"Bunda kenyang!" ujar Alia padaku. Alia duduk di antara aku dan Mas Yudha, sedangkan Ibu bersama Bibi di dapur. Entahlah ... apa yang mereka berdua lakukan di sana. Sedangkan Paman Ja'far duduk di sebelahku. "Alia kenyang? Sini main sama Papa,""Nggak mau, Alia mau sama Nenek dan eyang!" jawab putriku. Ia menghindar dari tangan Mas Yudha yang ingin menggendongnya. Lalu berlari menuju dapur dimana Ibu dan bibi berada.Wajah Mas Yudha tampak sedikit memerah, mungkin ia malu di hadapan Paman. Sebagai seorang Bapak, ia justru tak di pedulikan sedikit pun oleh darah dagingnya sendiri. Kehadirannya justru tak memiliki makna. Semua juga karena salahnya sendiri. Aku tak pernah memberitahukan Alia yang buruk tentang Papanya. Tapi Mas Yudha. Dari Alia kecil hingga sebesar ini, bisa dihitung pakai jari ia menggendongnya. Itu pun sering membentak dan mencubit membuat putriku enggan dengan sendirinya mendekati Papanya."Zalia, setelah ini paman mau ke kebun sebentar. Melihat orang panen, kamu ma
"Sungguh paman tidak menyangka seperti ini kelakuanmu selama ini Yudha. Sejak awal kami memang tidak setuju Zalia menikah denganmu. Tapi karena Zalia begitu mencintaimu, akhirnya kami menyetujui pernikahan kalian." Paman terlihat menarik napas berat. Mengatur deru jantung yang berpacu dengan cepat. Mata paman pun sudah tampak memerah dan berkaca-kaca. Walau hanya seorang Paman. Akan tetapi ialah lelaki kedua yang selalu melindungi kami. Aku yakin sebagai orang tua, ia juga merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan ibuku.Mas yudha kini duduk jongkok dan bersimpuh di pangkuan Ibu. Ia tampak menahana egonya yang tinggi. Semakin ia menahan, semakin aku curiga. Aku tahu betul siapa dirinya luar dan dalam. Pastia da rencana lain yang ada di otaknya. "Aku janji aku akan berubah, aku akan bertanggung jawab dengan keluargaku. Tak bisakah kalian memberiku kesempatan. Tuhan saja maha pemurah," balas Mas Yudha mulai mengalah. Ia tidak berani menatap mata. Entah kenapa aku merasa ragu den
Aku masuk ke dalam kamar dengan langkah kasar. Dadaku bergemuruh penuh amarah. Berani-beraninya Zalia memojokkanku di tengah-tengah keluarganya. Menghancurkan harga diriku. Jika bukan karena ada pamannya yang preman itu. Mungkin sudah aku gampar mulutnya itu!Lagi pula cuma karena kata-kata 'janda' mereka semua pada marah padaku. Memangnya, di mana letak kesalahanku. Toh ... apa yang aku bilang itu memang kenyataannya, kan?Setelah mengambil tas ransel yang berisi pakaian serta uangku. Aku melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Tak sedikitpun aku mengeluarkan kata-kata. Walau hanya berbasa-basi untuk pamit. Tapi sialnya! Mereka justru tak sedikit pun menahanku.Biar saja, aku yakin setelah ini Zalia pasti akan datang padaku. Ia yang akan mengemis-ngemis meminta balikan padaku. Lihat saja nanti.Sesampainya depan gerbang, aku membuang botol kaca kecil yang aku bawa dari kampung kemaren. Isinya sudah aku tuang ke dalam galon tempat minum. Aku yakin setelah Zalia serta seluruh orang yan
"Cie ... cie ..., Mbak Wirda sudah dapat gebetan baru aja, nih, Mbak?" ujar seorang wanita yang muncul tiba-tiba dari balik pintu kamar rumah yang ada di sebelah kiri kontrakanku. Aku memicingkan mata melihat siapa gerangan wanita itu. Kulit sawo matang, wajah berjerawat serta rambut ikal serta kaca mata kuno melekat di wajahnya. Sungguh sangat kontras dengan janda yang tinggal di sebelahku ini."Ahh ... kamu bisa aja, Ajeng. Btw ... kamu mau ke mana, sudah rapi begini?" tanya Wirda pada anak gadis yang mungkin baru berumur dua puluh tahun itu."Mau pergi cari makan, Mbak. Perutku lapar!" jawabnya. Tangannya mulai mengunci pintu rumahnya dengan rapat. Aku pikir aku akan diapit dua wanita cantik. Namun nyatanya, satu CANTIK, satu lagi ITIK! huh!"Aku pergi dulu, ya, Mbak Wir. Selamat au ... awuwuan!" lanjutnya sambil cekikikan dan melangkah pergi. Aku menundukkan kepalaku karena malu. Namun mataku justru melihat paha mulus Wirda yang terekpost sempurna. Membuat yang berada di balik c
"Zalia. Kamu kenapa Nduk?" tanya Ibu. Aku sedang terduduk lemas di meja makan. "Nggak tahu, Bu. Kepala Zalia tiba-tiba sakit. Berdenyut sekali!" jawabku. Tanganku tak henti-hentinya mengurut dari ujung kedua pelipis menariknya hingga ke tengah dahiku. Siapa tahu rasa sakitnya sedikit berkurang.Sehabis sholat magrib aku merasa haus, jadi aku turun ke dapur untuk minum. Tapi entah kenapa habis minum, kepalaku langsung berasa berat dan pusing."Mungkin kamu kecapekan, Nduk. Atau darah tinggi kamu kumat karena terlalu banyak yang kamu pikirkan?" tanya Ibu. Aku menggelengkan kepala. Rasa-rasanya aku tidak makan sesuatu yang aneh hari ini. Sehingga membuat tensiku tiba-tiba naik.Semenjak menikah dengan Mas Yudha aku kerap mengalami pusing akibat hipertensi. Naik darah melihat tingkah lakunya. Tapi entah kenapa, tiba-tiba bayangan wajah Mas Yudha hadir di kepalaku. Dadaku juga terasa sesak. "Ayo Ibu antar kamu ke kamar, Nduk. Sebaiknya kamu minum obat lalu istirahat!" aku mengangguk. Ibu
"Bapak! Bapak di mana? Jangan tinggalkan Zalia, Pak!" teriakku histeris. Air mata kini kembali menetes. Memandang ke sekeliling. Namun tak kutemui keberadaan Bapak, selain tumpukan bunga hitam yang berbau anyir serta seseorang yang memakai jubah hitam. "Jika kau takut dan sakit, maka ingat lah pada Allah Zalia! Pasrahkan semua pada kuasa-nya. Kekuasaa-Nya meliputi langit dan bumi!" suara itu bergema di telingaku. Berucap berulang ulang membuat kepalaku sakit. Bahkan sakitnya lebih dari sakit yang kurasakan tadi. "Zalia! Bangun! Zalia!""Astagfirullah al'azim! Bangun Nduk! Bangun!""Astagfirullah al'azim!" aku tersentak kaget. Mataku terbuka dengan nafas naik turun yang memburu. Ibu membantuku bangkit dari tidurku, menyenderkan tubuh ini di penyangga kasur."Ada apa denganmu, Zalia? Kenapa kamu berteriak-teriak seperti orang kesurupan? Apa kamu mimpi buruk, Nduk?" tanya Ibu khawatir. Sedangkan aku masih diam, mencoba mencerna apa yang aku alami tadi. Semua mimpi yang aku alami tadi,
"Sudah, Kamu kerja saja! Tidak usah pikirkan Mbak. Mbak Baik-baik saja, sana! Layani pelanggan!" perintahku padanya. Aku memang merasa sedikit tak enak badan. Tapi jika kubawa tidur, yang ada badanku tambah sakit."Kamu kenapa, Wan. Kenapa melihat Ibu seperti itu?" tanyaku pada Iwan. Aku tak sengaja memergokinya menatapku tajam. Tidak biasanya, bocah ini menatapku seperti itu."Tidak, Bu. Apa Ibu Zalia merasakan yang aneh pada badan, Ibu? Rasa sakit atau sesak, gitu?" mata Iwan menyipit penuh selidik."Iya ... Ibu merasa sendi-sendi Ibu sakit. Lemes. Mungkin karena Ibu kecapekan, mungkin, ya?" ujarku. Iwan mengangguk lalu menghela napas berat. "Ada apa, Iwan?" tanyaku heran. Sekarang aku yang heran dengan sikapnya yang tampak aneh. Sejak aku datang tadi, aku merasakan anak ini memperhatikan gerak-gerikku. Membuatku risih."Tidak apa-apa, Bu. Iwan permisi kebelakang dulu, Bu." pamitnya. Aku mengangguk. "Aneh sekali sikapnya?" gumamku lirih. Aku menyenderkan tubuhku pada penyangga kur
"Jangan pergi, Bu! Iwan mohon jangan pergi!" pintaku sambil merengek seperti anak kecil. Walau kenyataannya aku memang masih kecil.Umurku baru delapan tahun, tapi pola pikir dan penglihatanku melebihi anak seusiaku. Aku seperti remaja yang terjebak dalam tubuh anak-anak."Memangnya kenapa, Wan?" tanya Bu Zalia heran. Dahinya berkerut, mengikuti tatapan mataku yang menatap tajam di sebelahnya. Aku tahu bulu kuduk Bu Zalia merinding saat ini. Ia tidak melihat apa-apa di sampingnya, tapi bisa merasakan auranya. Sedangkan aku, justru tampak dengan jelas!Aku melihat sesosok pria tinggi berjubah hitam di samping Bu Zalia. Mungkin ada sekitar dua meter tingginya. Tangannya menggenggam bahu Bu Zalia erat. Dengan kuku yang panjang dan hitam. Makhluk itu menunduk hormat pada Pria yang bersama Bu Zalia. Karena memang dia lah tuannya."Pokoknya jangan pergi, Bu! Iwan mohon sama Ibu!" pintaku dengan wajah memelas. Aku tahu Bapak ini mau berniat jahat pada Bu Zalia. Dan aku tak akan membiarkan s
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud