Aku pacaran dengan Nicole di kelas 2 SMA, itu masa yang sangat berat karena Yua menggila. Setiap hari Yua ke klub dan berpesta dengan teman-temannya. Aku sering dimarahi orang tuanya karena tidak bisa mengendalikan anak konglomerat itu. Lah, aneh. Emangnya aku siapa bisa mengendalikan Yua? aku nasehati sedikit saja katanya berkata kasar dan diadukan ke orang tuanya. Hal itu berakhir dengan uang jajanku dipotong. Uang jajan tidak seberapa itu harus dipangkas hingga membuatku pulang jalan kaki. Aku begitu stres di usia 16 tahun, mengerjakan tugas Yua supaya nilainya stabil, mengurus nilaiku sendiri supaya dapat beasiswa. Belum keluhan dari nenek kakekku karena bapak menggadaikan rumah ke bank untuk berjudi. Saat semua kesulitan itu menimpaku, Nicole datang memberi harapan. Di sekolah ku dulu ada tingkatan kasta, pertama adalah anak emas, yakni anak-anak pemilik perusahaan besar seperti Yua. Hanya ada 10 orang, maka dari itu sangat istimewa dan mendapatkan perlakuan khusus. Lalu tin
Aku tahu rasanya sendirian, kesepian dan tidak memiliki tempat bergantung. Hingga rasa iri pada Yua setinggi gunung dan berpikir untuk menyerah.Beberapa tahun lalu, aku berniat melompat dari jembatan. Itu adalah fase yang sangat berat tanpa dukungan siapapun. Aku menengadah ke langit merasakan air hujan, tanganku memegang besi pembatas jembatan. Ingin menertawakan hidupku yang sangat kacau. Aku lapar, tapi tidak punya uang. Aku sudah berjalan selama dua jam pulang dari tempat lomba.Nilai Yua kurang, aku harus menggantikannya ikut lomba cerpen, awalnya Yua mau mengantarku, berjanji akan menunggu sampai selesai karena aku tidak punya ongkos pulang. Tapi dia tiba-tiba pergi makan bersama keluarganya, membuatku pulang jalan kaki. "Dunia ini adil untuk sebagain orang, tapi tidak sedikitpun untukku." Aku merasakan tetesan hujan menerpa wajah, bahuku terlalu kecil untuk menopang semuanya. Aku lelah hidup seperti ini.Beberapa waktu lalu aku pergi ke rumah Ibu, tidak berniat untuk meminta
"Hati-hati!" Seseorang menangkapku. Mata kami bertatapan sejenak. Dia seorang wanita dan ada seorang wanita lagi yang berusaha melindungiku. Mereka sedikit lebih tinggi, berkepang dua, memakai bando gambar idol, make up-nya cantik seperti anime Jepang. Mereka tidak jauh berbeda dengan para penonton konser lainnya, bergaya pakaian seperti remaja. Namun, kenapa wajah mereka tidak asing, seolah aku pernah mengenal atau melihatnya di suatu tempat. "Makasih ya udah nolongin aku," kataku. Kami berada di posisi menunggu orang-orang lewat.Aku melihat ke arah Mirna, dia melambaikan tangan."Kamu sudah aman," kata gadis satunya. Dia lebih tinggi dari gadis yang menarik tanganku tadi.Mereka berdua memakai make up ala anime Jepang, imut dan sangat tebal. Warna rambut putih campuran ungu. Gaya pakaian juga keren seperti anak gaul jaman sekarang. "Sekali lagi terima kasih," ucapku. "Kalian juga duduk di zona biru, 'kan? Gimana kalau kita bareng?" Sebelum mereka menjawab Mirna berlari ke ara
Risa menghentikanku yang sudah memancing orang-orang berlari mendekat, Lili juga berlari ke arah kami. "Hentikan!" Kata Risa. Wajahnya panik. Dia sangat terkejut aku bertindak secara brutal. "Tolong!" Teriak pria itu, dia meminta ampun. "Dia bilang ingin membuatku keguguran!" Aku melepaskan tangan Risa. "Apa?!" Risa tampak terkejut. Dia menggeserku. Dan menendang pria yang sudah telentang kesakitan itu. "Akh sakit!""Berani-beraninya kamu mahluk bia dab!" Aku terpaku di tempat, terheran-heran melihat Risa lebih sadis dariku menghancurkan telur yang dilindungi pria itu. Risa melepaskan sepatunya dan memukul kepala si pria itu hingga babak belur. Ternyata dia lebih brutal dibanding diriku, sampai-sampai aku hanya bisa mematung melihat kemarahannya yang meluap-luap. "Nyonya hentikan!" Teriak Lili. Wajah Lili panik, dia mencoba menghentikan Risa yang tidak terkendali karena marah. Nyonya? Lili memanggil Risa Nyonya? Apakah Risa majikannya Lili? Sama seperti aku dan Yua dahulu?Be
Sejak dulu aku merasa yatim piatu. Menganggap seperti itu jauh lebih baik dari pada mengingat memiliki Bapak yang menyusahkan dan ibu yang tidak tahu diri. Aku merebahkan tubuh di ranjang setelah tertawa, lampu gantung di atasku bersinar meskipun sudah siang. Aku melihat sekali lagi isi pesan Bapak yang minta uang. Anehnya aku tidak sedih sama sekali tidak ditanyai kabar. Hubungan kami seperti orang asing, sudah lama aku membekukan hatiku untuknya. Sejak dia menyerahkan semua hutang padaku yang masih berusia 16 tahun, aku menganggapnya mati. Seorang ayah seharusnya melindungi putrinya, bukan malah menjerumuskan dalam kesulitan. Aku menutup mataku dengan punggung tangan. Menghalangi sinar lampu gantung."Aku nggak mau sedih untuk orang yang nggak penting," ucapku sembari duduk. Aku mandi dan berganti baju dibantu pelayan, berdandan ala orang kaya. Mungkin karena sering mendadani Yua dan Roan. Aku tidak kesulitan beradaptasi dengan status baruku. Aku bersiap ke kantor, berniat ma
Peluncuran produk baru tinggal hitungan minggu, tapi lima jam lalu terjadi kebocoran data oleh hacker. Semua ahli IT langsung digerakkan untuk mengirim jutaan virus supaya data yang sudah dicuri rusak. Mereka bukan startup, Nathanael Grup sudah beroperasi sekitar 20 tahun, dari mulai membuat software untuk komputer jadul hingga memiliki banyak aplikasi andalan. Produk Nathanael Grup kini lekat di masyarakat, dari penyimpanan data, jual beli, treveling hingga urusan pembayaran. Tingkat keamanan mereka sangat tinggi dan tidak mudah dibobol oleh hacker. Roan merasa ada penyusup di perusahaannya, berbeda dari Rin yang mencurigai Mirna, ia malah mencurigai orang lain."Kau sudah datang?" tanya Lazio sembari mengangkat gelas berisi wine. Roan tidak pernah mengenal Pram, pemimpin Siluet, keluarga mafia nomor 1 di Asia Tenggara sebelumnya. Tapi katanya sebelum Siluet jatuh ke tangan Lazio, pemimpin sebelumnya sangat keji. Roan duduk berhadapan dengan Lazio, mereka berada di halaman rumah
Roan mengembuskan napas berat setelah melihat Rin pergi sembari menangis, ia hendak mengejar tapi Mama menarik tangannya. Tidak mengizinkan ia mengejar Rin. "Aku mau ngejar Rin, Ma." Roan melepaskan tangan Mamanya. "Rin bakal tambah marah kalau kamu salah ngomong lagi," kata Mama. Membuat langkah Roan berhenti. "Kalau nggak dikejar aku takut dia kenapa-napa." Roan tidak menghiraukan perkataan Mamanya dan memilih pergi mengejar Rin, napasnya terengah-engah, melihat ke kanan dan kiri. Tidak ada Rin di depan rumah.Roan tidak pantang menyerah, ia mencari Rin dengan berlari sembari menelepon. Roan keluar gerbang. Sayangnya telepon Rin tidak diangkat. Ia semakin khawatir. Takut terjadi hal buruk pada istrinya yang tengah hamil itu. "Kamu di mana, Rin?" gumamnya. Keringat bercucuran. Roan menyangga badan dengan memegang lutut, ia sudah berjalan sangat jauh. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Rin.Matahari bersinar terik padahal baru pukul 8, panas polusi kendaraan membuatnya batuk,
Rin melepaskan genggaman tangannya pada Roan, lalu tersenyum canggung pada Lazio. Tatapan Roan langsung berubah tajam melihat gelagat sang istri. Ia menggenggam tangan Rin kembali hingga membuat mata Rin melotot. "Kalian ... mesra." Komentar Lazio. Sebelah alisnya terangkat.Pria berbadan tinggi itu mengamati Rin dan Roan bergantian. Roan memakai jas mahal seperti biasa, sepatunya mengkilap dan rambutnya juga rapi. Sementara Rin memakai androk selutut, baju putih dan rambutnya bergelombang. Wajah Rin cukup imut di mata Lazio hingga membuat bibirnya terangkat, pria itu mengulurkan tangan."Lazio, sahabat dekaaaaattt Roan." Lazio memperkenalkan diri sebagai sahabat, padahal bagi Roan mereka tidak pernah berteman. Rin segera melepaskan tangan Roan dan menerima jabatan tangan Lazio. "Saya Rin, sekretarisnya Pak Roan." "Sekaligus istri." Roan menambahi. "Oh, ini istrimu. Aku baru tahu. Santai aja jangan terlalu formal." Lazio cukup ramah di mata Rin. Roan melepaskan jabatan tangan m
Katanya anak kedua sering terabaikan, aku pikir itu mitos tik tok. Rupanya benar. Aku dan Roan sampai shock seperti tidak percaya perkataan dokter yang mengatakan bahwa aku sudah hamil lima bulan. Tiba-tiba ada bayi yang bergerak di perutku!Sampai kandungan hampir memasuki usia ke enam bulan tidak terasa sama sekali. Padahal aku pernah hamil tapi tidak tahu. "Kok kamu bisa nggak sadar sih?" Protes Roan. Kami saling berpandangan. Masih di depan dokter kandungan. "Aku beneran nggak sadar, soalnya bulan kemarin aku datang bulan walaupun cuma flek." Dokter menyela, "memang hal seperti ini bisa terjadi, tidak masalah. Sekarang Bu Rina harus menjaga kesehatan lebih ekstra." "Bayinya normal 'kan Dok? Soalnya aku nggak jaga kandungan dan serabutan." Aku bertanya karena khawatir. "Alhamdulillah bayinya sehat."Roan tiba-tiba memelukku. "Selamat, akhirnya kita dianugerahi anak lagi." Aku membalasnya. "Selamat juga, akhirnya kita bisa menjadi orang tua." Rasanya terbaru, setelah penantia
Selesai acara itu, sikap orang-orang padaku berubah. Di kantor, mereka selalu menawariku makan, bersikap sok akrab dan membuatku tidak nyaman. Mereka penjilat.Aku memutuskan keluar dari sana lebih awal, sikap mereka kadang kurang ajar cari perhatian pada suamiku yang datang menjemput. Aku risih dan tidak suka. "Kalau ada yang natap tuh kamu harus nunduk," kataku pada Roan setelah melihat Roan bertatapan dengan gadis-gadis di kantor tadi."Nggak bisa lah, nanti aku dikira salting.""Kalau gitu abaikan mereka, aku nggak mau ke kantor itu lagi. Mereka semua genit sama kamu!" "Kamu cemburu?" Aku diam, malu mengakui dan malah memalingkan wajah. Rasa mual tiba-tiba menyerang. Aku menutup mulutku sendiri dan keluar dari mobil. Kembali ke gedung kantor dan mencari toilet. Roan mengejarku sampai di depan pintu toilet, aku tidak mempedulikannya dan muntah. Orang-orang melihatku dengan heran. "Apa aku hamil ya?" tanyaku setelah membersihkan mulut di wastafel. Menatap wajah di cermin. Sete
Ternyata, tidak ditantang Andy membawa suami ke anniversary perusahaan pun aku tetap harus mendampingi Roan. Cepat atau lambat memang harus bersiap membongkar identitas. Aku mengembuskan napas berat. Sekarang kami dalam perjalanan, jauh-jauh hari Mama menyiapkan gaun yang serasi dengan Roan. Ayah dan bundaku juga diundang. Aku sudah bisa marah pada ayah, tanpa disangka itu membuatnya senang sekaligus sedih. Aku mengungkapkan perasaanku selama ini. Rasa sakit yang aku derita selama puluhan tahun. Rasa iri pada orang lain yang dijaga ayahnya dan perasaan rindu.Semua itu berawal dari tali sepatuku yang lepas. Ayah memasangkannya sambil jongkok, membuatku merasa seperti seorang putri yang dicintai. "Kenapa baru sekarang?" tanyaku.Ayah mendongak, melihatku yang menunduk. "Ayah baru lihat tali sepatumu lepas." Selesai memasangkan ayah berdiri. "Kenapa Ayah nggak peka dari awal?" Mendengar pertanyaanku membuat ayah bingung. "Maaf Ayah nggak tahu." "Andai Ayah lebih peka, aku nggak a
Dokter hanya menanyai beberapa hal di pertemuan pertama kami. Dia mengajakku mengobrol santai dan dalam waktu singkat menjadi akrab. Dokter wanita yang cerdas dan ramah, auranya dewasa nan elegan. Ia mendengar ceritaku tentang kehidupan sehari-hari.Ia menanggapi sebagai pendengar yang baik, membuatku sangat nyaman karena tidak ada yang menghakimi. Hal yang aku takutkan selama ini adalah dipandang rendah. Tapi Dokter Valerie antusias mendengar dan menanggapi secara rasional, menunjukkan profesionalitas kerja. Ia mencatat percakapan kami sesekali. Wajah cantiknya selalu tersenyum hangat. "Pertemuan selanjutnya tiga hari lagi, saya akan membuatkan resep." Dokter Valerie menulis di kertas resep. Membuatku memiringkan kepala karena heran. "Obat untuk apa? Kita kan cuma ngobrol, Dok?"Dokter Valerie tersenyum. "Supaya saya dapat bayaran, saya kan jual obat." Aku mengerutkan kening, candaannya garing. "Aku serius, Dok." Dokter Valerie membenarkan kacamatanya, ia menutup buku catatan p
Dari mana dia tahu bahwa aku memiliki hotel, aku menelan ludah. Tekanan dari orang ini berbeda. Dia terlihat santai tapi berbahaya. "Aku akan menghadiahkan sprei, cangkir Papa Mama dan baju tidur. Itu kan kado pernikahan yang umum." Benar, umum di kalangan rakyat biasa tapi tidak untuk kalangan atas. Malah kado seperti itu seperti penghinaan. Aku mencoba memancing Lazio, melihat seberapa batasannya. Lazio menelengkan kepalanya, menatapku dengan tekanan mencekam. Aku meletakkan sendok. Berusaha tidak terlihat takut. Hanya saja diamnya Lazio terlihat mengerikan apalagi senyum simpul di sudut bibirnya. Dia seperti psikopat."Kami akan menghadiahkan mobil," ucap Roan. Mencairkan suasana. "Hahahahaha," tawa Lazio pecah hingga semua orang melihat ke arah kami. Ia kembali mengambil buah stroberi. "Sprei dan cangkir couple juga bagus." Aku bernapas lega, ikut tersenyum dengan canggung. Wanita yang bisa menikah Lazio tentulah orang yang kuat. Aku yang baru dua kali bertemu saja merasakan
Kata Roan statusku sebagai istrinya di Rose Green grup tidak diketahui oleh siapapun. Tapi sepertinya Roan lupa bahwa dulu Pak Salam datang ke pernikahan kami. Dia mengenaliku dan terkejut. "Anda adalah menantu Presdir?" tanyanya saat aku mengharap pagi ini. "Benar, Pak. Saya mohon bantuan untuk kedepannya." Aku menunduk hormat. Pak Salam langsung berdiri, ia gugup dan bingung memperlakukanku yang merupakan menantu atasannya. "Pak Rasyid nggak bilang kalau sekretaris baru saya itu menantunya sendiri." "Papa ingin saya bekerja normal tanpa ada yang memandang status. Mohon perlakukan saya seperti yang lain." "Mana bisa seperti itu, anda adalah nyonya muda. Kalau saya salah sedikit, saya yang akan dipecat. Silakan duduk dulu." Setelah aku duduk, Pak Salam keluar dan berteriak menyuruh mengambilkan air serta cemilan, ia panik seperti kedatangan tamu penting.Ini sulit, kurasa pekerjaanku tidak akan berjalan baik. Hari pertama, aku hanya diajak berkeliling kantor oleh direktur, memb
Roan tahu Rin wanita yang tidak kenal takut, melihat ayahnya hidup kembali dan menjelaskan panjang lebar tidak membuatnya bergetar. Padahal orang-orang berlari ketakutan termasuk papa dan mama.Mereka sampai tabrakan dan jatuh, berlomba-lomba keluar rumah duluan dan lari terbirit-birit. Namun Rin begitu santai mengobrol dengan pocong ayahnya. "Aku nggak suka hal yang berlebihan, kayak orang asing lebih nyaman." Rin menjelaskan tidak suka sikap ayah dan bunda sekalipun demi kebaikan, Rin bukan anak kecil lagi. Dia bisa menjaga diri dan memutuskan untuk hidupnya. "Ayah tahu kamu sudah besar, maaf karena memperlakukanmu seperti anak kecil." "Kasih waktu buat kenal kalian. Tiba-tiba punya orang tua membuatku shock." "Ayah terlalu buru-buru, sekarang ayah akan mencoba lebih memahami kamu." Ayah mencondongkan tubuhnya, minta dipeluk Rin. Istri Roan itu mengembuskan napas berat lalu tersenyum, ia memeluk Ayah yang masih berbalut kain kafan. Pemandangan ini sangat aneh bagi Roan yang ha
Tuhan memiliki takdirnya sendiri. Mendatangkan cinta tanpa ada yang menduga. Ia jatuh cinta untuk kedua kalinya dalam hidup. Hatinya kembali hangat dan memiliki mimpi-mimpi masa depan bersama. Ia bahagia bersama Rin.Setelah mengenal Rin lebih jauh, Roan baru sadar satu hal. Hati wanita itu beku. Mungkin karena keadaan. Rin tidak mudah tersentuh dan selalu berpikir rasional. Hatinya sangat dingin hingga terkadang Roan merasa hanya memiliki raganya saja. Tantangan besar bagi Roan mengubah hati Rin, memberikan kehangatan dan kenyamanan supaya dinding yang wanita bangun runtuh. Supaya Rin tidak merasa hidup sendirian dan memiliki tempat bersandar. "Aku beneran nggak papa," kata Rin ketika Roan memeluknya. Pagi ini mereka mendapat kabar ayah kandung Rin meninggal, Roan tahu Rin sedih, hanya saja tertutup dengan dinding yang sejak dulu Rin bangun supaya tidak mudah menangis. Kalau saja Rin tidak menangis saat anak mereka meninggal, Roan pasti mengira Rin gila. Tangisan Rin membuat Roan
Aku senang bertemu Roan setelah sekian lama, tapi kalau untuk terharu sepertinya sulit. Aku terbiasa tanpa ekspresi dan hidup dengan no drama drama. Roan melepaskan pelukannya, memandangku yang hanya tersenyum bingung harus bereaksi seperti apa. "Apa ada yang luka?" tanya Roan. Memeriksa wajah hingga badan. Aku menggeleng dengan cepat, tidak ada luka sedikitpun. Malah bisa dibilang Rendy yang terluka akibat gigitan ku. Sebagai penculik dia cukup menderita. "Aku nggak papa." "Kamu habis kecelakaan, kita harus periksa siapa tahu ada luka dalam." "Beneran aku nggak papa." Roan memandangku, berusaha mencari keseriusan di sana. Kami berbucin ria tanpa memedulikan Rendy yang dibawa pergi polisi sambil teriak. Sekali lagi aku memeluk Roan, rindu kehangatan dada bidangnya. Detak jantungnya terpacu cepat. Dia membalas pelukanku erat. Kami saling melampiaskan rindu. Sampai suasana sepi, Roan melepaskan pelukan. Ia mengambil daguku. Mencium bibirku lembut. Aku melingkarkan tangan ke le