagu Good 4 U milik Olivia Rodrigo. Telinganya tak bisa menolerir lagi suara wanita itu. Bagi Ele, suara Yuna benar-benar payah. Ia terdengar sepertiorang yang akan digilas jempolnya dengan container. Sangat cempereng dan mengerikan, namun cukup menghibur baginya karena Yuna tak hanya menyanyi melainkan menari tanpa henti.Di sisi lain, Kiano ternyata memiliki suara yan