Aku memandang Roan yang tersenyum, menunggu reaksi bahagiaku karena sudah berhasil menemukan orang tua kandung. Apa aku harus pura-pura bahagia? "Kok malah cemberut? Aku udah nemuin orang tua kandungmu." Roan memegang kedua pipiku, mencubitnya supaya aku tersenyum. Sayangnya bibirku tidak bisa berbohong. Aku tidak bahagia. Tidak ada gunanya menemukan orang tua kandung, aku sudah nyaman hidup tanpa mereka. Rasanya akan canggung dan penuh drama kalau bertemu. Keinginanku sekarang hanyalah berbaikan dengan orang tua Roan, melahirkan janin ini dengan selamat dan juga hidup bahagia sebagai Nyonya Roan Nathanael. Aku tidak membutuhkan apapun lagi. "Mereka hidup?" tanyaku. "Mereka hidup dan sehat wal afiat." Aku kecewa mendengarnya. "Jadi benar mereka membuangku ke tong sampah?" Roan diam, lewat ekspresinya aku sudah tahu jawabannya. Aku tidak berharap banyak, sungguh. Kalau seumpama aku diculik maka sudah pasti aku akan ditemukan sejak kecil. Jakarta sempit, aku tidak perlu mender
Hingga hari ketika pertemuan itu tiba, aku memakai jurus berbagai macam alasan supaya bisa kabur. "Aku mules, nggak bisa ketemu hari ini. Duh, kapan-kapan aja ya." Roan langsung mengeluarkan obat diapet, diare mampet."Badanku rasanya nggak enak," alasanku yang lain.Roan mendatangkan dokter. "Kakiku sakit." Roan membelikan kursi roda. "Aku pingin makan cilok." "Eh, apa?" "Cilok." Tak lama kemudian segerobak cilok datang. Aku sungguh tidak ada alasan lagi, Roan menyeretku yang kaku seperti tiang listrik. Sebelumnya dia mendadaniku hingga mengucir rambutku."Jangan bertemu di tempat umum," kataku. Kami berada di mobil, melihat kanan kiri, siapa tahu ada jalan untuk kabur. Aku belum siap bertemu ayah kandungku yang suka buang benih sembarangan. Hanya karena dia ayahku, bukan berarti kami harus bertemu 'kan? Tapi Roan bilang nanti bingung nasabnya, tidak mau anak kita sampai menikah dengan sepupunya sendiri atau lebih parah dari itu. Maka asal usulku dari pihak ayah harus jela
Untuk pertama kalinya aku bertatapan dengan ayah kandungku, rambutnya sedikit ikal mirip denganku. Tubuhnya tidak tinggi, sejajar dengan istrinya yang memakai sepatu hak tinggi mahal. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa melihat tatapannya yang terharu. Aku hanya sebagian kecil benih yang terbuang di rahim wanita pelacur, anaknya tapi bukan berarti keluarga. Jadi tidak ada keharusan terharu ketika bertemu. Kami orang asing yang kebetulan memiliki darah yang sama. "Bagaimana caranya kamu menemukan ayah kandungku?" tanyaku berbisik pada Roan. "Itu agak sulit, tapi temenku membantu dan melakukan tes DNA ke beberapa orang." "Temenmu yang ngasih kita liburan?" "Benar." "Wah, sepertinya dia orang yang hebat." "Masih lebih hebat aku." "Baiklah aku percaya, kalau begitu kasih tahu apa yang harus aku lakukan ketika bertemu ayah kandung?" "Meluapkan emosi? Terharu?" "Aku nggak ada perasaan terharu semacam itu.""Kamu memang wanita dingin. Kalau begitu lakukan sesukamu." Roan men
Sejak kecil Roan terbiasa bertengkar dan berselisih pendapat dengan orang tuanya, ia yakin kali pun mereka akan segera baikan. Seperti biasa, ia hanya perlu menunggu kemarahan reda lalu merayu dan pasti akan dimaafkan. Namun, rupanya Rin adalah orang yang tidak sabaran. Mendatangi sendirian dan berakhir mengenaskan. Rin terlihat menyayangi kedua orang tuanya. Wanita yang biasanya cuek terhadap kasih sayang itu bisa menangis dan sedih. Roan cukup terkesima. Sekarang, mereka sudah meluluhkan hati kedua orangtuanya seperti yang diperkirakan Roan. Semarah apapun orang tuanya, jika menyangkut cucu yang akan 7 bulanan pasti luluh juga. Roan merayu dan bilang tidak tahu cara menggelar acara 7 bulanan, meminta bantuan orang tuanya untuk menyiapkan. Tak disangka ternyata mereka memikirkan acara itu jauh sebelum Roan meminta. Begitulah orang tua, tetap peduli dengan darah dagingnya.Sekarang Roan senang melihat Rin tampak bahagia, senyumnya cerah membantu Mama menyiapkan acara. "Ini ditaruh
Roan tahu yang menyatukannya dengan Rin adalah bayi mereka. Ia juga sadar setelah ini Rin akan membencinya. Wanita itu akan merasa hancur saat tahu anak mereka telah meninggal. Ia yang membunuhnya dan tidak bisa memenuhi janji. Selama ini ada hal penting yang Roan lupakan, yakni ungkapan cinta. Ia tidak pernah mengungkapkan cinta pada Rin padahal mereka selalu bersama dan sangat harmonis, ia pikir tanpa diucapkan pun Rin sudah tahu. Sekarang Roan menyesal, ia ingin mengungkapkan betapa ia mencintai Rin lebih dari apapun. Termasuk darah dagingnya sendiri. Ia menerima Rin apa adanya tanpa meminta ada yang diubah. Ia sangat bahagia memiliki Rin dalam hidupnya. "Roan!" Mama berteriak melihat Roan duduk di lantai, ia berlari bersama Papa dan langsung berjongkok. "Bagaimana keadaan Rin dan anak kalian?" tanya Mama. Roan tidak bisa melihat ke arah Mama, ia menunduk dan menangis. Tak bisa berkata-kata. Ia melihat tangannya yang penuh darah, lewat tangan ini juga ia menandatangani perset
Dari dulu Mama selalu memberi jalan terbaik dan menjauhkan segala sesuatu yang bisa membuat Roan terluka. Dilimpahi kasih sayang dari semua orang membuat Roan tumbuh menjadi pribadi yang baik. Ia peka dan peduli terhadap sesama. Hatinya juga hangat. Namun, terkadang jalan yang diberikan Mama tidak selalu benar. Contohnya ketika ia harus kehilangan Yua. Tapi lambat laun Roan sadar bahwa Yua memang bukan jodohnya. Tuhan menyuruhnya menunggu sampai Rin datang, membuat kebahagiaannya lengkap. Roan pikir kisahnya sudah happy ending ketika mereka saling menerima, serius dengan pernikahan dan berkomitmen terus bersama. Apalagi bayi mereka akan hadir menjadi pelengkap rumah tangga. "Rin, udah ya, bayinya harus dibawa ke inkubator lagi." Roan berusaha mengambil bayi Yua dari gendongan Rin. "Bayi kita sehat kok, nggak perlu dibawa ke inkubator. Lihat pipinya gembul kayak gini." Rin wanita cerdas, sangat sulit menipunya. Membuat Roan harus hati-hati. "Tapi kamu belum sehat, tadi aku bilan
Kepercayaan ibarat tali yang saling mengikat hubungan, Roan mempercayakan banyak hal padaku lebih dari sekretarisnya yang lain. Sementara aku percaya dengan semua perintah Roan. Kami bekerja sama, saling percaya dan mendukung. Hubungan profesional itu perlahan berubah spesial sejak menjadi suami istri, kami calon ayah dan ibu. Semua terasa sempurna ketika cinta hadir, saling memahami dan melengkapi. Aku pikir begitu, nyatanya hubungan kami sangat rapuh. Mudah ratak tanpa tatanan yang tepat.Kehilangan bayi sangat menyakiti hatiku, sikapku yang dingin berubah hangat sejak hamil. Lebih dari apapun. Aku terluka dan hancur. "Pergi kamu! Aku nggak mau lihat kamu lagi!" Aku melempar buah di samping ranjang. Roan terdiam di tempat, pulang dari kantor langsung menuju rumah sakit. Aku sudah mengetahui semuanya. Roan membunuh anak kami padahal sebelumnya dia sudah berjanji.Andai tidak ada rasa cinta, mungkin tidak akan seperih ini. Anak itu hadir dari kesalahan satu malam. Tidak sengaja di
Nenek dan kakek juga mengeluh padaku. Belum lagi Pakde. Mereka semua mengandalkanku yang saat itu belum genap berusia 16 tahun."Rin, bapakmu menggadaikan rumahnya Mbah. Petugas bank tadi ke sini. Kamu kirim uang ya buat nyicil angsuran." Pesan dari Pakde. "Iya, Pakde. Bulan ini Rin akan kirim uang lebih." Pada akhirnya aku tidak jadi membeli kue dan hanya bisa membeli donat. Memandangnya di dalam kamar pembantu yang sempit. Aku mengambil lilin putih di dapur dan merayakan ulang tahun sendirian."Ulang tahun ke 16, semoga aku bisa ngrasain punya keluarga." Aku meniup lilin itu, air mata jatuh begitu saja. Padahal aku jarang sekali rapuh. Sekuat apapun diriku, saat itu aku masih remaja yang butuh kasih sayang. Aku makan donat dengan penuh harapan suatu hari nanti tidak kesepian lagi. Masa-masa yang begitu keras dan berat. Menjadi anak yang tumbuh sendirian tanpa bimbingan siapapun. Mimpiku berpindah ke saat aku mencari kosan dan pindah. Betapa hujan membuatku demam tanpa ada yang
Katanya anak kedua sering terabaikan, aku pikir itu mitos tik tok. Rupanya benar. Aku dan Roan sampai shock seperti tidak percaya perkataan dokter yang mengatakan bahwa aku sudah hamil lima bulan. Tiba-tiba ada bayi yang bergerak di perutku!Sampai kandungan hampir memasuki usia ke enam bulan tidak terasa sama sekali. Padahal aku pernah hamil tapi tidak tahu. "Kok kamu bisa nggak sadar sih?" Protes Roan. Kami saling berpandangan. Masih di depan dokter kandungan. "Aku beneran nggak sadar, soalnya bulan kemarin aku datang bulan walaupun cuma flek." Dokter menyela, "memang hal seperti ini bisa terjadi, tidak masalah. Sekarang Bu Rina harus menjaga kesehatan lebih ekstra." "Bayinya normal 'kan Dok? Soalnya aku nggak jaga kandungan dan serabutan." Aku bertanya karena khawatir. "Alhamdulillah bayinya sehat."Roan tiba-tiba memelukku. "Selamat, akhirnya kita dianugerahi anak lagi." Aku membalasnya. "Selamat juga, akhirnya kita bisa menjadi orang tua." Rasanya terbaru, setelah penantia
Selesai acara itu, sikap orang-orang padaku berubah. Di kantor, mereka selalu menawariku makan, bersikap sok akrab dan membuatku tidak nyaman. Mereka penjilat.Aku memutuskan keluar dari sana lebih awal, sikap mereka kadang kurang ajar cari perhatian pada suamiku yang datang menjemput. Aku risih dan tidak suka. "Kalau ada yang natap tuh kamu harus nunduk," kataku pada Roan setelah melihat Roan bertatapan dengan gadis-gadis di kantor tadi."Nggak bisa lah, nanti aku dikira salting.""Kalau gitu abaikan mereka, aku nggak mau ke kantor itu lagi. Mereka semua genit sama kamu!" "Kamu cemburu?" Aku diam, malu mengakui dan malah memalingkan wajah. Rasa mual tiba-tiba menyerang. Aku menutup mulutku sendiri dan keluar dari mobil. Kembali ke gedung kantor dan mencari toilet. Roan mengejarku sampai di depan pintu toilet, aku tidak mempedulikannya dan muntah. Orang-orang melihatku dengan heran. "Apa aku hamil ya?" tanyaku setelah membersihkan mulut di wastafel. Menatap wajah di cermin. Sete
Ternyata, tidak ditantang Andy membawa suami ke anniversary perusahaan pun aku tetap harus mendampingi Roan. Cepat atau lambat memang harus bersiap membongkar identitas. Aku mengembuskan napas berat. Sekarang kami dalam perjalanan, jauh-jauh hari Mama menyiapkan gaun yang serasi dengan Roan. Ayah dan bundaku juga diundang. Aku sudah bisa marah pada ayah, tanpa disangka itu membuatnya senang sekaligus sedih. Aku mengungkapkan perasaanku selama ini. Rasa sakit yang aku derita selama puluhan tahun. Rasa iri pada orang lain yang dijaga ayahnya dan perasaan rindu.Semua itu berawal dari tali sepatuku yang lepas. Ayah memasangkannya sambil jongkok, membuatku merasa seperti seorang putri yang dicintai. "Kenapa baru sekarang?" tanyaku.Ayah mendongak, melihatku yang menunduk. "Ayah baru lihat tali sepatumu lepas." Selesai memasangkan ayah berdiri. "Kenapa Ayah nggak peka dari awal?" Mendengar pertanyaanku membuat ayah bingung. "Maaf Ayah nggak tahu." "Andai Ayah lebih peka, aku nggak a
Dokter hanya menanyai beberapa hal di pertemuan pertama kami. Dia mengajakku mengobrol santai dan dalam waktu singkat menjadi akrab. Dokter wanita yang cerdas dan ramah, auranya dewasa nan elegan. Ia mendengar ceritaku tentang kehidupan sehari-hari.Ia menanggapi sebagai pendengar yang baik, membuatku sangat nyaman karena tidak ada yang menghakimi. Hal yang aku takutkan selama ini adalah dipandang rendah. Tapi Dokter Valerie antusias mendengar dan menanggapi secara rasional, menunjukkan profesionalitas kerja. Ia mencatat percakapan kami sesekali. Wajah cantiknya selalu tersenyum hangat. "Pertemuan selanjutnya tiga hari lagi, saya akan membuatkan resep." Dokter Valerie menulis di kertas resep. Membuatku memiringkan kepala karena heran. "Obat untuk apa? Kita kan cuma ngobrol, Dok?"Dokter Valerie tersenyum. "Supaya saya dapat bayaran, saya kan jual obat." Aku mengerutkan kening, candaannya garing. "Aku serius, Dok." Dokter Valerie membenarkan kacamatanya, ia menutup buku catatan p
Dari mana dia tahu bahwa aku memiliki hotel, aku menelan ludah. Tekanan dari orang ini berbeda. Dia terlihat santai tapi berbahaya. "Aku akan menghadiahkan sprei, cangkir Papa Mama dan baju tidur. Itu kan kado pernikahan yang umum." Benar, umum di kalangan rakyat biasa tapi tidak untuk kalangan atas. Malah kado seperti itu seperti penghinaan. Aku mencoba memancing Lazio, melihat seberapa batasannya. Lazio menelengkan kepalanya, menatapku dengan tekanan mencekam. Aku meletakkan sendok. Berusaha tidak terlihat takut. Hanya saja diamnya Lazio terlihat mengerikan apalagi senyum simpul di sudut bibirnya. Dia seperti psikopat."Kami akan menghadiahkan mobil," ucap Roan. Mencairkan suasana. "Hahahahaha," tawa Lazio pecah hingga semua orang melihat ke arah kami. Ia kembali mengambil buah stroberi. "Sprei dan cangkir couple juga bagus." Aku bernapas lega, ikut tersenyum dengan canggung. Wanita yang bisa menikah Lazio tentulah orang yang kuat. Aku yang baru dua kali bertemu saja merasakan
Kata Roan statusku sebagai istrinya di Rose Green grup tidak diketahui oleh siapapun. Tapi sepertinya Roan lupa bahwa dulu Pak Salam datang ke pernikahan kami. Dia mengenaliku dan terkejut. "Anda adalah menantu Presdir?" tanyanya saat aku mengharap pagi ini. "Benar, Pak. Saya mohon bantuan untuk kedepannya." Aku menunduk hormat. Pak Salam langsung berdiri, ia gugup dan bingung memperlakukanku yang merupakan menantu atasannya. "Pak Rasyid nggak bilang kalau sekretaris baru saya itu menantunya sendiri." "Papa ingin saya bekerja normal tanpa ada yang memandang status. Mohon perlakukan saya seperti yang lain." "Mana bisa seperti itu, anda adalah nyonya muda. Kalau saya salah sedikit, saya yang akan dipecat. Silakan duduk dulu." Setelah aku duduk, Pak Salam keluar dan berteriak menyuruh mengambilkan air serta cemilan, ia panik seperti kedatangan tamu penting.Ini sulit, kurasa pekerjaanku tidak akan berjalan baik. Hari pertama, aku hanya diajak berkeliling kantor oleh direktur, memb
Roan tahu Rin wanita yang tidak kenal takut, melihat ayahnya hidup kembali dan menjelaskan panjang lebar tidak membuatnya bergetar. Padahal orang-orang berlari ketakutan termasuk papa dan mama.Mereka sampai tabrakan dan jatuh, berlomba-lomba keluar rumah duluan dan lari terbirit-birit. Namun Rin begitu santai mengobrol dengan pocong ayahnya. "Aku nggak suka hal yang berlebihan, kayak orang asing lebih nyaman." Rin menjelaskan tidak suka sikap ayah dan bunda sekalipun demi kebaikan, Rin bukan anak kecil lagi. Dia bisa menjaga diri dan memutuskan untuk hidupnya. "Ayah tahu kamu sudah besar, maaf karena memperlakukanmu seperti anak kecil." "Kasih waktu buat kenal kalian. Tiba-tiba punya orang tua membuatku shock." "Ayah terlalu buru-buru, sekarang ayah akan mencoba lebih memahami kamu." Ayah mencondongkan tubuhnya, minta dipeluk Rin. Istri Roan itu mengembuskan napas berat lalu tersenyum, ia memeluk Ayah yang masih berbalut kain kafan. Pemandangan ini sangat aneh bagi Roan yang ha
Tuhan memiliki takdirnya sendiri. Mendatangkan cinta tanpa ada yang menduga. Ia jatuh cinta untuk kedua kalinya dalam hidup. Hatinya kembali hangat dan memiliki mimpi-mimpi masa depan bersama. Ia bahagia bersama Rin.Setelah mengenal Rin lebih jauh, Roan baru sadar satu hal. Hati wanita itu beku. Mungkin karena keadaan. Rin tidak mudah tersentuh dan selalu berpikir rasional. Hatinya sangat dingin hingga terkadang Roan merasa hanya memiliki raganya saja. Tantangan besar bagi Roan mengubah hati Rin, memberikan kehangatan dan kenyamanan supaya dinding yang wanita bangun runtuh. Supaya Rin tidak merasa hidup sendirian dan memiliki tempat bersandar. "Aku beneran nggak papa," kata Rin ketika Roan memeluknya. Pagi ini mereka mendapat kabar ayah kandung Rin meninggal, Roan tahu Rin sedih, hanya saja tertutup dengan dinding yang sejak dulu Rin bangun supaya tidak mudah menangis. Kalau saja Rin tidak menangis saat anak mereka meninggal, Roan pasti mengira Rin gila. Tangisan Rin membuat Roan
Aku senang bertemu Roan setelah sekian lama, tapi kalau untuk terharu sepertinya sulit. Aku terbiasa tanpa ekspresi dan hidup dengan no drama drama. Roan melepaskan pelukannya, memandangku yang hanya tersenyum bingung harus bereaksi seperti apa. "Apa ada yang luka?" tanya Roan. Memeriksa wajah hingga badan. Aku menggeleng dengan cepat, tidak ada luka sedikitpun. Malah bisa dibilang Rendy yang terluka akibat gigitan ku. Sebagai penculik dia cukup menderita. "Aku nggak papa." "Kamu habis kecelakaan, kita harus periksa siapa tahu ada luka dalam." "Beneran aku nggak papa." Roan memandangku, berusaha mencari keseriusan di sana. Kami berbucin ria tanpa memedulikan Rendy yang dibawa pergi polisi sambil teriak. Sekali lagi aku memeluk Roan, rindu kehangatan dada bidangnya. Detak jantungnya terpacu cepat. Dia membalas pelukanku erat. Kami saling melampiaskan rindu. Sampai suasana sepi, Roan melepaskan pelukan. Ia mengambil daguku. Mencium bibirku lembut. Aku melingkarkan tangan ke le