Anisa mulai merasa nyaman dengan Roy. Hubungan mereka berjalan begitu alami, tanpa ada tekanan atau ketegangan seperti yang pernah dia rasakan sebelumnya. Setiap kali bersama Roy, Anisa merasa seperti menemukan sosok yang berbeda dari semua pria yang pernah datang dalam hidupnya. Roy selalu bisa membuatnya tertawa, berbicara tentang hal-hal kecil yang terasa menyenangkan, dan yang paling penting, ia memberikan perhatian yang tulus.Mereka mulai sering menghabiskan waktu bersama. Setelah berbulan-bulan sendiri, Anisa merasa seakan dia menemukan pelarian dari segala luka hati yang pernah ia alami. Roy bukan hanya teman yang menyenangkan, tapi juga seseorang yang mampu menenangkan setiap kegelisahan yang datang dalam pikirannya.Pada suatu malam, Roy mengajak Anisa untuk makan malam di restoran baru yang baru buka di pusat kota. Suasana yang tenang, dipadu dengan cahaya lilin yang temaram, membuat suasana semakin intim. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan, hobi, hin
Hari-hari setelah kepergian Roy terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai bagi Anisa. Ia mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan dan berbagai aktivitas lain, tetapi pikirannya selalu kembali pada pria yang telah memberinya harapan baru. Roy adalah seseorang yang membuatnya merasa hidup kembali, namun kini ia pergi meninggalkannya tanpa alasan yang jelas.Di satu sisi, Anisa ingin melupakan Roy, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan kenangan manis yang mereka lalui bersama. Suatu sore, ketika ia sedang membereskan meja kerja di rumah, ia menemukan buku catatan kecil yang pernah diberikan Roy. Di dalamnya, ada beberapa catatan singkat yang pernah ditulis Roy untuknya. Salah satu kalimat yang paling menyentuh hati Anisa adalah ...."Jangan pernah berhenti mencari kebahagiaan, bahkan jika jalannya terasa berat."Membaca kalimat itu, air mata Anisa mengalir tanpa henti. Ia merasa kehilangan seseorang yang benar-benar peduli padanya, meskipun ia tak pernah tahu pasti apa y
Minggu-minggu berlalu sejak Anisa memutuskan untuk melupakan Roy, tetapi luka yang ditinggalkannya masih terasa. Meski ia berusaha keras untuk bangkit, ada momen-momen ketika kenangan tentang pria itu kembali menghantui pikirannya. Terlebih lagi, perasaan bersalah karena membiarkan dirinya terbawa perasaan terhadap seseorang yang ternyata tidak jujur masih membekas.Anisa mulai sibuk dengan rutinitas baru. Ia mengambil beberapa proyek desain interior sebagai freelancer untuk mengisi waktu dan pikirannya. Pekerjaan ini, selain memberinya penghasilan, juga membantunya menjaga pikirannya tetap sibuk. Namun di balik semua aktivitas itu, ia merasa ada kekosongan yang sulit ia isi.Suatu siang, ketika Anisa sedang memeriksa bahan-bahan untuk proyek desain di sebuah toko perlengkapan rumah, ia dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang tidak ia duga. Roy. Pria itu terlihat sama seperti terakhir kali mereka bertemu, tetapi sorot matanya penuh penyesalan.“Anisa,” sapa Roy dengan suara pelan.An
Waktu terus berlalu, meninggalkan jejak yang samar di hati Anisa. Ia mulai terbiasa dengan kehidupan barunya, meskipun sesekali, bayangan masa lalunya masih muncul dalam ingatannya. Namun, ia tidak ingin terus-menerus terjebak dalam kepedihan yang sama. Setiap hari, ia mencoba membangun dirinya kembali, sedikit demi sedikit.Setelah sekian lama merasa hancur, Anisa akhirnya menemukan kenyamanan dalam rutinitasnya. Pekerjaannya sebagai desainer interior semakin berkembang. Proyek-proyek yang ia tangani mendapat respons positif, dan namanya mulai dikenal di kalangan tertentu. Ia mulai mendapatkan klien tetap yang mempercayakan desain rumah mereka padanya.Suatu pagi, Anisa duduk di meja kerjanya, menyesap kopi hangat sambil menatap layar laptopnya. Pesanan masuk cukup banyak, dan itu berarti ia harus bekerja lebih keras. Tapi, anehnya, ia merasa senang. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritmenya sendiri.Sore itu, ia memutuskan untuk keluar sejenak, berjalan di taman kota. Angin sepoi-
Hari itu, Anisa dan Roy memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran yang cukup terkenal di kota. Roy tampak lebih ceria dari biasanya, sementara Anisa masih mencoba menepis perasaan aneh yang muncul setelah pertemuannya dengan Rina.Saat mereka tengah menikmati makanan, perhatian Anisa tiba-tiba teralihkan oleh seorang wanita yang masuk ke dalam restoran bersama seorang anak kecil. Wanita itu tampak anggun, mengenakan pakaian sederhana namun elegan. Anak kecil di sampingnya tampak berusia sekitar lima tahun, dengan wajah yang sedikit familiar bagi Anisa.Namun, yang lebih mengejutkan adalah bagaimana ekspresi Roy berubah saat melihat wanita itu. Seolah-olah ia baru saja melihat hantu dari masa lalunya.Anisa memperhatikan bagaimana Roy berusaha tetap tenang, tetapi matanya tak bisa lepas dari wanita tersebut."Kamu kenal dia?" tanya Anisa pelan.Roy tersentak. "Hah? Enggak, aku cuma... kayaknya pernah lihat wajahnya di suatu tempat."Namun, Anisa tidak bisa mengabaikan cara Roy be
Anisa melangkah keluar dari apartemen Roy, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa seperti beban berat telah terangkat dari bahunya. Rasa sakit yang ia rasakan saat ini lebih tajam dari sebelumnya, namun ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang memberinya kekuatan untuk melangkah maju meskipun hatinya hancur.Ia tahu bahwa meninggalkan Roy adalah keputusan yang sulit, tapi itu adalah keputusan yang tepat. Dia tidak bisa terus terjebak dalam kebohongan dan ketidakpastian. Roy, dengan segala pesonanya, ternyata hanya seorang pria yang pandai bersembunyi di balik topeng.Sore itu, Anisa duduk di taman dekat rumahnya, memandang anak-anak yang bermain riang di sekitar. Suasana yang dulu selalu mengingatkannya pada masa-masa indah bersama Malik, kini terasa asing. Tidak ada lagi senyum bahagia di sana. Hanya kesedihan yang menyelimutinya."Aku tidak bisa terus hidup seperti ini," gumamnya pada dirinya sendiri. Ia merasa seolah-olah semua pintu yang pernah terbuka untuknya ki
Hari-hari Anisa mulai berjalan lebih tenang setelah semua badai yang ia alami. Sejak putus dari Roy, ia merasa perlu waktu untuk menyembuhkan diri. Tidak mudah menerima kenyataan bahwa ia telah kembali dikhianati, tapi setidaknya kali ini ia lebih kuat. Ia tidak ingin tenggelam dalam kesedihan berkepanjangan seperti sebelumnya.Melukis menjadi pelariannya. Setiap coretan kuas di atas kanvas membantunya melupakan luka yang masih menganga. Ia mulai mengikuti kelas melukis di galeri seni dekat rumahnya, dan itu memberinya sedikit ketenangan.“Anisa, lukisanmu semakin berkembang,” puji salah satu instruktur di kelasnya. “Kamu punya bakat alami.”Anisa hanya tersenyum. Ia tak pernah berpikir bahwa ia punya bakat di bidang ini. Yang ia tahu, melukis membuatnya merasa hidup kembali.Namun, hidup selalu punya cara untuk menguji seseorang.Suatu pagi, ketika Anisa sedang bersiap pergi ke galeri, ia mendapat panggilan dari nomor tak dikenal. Ia mengabaikannya pada awalnya, tapi ketika telepon i
Hari-hari Anisa mulai terasa lebih ringan setelah pertemuan terakhirnya dengan Roy. Tidak ada lagi bayang-bayang pria itu dalam pikirannya. Ia merasa seakan sudah melewati fase terburuk dalam hidupnya, dan kini saatnya untuk melangkah ke depan.Namun, hidup tidak selalu berjalan sesuai harapan.Malam itu, setelah pulang kerja, Anisa duduk di balkon apartemennya sambil menatap langit yang dipenuhi bintang. Ia menghela napas panjang. Sepi. Itulah satu-satunya kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini.Sejak kehilangan orang tuanya dalam insiden kebakaran beberapa tahun lalu, Anisa sudah terbiasa hidup sendiri. Namun, entah mengapa malam ini kesepian itu terasa lebih menyakitkan.Ia mengambil ponselnya, membuka kontak, lalu menatap nama Roy yang tersimpan di sana.Ia ragu-ragu. Haruskah ia menghubunginya? Sejak mereka resmi berpacaran, Roy memang selalu ada untuknya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Anisa—sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.Sebelum sempat berp
Hari yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Anisa berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih yang indah. Semua perhiasan yang dipilihnya dengan hati-hati kini menghiasi tubuhnya, memantulkan cahaya dari lampu yang menyinari ruang rias. Meskipun begitu, perasaan Anisa campur aduk. Ada kegembiraan, ada rasa takut, namun yang paling terasa adalah kekosongan yang mendalam. Rasanya, semuanya seperti sebuah mimpi, dan Anisa tidak tahu apakah dia siap atau tidak untuk melangkah lebih jauh dalam hidupnya.Di luar, para tamu undangan sudah mulai berdatangan, menyapa satu sama lain dengan tawa dan senyum. Suasana di gedung itu penuh dengan kegembiraan. Tidak hanya keluarga dan teman-teman Anisa yang hadir, tetapi juga sejumlah rekan kerja Adrian, termasuk Malik yang telah lama menjadi sahabat Adrian, serta Roy, yang meskipun menjadi bagian dari masa lalu Anisa, masih datang untuk memberi selamat.Namun meskipun semua tamu sudah hadir dan gedung sudah penuh dengan orang-orang,
Hari-hari berlalu setelah lamaran Adrian yang penuh harapan. Anisa mencoba untuk menyibukkan dirinya, berusaha menenangkan pikirannya yang terus dipenuhi oleh perasaan bingung. Namun meskipun dia berusaha mengalihkan perhatian, bayangan Adrian tak bisa hilang begitu saja. Keberadaan pria itu yang tulus, yang tanpa henti berusaha mendekatkan diri, seolah menjadi cahaya yang sulit ia hindari.Anisa menundukkan kepalanya saat bekerja di restoran. Pelanggan datang dan pergi, namun hatinya masih terjebak pada satu hal. Adrian. Meski sudah berulang kali berkata pada dirinya sendiri bahwa ia butuh waktu, ia tahu bahwa perasaannya kepada Adrian tidak semudah itu dilupakan. Perasaan hangat yang diberikan Adrian saat bersama, ketulusan yang ada di mata pria itu, semuanya terasa begitu nyata.Setiap kali Adrian datang menemuinya di restoran, ia tidak bisa menahan senyumnya. Meskipun hanya sesederhana menyapa atau mengobrol ringan di sela-sela kesibukannya, itu cukup membuat hatinya merasa lebih
Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Anisa baru saja selesai bekerja dan sedang merapikan meja ketika seorang pelayan mendekatinya dengan wajah ceria.“Anisa, kau dipanggil ke halaman belakang restoran,” kata pelayan itu sambil tersenyum penuh arti.Anisa mengerutkan kening. “Siapa yang memanggilku?”Pelayan itu hanya tersenyum misterius sebelum berlalu.Dengan rasa penasaran, Anisa melepas celemeknya dan berjalan menuju halaman belakang restoran. Begitu ia membuka pintu, matanya langsung membelalak.Lampu-lampu kecil tergantung di antara pepohonan, menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah halaman, sebuah meja kecil dengan dua kursi sudah tertata rapi, lengkap dengan lilin yang menyala lembut.Dan di sana, berdiri seseorang yang sangat dikenalnya.Adrian.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan yang tergulung hingga siku. Wajahnya tampak sedikit tegang, tetapi matanya tetap memancarkan ketulusan yang selalu membuat Anisa merasa nyaman.“Adrian, apa ini?
Setelah semua luka yang Anisa alami, ia akhirnya mulai menemukan sedikit ketenangan dalam hidupnya. Pekerjaannya di restoran asing membuatnya sibuk, dan ia menikmati rutinitas baru tanpa harus memikirkan masa lalunya yang kelam.Di tempat kerja, ia bertemu dengan Adrian, seorang kepala koki yang memiliki kepribadian hangat dan perhatian. Awalnya, Anisa tidak terlalu memedulikan kehadiran pria itu. Namun, seiring berjalannya waktu, perhatian kecil yang diberikan Adrian membuat Anisa perlahan membuka hatinya.Adrian selalu memastikan bahwa Anisa tidak bekerja terlalu keras. Ia sering meninggalkan secangkir teh hangat di meja Anisa ketika gadis itu terlihat kelelahan. Kadang-kadang, ia juga menyelipkan cokelat di loker Anisa dengan catatan kecil bertuliskan:“Jangan terlalu serius bekerja. Hidup juga butuh sedikit manis-manis.”Anisa tidak bisa memungkiri bahwa sikap Adrian membuatnya merasa nyaman. Tidak ada paksaan, tidak ada kebohongan, hanya ketulusan.Suatu malam, setelah restoran t
Anisa menghela napas panjang saat melihat pantulan dirinya di cermin apartemen kecilnya. Sudah beberapa minggu sejak ia mulai mengenal Adrian, dan harus diakui, pria itu membawa warna baru dalam hidupnya. Tidak ada kesan terburu-buru atau tekanan dalam hubungan mereka. Adrian tidak pernah memaksanya untuk bercerita tentang masa lalunya, dan itu membuat Anisa merasa nyaman.Ia merapikan rambutnya lalu mengambil tas kecil sebelum keluar dari apartemen. Hari ini adalah hari liburnya, dan ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota. Tidak ada tujuan khusus, hanya ingin menikmati udara segar dan menenangkan pikirannya.Saat sampai di taman, ia memilih duduk di bangku dekat air mancur. Beberapa anak kecil berlarian, bermain bola, sementara pasangan muda duduk berdua di bawah pohon rindang. Anisa mengamati mereka dengan tatapan kosong, bertanya-tanya apakah ia masih bisa merasakan kebahagiaan seperti itu.“Sendirian lagi?”Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Adrian be
Anisa duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar apartemennya yang sederhana. Setelah pertemuan dengan Roy tadi malam, ia merasa lega, tetapi juga ada sedikit perasaan hampa yang sulit ia jelaskan. Mungkin karena ini pertama kalinya ia benar-benar menutup pintu bagi seseorang yang pernah mengisi hatinya, meskipun kenyataannya pahit.Hari ini, Anisa berencana untuk menghabiskan waktu sendiri. Ia ingin pergi ke tepi pantai yang tidak terlalu jauh dari kota, hanya sekitar satu jam perjalanan dengan bus. Ia butuh udara segar, butuh ketenangan yang hanya bisa ia temukan saat mendengar suara ombak dan angin laut.Setelah bersiap-siap, ia mengenakan dress berwarna krem dan membawa tas kecil berisi buku dan air minum. Anisa selalu merasa nyaman dengan membaca, seolah-olah dunia dalam buku bisa membantunya melupakan kenyataan yang kadang terlalu menyakitkan.Saat tiba di halte bus, ia duduk sambil menunggu kendaraan yang akan membawanya ke pantai. Cuaca hari ini cukup cerah, de
Anisa menatap ke luar jendela kamar apartemennya yang kecil. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi. Angin malam bertiup pelan, menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Ini adalah tempat tinggal barunya, jauh dari tempat lama yang menyimpan begitu banyak kenangan pahit.Sudah dua minggu sejak dia menjual rumah peninggalan orang tuanya. Rumah yang dulu penuh dengan canda tawa, berubah menjadi tempat yang hanya membuatnya terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Anisa tahu, jika ia ingin benar-benar melanjutkan hidup, ia harus meninggalkan semua itu dan memulai kembali dari nol.Dia kini bekerja di sebuah restoran asing yang cukup terkenal. Pekerjaan itu tidak mudah, tapi setidaknya membuatnya sibuk dan tidak punya waktu untuk memikirkan masa lalu. Ia mengisi harinya dengan memasak, melayani pelanggan, dan berbincang dengan rekan kerja barunya.Namun, malam ini, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak siang tadi, ia merasa seperti a
Setelah beberapa bulan berlalu sejak kepindahannya ke kota baru, Anisa mulai terbiasa dengan ritme kehidupannya yang sekarang. Ia sudah tidak lagi merasa asing dengan lingkungan tempat tinggalnya, dan pekerjaannya di restoran asing membuatnya semakin sibuk hingga perlahan-lahan bisa melupakan luka-luka masa lalunya. Meskipun kadang-kadang kenangan tentang Roy masih menghantui pikirannya, ia berusaha untuk tidak terjebak dalam perasaan itu lagi.Namun suatu hari, Anisa mengalami sesuatu yang membuatnya kembali mempertanyakan kehidupannya. Hari itu, restoran tempatnya bekerja sedang ramai karena ada acara perayaan ulang tahun dari pelanggan tetap mereka. Anisa yang bertugas di bagian pelayanan sibuk bolak-balik mengantar pesanan makanan dan memastikan semua pelanggan mendapatkan pelayanan terbaik.Saat ia sedang mengambil pesanan dari meja pelanggan, seorang pria memasuki restoran. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, terlihat rapi dan elegan. Anisa tidak terlalu memperh
Waktu berjalan semakin cepat, dan Anisa merasa hidupnya seperti berputar dalam lingkaran tanpa akhir. Meski hubungan dengan Roy tampak menyenangkan di awal, semakin lama ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Meskipun Roy selalu memberikan perhatian yang penuh, Anisa merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani. Kadang, ada hal-hal kecil yang membuatnya curiga, meski ia mencoba untuk mengabaikannya.Hari itu, seperti biasa, Roy menjemput Anisa di rumahnya untuk makan malam bersama. Anisa sudah terbiasa dengan kebiasaan itu. Roy selalu berusaha menyenangkan hati Anisa dengan cara-cara sederhana, tetapi yang terkadang membuatnya merasa aneh adalah cara Roy selalu menghindari topik-topik pribadi. Ia tidak pernah membahas keluarga, masa lalunya, atau apapun yang bersifat pribadi. Ketika Anisa menanyakan sesuatu tentang dirinya, Roy selalu mengubah topik dengan alasan yang terkesan canggung.“Roy, aku sudah lama ingin tahu lebih banyak tentangmu,” ujar Anisa suatu malam saat mereka duduk di r