"Sudah, Kamu kerja saja! Tidak usah pikirkan Mbak. Mbak Baik-baik saja, sana! Layani pelanggan!" perintahku padanya. Aku memang merasa sedikit tak enak badan. Tapi jika kubawa tidur, yang ada badanku tambah sakit."Kamu kenapa, Wan. Kenapa melihat Ibu seperti itu?" tanyaku pada Iwan. Aku tak sengaja memergokinya menatapku tajam. Tidak biasanya, bocah ini menatapku seperti itu."Tidak, Bu. Apa Ibu Zalia merasakan yang aneh pada badan, Ibu? Rasa sakit atau sesak, gitu?" mata Iwan menyipit penuh selidik."Iya ... Ibu merasa sendi-sendi Ibu sakit. Lemes. Mungkin karena Ibu kecapekan, mungkin, ya?" ujarku. Iwan mengangguk lalu menghela napas berat. "Ada apa, Iwan?" tanyaku heran. Sekarang aku yang heran dengan sikapnya yang tampak aneh. Sejak aku datang tadi, aku merasakan anak ini memperhatikan gerak-gerikku. Membuatku risih."Tidak apa-apa, Bu. Iwan permisi kebelakang dulu, Bu." pamitnya. Aku mengangguk. "Aneh sekali sikapnya?" gumamku lirih. Aku menyenderkan tubuhku pada penyangga kur
"Jangan pergi, Bu! Iwan mohon jangan pergi!" pintaku sambil merengek seperti anak kecil. Walau kenyataannya aku memang masih kecil.Umurku baru delapan tahun, tapi pola pikir dan penglihatanku melebihi anak seusiaku. Aku seperti remaja yang terjebak dalam tubuh anak-anak."Memangnya kenapa, Wan?" tanya Bu Zalia heran. Dahinya berkerut, mengikuti tatapan mataku yang menatap tajam di sebelahnya. Aku tahu bulu kuduk Bu Zalia merinding saat ini. Ia tidak melihat apa-apa di sampingnya, tapi bisa merasakan auranya. Sedangkan aku, justru tampak dengan jelas!Aku melihat sesosok pria tinggi berjubah hitam di samping Bu Zalia. Mungkin ada sekitar dua meter tingginya. Tangannya menggenggam bahu Bu Zalia erat. Dengan kuku yang panjang dan hitam. Makhluk itu menunduk hormat pada Pria yang bersama Bu Zalia. Karena memang dia lah tuannya."Pokoknya jangan pergi, Bu! Iwan mohon sama Ibu!" pintaku dengan wajah memelas. Aku tahu Bapak ini mau berniat jahat pada Bu Zalia. Dan aku tak akan membiarkan s
"Terima kasih banyak ya, Nak. Kalian sudah mengantar Zalia sampai ke rumah. Nama kalian siapa?" tanya Ibunya, Bu Zalia. Wanita tua yang begitu lemah lembut. Wajah tuanya tampak khawatir saat kami mengantarkan Bu Zalia ke rumah ini dalam keadaan linglung.Bu Zalia kini sudah berada di kamarnya. Namun hatiku masih begitu khawatir. "Mbak! Bagaimana keadaan Zalia? Apa di baik-baik saja," seseorang datang dengan wajah yang sama paniknya dengan ibunya, Bu Zalia.Bapak tua yang sama tuanya dengan Ibunya, Bu Zalia. Mungkin mereka adalah kakek dan neneknya, adek Alia. Sungguh beruntung adek Alia. Dia bisa memiliki keluarga yang lengkap."Untung kamu cepat datang Ja'far. Mbak rasa ada yang aneh pada, Zalia. Akhir-akhir ini ia tampak seperti berbeda dari biasanya. Tadi saja, dia pulang ke rumah dalam keadaan linglung." ujar Nenek Alia."Yang benar, Mbak?" kakek Alia bertanya seolah tak percaya. Aku dan Mas Yoga hanya diam memperhatikan mereka berdua berbicara. Sesekali kami mencicipi minuman d
Sesampainya di kamar Bu Zalia. Aku melihat Kakek Alia, mengikat tangan Bu Zalia ke belakang punggungnya dengan tali. Ia sengaja melakukan itu agar Bu Zalia tidak melukai dirinya sendiri. Mungkin karena rasa sakit yang mendera, membuat Bu Zalia tidak sadar menarik daun telinganya dan mencakar, hingga membuat daun telinganya berdarah karena sedikit sobek.Bu Zalia memberontak. Giginya menggerutuk kuat dengan suara geraman yang terdengar cukup nyaring. Wajahnya yang begitu pucat di sertai keringat sebesar biji jagung yang mengalir di pelipis, menunjukkan jika Bu Zalia menahan rasa sakit yang teramat sangat. Pasti membuatnya tersiksa. Aku kasihan melihatnya. Ya Tuhan ... sembuhkan lah dia. Aku tak tega melihatnya yang begitu menderita. Serta tak kuat melihat Wajah Nenek Alia yang tampak begitu sedih, melihat anaknya dalam kondisi seperti ini. Hatiku terasa tercubit nyeri."Paman. Aku mohon, lepaskan aku! Aku mohon Paman! Tolong!" mohon Bu Zalia dengan wajah yang memelas. "Paman akan me
"Lalu, bagaimana orang yang mengirimkan penyakit pada putriku, Pak? Apa dia akan sadar?" tanya Nenek Alia. Pak Imam menoleh, lalu tersenyum tipis pada Nenek Zalia."Siapa yang menabur, maka dia yang menuai. Ia akan memanen apa yang telah ia tanam!" jawabnya terdengar bijak. Tapi cukup mengerikan di telingaku.Guna-guna adalah ilmu hitam atau ilmu sihir yang begitu di benci oleh Allah. Itu sebabnya praktek ilmu sihir itu di larang oleh agama. Tapi masih banyak sebagian orang yang mengunakannya, hanya untuk melancarkan niat jahatnya pada orang lain. Pada dasarnya, sekecil apapun kejahatan. Maka akan berbalik pada pelaku itu sendiri. 🌼🌼Pov. ZaliaDua minggu telah berlalu dari kejadian mengerikan itu. Kejadian yang aku sendiri tak ingat apa yang terjadi padaku. Waktu itu, saat aku sadar. Aku hanya merasakan tubuhku lemas tak berdaya. Telinga dan pelipisku perih dengan luka bekas cakaran. Bik Inem bilang, itu luka bekas cakaran tanganku sendiri. Bahkan tidak sampai di situ saja kean
Aku datang ke toko sedikit terlambat, satu jam setelah toko buka. Tapi sepanjang penglihatanku. Semuanya aman terkendali. Memang mereka semua patut kuandalkan. Nanti pas gajian, tak ada salahnya aku memberikan bonus pada meraka. Anggap sebagai bentuk apresiasiku atas apa yang mereka lakukan saat aku sedang sakit."Oh ... ya, Iwan mana?" tanyaku. Aku memindai setiap sudut toko, tapi tak kutemui batang hidung bocah itu."Tadi ada Mbak. Mungkin dia ke gudang ngambil stok barang, mungkin?" jawab Neneng. Dan benar saja. Tak lama aku bertanya, sosok Iwan muncul dari balik pintu sambil mengangkat sekotak kardus minyak milomi isi jerigen 5L. "Pagi Bu Zalia. Bagaimana keadaannya, Bu. Sehat?" sapanya ramah. Iwan meletakkan kedua yang ia pegang ke lantai. Lalu mendekat ke arahku untuk memberi salam. Sungguh sopan sekali."Alhamdulilah sehat. Terima kasih atas bantuannya, ya, Wan! Berkat kamu saya bisa sembuh," ujarku. "Ahh ... Bu Zalia berlebihan. Saya nggak berbuat apa-apa, kok. Saya mah ...
Aku duduk terpaku di sudut ranjang. Suasana yang sepi karena malam yang kian larut, membuat bunyi detik jarum jam dinding yang berputar, terdengar dengan jelas.Jarum pendek menunjuk ke angka satu malam. Namun tak sedikitpun, mataku ingin terpejam. Aku gelisah dengan ketakutan yang menggelayuti hatiku. Atas kejadian yang terjadi tadi sore.Flashback.Aku duduk gelisah di hadapan Iwan, sejak ia mengatakan tentang panti asuhan tadi. Entah kenapa, ingatanku selalu terbayang kejadian itu. Aku menatap Ibu yang tampak bahagia berbicara dengan Iwan. Iwan pun demikian. "Bunda! Nenek!" teriak Alia yang baru datang menghampiri kami. Tampaknya putri kecilku ini, baru saja bangun tidur.Alia duduk di pangkuan Ibu. Menatap ke arah Iwan dengan tatapan bingung. Karena ia baru pertama kali bertemu Iwan. Makanya Alia tampak asing."Halo adik manis. Kenalkan nama Abang, Iwan!" sapa Iwan. Namun namanya Alia masih kecil, bukannya membalas justru menoleh ke arah Ibu dan memeluk tubuh neneknya erat.Iwan
"Ada apa denganmu, Zalia? Ibu perhatikan kamu tampak aneh sejak kemarin sore. Saat kamu memeluk Iwan sambil menangis. Kamu juga belum memberi penjelasan pada Ibu tentang itu, Nduk?" cerca Ibu. Hari masih pagi, tapi Ibu sudah memberondongku dengan banyaknya pertanyaan. Bahkan aku sendiri masih bingung bagaimana menjelaskannya.Aku tidak mungkin langsung bilang begitu saja pada Ibu, jika Iwan adalah cucu pertamanya. Anak yang dilahirkan Mbak Zahra, delapan tahun yang lalu. Membuka aib yang di tutup rapat-rapat oleh Mbak Zahra hingga mati."Zalia tidak apa-apa, Bu. Oh ya Bu, sarapan yang Zalia pesan untuk di bungkus mana?" "Ini, sudah Ibu siapkan! Tumben kamu minta dibungkuskan sarapan? Apa lagi kamu sudah sarapan di rumah. Untuk siapa itu, Zal?" tanya Ibu kembali. Matanya menyipit memperhatikanku tajam. Menyelidik.Aku yang di tatap seperti itu pada Ibu menjadi gugup. Kalau tahu seperti ini. Seharusnya aku beli saja di luar."Bukan untuk siapa-siapa kok, Bu. Akhir-akhir ini, asam lamb
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud