"Hati-hati!" Seseorang menangkapku. Mata kami bertatapan sejenak. Dia seorang wanita dan ada seorang wanita lagi yang berusaha melindungiku. Mereka sedikit lebih tinggi, berkepang dua, memakai bando gambar idol, make up-nya cantik seperti anime Jepang. Mereka tidak jauh berbeda dengan para penonton konser lainnya, bergaya pakaian seperti remaja. Namun, kenapa wajah mereka tidak asing, seolah aku pernah mengenal atau melihatnya di suatu tempat. "Makasih ya udah nolongin aku," kataku. Kami berada di posisi menunggu orang-orang lewat.Aku melihat ke arah Mirna, dia melambaikan tangan."Kamu sudah aman," kata gadis satunya. Dia lebih tinggi dari gadis yang menarik tanganku tadi.Mereka berdua memakai make up ala anime Jepang, imut dan sangat tebal. Warna rambut putih campuran ungu. Gaya pakaian juga keren seperti anak gaul jaman sekarang. "Sekali lagi terima kasih," ucapku. "Kalian juga duduk di zona biru, 'kan? Gimana kalau kita bareng?" Sebelum mereka menjawab Mirna berlari ke ara
Risa menghentikanku yang sudah memancing orang-orang berlari mendekat, Lili juga berlari ke arah kami. "Hentikan!" Kata Risa. Wajahnya panik. Dia sangat terkejut aku bertindak secara brutal. "Tolong!" Teriak pria itu, dia meminta ampun. "Dia bilang ingin membuatku keguguran!" Aku melepaskan tangan Risa. "Apa?!" Risa tampak terkejut. Dia menggeserku. Dan menendang pria yang sudah telentang kesakitan itu. "Akh sakit!""Berani-beraninya kamu mahluk bia dab!" Aku terpaku di tempat, terheran-heran melihat Risa lebih sadis dariku menghancurkan telur yang dilindungi pria itu. Risa melepaskan sepatunya dan memukul kepala si pria itu hingga babak belur. Ternyata dia lebih brutal dibanding diriku, sampai-sampai aku hanya bisa mematung melihat kemarahannya yang meluap-luap. "Nyonya hentikan!" Teriak Lili. Wajah Lili panik, dia mencoba menghentikan Risa yang tidak terkendali karena marah. Nyonya? Lili memanggil Risa Nyonya? Apakah Risa majikannya Lili? Sama seperti aku dan Yua dahulu?Be
Sejak dulu aku merasa yatim piatu. Menganggap seperti itu jauh lebih baik dari pada mengingat memiliki Bapak yang menyusahkan dan ibu yang tidak tahu diri. Aku merebahkan tubuh di ranjang setelah tertawa, lampu gantung di atasku bersinar meskipun sudah siang. Aku melihat sekali lagi isi pesan Bapak yang minta uang. Anehnya aku tidak sedih sama sekali tidak ditanyai kabar. Hubungan kami seperti orang asing, sudah lama aku membekukan hatiku untuknya. Sejak dia menyerahkan semua hutang padaku yang masih berusia 16 tahun, aku menganggapnya mati. Seorang ayah seharusnya melindungi putrinya, bukan malah menjerumuskan dalam kesulitan. Aku menutup mataku dengan punggung tangan. Menghalangi sinar lampu gantung."Aku nggak mau sedih untuk orang yang nggak penting," ucapku sembari duduk. Aku mandi dan berganti baju dibantu pelayan, berdandan ala orang kaya. Mungkin karena sering mendadani Yua dan Roan. Aku tidak kesulitan beradaptasi dengan status baruku. Aku bersiap ke kantor, berniat ma
Peluncuran produk baru tinggal hitungan minggu, tapi lima jam lalu terjadi kebocoran data oleh hacker. Semua ahli IT langsung digerakkan untuk mengirim jutaan virus supaya data yang sudah dicuri rusak. Mereka bukan startup, Nathanael Grup sudah beroperasi sekitar 20 tahun, dari mulai membuat software untuk komputer jadul hingga memiliki banyak aplikasi andalan. Produk Nathanael Grup kini lekat di masyarakat, dari penyimpanan data, jual beli, treveling hingga urusan pembayaran. Tingkat keamanan mereka sangat tinggi dan tidak mudah dibobol oleh hacker. Roan merasa ada penyusup di perusahaannya, berbeda dari Rin yang mencurigai Mirna, ia malah mencurigai orang lain."Kau sudah datang?" tanya Lazio sembari mengangkat gelas berisi wine. Roan tidak pernah mengenal Pram, pemimpin Siluet, keluarga mafia nomor 1 di Asia Tenggara sebelumnya. Tapi katanya sebelum Siluet jatuh ke tangan Lazio, pemimpin sebelumnya sangat keji. Roan duduk berhadapan dengan Lazio, mereka berada di halaman rumah
Roan mengembuskan napas berat setelah melihat Rin pergi sembari menangis, ia hendak mengejar tapi Mama menarik tangannya. Tidak mengizinkan ia mengejar Rin. "Aku mau ngejar Rin, Ma." Roan melepaskan tangan Mamanya. "Rin bakal tambah marah kalau kamu salah ngomong lagi," kata Mama. Membuat langkah Roan berhenti. "Kalau nggak dikejar aku takut dia kenapa-napa." Roan tidak menghiraukan perkataan Mamanya dan memilih pergi mengejar Rin, napasnya terengah-engah, melihat ke kanan dan kiri. Tidak ada Rin di depan rumah.Roan tidak pantang menyerah, ia mencari Rin dengan berlari sembari menelepon. Roan keluar gerbang. Sayangnya telepon Rin tidak diangkat. Ia semakin khawatir. Takut terjadi hal buruk pada istrinya yang tengah hamil itu. "Kamu di mana, Rin?" gumamnya. Keringat bercucuran. Roan menyangga badan dengan memegang lutut, ia sudah berjalan sangat jauh. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Rin.Matahari bersinar terik padahal baru pukul 8, panas polusi kendaraan membuatnya batuk,
Rin melepaskan genggaman tangannya pada Roan, lalu tersenyum canggung pada Lazio. Tatapan Roan langsung berubah tajam melihat gelagat sang istri. Ia menggenggam tangan Rin kembali hingga membuat mata Rin melotot. "Kalian ... mesra." Komentar Lazio. Sebelah alisnya terangkat.Pria berbadan tinggi itu mengamati Rin dan Roan bergantian. Roan memakai jas mahal seperti biasa, sepatunya mengkilap dan rambutnya juga rapi. Sementara Rin memakai androk selutut, baju putih dan rambutnya bergelombang. Wajah Rin cukup imut di mata Lazio hingga membuat bibirnya terangkat, pria itu mengulurkan tangan."Lazio, sahabat dekaaaaattt Roan." Lazio memperkenalkan diri sebagai sahabat, padahal bagi Roan mereka tidak pernah berteman. Rin segera melepaskan tangan Roan dan menerima jabatan tangan Lazio. "Saya Rin, sekretarisnya Pak Roan." "Sekaligus istri." Roan menambahi. "Oh, ini istrimu. Aku baru tahu. Santai aja jangan terlalu formal." Lazio cukup ramah di mata Rin. Roan melepaskan jabatan tangan m
Aku tidur sepanjang penerbangan, mualku tidak separah awal kehamilan, tapi sebagai gantinya aku mudah lelah dan mengantuk. Beruntung ada Roan yang selalu menjagaku. Pesawat jet ini sangat nyaman, ada dapur dengan makanan yang lengkap. Desainnya sangat elagan dan cantik. Pramugarinya juga cantik dan ramah, kupikir pesawat ini memang didesain untuk para milyarder. Bisa aku bayangkan seberapa kaya temannya Roan itu.Oh ya, Bapakku ikut. Dia berfoto layaknya pemilik pesawat jet. Wajahnya merekah seolah ini memang liburannya. Sementara mertuaku, mereka tenang di sisi kursi yang berbeda. Tidak mau diganggu oleh kebisingan Bapak. Aku melihat keluar setelah dibangunkan Roan, kami telah sampai di pulau Maladewa. Dari atas terlihat sangat cantik. Air lautnya bening dengan pantai pasir putih. Pantas saja para orang kaya menjuluki tempat ini pulau surga. "Rina lihat itu, Bapak sudah pernah ke sini 7 tahun lalu. Keren, kan?" Bapak tersenyum lebar, bangga menunjukkan liburannya memakai uang jud
Gaya hidup bapak seperti orang kaya, liburan dan berpesta. Main perempuan juga. Hanya saja keuangannya tidak mumpuni karena pengangguran dan menjilat di sana sini. Untuk memenuhi gaya hidup Bapak yang suka pamer liburan di media sosial, bapak berjudi. Juga menyusahkan ku. "Pak, niatku membawamu ke mari adalah membuangmu. Tapi aku nggak nyangka Bapak udah akrab sama tempat ini. Tapi walaupun begitu aku tetap akan meninggalkanmu di sini, jadi aku nggak akan ngasih penginapan." Aku bicara terus terang. "Apa? Kamu berniat membuang orang yang sudah merawatmu?!" Teriaknya tambah emosi. Dia mendorong Roan hingga terhuyung ke samping. Mencengkeram kuat tanganku, terasa sakit. "Kapan Bapak merawatku?! Bapak udah buang aku sejak kecil!" Balasku."Kau pikir, kalau aku tidak mengambilmu dari tempat sampah, apa kau sekarang masih bisa hidup?!" Teriaknya lagi. Eh, apa? Mengambilku dari tempat sampah. Apa itu berarti aku bukan anak kandungnya? Apa itu yang membuat Bapak dan ibu mengabaikanku