"Apa kamu sibuk hari ini, Riz? apa kita bisa bertemu sebentar? mungkin setelah mbak pulang sekolah?" Pesan itu Tiara kirimkan pada nomer Fariz, dan berharap adik iparnya itu akan segera membalas. Ini sebenarnya ide dari Keysa, satu-satunya sahabat tempat dia menceritakan semua keluh kesahnya, meski sahabatnya yang judes itu langsung memakinya setelah dia selesai bercerita semua yang terjadi dan juga keputusannya untuk bertahan saat ini. Meski setelah puas membodoh-bodohkannya, Keysa langsung mengatakan kalau Tiara perlu mencari tahu siapa sebenarnya Karin dan juga wanita bernama Nina yang sering menghubungi Farhan. "Jangan sampai ada Alena-Alena yang lain yang nanti suamimu minta untuk kamu besarkan, dekati wanita bernama Karin itu, untuk mengalahkan musuh kamu harus mengenalnya seperti kamu mengenalku." Yah dan hal pertama untuk mencari tahu semua itu adalah Fariz, karena Tiara tak yakin kalau Farhan sebenarnya mengenal perempuan yang menjadi istri keduanya itu dengan baik,
Fariz pertama kali bertemu denga Karin saat di tahun kedua SMP nya, gadis manis yang ceria dan mungil, sedangkan Karin baru masuk tahun pertama.Waktu itu sang gadis sedang menangis ketakukan karena tidak bisa membawa salah satu syarat yang diberikan panitia mos, Fariz sangat iba karena gadis itu begitu takutnya dihukum. Akhirnya Fariz meminta temannya sesama panitia mos untuk memberikan hukuman yang ringan pada gadis itu, mengetahui hal itu Karin sangat berterima kasih pada Fariz dan sejak itu mereka berteman. Saat tahun ajaran berikutnya Fira masuk ke sekolah yang sama dengan mereka, Fariz mengenalkan Karin padanya dan terbukti kedua gadis itu begitu cocok hingga bersahabat, dan saat Fariz sudah memasuki SMA, dia sedikit tenang karena Fira ada yang menjaga. Akan tetapi bencana itu tak dapat ditolak, Fira yang memang pendiam dan jarang memiliki teman hari itu pulang sekolah sangat terlambat entah dari mana, sedangkan Fariz sendiri terserang demam dan tidak dapat keluar rumah un
Tiara mengendarai motornya dengan pikiran penuh, sedikit penyesalan di hatinya karena menolak tawaran Fariz yang ingin mengantarnya pulang. Mungkin mukanya terlihat menyedihkan setelah pertemuan itu. Malu sebenarnya saat masalah rumah tangganya diketahui oleh orang lain, apalag itu atasannya sendiri yang nantinya akan sering bertemu dengannya. Meski Tiara yakin kalau Ilham bukan tipe orang yang suka mencampur adukkan masakan pribadi dan pekerjaan, akan tetapi tetap saja aibnya diketahui orang asing membuatnya sangat tak nyaman.Akan tetapi Tiara juga tidak bisa menyalahkan Fariz, dia hanya ingin Tiara percaya dengan apa yang akan dia sampaikan. Kenapa hidupnya jadi serumit itu, padahal dia sudah sangat hati-hati jangan sampai jatuh pada kesalahan yang membuatnya kesulitan. Seumur hidup Tiara belum pernah berurusan dengan polisi, bahkan dia tidak pernah ditilang saat berkendara di jalan, entah memang karena dia terlalu taat atau para polisi itu tak tega menilangnya.Karena itu di
Perjalanan mereka pulang, terasa sangat lambat, Tiara menyetir dengan kehati-hatian yang berlebihan, bahkan beberapa pengendara yang menyalipnya sempat menatapnya kesal karena sepeda biasa pun bisa menyalip laju motor yang dikendarai Tiara, untunglah motor yang digunakan adalah motor matic yang membuatnya tak perlu menggunakan kaki untuk mengemudi. Demi membuat Arkan yang selalu diam-diam menatapnya penuh kekhawatiran, Tiara memutuskan untuk bermain dengan anak-anak setelah mengganti bajunya.Ada luka di kakinya yang terasa nyeri, tapi nanti saja sebelum tidur dia akan minum obat yang tadi dia tanyakan pada Keysa dan melarang keras temannya itu untuk datang ke rumahnya, karena Tiara tahu keysa tidak akan datang sendiri, dia akan membawa serta semua kehebohan yang akan membuat semua orang tahu apa yang baru saja dia alami. Pukul lima sore Farhan pulang seperti biasa, laki-laki itu tersenyum lebar saat melihat Tiara sedang menyanyikan lagu anak-anak bersama Araz dan Alena, sedangkan A
Tiara tak menyangka rumah tangganya akan jadi seperti ini. Baginya sebagai seorang istri, kepercayaan dan perhatian dari pasangan adalah hal yang sangat penting, jika hal itu sudah tidak ada lagi tidak akan ada lagi keharmonisan yang didambakan oleh pasangan tersebut. Sekarang Tiara bahkan ragu mereka punya hal itu satu sama lain. Tiara bahkan takut untuk membuka ponselnya sendiri, khawatir kalau dia akan menemukan bukti kecurangan suaminya dan membuatnya makin sakit hati. “Apa maksudmu tentu saja aku memperhatikanmu dan juga percaya padamu?” Farhan berdiri menatap Tiara dengan kesal. “Maaf soal kamu yang terjatuh tadi, tapi aku benar-benar sedang ada meeting penting dan tidak bisa ditinggal, lagi pula kamu dan Arkan baik-baik saja, itu yang penting.” Tiara mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, benarkah dia yang kurang bersyukur pada apa yang telah terjadi padanya, haruskan dia selalu tersenyum gembira, padahal dia tahu ada bara yang siap menghanguskan seluruh bangunan rumah
”Ibu marah.” Tiara merasa menjadi ibu paling buruk sedunia, saat mendengar tangis kedua anaknya, sedangkan Arkan memilih diam membisu menatapnya. Telapak tangannya masih terasa panas saat menampar pipi Farhan tadi. Salahkan Tiara yang hilang kendali mendengar perkataan suaminya dan membuat anak-anaknya ketakutan. Ini bukan kehidupan yang ingin dia berikan pada anak-anaknya tentu saja, dia yang sejak kecil hidup sederhana tapi bergelimang kasih sayang tentu merasa sesak, tak bisa memberikan hal yang sama untuk anak-anaknya. “Ibu tidak marah, ibu hanya sedikit bicara lebih keras saja,” jawab Tiara berharap anak-anaknya lebih tenang. Araz melepaskan pelukan ibunya dan dengan mata basah menatap Tiara dengan pandangan polos. “Apa ibu dan ayah akan berpisah dan aku akan punya ibu dan ayah baru?” Pertanyaan itu disampaikan dengan biasa saja oleh Araz, bahkan Tiara tak yakin kalau anak itu tahu dengan jelas apa arti kalim
Tiara melirik Fariz yang tiba-tiba menjemputnya dari sekolah. Bahkan dia bisa melihat pandangan penasaran beberapa rekan guru yang kebetulan saat itu ada, bahkan Pak Ilham langsung mengangguk mengiyakan saat Fariz muncul. Tiara memeriksa ponselnya sekali lagi saat mengikuti langkah panjang Fariz di lorong sekolah, jantunganya berdegub dengan kencang dan tangannya mengepal erat. Apa ada hal buruk yang terjadi? Kenapa Fariz sama sekali tidak memberi tahunya. “Kenapa kamu jemput aku di jam kerja, Riz?” tanya Tiara penuh tuntutan, dia merasa seperti diculik adik iparnya sendiri dan sialnya atasannya juga mendukung penculikan itu. “Araz dan Alena baik-baik saja kan? lalu ibu apa bak-baik saja?” berondong Tiara. “Mbak tidak menanyakan apa suami mbak juga baik-baik saja?” tanya fariz dnegan ekspresi geli. “Jam segini seharusnya dia masih berada di kantor dan aku tidak mendengar berita tentang kantor kebakaran atau bencana , lagi pula mas F
“Idih yang barusan jalan sama brondong cakep.” Tiara langsung melotot galak pada temannya yangmenyebalkan itu, dia baru saja pulang diantar fariz sekalian menjemput ibu mertuanya yang datang untuk membantu mbak Sri menjaga anak-anak.Tiara sedikit terkejut juga saat Keysa sudah duduk manis di ruang tamu menemani ibu mertuanya ngobrol sambil menum teh yang disuguhkan mbak Sri dan temannya itu seperti memiliki kepribadian ganda saja, saat ada ibu mertuanya sangat kalem dan santun setelah ibu mertuanya dan Fariz pulang mulutnya tak bisa direm.“Kamu kok nggak ngomong kalau mau ke sini, Key?” tanya Tiara. “Halah jangan mengalihkan perhatian wong kamu sendiri yang minta aku datang ke sini,,” kata keysa dengan tatapan menggoda. “Kapan?” tanya Tiara dengan bingung. “itu tadi adik iparku jangan julid deh.” Keysa mengangguk dengan wajah serius. “Wah pantesan cewek itu ngebet banget sama adik iparmu dia ganteng banget ternyata.”
“Sebaiknya kita pulang, Mbak ini sudah sore kasihan anak-anak.” Tiara langsung mendongak mendengar suara Fariz, dia menatap mata kelam pemuda itu, meski ditutupi dengan baik ada sebersit rasa duka yang dia temukan di sana. Dipalingkannya pandangan pada Farhan yang masih memeluk batu nisan itu, sesekali terdengar sedu sedannya yang mendalam, lalu terakhir pandangannya jatuh pada gundukan merah yang bertabur bunga. Gadis kecil manja yang selalu berbinar saat melihatnya kini telah tiada, rasa bersalah itu terus bercokol di hatinya andai saja dia bersikeras membawa Alena ikut serta dengannya, bersama anak-anaknya yang lain ini semua tidak akan terjadi, dan andai saja dia berhasil membujuk Farhan untuk melupakan semua balas dendam konyol ini, tentu anak itu akan tetap hidup dan... astaga apa dia sudah berdosa karena mempertanyakan takdir Tuhan? “Mbak,” panggil Fariz sekali lagi para pelayat sudah meninggalkan area pemakaman ini,
“ Apa maksud kakakmu menculik Alena bukankah kita sudah sepakat kamu akan melepaskan hak atas anak itu jika aku membantumu!” Farhan mencengkeram kemudi dengan kencang sampai buku-buku tangannya memutih, tak ada suara dari seberang sana, Farhan sedikit melirik ponsel di dasboardnya, kalau-kalau sambungan itu terputus, tapi tak lama kemudian terdengar helaan napas. “Aku tidak tahu menahu tentang rencana kakakku, sepertinya dia bertekad membuatmu menghentikan semuanya,” kata suara dari seberang sana. “Benarkah?” tanya Farhan dengan sinis. Rasa kagum yang pernah dia miliki pada wanita yang telah melahirkan putrinya itu kini sirna sudah, dia sudah terpelosok terlalu dalam demi ambisinya untuk membalas dendam, tapi tentu saja sudah sejauih ini Farhan tidak bisa mundur begitu saja, dengan berbagai cara Farhan akhirnya menemukan beberapa kecurangan yang didalangi Andreas. Meski itu sama sekali tidak liear dengan tujuannya, tapi itu cukup me
“Bu Tiara mau kemana?” Seorang penjual sayur berperawakan kecil yang memang belum lama ini sering mangkal di depan rumah Tiara, menyapanya dengan ramah, dan Tiara tahu kalau orang ini juga salah satu orang yang diminta Ilham untuk menjaganya, meski sampai sekarang Tiara sama sekali tidak paham, kenapa Ilham malah meminta orang yang terlihat lemah untuk menjaganya, padahal yang lain terlihat jago bela diri. “Ah saya mau keluar sebentar,” kata Tiara berusaha senatural mungkin agar jika ada salah satu orang yang melihat interaksi mereka tidak menimbulkan kecurigaan. “Sayur pesanan ibu sudah ada apa ibu mau mengambilnya sekarang.” Laki-laki itu tak menunggu tanggapan Tiara dia langsung berjalan ke balik gerobak dan mengambil sepaket besar sayuran yang tentu saja bukan pesanan Tiara. “Sebaiknya anda di rumah saja, sepertinya keadaan semakin genting, pak Ilham khawatir mereka juga mengincar anda dan anak-anak.” Tiara mendongak setelah memb
“Bu Tiara sebaiknya dalam minggu ini anda dan anak-anak lebih berhati-hati lagi.” Pesan itu sampai satu jam yang lalu, beberapa kali Tiara menghubungi Ilham untuk menanyakan apa maksudnya? Tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya membuat Tiara dilanda kekhawatiran. Tiara berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, hari sudah mulai pagi dan biasanya dia akan membantu anak-anaknya untuk bersiap ke sekolah, tapi karena pesan yang dikirim Ilham ini dia jadi dilema, apa dia dan anak-anak akan aman kalau meninggalkan rumah? Satu kali dua kali, tak juga ada jawaban dari ujung sana dan Tiara mulai resah, sejenak dia ingin menghubungi anak buah Ilham yang menjaganya, tapi dia ingat kalau hanya melihat wajah mereka sana, tanpa tahu nama apalagi nomer telepon. “Ah apa yang harus aku lakukan sekarang?” Tiara terus membuka dan menutup ponselnya, khwatir kalau Ilham menghubunginya dan terlewatkan, tapi lagi-lagi dia tidak mendapa
“Ada apa ini? kenapa ayah dengar ada yang bertengkar?” Ya ampun Tiara merasa seperti bocah baru gede yang ketahuan pacarnya diapelin cowok lain dan membuat keributan sehingga sang ayah harus turun tangan. Akan tetapi kali ini sedikit berbeda, bukan hanya soal remeh seperti itu yang dia hadapi tapi juga soal hidup dan matinya dan anak-anak.Ilham yang berdiri dengan tangan bersidekap langsung menurunkan tangannya dan menunduk dengan sopan, sedangkan Andreas sudah lebih dulu pergi dari rumah orang tua Tiara sambil memberikan senyum sinis penuh ancaman.“Ada apa Tiara?” tanya sang ayah dengan pandangan tajam pada dua orang di ruang tamu rumahnya. “Lho tamunya tadi sudah pulang?” sang ibu yang baru muncul bertanya heran saat menatap Ilham. “Bukannya mas ini atasanmu yang kamu bilang banyak membantumu itu, Tiara?” lanjut sang ibu lagi. Tiara hanya bisa mengangguk dengan pasrah saat sang ayah sudah mem
"Kamu kenal dia?" Tiara sedikit terlonjak saat tiba-tiba sang ibu sudah ada di sampingnya dan berbisik lirih. Tiara berdiri diam mengamati laki-laki yang duduk membelakanginya di sofa ruang tamu rumah kedua orang tuanya. Dia menggeleng dengan samar, dia merasa tidak mengenali laki-laki ini, apa dia salah satu orang yang ditempatkan Ilham untuk menjaganya? tapi dia sama sekali tidak ingat kalau Ilham meminta orang baru untuk menjaganya, meskipun dia juga tidak terlalu kenal dengan orang-,orang yang bertugas menjaganya itu. Akan tetapi satu hal yang dia tahu, orang-orang itu bekerja dalam bayangan, bukan malah bertamu terang-terangan dan membelikannya makanan mewah. "Entahlah, Bu. Aku merasa tidak mengenalnya.""Apa ibu minta dia pergi saja?" kata sang ibu yang menampakkan wajah khawatir. Tiara terdiam, dia sangat ingin tahu siapa dan apa yang diinginkan laki-laki itu.
Bagaimana mungkin ayahnya mengatakan hal semenyakitkan itu? Tiara hanya bisa berdiri mematung menatap kedua orang tuanya dengan pandangan bingung dan kesakitan, dia memang tidak terlalu dekat dengan ayahnya yang kaku dan kolot itu, tapi bagaimanapun dia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Hampir saja Tiara tersungkur karena kakinya begitu lemas hanya untuk melangkah ke kursi di depan orang tuanya, syukurlah ibunya bertindak cukup bijak dengan membimbingnya untuk duduk dan meremas tangannya dengan lembut. Itu memang hanya hal kecil, tapi bagi Tiara itu punya banyak arti, dia merasa mendapat tempat untuk berlindung. "A-apa maksud ayah?" tanya Tiara tergagap. jAyahnya memang tidak pernah membentak apalagi memukul, hanya dengan tatapan dan ucapannya yang tajam saja semua anak-anaknya sudah keder duluan termasuk Tiara. "Apa maksudnya laki-laki datang kemari mengantarkan makanan untukmu? Dia juga b
Sore itu Tiara mengendarai motornya ke pusat perbelanjaan, sesekali dia menoleh ke belakang dan melihat beberapa orang yang ditugaskan Ilham untuk melindunginya mengikuti dari jarak aman. Duh sudah seperti artis saja aku, gerutu Tiara. Jika biasanya dia bisa nongkrog di gerobak kang cilok atau kang es dawet berlama-lama hanya untuk menikmati waktu sendirinya, sekarang Tiara tak akan mungkin melakukan hal ini. dia tidak akan sok-sokan dengan memanfaatkan orang-orang yang menjaga dengan pergi sekehendak hatinya. Kali ini saja dia terpaksa pergi ke sebuah toko buku sendiri karena ada beberapa buku yang harus dia beli sekalian membeli pensil warna yang baru untuk Araz. Selama lebih dari satu bulan Tiara tinggal di sini bersama anak-anak memang tidak ada kejadian yang membuat khawatir. Pun dengan orang-orang yang ditugaskan untuk menjaganya bertindak seperti bayangan yang tak terlihat, bahkan Tiara tak yakin kalau orang tuanya tahu kalau mereka te
“itu namanya kamu tidak tanggung jawab pada pekerjaan hanya karena masalah pribadi.” Tiara langsung menunduk saat sang ayah mengatakan hal itu. Araz dan Arkan sedangdiantar ibunya bermain bersama bude Ningsih, asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluarganya sejak dia masih kecil. Wajah Tiara bagai terbakar saat mendengar perkataan ayahnya. Malu. Dia akui dia memang sangat tidak bertanggung jawab pada pekerjaannya. Ayahnya adalah sosok yang kaku dan disiplin, membuat Tiara ataupun saudaranya yang lain sama sekali tidak bisa dekat dengan laki-laki yang menjadi alasannya terlahir di dunia ini. Tiara bahkan tak pernah tahu bagaiaman rasanya dipeluk oleh sang ayah, meski ibunya meyakinkan dia bahwa waktu kecil ayahnya sering melakukan hal itu pada mereka, dan membantu sang ibu jika tidak bisa menghandle anak-anaknya, ucapan yang selalu diragukan oleh Tiara karena dia tahu benar sejak adiknya lahir sang ayah tidak pernah menggendongnya, bah