Roan tidak tahu menjadi seorang ayah akan mendebarkan, tidak seperti dia mengurus Ikram dan Ikrima yang merupakan keponakannya, sekarang ia memiliki anak sendiri, darah dagingnya. Ia bahagia mendengar detak jantung kecebongnya. Perasaan sayang itu otomatis muncul, dia tidak sabar menimang bayinya, mengajari naik sepeda dan mengantar sekolah. "Itu anak kita, Rin." Roan memberitahu dengan antusias. Meminta foto USG untuk dipajang di rumah."Iya, aku dengar detak jantungnya." Roan merasa sempurna, hubungan dengan Rin juga sangat baik, hari ini saja mereka sudah ciuman dua kali. Bergandengan tangan setiap ada kesempatan. Kalau sudah di rumah nanti, mereka akan lebih bebas sayang-sayangan. Setelah urusan selesai, mereka berjalan keluar dari ruangan dokter. Niatnya belanja kebutuhan ibu hamil sebelum pulang. Tapi Roan tidak sengaja menyenggol seseorang hingga membuat foto bayinya terjatuh. "Roan, kamu ngapain di sini?" tanya Tasya. "Aku nemenin istriku periksa kandungan," jawab Roan.
Roan ganti baju sembari melirik ke arah Rin, wanita itu masih memakai daster dan membaca majalah. Setelah dilihat lagi pakai apapun Rin tetap cantik. Kenapa dulu dia mengomeli Rin hanya karena pakaian? Sekarang Roan lebih suka Rin tidak pakai apapun."Sepertinya aku sudah gila," gumam Roan. Dia teringat malam panas yang membuat benihnya tumbuh di perut Rin. Tinggal beberapa jam lagi, dia harus sabar untuk melihat pemandangan bukit kembar dan segala keindahannya. Setelah makan malam ia akan melihat Rin memakai lingerie, membayangkan saja sudah membuat Roan ngiler. "Hehehe...." Otaknya sekarang seperti sudah dicuci. Saat ia menghamili Rin sebulan lalu, Rin hanya memakai gaun pesta, setelah itu langsung gasak sampai puas. Tidak ada persiapan sama sekali seperti ini. Bisa dibilang sekarang adalah malam pertama yang sesungguhnya. "Duh, gak sabar." Dia lari-larian kecil, berusaha tidak tegang, sangat memalukan saat sesuatunya menonjol di tempat umum. Di harus menenangkan pusakanya. Roa
Seolah usaha Roan selama ini tidak dipandang sedikitpun, ia meletakkan sendok dengan keras. Membuat semua orang diam. Lagi-lagi Papa membandingkan dia dengan Jexeon!"Pa-" Roan hendak protes. Dia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Papanya yang pilih kasih. Tiba-tiba Rin menyela, "Yua bagi tips doang biar nggak mual, aku tuh susah makan kalau pagi." Yua tampak heran, lalu maksud bahwa Rin sedang menghentikan Roan yang hendak ngamuk. "Ah, itu nanti bakal baikan sendiri kalau udah tiga empat bulan, sebelum itu kamu bisa minum jus yang baunya nggak menyengat." Yua tersenyum ramah, wanita berhijab itu lumayan peka dengan keadaan, membuat Roan menurunkan emosinya. Obrolan para perempuan menghentikan tindakannya."Oh, gitu. Hehe ini baru pengalaman pertama jadi aku kurang ngerti, soalnya kan mertua kita cuma ngurusin harta terus, nggak pernah nanyain kondisiku kayak gimana. Jadi yah, aku harus cari tahu sendiri." "Kamu bisa tanya sama aku, insyaallah bakal aku bantu." "Iya, emang cum
Aku ingat awal kegilaan ini dimulai, yakni malam pengantin yang dilakukan tanpa pikir panjang. Membuatku ingin tenggelam ke samudera Atlantik saking malunya. Menyesali perawan yang hilang hingga mencakar tembok kamar mandi. Hari ini, aku malah menyerahkan tubuh secara sukarela pada Pak Bos killer yang selalu mengkritikku. Dia orang yang pernah menindasku hingga membuat kepercayaan diriku terkikis habis. Aku memakai baju dinas saringan tahu kado dari teman kantor, ada beberapa biji dengan desain aneh-aneh. Aku memilih warna merah menggoda, cukup untuk membuat Roan hilaf lagi. Kali ini kami akan melakukannya pelan-pelan dan penuh penghayatan, kupikir begitu, yahh itu harapanku, namun tidak sesuai ekspektasi. Roan menghajarku sampai jam satu pagi. Walaupun ada sesi istirahat dan ngobrol tetap saja aku lelah. Berbeda dari dulu, pagi ini tidak ada kecanggungan sama sekali. Aku tersenyum melihatnya tertidur di sampingku. Wajahnya tampan dengan dada kotak-kotak. Otot kekar itu selalu saj
Aku pacaran dengan Nicole di kelas 2 SMA, itu masa yang sangat berat karena Yua menggila. Setiap hari Yua ke klub dan berpesta dengan teman-temannya. Aku sering dimarahi orang tuanya karena tidak bisa mengendalikan anak konglomerat itu. Lah, aneh. Emangnya aku siapa bisa mengendalikan Yua? aku nasehati sedikit saja katanya berkata kasar dan diadukan ke orang tuanya. Hal itu berakhir dengan uang jajanku dipotong. Uang jajan tidak seberapa itu harus dipangkas hingga membuatku pulang jalan kaki. Aku begitu stres di usia 16 tahun, mengerjakan tugas Yua supaya nilainya stabil, mengurus nilaiku sendiri supaya dapat beasiswa. Belum keluhan dari nenek kakekku karena bapak menggadaikan rumah ke bank untuk berjudi. Saat semua kesulitan itu menimpaku, Nicole datang memberi harapan. Di sekolah ku dulu ada tingkatan kasta, pertama adalah anak emas, yakni anak-anak pemilik perusahaan besar seperti Yua. Hanya ada 10 orang, maka dari itu sangat istimewa dan mendapatkan perlakuan khusus. Lalu tin
Aku tahu rasanya sendirian, kesepian dan tidak memiliki tempat bergantung. Hingga rasa iri pada Yua setinggi gunung dan berpikir untuk menyerah.Beberapa tahun lalu, aku berniat melompat dari jembatan. Itu adalah fase yang sangat berat tanpa dukungan siapapun. Aku menengadah ke langit merasakan air hujan, tanganku memegang besi pembatas jembatan. Ingin menertawakan hidupku yang sangat kacau. Aku lapar, tapi tidak punya uang. Aku sudah berjalan selama dua jam pulang dari tempat lomba.Nilai Yua kurang, aku harus menggantikannya ikut lomba cerpen, awalnya Yua mau mengantarku, berjanji akan menunggu sampai selesai karena aku tidak punya ongkos pulang. Tapi dia tiba-tiba pergi makan bersama keluarganya, membuatku pulang jalan kaki. "Dunia ini adil untuk sebagain orang, tapi tidak sedikitpun untukku." Aku merasakan tetesan hujan menerpa wajah, bahuku terlalu kecil untuk menopang semuanya. Aku lelah hidup seperti ini.Beberapa waktu lalu aku pergi ke rumah Ibu, tidak berniat untuk meminta
"Hati-hati!" Seseorang menangkapku. Mata kami bertatapan sejenak. Dia seorang wanita dan ada seorang wanita lagi yang berusaha melindungiku. Mereka sedikit lebih tinggi, berkepang dua, memakai bando gambar idol, make up-nya cantik seperti anime Jepang. Mereka tidak jauh berbeda dengan para penonton konser lainnya, bergaya pakaian seperti remaja. Namun, kenapa wajah mereka tidak asing, seolah aku pernah mengenal atau melihatnya di suatu tempat. "Makasih ya udah nolongin aku," kataku. Kami berada di posisi menunggu orang-orang lewat.Aku melihat ke arah Mirna, dia melambaikan tangan."Kamu sudah aman," kata gadis satunya. Dia lebih tinggi dari gadis yang menarik tanganku tadi.Mereka berdua memakai make up ala anime Jepang, imut dan sangat tebal. Warna rambut putih campuran ungu. Gaya pakaian juga keren seperti anak gaul jaman sekarang. "Sekali lagi terima kasih," ucapku. "Kalian juga duduk di zona biru, 'kan? Gimana kalau kita bareng?" Sebelum mereka menjawab Mirna berlari ke ara
Risa menghentikanku yang sudah memancing orang-orang berlari mendekat, Lili juga berlari ke arah kami. "Hentikan!" Kata Risa. Wajahnya panik. Dia sangat terkejut aku bertindak secara brutal. "Tolong!" Teriak pria itu, dia meminta ampun. "Dia bilang ingin membuatku keguguran!" Aku melepaskan tangan Risa. "Apa?!" Risa tampak terkejut. Dia menggeserku. Dan menendang pria yang sudah telentang kesakitan itu. "Akh sakit!""Berani-beraninya kamu mahluk bia dab!" Aku terpaku di tempat, terheran-heran melihat Risa lebih sadis dariku menghancurkan telur yang dilindungi pria itu. Risa melepaskan sepatunya dan memukul kepala si pria itu hingga babak belur. Ternyata dia lebih brutal dibanding diriku, sampai-sampai aku hanya bisa mematung melihat kemarahannya yang meluap-luap. "Nyonya hentikan!" Teriak Lili. Wajah Lili panik, dia mencoba menghentikan Risa yang tidak terkendali karena marah. Nyonya? Lili memanggil Risa Nyonya? Apakah Risa majikannya Lili? Sama seperti aku dan Yua dahulu?Be
Katanya anak kedua sering terabaikan, aku pikir itu mitos tik tok. Rupanya benar. Aku dan Roan sampai shock seperti tidak percaya perkataan dokter yang mengatakan bahwa aku sudah hamil lima bulan. Tiba-tiba ada bayi yang bergerak di perutku!Sampai kandungan hampir memasuki usia ke enam bulan tidak terasa sama sekali. Padahal aku pernah hamil tapi tidak tahu. "Kok kamu bisa nggak sadar sih?" Protes Roan. Kami saling berpandangan. Masih di depan dokter kandungan. "Aku beneran nggak sadar, soalnya bulan kemarin aku datang bulan walaupun cuma flek." Dokter menyela, "memang hal seperti ini bisa terjadi, tidak masalah. Sekarang Bu Rina harus menjaga kesehatan lebih ekstra." "Bayinya normal 'kan Dok? Soalnya aku nggak jaga kandungan dan serabutan." Aku bertanya karena khawatir. "Alhamdulillah bayinya sehat."Roan tiba-tiba memelukku. "Selamat, akhirnya kita dianugerahi anak lagi." Aku membalasnya. "Selamat juga, akhirnya kita bisa menjadi orang tua." Rasanya terbaru, setelah penantia
Selesai acara itu, sikap orang-orang padaku berubah. Di kantor, mereka selalu menawariku makan, bersikap sok akrab dan membuatku tidak nyaman. Mereka penjilat.Aku memutuskan keluar dari sana lebih awal, sikap mereka kadang kurang ajar cari perhatian pada suamiku yang datang menjemput. Aku risih dan tidak suka. "Kalau ada yang natap tuh kamu harus nunduk," kataku pada Roan setelah melihat Roan bertatapan dengan gadis-gadis di kantor tadi."Nggak bisa lah, nanti aku dikira salting.""Kalau gitu abaikan mereka, aku nggak mau ke kantor itu lagi. Mereka semua genit sama kamu!" "Kamu cemburu?" Aku diam, malu mengakui dan malah memalingkan wajah. Rasa mual tiba-tiba menyerang. Aku menutup mulutku sendiri dan keluar dari mobil. Kembali ke gedung kantor dan mencari toilet. Roan mengejarku sampai di depan pintu toilet, aku tidak mempedulikannya dan muntah. Orang-orang melihatku dengan heran. "Apa aku hamil ya?" tanyaku setelah membersihkan mulut di wastafel. Menatap wajah di cermin. Sete
Ternyata, tidak ditantang Andy membawa suami ke anniversary perusahaan pun aku tetap harus mendampingi Roan. Cepat atau lambat memang harus bersiap membongkar identitas. Aku mengembuskan napas berat. Sekarang kami dalam perjalanan, jauh-jauh hari Mama menyiapkan gaun yang serasi dengan Roan. Ayah dan bundaku juga diundang. Aku sudah bisa marah pada ayah, tanpa disangka itu membuatnya senang sekaligus sedih. Aku mengungkapkan perasaanku selama ini. Rasa sakit yang aku derita selama puluhan tahun. Rasa iri pada orang lain yang dijaga ayahnya dan perasaan rindu.Semua itu berawal dari tali sepatuku yang lepas. Ayah memasangkannya sambil jongkok, membuatku merasa seperti seorang putri yang dicintai. "Kenapa baru sekarang?" tanyaku.Ayah mendongak, melihatku yang menunduk. "Ayah baru lihat tali sepatumu lepas." Selesai memasangkan ayah berdiri. "Kenapa Ayah nggak peka dari awal?" Mendengar pertanyaanku membuat ayah bingung. "Maaf Ayah nggak tahu." "Andai Ayah lebih peka, aku nggak a
Dokter hanya menanyai beberapa hal di pertemuan pertama kami. Dia mengajakku mengobrol santai dan dalam waktu singkat menjadi akrab. Dokter wanita yang cerdas dan ramah, auranya dewasa nan elegan. Ia mendengar ceritaku tentang kehidupan sehari-hari.Ia menanggapi sebagai pendengar yang baik, membuatku sangat nyaman karena tidak ada yang menghakimi. Hal yang aku takutkan selama ini adalah dipandang rendah. Tapi Dokter Valerie antusias mendengar dan menanggapi secara rasional, menunjukkan profesionalitas kerja. Ia mencatat percakapan kami sesekali. Wajah cantiknya selalu tersenyum hangat. "Pertemuan selanjutnya tiga hari lagi, saya akan membuatkan resep." Dokter Valerie menulis di kertas resep. Membuatku memiringkan kepala karena heran. "Obat untuk apa? Kita kan cuma ngobrol, Dok?"Dokter Valerie tersenyum. "Supaya saya dapat bayaran, saya kan jual obat." Aku mengerutkan kening, candaannya garing. "Aku serius, Dok." Dokter Valerie membenarkan kacamatanya, ia menutup buku catatan p
Dari mana dia tahu bahwa aku memiliki hotel, aku menelan ludah. Tekanan dari orang ini berbeda. Dia terlihat santai tapi berbahaya. "Aku akan menghadiahkan sprei, cangkir Papa Mama dan baju tidur. Itu kan kado pernikahan yang umum." Benar, umum di kalangan rakyat biasa tapi tidak untuk kalangan atas. Malah kado seperti itu seperti penghinaan. Aku mencoba memancing Lazio, melihat seberapa batasannya. Lazio menelengkan kepalanya, menatapku dengan tekanan mencekam. Aku meletakkan sendok. Berusaha tidak terlihat takut. Hanya saja diamnya Lazio terlihat mengerikan apalagi senyum simpul di sudut bibirnya. Dia seperti psikopat."Kami akan menghadiahkan mobil," ucap Roan. Mencairkan suasana. "Hahahahaha," tawa Lazio pecah hingga semua orang melihat ke arah kami. Ia kembali mengambil buah stroberi. "Sprei dan cangkir couple juga bagus." Aku bernapas lega, ikut tersenyum dengan canggung. Wanita yang bisa menikah Lazio tentulah orang yang kuat. Aku yang baru dua kali bertemu saja merasakan
Kata Roan statusku sebagai istrinya di Rose Green grup tidak diketahui oleh siapapun. Tapi sepertinya Roan lupa bahwa dulu Pak Salam datang ke pernikahan kami. Dia mengenaliku dan terkejut. "Anda adalah menantu Presdir?" tanyanya saat aku mengharap pagi ini. "Benar, Pak. Saya mohon bantuan untuk kedepannya." Aku menunduk hormat. Pak Salam langsung berdiri, ia gugup dan bingung memperlakukanku yang merupakan menantu atasannya. "Pak Rasyid nggak bilang kalau sekretaris baru saya itu menantunya sendiri." "Papa ingin saya bekerja normal tanpa ada yang memandang status. Mohon perlakukan saya seperti yang lain." "Mana bisa seperti itu, anda adalah nyonya muda. Kalau saya salah sedikit, saya yang akan dipecat. Silakan duduk dulu." Setelah aku duduk, Pak Salam keluar dan berteriak menyuruh mengambilkan air serta cemilan, ia panik seperti kedatangan tamu penting.Ini sulit, kurasa pekerjaanku tidak akan berjalan baik. Hari pertama, aku hanya diajak berkeliling kantor oleh direktur, memb
Roan tahu Rin wanita yang tidak kenal takut, melihat ayahnya hidup kembali dan menjelaskan panjang lebar tidak membuatnya bergetar. Padahal orang-orang berlari ketakutan termasuk papa dan mama.Mereka sampai tabrakan dan jatuh, berlomba-lomba keluar rumah duluan dan lari terbirit-birit. Namun Rin begitu santai mengobrol dengan pocong ayahnya. "Aku nggak suka hal yang berlebihan, kayak orang asing lebih nyaman." Rin menjelaskan tidak suka sikap ayah dan bunda sekalipun demi kebaikan, Rin bukan anak kecil lagi. Dia bisa menjaga diri dan memutuskan untuk hidupnya. "Ayah tahu kamu sudah besar, maaf karena memperlakukanmu seperti anak kecil." "Kasih waktu buat kenal kalian. Tiba-tiba punya orang tua membuatku shock." "Ayah terlalu buru-buru, sekarang ayah akan mencoba lebih memahami kamu." Ayah mencondongkan tubuhnya, minta dipeluk Rin. Istri Roan itu mengembuskan napas berat lalu tersenyum, ia memeluk Ayah yang masih berbalut kain kafan. Pemandangan ini sangat aneh bagi Roan yang ha
Tuhan memiliki takdirnya sendiri. Mendatangkan cinta tanpa ada yang menduga. Ia jatuh cinta untuk kedua kalinya dalam hidup. Hatinya kembali hangat dan memiliki mimpi-mimpi masa depan bersama. Ia bahagia bersama Rin.Setelah mengenal Rin lebih jauh, Roan baru sadar satu hal. Hati wanita itu beku. Mungkin karena keadaan. Rin tidak mudah tersentuh dan selalu berpikir rasional. Hatinya sangat dingin hingga terkadang Roan merasa hanya memiliki raganya saja. Tantangan besar bagi Roan mengubah hati Rin, memberikan kehangatan dan kenyamanan supaya dinding yang wanita bangun runtuh. Supaya Rin tidak merasa hidup sendirian dan memiliki tempat bersandar. "Aku beneran nggak papa," kata Rin ketika Roan memeluknya. Pagi ini mereka mendapat kabar ayah kandung Rin meninggal, Roan tahu Rin sedih, hanya saja tertutup dengan dinding yang sejak dulu Rin bangun supaya tidak mudah menangis. Kalau saja Rin tidak menangis saat anak mereka meninggal, Roan pasti mengira Rin gila. Tangisan Rin membuat Roan
Aku senang bertemu Roan setelah sekian lama, tapi kalau untuk terharu sepertinya sulit. Aku terbiasa tanpa ekspresi dan hidup dengan no drama drama. Roan melepaskan pelukannya, memandangku yang hanya tersenyum bingung harus bereaksi seperti apa. "Apa ada yang luka?" tanya Roan. Memeriksa wajah hingga badan. Aku menggeleng dengan cepat, tidak ada luka sedikitpun. Malah bisa dibilang Rendy yang terluka akibat gigitan ku. Sebagai penculik dia cukup menderita. "Aku nggak papa." "Kamu habis kecelakaan, kita harus periksa siapa tahu ada luka dalam." "Beneran aku nggak papa." Roan memandangku, berusaha mencari keseriusan di sana. Kami berbucin ria tanpa memedulikan Rendy yang dibawa pergi polisi sambil teriak. Sekali lagi aku memeluk Roan, rindu kehangatan dada bidangnya. Detak jantungnya terpacu cepat. Dia membalas pelukanku erat. Kami saling melampiaskan rindu. Sampai suasana sepi, Roan melepaskan pelukan. Ia mengambil daguku. Mencium bibirku lembut. Aku melingkarkan tangan ke le