Pak Bagaskara menatap Rosalia lekat-lekat. Tatapannya tajam, tapi di balik itu ada kerinduan yang begitu dalam. Dia menarik napas panjang sebelum bersandar di kursinya."Kalau kau memang rindu, kenapa baru datang sekarang?" suaranya terdengar lebih lembut, tapi tetap penuh ketegasan.Ros menundukkan kepala, menggigit bibirnya sejenak sebelum menjawab, "Aku... Aku takut, Pa. Aku tidak tahu apakah Papa masih mau menerimaku setelah semua yang terjadi."Pak Bagaskara terdiam, tangannya mengepal di atas lututnya. "Kau tahu, Ros, ketika kau pergi tanpa kabar, rasanya seperti kehilangan separuh dari hidupku."Ros menelan ludah. Ada rasa bersalah yang menghantamnya. "Maaf, Pa..."Suasana hening sejenak. Hanifa yang tadi berdiri di dekat pintu kini memilih pergi ke dalam, membiarkan keduanya berbicara tanpa gangguan. Tian tetap duduk di sisi Ros, memberi dukungan dalam diam.Pak Bagaskara akhirnya menghela napas panjang. "Sekarang kau di sini. Apa yang sebenarnya ingin kau tanyakan?"Ros menat
Pak Bagaskara terdiam. Hatinya berkecamuk, tetapi wajahnya tetap tak menunjukkan emosi apa pun.“Ros,” katanya akhirnya dengan suara tenang, “beberapa hal dalam hidup lebih baik dibiarkan seperti adanya. Apa yang sudah terjadi, biarkan berlalu.”Mata Ros berkaca-kaca. “Papa menyembunyikan sesuatu, bukan?”Pak Bagaskara tidak menjawab. Ia hanya menatap Ros dengan pandangan yang sulit diartikan. Hening memenuhi ruangan, menciptakan jarak yang lebih dalam di antara mereka.Tanpa menunggu jawaban, Ros melangkah pergi. Pak Bagaskara hanya menatap punggung putrinya yang menjauh, perasaan bersalah mulai menghantui hatinya.Tak lama setelah Ros pergi, Bu Haniva masuk ke ruang tamu. Wanita itu mendekati suaminya dan duduk di sebelahnya. “Pa, kamu tidak perlu cemas,” katanya pelan. “Ros tidak akan pernah menemukan kebenarannya.”Pak Bagaskara menghela napas berat, lalu menatap istrinya. “Aku takut, Haniva. Jika suatu saat dia tahu segalanya, bagaimana?”Bu Haniva menggenggam tangan suaminya, me
Rosalia dan Tian sudah sampai di rumah Oma Agata. Melihat banyaknya keluarga Oma juga beberapa pengacara keluarga dan tentunya Aldo dan keluarganya yang serakah."Ros akhirnya kamu datang." Oma Agata langsung memeluk Ros."Oma, untuk apa Oma menunggu cucu angkat Oma. Enggak ada gunanya, toh semua harta Oma jatuh ke tangan aku yang memang bisa membuat perusahaan lebih maju." Aldo dengan bangganya mengatakan hal yang sangat memuakkan."Jangan percaya diri dulu kamu Aldo," ujar Tian."Tian, jangan ikut campur.""Ini urusan aku juga, aku juga keluarga Oma Agata!"Suasana ruang keluarga terasa tegang. Semua mata tertuju pada Tian yang dengan tegas membalas Aldo. Ros menggenggam tangan Tian, mencoba menenangkan, tapi ia sendiri merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Aldo yang begitu angkuh.Oma Agata menarik napas panjang, lalu menatap Aldo dengan sorot mata tajam. "Aldo, jangan pernah menganggap Ros bukan bagian dari keluarga ini."Aldo mendengus, menyilangkan tangan di dadanya. "Oma, ki
Nicolas membuka pintu rumah dengan tergesa, langkahnya cepat menuju kamar El begitu mendengar suara tangisan anaknya yang semakin melemah. Tanpa ragu, ia mendorong pintu kamar dan melihat putranya duduk di tempat tidur, wajahnya basah oleh air mata, sementara Suster Ana berusaha menenangkannya."El… Papa di sini." Suaranya sangat lembut. El mengangkat kepalanya, matanya bengkak dan sembab. Begitu melihat Nicolas, bocah itu langsung mengulurkan tangannya, meminta dipeluk. Nicolas segera mendekat dan menarik tubuh kecil itu ke dalam dekapannya."Mau Cus Ros… Cus Ros di mana?"Nicolas menghela napas panjang, menahan emosinya. Ia mengusap punggung El dengan lembut, mencoba menenangkannya, tetapi hatinya terasa panas. Nama Ros terus disebut, seolah dirinya tak cukup untuk anaknya sendiri.Nicolas menahan kesal. "El, Ros tidak di sini sekarang. Tapi Papa ada di sini. Papa akan menemani kamu."El tetap terisak, tidak menjawab. Tangannya tetap menggenggam erat baju Nicolas, seolah takut keh
Mobil Tian berhenti beberapa meter dari rumah Nicolas. Rosalia menghela napas panjang sebelum membuka pintu.Tian menatap Ros dengan sedikit khawatir. "Apa perlu aku antar sampai dalam rumah?"Rosalia menggeleng cepat, suaranya lirih tapi mantap. "Tidak perlu. Aku takut mereka banyak bertanya. Aku cukup mengatakan kalau aku diantar taksi online."Tian terkekeh, matanya berbinar geli.Tian tertawa ringan, "Taksi online setampan aku? Yang benar saja, Ros."Ros hanya tersenyum tipis sebelum turun dari mobil. Tian pun ikut keluar sebentar untuk memeriksa mobilnya. Namun, saat ia sedang memastikan semuanya baik-baik saja, sesuatu yang tak diinginkan terjadi.Nicolas berdiri di teras rumah dengan ekspresi dingin dan tajam. Begitu matanya menangkap sosok Tian, api emosi langsung membakar dadanya. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup erat.Nicolas melangkah mendekat, suaranya tajam penuh sindiran. "Jadi…siapa pria itu?"Ros menoleh cepat, wajahnya sedikit tegang. Tian yang masih berdiri di s
"Jawab aku Rosalia! " Nicolas berucap pelan tapi begitu tegas hingga menyentak Ros. Tangan besar itu menarik kasar Ros hingga tersudut di tembok.Ruangan terasa mencekam. Nicolas menatap Rosalia dengan intens, dadanya naik turun menahan emosi. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Ia tidak suka perasaan yang mengganggu pikirannya sejak tadi, dan satu-satunya cara untuk memastikan semuanya adalah dengan mendengar kebenaran langsung dari mulut Ros.Nicolas kembali bersuara rendah, tapi tajam."Jawab aku, Rosalia!"Ros terkejut, tubuhnya sedikit gemetar saat tangan besar Nicolas menariknya dengan kasar hingga tersudut di tembok. Nafasnya tercekat, dadanya berdebar hebat. Mata pria itu penuh tuntutan, tak memberinya ruang untuk menghindar.Rosalia merasa gugup, mencoba tetap tenang. "Tuan N-Nicolas, apa maksudmu?"Nicolas semakin mendekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Matanya menyelidik, seolah mencoba membaca pikirannya.Nicolas menggertakkan gigi. "Aku tanya sekali lagi. Apa
Nicolas menatap Rosalia yang masih terisak, tubuhnya sedikit gemetar. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi yang keluar dari bibirnya hanya satu kalimat sederhana—sebuah permintaan maaf yang terasa begitu hampa dibandingkan luka yang telah ia goreskan."Ros, maafkan aku…" Suara Nucolas pelan dan sangat lembut. Ros terdiam sejenak. Ia menatap Nicolas dengan mata yang penuh luka, seolah baru kali ini ia benar-benar mendengar kata maaf yang selama ini ia harapkan. Namun, apakah kata maaf itu cukup? Apakah itu bisa mengubah apa yang telah terjadi?Rosalia tertawa pahit, suaranya serak karena menahan tangis. "Kata maaf Tuan tidak bisa mengubah semuanya."Nicolas tertegun. Matanya semakin dalam menatap Ros, tapi wanita itu justru mengalihkan pandangan, seolah tak sanggup lagi melihat wajah pria yang telah menghancurkan hidupnya."Harga diriku sudah tidak ada artinya, Nicolas. Mereka semua menganggapku wanita malam… wanita yang hamil karena pelanggannya sendiri."Nicolas mengepalkan ta
"Tuan, Anda tidak bisa menggunakan anak kecil untuk kepentingan anda. Tidak adil itu," ujar Ros. "Saya tidak memanfaatkan siapa pun, dia anak saya. Anak kandung saya, paham." "El, anak kandung Anda?" Ros menatap Nicolas dengan mata yang melebar. Kata-kata pria itu baru saja menghantamnya seperti petir di siang bolong. Ia menelan ludah, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Rosalia terkejut, dengan suaranya sedikit bergetar. "El… anak kandung Anda?"Nicolas menatapnya tajam, sorot matanya penuh ketegasan, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam—rasa bersalah, mungkin."Ya. El anak kandung saya. Ada yang salah?"Ros menggelengkan kepalanya perlahan. Ini terlalu banyak untuk dicerna dalam satu waktu. Ia menatap El yang masih berada di pelukannya, kemudian kembali menatap Nicolas seolah mencari kebenaran di wajah pria itu.Tidak mungkin… kalimat itu menggema di hatinya. Nicolas menghela napas panjang. Ia melangkah lebih dekat, suaranya lebih lembut, tapi tetap penuh keyakinan.
Rosalia melangkah perlahan, sorot matanya tenang, tetapi ada ketegasan di sana. "Benar, aku adalah cucu kandung Nyonya Agata. Dan sebagai pewaris sah, aku ingin melihat semua perjanjian bisnis yang telah dibuat atas nama perusahaan keluarga kami."Maya mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Tidak mungkin! Kau selama ini hanyalah—""—Seorang babysitter?" potong Rosalia dengan senyum tipis. "Ya, itu yang kalian kira. Tapi aku tidak pernah menyangkal siapa diriku. Kalian saja yang terlalu sibuk menginjakku hingga lupa mencari tahu kebenaran."Maya menelan ludah, matanya beralih ke Tian, lalu ke Nicolas. "Ini lelucon, kan? Nicolas, kau tahu soal ini?"Nicolas masih terdiam, pikirannya bercampur aduk. Ia merasa dikhianati karena Rosalia menyembunyikan identitasnya. Tapi di sisi lain, ia mulai memahami mengapa wanita itu selalu terlihat penuh pertimbangan setiap kali mengambil keputusan.Tian melipat tangan di dada, menatap Aldo dengan tatapan penuh kemenangan. "Jadi, Tuan Aldo, masih ing
Suasana tegang saat Nicolas datang bersama dengan Alex. Lalu, Aldo bersama dengan Maya, melihat hal itu Nicolas seperti bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi."Nicolas, apa kabar? Hmm... Apa kabarmu sedang tidak baik-baik saja setelah mendengar kabar kontrak yang sedang di ambang kerugian."Maya kini merasa menang dan di atas awan. Nicolas hanya menanggapi semua dengan tenang walau hatinya ketar ketir.Nicolas menghembuskan napas perlahan, menahan emosinya agar tidak terpancing oleh provokasi Maya. Ia melirik Aldo yang duduk dengan ekspresi santai, seolah menikmati situasi yang sedang berlangsung."Aku baik-baik saja, Bu Maya. Justru aku penasaran, apa Anda yang sedang dalam kondisi baik setelah bermain api dengan kontrak ini?" jawab Nicolas dengan nada datar namun penuh makna.Maya menyilangkan tangannya di depan dada, menyeringai. "Oh, Nicolas, bisnis itu tentang siapa yang lebih cerdas membaca peluang. Sayangnya, kali ini kau kalah cepat."Alex yang berdiri di samping Nicolas m
Rosalia tersenyum untuk pertama kalinya pada Nicolas. Pria itu sedang tidak baik-baik saja. Ros bangkit dan hendak masuk.."Ros, tetap di sini. Apa kamu mau pergi meninggalkan aku yang sedang tidak baik-baik saja?" tanya Nicolas."Tuan, aku mau kedalam. Sudah malam, lebih baik Anda juga tidur. Besok bukannya mau bertemu dengan Tuan Tian?"Nicolas menghela napas panjang, menatap Ros dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku hanya ingin berbicara sebentar, Ros. Aku lelah dengan semua ini, dengan pekerjaan, dengan perasaan yang terus-menerus tak bisa aku kendalikan."Ros menggigit bibirnya, ragu untuk tetap tinggal atau pergi. Tapi melihat ekspresi Nicolas, sesuatu dalam hatinya melunak. "Baiklah, sebentar saja," ujarnya pelan.Nicolas tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam. "Aku tidak pernah menyangka, hidupku akan serumit ini. Semua berjalan begitu cepat, dan sekarang… aku takut kehilangan sesuatu yang belum sepenuhnya aku genggam."Rosalia menunduk, merasakan geta
"Kenapa begitu tiba-tiba Tuan Aldo dari perusahaan Nyonya Agata mengambil alih project kita?" tanya Nicolas.Nicolas kaget saat tiba-tiba Alex mengabarkan berita yang tak terduga.Alex menyesuaikan kacamatanya sebelum menjawab. "Aku juga baru menerima laporan ini, Tuan. Tuan Aldo mengklaim kepemilikan atas sebagian saham proyek ini dengan dalih perjanjian lama yang tidak diperbarui."Nicolas menghela napas, ekspresinya mengeras. "Dan kenapa kita tidak tahu soal perjanjian itu sebelumnya?""Karena dokumen lama itu seharusnya tidak berlaku lagi. Tapi, entah bagaimana, Aldo berhasil mendapatkan celah hukum untuk menggunakannya."Nicolas mengepalkan tangannya. "Aldo tidak mungkin bergerak sendiri. Aku ingin kau cari tahu siapa yang ada di belakangnya."Alex mengangguk. "Baik, Tuan. Saya juga sudah menghubungi tim legal untuk meninjau ulang semua dokumen terkait. Tapi, sebaiknya Anda juga berbicara langsung dengan Nyonya Agata."Nicolas menatap lurus ke arah jendela kantornya, pikirannya d
"Ros, sampai kapan kamu menutupi identitas kamu? Jika kamu menikah, Nicolas harus tahu siapa kamu," ujar Oma Agata. Ros menegang mendengar perkataan Oma Agata. Rahasianya selama ini menjadi beban yang terus menghantui. Dia tahu cepat atau lambat Nicolas akan tahu, tapi dia tidak siap untuk menghadapi reaksi pria itu."Oma... apa itu penting sekarang?" suara Ros terdengar lemah. Matanya menatap lantai, menghindari tatapan tajam Oma Agata dan Tian."Sangat penting, Ros," Oma Agata menegaskan. "Jika kamu menikah dengannya tanpa mengungkapkan siapa dirimu sebenarnya, kamu tidak hanya menipu Nicolas, tapi juga dirimu sendiri. Pernikahan tidak bisa dibangun di atas kebohongan."Ros menghela napas panjang. Pikirannya bercampur aduk antara ketakutan, keraguan, dan rasa bersalah."Aku takut, Oma... jika dia tahu semuanya, dia mungkin tidak akan menerimaku." suara Ros bergetar.Tian mendekat, menatap Ros dengan lembut. "Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia akan mengerti. Kamu berhak dicint
" Jangan paksa jika memang tidak ada raasa," Ujar Tian. Pria itu duduk bersebelahan dengan omanya.Ros tersenyum getir. "Demi El, aku akan melakukan apa pun."Tian menghela napas panjang, pandangannya bergeser ke arah Ros yang tampak resah. "Ros, membangun hidup dengan seseorang hanya demi anak tanpa ada cinta di antara kalian... itu berat."Oma Agata menambahkan dengan lembut, "Cinta bisa tumbuh, Ros. Tapi kamu harus jujur pada dirimu sendiri. Jangan memaksakan sesuatu yang hatimu tolak."Ros menunduk, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Aku hanya tidak ingin El terluka. Dia sudah terlalu banyak kehilangan."Tian menatap Ros dengan serius. "El lebih membutuhkan seorang ibu yang bahagia daripada melihatmu terjebak dalam hubungan yang tidak membuatmu nyaman."Ros menyeka sudut matanya yang mulai basah. "Aku... aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk El. Jika menikah dengan Nicolas adalah jalannya, mungkin aku harus mencobanya."Oma Agata menggenggam tangan Ros dengan erat.
Ros meminta izin ke rumah sang nenek. Dia meminta Tian menjemputnya. Sepupunya itu langsung saja bertanya tentang Nicolas. Ada hubungan apa dan bagaimana bisa, pikir Tian. Tian menyandarkan tubuhnya ke mobil, menatap Rosalia dengan senyum samar. "Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Nicolas sekarang?" tanyanya santai, tapi ada sedikit ketertarikan dalam nada suaranya.Ros menghela napas, menyilangkan tangan di depan dada. "Entahlah, Tian. Dia tiba-tiba mengajak menikah, tapi aku tahu itu hanya karena El."Tian mengangguk pelan, lalu menyipitkan mata. "Dan menurutmu, hanya karena El?"Ros terdiam. Pertanyaan Tian seperti menamparnya. Dia ingin percaya kalau Nicolas hanya bertanggung jawab, tidak lebih. Tapi… ada momen-momen di mana tatapan Nicolas terasa berbeda, lebih dalam, lebih hangat."Aku tidak tahu, Tian. Aku takut berharap."Tian tersenyum miring, menepuk pundak Ros pelan. "Yang aku tahu, Nicolas bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa alasan yang kuat. Kalau dia ingin menik
Ros mendesah pelan, menatap Nicolas dengan mata yang masih menyimpan luka. "Nicolas, hidupku bukan hanya tentang El. Aku juga punya perasaan, punya masa lalu yang menyakitkan, dan aku tidak yakin bisa menerima semua ini begitu saja."Nicolas melangkah mendekat, wajahnya serius. "Aku tahu, Ros. Aku tahu aku sudah membuat banyak kesalahan. Tapi aku juga tahu satu hal—aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu dan El."Ros tertawa kecil, getir. "Kau hanya takut kehilangan El. Bukan aku."Nicolas terdiam sejenak sebelum mengangkat tangannya, menyentuh lembut wajah Ros. "Aku tidak akan memaksa jika kamu benar-benar tidak mau. Tapi aku ingin kamu tahu... sejak kamu muncul lagi dalam hidupku, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Dan aku ingin memperjuangkan itu."Ros menatap mata Nicolas, mencari kebohongan di sana—tapi yang ia temukan justru ketulusan. Dadanya berdebar, pikirannya berantakan."Beri aku waktu," bisiknya akhirnya.Nicolas mengangguk pelan, sudut bibirnya terangkat sedikit.
Mobil melaju dalam keheningan. Nicolas menggenggam kemudi lebih erat, pikirannya berkecamuk. Dia ingin menjawab, tapi bibirnya seolah terkunci.Ros menunggu, namun saat Nicolas tetap diam, ia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Angin malam meniup lembut wajahnya, tapi dada Ros terasa sesak. "Jika Anda tidak bisa menjawabnya, mungkin memang sebaiknya saya pergi," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.Nicolas mendadak menginjak rem, membuat tubuh Ros sedikit terdorong ke depan. "Kau tidak akan pergi ke mana pun, Ros!" suaranya terdengar tegas, tapi ada kegelisahan di baliknya.Ros menoleh, menatap Nicolas yang kini menatapnya dengan tatapan tajam. "Kenapa? Kenapa Anda menahan saya?"Nicolas mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Karena aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Karena... aku tidak ingin kehilanganmu lagi. El, bisa ngambek terus.""El mungkin aku bawa, dia anakku."Nicolas tersentak, sorot matanya menggelap. "Apa maksudmu, Ros?"Ros mena