Setelah ayah dan ibu mendengar kabar tentang kebakaran yang terjadi di indekos, mereka berniat datang ke Jakarta. Namun dengan cepat aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan sementara menginap di tempat Ruri. Padahal saat ini aku masih berada di dalam apartemen Evan.
Sudah dua malam aku menginap di sana, meski aku selalu berkata agar ke tempat Ruri saja. Bagaimanapun aku masih sedikit canggung jika harus tinggal di tempat lelaki itu. Padahal Evan sendiri menginap di rumahnya yang lain.
"Kurasa kita perlu berbelanja lagi," ujar Evan yang datang pagi ini.
Aku terpaksa mengambil cuti bekerja, karena masih harus memutar otak, memikirkan tempat tingga
Kamar indekos yang kutempati telah disulap menjadi kamar minimalis yang sangat indah. Didominasi warna yang lembut membuat suasananya terasa lebih nyaman. Bagaimana bisa aku tidak merasa berat kepada Evan setelah semua ini?"Apa sebaiknya aku juga memberi sesuatu sebagai ucapan terima kasih?" gumamku ingin membalas kebaikan lelaki itu. Walau ku yakin Evan akan menolak mentah-mentah jika ku utarakan maksud keinginanku itu.Selain itu, aku merasa tegang. Menyadari bahwa hari ini adalah hari perdana aku akan masuk ke kantor. Bukan hanya sebagai karyawan Evan lagi, melainkan juga kekasihnya. Meski aku meyakinkan diri agar bisa membedakan mana yang harus menggunakan otak dan tenaga serta mana yang harus memakai hati, tetap saja rasanya tidak menentu. Takut bahwa diriku akan terbawa perasaan.Jarak indekos yang telah dekat dengan kantor memungkinkanku sampai menggunakan taksi atau ojek daring. Cukup sepuluh menit, maka aku sudah bisa bera
Kabar hubunganku dengan Evan telah tersebar luas di kantor. Seluruh karyawan ramai membicarakan kami. Ketika aku lewat, ada yang menggoda seolah aku berhasil menjinakkan seekor serigala. Namun tak jarang juga yang menudingku sebagai pihak ketiga, sehingga Evan dan Maya bercerai."Mereka hanya iri denganmu," ujar Mbak Siska setelah mendengar curahan perasaanku pagi ini."Benar, kau dan Pak Evan juga baru saling mengenal," timpal Pak Hadiman, terdengar seolah ikut mendukungku.Aku hanya terdiam, karena faktanya diriku dan Evan telah saling mengenal hampir lima tahun lalu. Bahkan aku sangsi bahwa Evan telah mengenal Maya secara khusus pada saat i
"Memenangkan hati ayahnya mungkin sulit, tapi memenangkan hati anaknya lebih sulit," ujar Ruri setelah mendengar ceritaku.Setelah jam kantor selesai, aku mengajak Ruri untuk makan malam bersama. Sebenarnya Evan telah mengajakku makan malam terlebih dahulu, sebelum dirinya mendapat telepon bahwa Karin ingin makan malam bersamanya.Aku tidak ingin begitu saja muncul lagi di makan malam antara Evan dan Karin, karena kuyakin Karin akan curiga tentang hubunganku dengan ayahnya itu. Bukan bermaksud menyembunyikannya, tetapi aku ingin pelan-pelan saling mengenal dengan anak perempuan itu."Ya, apalagi kita bicara tentang anak perempuan yang bahkan belum masuk sekolah dasar."Ruri lalu memegang tanganku, seolah mencoba men
"Mari hidup bersama?"Aku menatap langit-langit kamarku sambil memikirkan ucapan Evan yang bisa memiliki makna yang luas. Meski itu terdengar seperti ajakan berumah tangga, tetapi aku tidak ingin berprasangka lebih jauh.Sementara memikirkan lelaki itu, ternyata Evan mengirimkan sebuah pesan kepadaku. Bukannya senang, aku malah merasa sedih.Evanā” : Tiga hari ke depan aku tidak akan masuk kantor. Termasuk senin depan.Kiran : Kenapa? Ada masalah?Evanā” : Karin sedang sakit. Badannya sangat panas dan sedang pemeriksaan darahnya. Takutnya demam berdarah.Aku ikut khawatir mendengar kabar Karin terseb
Besok aku berencana menjenguk Karin yang masih dirawat di rumah sakit. Menurut Evan, anak perempuan itu sudah dalam masa pemulihan. Kurasa ini kesempatan bagiku untuk bisa lebih dekat dengan Karin. Meski aku sendiri tidak tahu bagaimana tanggapan anak tersebut nanti."Kau yakin tidak ingin aku jemput lalu ke rumah sakit bersama?" tanya Evan sekali lagi.Saat ini kami sedang berada dalam perjalanan pulang dari kantor. Aku berkata kepada Evan jika bisa datang sendiri ke rumah sakit. Cukup lelaki itu menunggu di sana saja."Sangat yakin. Lagipula bukankah Karin memintamu makan malam bersamanya? Menjemputku di kantor akan membuatmu terlambat," jawabku m
Aku memandangi penampilanku di depan cermin saat ini. Memakai gaun mungkin adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Jika bukan karena ajakan kencan dari Evan, mana mungkin aku mau repot-repot memakainya."Aku ingin mengajakmu menonton bersama, namun malah ada agenda kencan," keluh Ruri yang telah sengaja mengosongkan jadwalnya dan berangkat menuju indekos tempatku tinggal.Aku melirik Ruri sekilas. "Salah sendiri tidak kabarin dulu. Waktu akhir pekan untuk perempuan yang telah memiliki kekasih bukanlah di rumah," ujarku terdengar sombong sampai Ruri berdecak lidah."Ketemu tiap hari juga."Aku mengeluarkan liptint dari tasku. Mengoleskannya sebagai sentuhan terakhir untuk acara kencanku hari ini. Semoga
Sesuai dengan janji kami, aku mendatangi salah satu restoran untuk bertemu dengan Kanaya pada jam istirahat kerja. Ketika aku sampai, ternyata Kanaya telah duduk pada sudut restoran terlebih dahulu."Kak Kanaya," sapaku membuat Kanaya mendongak menatapku. Dia tersenyum tipis sekilas lalu mempersilakanku."Kau benar-benar sibuk sampai terlambat hampir setengah jam?"Aku tertawa sumbang. "Jam makan siang selalu membuat jalan di depan kantor menjadi padat.""Bukan karena menemani Kak Evan makan siang dulu?" Balasan Kanaya menjadikanku terdiam. Dia langsung membahas tentang hubunganku dengan lelaki itu."Apakah … Ibu dan Ayah telah tahu tentang hal
Sesuai dengan instruksi dokter, aku menuju salah satu rumah sakit besar yang ada di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan kali ini jauh lebih banyak serta kompleks, sehingga aku harus meminta izin agar tidak masuk kantor selama satu hari.Aku tidak mungkin memberitahu Evan tentang penyakitku ini, karena lelaki itu pasti akan khawatir dan mulai tidak fokus dalam bekerja. Tanggung jawab Evan begitu besar dan melibatkan banyak orang. Namun Evan mencoba mencari tahu alasanku untuk cuti satu hari tersebut.Maka dari itu kami kini tersambung melalui panggilan suara. Aku berada di depan ruang pemeriksaan setelah mengganti baju. Sebelah tanganku memegang nomor antrean dan satunya lagi memegang ponsel."Kau sungguh mengajukan cuti, karena Kanaya meminta
"Kalian berangkat saja. Evan sudah mempersiapkan segalanya seperti ini," ujar ibuku setelah aku memberitahu tentang rencana bulan madu yang telah dipersiapkan oleh Evan.Namun aku masih khawatir akan satu hal, yaitu Karin. "Tapi ini bukan libur sekolah.""Karin biar aku dan ayahmu yang jaga. Antar dia ke sekolah dan juga menjemputnya. Lagipula Kanaya dan Kenzo akan datang akhir pekan ini, jadi Karin tidak akan begitu kesepian," balas ibu telah menebak bahwa aku berniat mengikutsertakan Karin ke rencana bulan madu yang Evan susun sebelumnya."Benarkah?" Aku sebenarnya tidak ragu bahwa Karin akan melarang kami, karena anak perempuan itu sudah terbiasa
Setiap orang memiliki harapan.Awalnya aku meragukan kalimat tersebut, hingga sampai aku bisa kembali duduk, berjalan dan bahkan berlari. Bentuk fisikku juga mulai kembali seperti layaknya wanita berusia dua puluhan tanpa kekurangan apapun. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang singkat. Setidaknya satu tahun membuatku mencoba menggenggam harapan itu agar semakin nyata."Kau menyukai tempat ini?" Suara Evan membuat lamunanku buyar."Ya?"Evan terkekeh kecil. "Aku mengajakmu melihat calon hunian baru kita dan kau mengkhayal?"
Author POV-------------------------------------------------------------------Pada sebuah toko buku di pusat perbelanjaan, tampak adanya antrean panjang di dalamnya. Pengunjung yang baru datang lalu membaca spanduk yang terdapat pada pintu depanFan Meeting With RiruNovel terbaru : Linggar (Impian, Harapan dan Cinta)Ruri telah sukses menjadi seorang penulis novel, setelah mengundurkan diri sebagai editor. Ia juga memakai nama Riru sebagai nama penanya. Hanya membalik huruf pada
Sudah tiga hari sejak Ruri membawa surat yang kutulis untuk Evan tersebut. Namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Aku tidak pernah meragukan bahwa Ruri akan terlambat menyerahkan surat itu. Mungkin ā¦ Evan sedang sibuk.Aku tidak membohongi diriku sendiri bahwa rasa sakit ini mulai menyiksaku. Berharap bahwa ini akan segera berakhir. Bukan hanya soal rasa sakit secara fisik, tetapi batinku tersayat melihat ayah, ibu dan Kanaya yang menangis di sampingku kala aku memejamkan mata seolah tengah tertidur, padahal mendengar bagaimana rintihan mereka.Hari ini gerimis hujan turun membasahi tanah. Aroma petrichor menyusup ke dalam kamar rawatku, sengaja aku meminta Kanaya tidak menutup jendela. Suara rinai hujan membuat ingatanku tertaut pada
Aku berpikir bahwa menyingkir dari hiruk pikuk Jakarta akan membuat kesehatanku mulai membaik. Namun ternyata aku salah, baru sehari tiba di Bandung, aku langsung tumbang.Ayah dan ibu pun langsung mengetahui penyakitku setelah aku dirawat di rumah sakit. Mendapat perawatan bukan berarti membuat kerisauanku menghilang. Nyatanya aku malah bertambah akan satu hal. Evan, lelaki itu telah mengetahui surat pengunduran diriku.Evanā” : Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Apakah aku membuat kesalahan? Maafkan aku tidak terlalu memperhatikanmu disaat sedang bersama Karin.Evanā” : Berikan aku alasan pengunduran dirimu, di mana kau sekarang?
Masalah kebohonganku kepada layanan darurat telah di atasi oleh Evan. Pria itu bahkan menemaniku ke kantor polisi terlebih dahulu, kemudian akan menyusul Karin yang telah dibawa ke rumah sakit.Menurut keterangan polisi, pria yang menculik Karin dari tempat les adalah pemain lama yang memiliki komplotan tersendiri. Salah satu dari penculik yang telah ditangkap tersebut bahkan merupakan residivis untuk kasus yang sama."Kiran," panggil Evan melangkah mendekat, lalu memelukku erat. "Terima kasih, terima kasih."Aku tersenyum lalu membalas pelukan lelaki itu. Kemudian terdengar isak tangis, perasaanku tersayup, apakah Evan sedang menangis dalam p
Sesuai dengan instruksi dokter, aku menuju salah satu rumah sakit besar yang ada di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan kali ini jauh lebih banyak serta kompleks, sehingga aku harus meminta izin agar tidak masuk kantor selama satu hari.Aku tidak mungkin memberitahu Evan tentang penyakitku ini, karena lelaki itu pasti akan khawatir dan mulai tidak fokus dalam bekerja. Tanggung jawab Evan begitu besar dan melibatkan banyak orang. Namun Evan mencoba mencari tahu alasanku untuk cuti satu hari tersebut.Maka dari itu kami kini tersambung melalui panggilan suara. Aku berada di depan ruang pemeriksaan setelah mengganti baju. Sebelah tanganku memegang nomor antrean dan satunya lagi memegang ponsel."Kau sungguh mengajukan cuti, karena Kanaya meminta
Sesuai dengan janji kami, aku mendatangi salah satu restoran untuk bertemu dengan Kanaya pada jam istirahat kerja. Ketika aku sampai, ternyata Kanaya telah duduk pada sudut restoran terlebih dahulu."Kak Kanaya," sapaku membuat Kanaya mendongak menatapku. Dia tersenyum tipis sekilas lalu mempersilakanku."Kau benar-benar sibuk sampai terlambat hampir setengah jam?"Aku tertawa sumbang. "Jam makan siang selalu membuat jalan di depan kantor menjadi padat.""Bukan karena menemani Kak Evan makan siang dulu?" Balasan Kanaya menjadikanku terdiam. Dia langsung membahas tentang hubunganku dengan lelaki itu."Apakah … Ibu dan Ayah telah tahu tentang hal
Aku memandangi penampilanku di depan cermin saat ini. Memakai gaun mungkin adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Jika bukan karena ajakan kencan dari Evan, mana mungkin aku mau repot-repot memakainya."Aku ingin mengajakmu menonton bersama, namun malah ada agenda kencan," keluh Ruri yang telah sengaja mengosongkan jadwalnya dan berangkat menuju indekos tempatku tinggal.Aku melirik Ruri sekilas. "Salah sendiri tidak kabarin dulu. Waktu akhir pekan untuk perempuan yang telah memiliki kekasih bukanlah di rumah," ujarku terdengar sombong sampai Ruri berdecak lidah."Ketemu tiap hari juga."Aku mengeluarkan liptint dari tasku. Mengoleskannya sebagai sentuhan terakhir untuk acara kencanku hari ini. Semoga