Dari dulu Mama selalu memberi jalan terbaik dan menjauhkan segala sesuatu yang bisa membuat Roan terluka. Dilimpahi kasih sayang dari semua orang membuat Roan tumbuh menjadi pribadi yang baik. Ia peka dan peduli terhadap sesama. Hatinya juga hangat. Namun, terkadang jalan yang diberikan Mama tidak selalu benar. Contohnya ketika ia harus kehilangan Yua. Tapi lambat laun Roan sadar bahwa Yua memang bukan jodohnya. Tuhan menyuruhnya menunggu sampai Rin datang, membuat kebahagiaannya lengkap. Roan pikir kisahnya sudah happy ending ketika mereka saling menerima, serius dengan pernikahan dan berkomitmen terus bersama. Apalagi bayi mereka akan hadir menjadi pelengkap rumah tangga. "Rin, udah ya, bayinya harus dibawa ke inkubator lagi." Roan berusaha mengambil bayi Yua dari gendongan Rin. "Bayi kita sehat kok, nggak perlu dibawa ke inkubator. Lihat pipinya gembul kayak gini." Rin wanita cerdas, sangat sulit menipunya. Membuat Roan harus hati-hati. "Tapi kamu belum sehat, tadi aku bilan
Kepercayaan ibarat tali yang saling mengikat hubungan, Roan mempercayakan banyak hal padaku lebih dari sekretarisnya yang lain. Sementara aku percaya dengan semua perintah Roan. Kami bekerja sama, saling percaya dan mendukung. Hubungan profesional itu perlahan berubah spesial sejak menjadi suami istri, kami calon ayah dan ibu. Semua terasa sempurna ketika cinta hadir, saling memahami dan melengkapi. Aku pikir begitu, nyatanya hubungan kami sangat rapuh. Mudah ratak tanpa tatanan yang tepat.Kehilangan bayi sangat menyakiti hatiku, sikapku yang dingin berubah hangat sejak hamil. Lebih dari apapun. Aku terluka dan hancur. "Pergi kamu! Aku nggak mau lihat kamu lagi!" Aku melempar buah di samping ranjang. Roan terdiam di tempat, pulang dari kantor langsung menuju rumah sakit. Aku sudah mengetahui semuanya. Roan membunuh anak kami padahal sebelumnya dia sudah berjanji.Andai tidak ada rasa cinta, mungkin tidak akan seperih ini. Anak itu hadir dari kesalahan satu malam. Tidak sengaja di
Nenek dan kakek juga mengeluh padaku. Belum lagi Pakde. Mereka semua mengandalkanku yang saat itu belum genap berusia 16 tahun."Rin, bapakmu menggadaikan rumahnya Mbah. Petugas bank tadi ke sini. Kamu kirim uang ya buat nyicil angsuran." Pesan dari Pakde. "Iya, Pakde. Bulan ini Rin akan kirim uang lebih." Pada akhirnya aku tidak jadi membeli kue dan hanya bisa membeli donat. Memandangnya di dalam kamar pembantu yang sempit. Aku mengambil lilin putih di dapur dan merayakan ulang tahun sendirian."Ulang tahun ke 16, semoga aku bisa ngrasain punya keluarga." Aku meniup lilin itu, air mata jatuh begitu saja. Padahal aku jarang sekali rapuh. Sekuat apapun diriku, saat itu aku masih remaja yang butuh kasih sayang. Aku makan donat dengan penuh harapan suatu hari nanti tidak kesepian lagi. Masa-masa yang begitu keras dan berat. Menjadi anak yang tumbuh sendirian tanpa bimbingan siapapun. Mimpiku berpindah ke saat aku mencari kosan dan pindah. Betapa hujan membuatku demam tanpa ada yang
Sudah tiga minggu Roan tidak menghubungi. Setiap waktu aku melihat ponsel berharap ada pesan darinya. Sayangnya kosong, dia aktif tapi tidak mengirim pesan. Padahal kami suami istri.Aku mengembuskan napas berat dan menaruh ponsel di atas meja rias, pelayan sedang mendadaniku. Tadi malam aku sudah berbicara banyak dengan ayah. Katanya beliau ingin aku mencoba memimpin hotel.Aku sudah bilang bahwa jurusanku berbeda dengan hotel, pekerjaanku sebelumnya juga sekretaris di perusahaan teknologi. Pasarku adalah penggunaan ponsel. Tidak mengerti sama sekali tentang perhotelan. Aku takut tidak bisa. "Rin cerdas, Ayah yakin Rin bisa." Ayah terlalu berekspektasi tinggi, apalagi bunda. Sekarang saja bunda mengurus pakaianku, menyewa stylish dan membelikan baju baru. Terlalu berlebihan padahal aku hanya mau ke hotel untuk melihat-lihat. "Bun, aku kan cuma ke hotel buat lihat-lihat, kayaknya nggak perlu pakai baju berlebihan." Bunda memberikan pakaian formal yang dibuat desainer, sepatu dan t
Pura-pura menurut dan baik pada keluarga Yua, menikah pura-pura dengan Roan dan menjadi babu Roan selama 4 tahun. Demi uang, demi hidup nyaman, demi apartemenku. Dulu aku sanggup melakukan apapun.Bisa dibilang aku berani menjual batin demi sesuap nasi. Memang menyakitkan tapi ketika mendapat bayaran aku akan puas dan bahagia. Mendapat upah dari kerja keras itu menyenangkan.Sekarang aku dipaksa menjadi anak orang kaya, lucu sekali. "Tenanglah di sini. Paman Robert dan Tante akan menyusul." Rendy berjalan mondar-mandir tidak bisa tenang, sementara tanganku diikat setelah mengigit telinganya hingga berdarah. "Roan akan menemukan tempat ini, pemilik perusahaan teknologi sangat cepat mendapat informasi, Ren. Jadi kamu nyerah aja." Mendengar itu Rendy semakin gelisah, ia menggigit jemarinya. Di saat seperti ini aku tidak bisa memprovokasi Rendy. Aku takut dia nekat membunuhku. Rendy berjongkok di depanku, matanya bingung. Dia hanya asal menculik tanpa perencanaan. Dia khawatir aku ke
Aku senang bertemu Roan setelah sekian lama, tapi kalau untuk terharu sepertinya sulit. Aku terbiasa tanpa ekspresi dan hidup dengan no drama drama. Roan melepaskan pelukannya, memandangku yang hanya tersenyum bingung harus bereaksi seperti apa. "Apa ada yang luka?" tanya Roan. Memeriksa wajah hingga badan. Aku menggeleng dengan cepat, tidak ada luka sedikitpun. Malah bisa dibilang Rendy yang terluka akibat gigitan ku. Sebagai penculik dia cukup menderita. "Aku nggak papa." "Kamu habis kecelakaan, kita harus periksa siapa tahu ada luka dalam." "Beneran aku nggak papa." Roan memandangku, berusaha mencari keseriusan di sana. Kami berbucin ria tanpa memedulikan Rendy yang dibawa pergi polisi sambil teriak. Sekali lagi aku memeluk Roan, rindu kehangatan dada bidangnya. Detak jantungnya terpacu cepat. Dia membalas pelukanku erat. Kami saling melampiaskan rindu. Sampai suasana sepi, Roan melepaskan pelukan. Ia mengambil daguku. Mencium bibirku lembut. Aku melingkarkan tangan ke le
Tuhan memiliki takdirnya sendiri. Mendatangkan cinta tanpa ada yang menduga. Ia jatuh cinta untuk kedua kalinya dalam hidup. Hatinya kembali hangat dan memiliki mimpi-mimpi masa depan bersama. Ia bahagia bersama Rin.Setelah mengenal Rin lebih jauh, Roan baru sadar satu hal. Hati wanita itu beku. Mungkin karena keadaan. Rin tidak mudah tersentuh dan selalu berpikir rasional. Hatinya sangat dingin hingga terkadang Roan merasa hanya memiliki raganya saja. Tantangan besar bagi Roan mengubah hati Rin, memberikan kehangatan dan kenyamanan supaya dinding yang wanita bangun runtuh. Supaya Rin tidak merasa hidup sendirian dan memiliki tempat bersandar. "Aku beneran nggak papa," kata Rin ketika Roan memeluknya. Pagi ini mereka mendapat kabar ayah kandung Rin meninggal, Roan tahu Rin sedih, hanya saja tertutup dengan dinding yang sejak dulu Rin bangun supaya tidak mudah menangis. Kalau saja Rin tidak menangis saat anak mereka meninggal, Roan pasti mengira Rin gila. Tangisan Rin membuat Roan
Roan tahu Rin wanita yang tidak kenal takut, melihat ayahnya hidup kembali dan menjelaskan panjang lebar tidak membuatnya bergetar. Padahal orang-orang berlari ketakutan termasuk papa dan mama.Mereka sampai tabrakan dan jatuh, berlomba-lomba keluar rumah duluan dan lari terbirit-birit. Namun Rin begitu santai mengobrol dengan pocong ayahnya. "Aku nggak suka hal yang berlebihan, kayak orang asing lebih nyaman." Rin menjelaskan tidak suka sikap ayah dan bunda sekalipun demi kebaikan, Rin bukan anak kecil lagi. Dia bisa menjaga diri dan memutuskan untuk hidupnya. "Ayah tahu kamu sudah besar, maaf karena memperlakukanmu seperti anak kecil." "Kasih waktu buat kenal kalian. Tiba-tiba punya orang tua membuatku shock." "Ayah terlalu buru-buru, sekarang ayah akan mencoba lebih memahami kamu." Ayah mencondongkan tubuhnya, minta dipeluk Rin. Istri Roan itu mengembuskan napas berat lalu tersenyum, ia memeluk Ayah yang masih berbalut kain kafan. Pemandangan ini sangat aneh bagi Roan yang ha