Terima Kasih dan Selamat Tinggal
"Patah hati. Cinta pertama yang berjalan tidak baik." Hanggara mulai menimbang kembali pernyataan Kian selaku tangan kanan paling setia menemaninya selama belasan tahun. Meskipun kini lelaki itu sudah nampak berusia dan mungkin sebentar lagi sudah pensiun, tetapi loyalitas tanpa batas membuat Hanggara tidak bisa melepaskan begitu saja pun dengan keadaan bahwa putra dari Kian kini sedang membuat hati putri kecilnya patah.
Ya. Kian memang mengatakan semuanya secara gamblang, bagaimana putra bungsunya menolak putri sulung Hanggara.
"Mereka takkan pernah belajar jika tidak ada pengalaman. Benar?"
Kian mengangguk tegas. Benar, kisah remaja seperti cinta pertama yang tak sampai memang mengajarkan kepada banyak hal.
"Takahashi muda memiliki banyak sekali mimpi, dan memang sebaiknya ia menolak Sven agar bisa sama-sama fokus dengan pendidikan mereka. Sven akan segera berangkat ke Jerman, dan putramu juga akan menuju ke tempat yang sama. Sedikit menjadi kekhawatiranku bila mereka bertemu sementara Sven belum bisa benar-benar mengendalikan perasaannya." Menarik napas panjang, Hanggara menjentikkan ujung cerutu ke tempat pembuangan. "Hanya seorang ayah yang tidak menyukai ketika melihat putri kecilnya bersedih."
"Maafkan Takahashi muda, Tuan."
Mengibaskan tangan kanan, Hanggara beranjak dari tempatnya duduk. Berdiri di depan jendela kaca besar yang menampilkan siluet flamboyan. Sepasang sipit tersebut menatap apa yang tersaji di hadapan.
"Sven tidak pernah jatuh cinta, dan harus merasaka kecewa di saat yang sama. Tidak apa, memang begini cara cinta bekerja."
Hanggara menarik napas dalam, dipandangi lamat-lamat apa yang terlihat di depan mata.
"Katakan kepada putramu untuk tidak berjarak terlalu dekat dengan Sven, dia membutuhkan waktu dan jarak agar bisa mengobati luka-lukanya."
Kian membungkuk hormat lalu dia dan Hanggara keluar dari ruang direktur utama.
Di tempat lain, Sven sedang sibuk melukis, sudah menghabiskan dua belas jam waktunya di ruangan khusus yang dibuat papi untuk menyalurkan hobi. Sang mami terlihat mencemaskan Sven yang sejak beberapa hari lalu selalu saja makan paling akhir, lalu tidur juga paling akhir.
Sebagai ibu, ia sangat mencemaskan kondisi putri tercinta. Bertanya-tanya di dalam hati apakah yang sudah terjadi sehingga membuat si periang kini berubah muram.
Membawa si kecil yang masih berusia dua bulan dalam gendongan, ia berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut, nampak Sven sedang melamun. Kuas di tangan bahkan membentuk setitik lebar kehitaman. Membuat lukisan yang tengah dikerjakan jadi terlihat cacat.
Sang ibu berjalan mendekat, dengan Aiko dalam dekapan hangatnya ia menyapa si sulung.
Terkejut mendegar suara ibunya yang tentu saja tidak disadari kapan tiba di ruangan pribadi milik Sven ini.
Sven meletakkan kuas, mengusapkan telapak kotornya pada celemek khusus. Usai memastikan kedua tangannya sudah cukup bersih, Sven mengambil sang adik dan memangkunya penuh sayang.
"Kau sudah makan?"
Sven mengangguk pelan, "sudah dengan selembar roti dan segelas susu." hanya saja kalimatnya tidak diucapkan melainkan terangkai dalam benak saja.
"Ibu melihatmu begitu sibuk, apakah perjalanan ke Jerman sangat menguras energimu?"
Sven menarik napas panjang, kalimat pembuka menyambut harinya yang sudah suram. Sebenarnya, ia begitu ingin mengabaikan perhatian sang Ibu apalah daya, dia bukan anak yang dengan teganya membuat perasaan ibunya tersakiti.
"Sven, adakah yang kau sembunyikan dadi ibu?" sang ibu bertanya penuh kehati-hatian sebab dia tahu bahwa putri sulungnya ini bukan tipe orang yang dengan mudahnya mengatakan isi hatinya.
Menangkup punggung tangan Sven, ibu dari lima orang anak tersebut meminta perhatian putrinya sejenak dan Sven tahu ia harus menuruti mami.
"Aku hanya sedang jatuh cinta--" Sven memandangi lukisan di hadapannya. Sebuah gambar pemandangan. Seperti taman yang berisi dua bangku yang jaraknya teepisah jauh. Di sana juga terlihat bagaimana ada sepasang manusia yang satu berada di dekat pancuran air sedang berdiri menatap ke arah langit sedang si perempuan dalam lukisan berada di sisi yang lain sedang tertunduk seakan dirinya tengah memandangi punggung lelaki itu. "Hanya saja, Sven tidak cukup beruntung." Sven menampilkan senyumannya.
"Sven, kadangkala cinta pertama itu memang tidak seindah yang kita bayangkan. "
Ibunya Sven lantas menarik napas panjang. "Kau tahu, aku pun dulu pernah merasakannya. Seorang lelaki di sekolahan Ibu mengatakan bahwa dirinya jatuh cinta kepada Ibu. Dia memberikan seluruh perhatiannya kepada Mami, tetapi Mami malah jatuh cinta kepada orang lain." Senna tersenyum mengingat masa mudanya, saat dirinya hanyalah seorang siswa sekolah biasa saja.
"Mami jatuh cinta kepada seorang pemuda? Apakah itu bukan Papi?" Ibu Sven terkekeh geli lantas menggeleng.
"Bukan, tapi jangan mengatakannya kepada siapapun, oke?"
Senna pun mulai bercerita. Mengenai sosok yang dulu sering membuatnya salah tingkah jika berada di dekat pemuda tersebut.
Sven mendengarkan dengan baik, bagaimana saat sang ibu tersipu dengan pipi kemerahan ketika mengingat kenangannya tersebut.
"Apa Mami merasa sakit hati karena hanya dimanfaatkan?"
Senna menggeleng. "Tidak, Sayang."
"Cinta pertama memang tidak semulus yang kita duga, Sayang, kadangkala membutuhkan usaha yang sangat keras agar bahagia yang kita impikan bisa terwujud."
"Kau bisa mendapatkan yang kau mau dengan mudah tetapi sesuatu yang tidak dalam kendalimu, Mami rasa harus ada bagian dari hatimu untuk bisa terbiasa terluka."
"Sven, Mami tahu kalau kau menyukai seseorang meskipun Sven enggan mengatakannya. Namun, ada baiknya bila dirimu saat ini lebih fokus kepada pendidikan. Gapai cita-citamu, dan jadikan mereka sebagai langkah yang akan menunjukkanmu bagaimana indahnya dunia di luar sana."
"Tentu saja, Mami. Sven takkan pernah lupa kalau dunia ini tidak berisi satu lelaki saja. Hanya, bagaimanapun juga perasaan ini masih terasa janggal. Mami tahu bukan kalau menata hati kembali itu bisa memakan waktu?" Sven mengecup puncak kepala adiknya tercinta.
"Sven akan mendapatkan cinta lagi, tidak peduli bentuk dan rasanya akan menjadi seperti apa. Aku akan menikmatinya sebagai bagian dari perasaan syukur. Cinta pertamaku memang gagal tapi Sven tidak masalah. Mami tidak usah cemas."
Setelah percakapan ringan antara ibu dan anak, Sven pun pergi ke kamar mandi. Dia meredam perasaan ingin menangis dan merasa terlukai, tidak ingin melihat diri sendiri lemah dan hancur. Usianya masih sangat muda dan perjalanan hidupnya masih sangat lama.
Usai membersihkan diri, Sven mendatangi ponselnya yang sedang berkedip-kedip.
Sebuah nama yang tertera, satu nama familiar yang sampai detik ini telah membuatnya patah hati. Kenzo Takahashi. Menimbang-nimbang sebentar, pada panggilan kedua Sven pun mendial ikon telepon. Mendekatkan benda pipih itu di telinga kiri lalu berkata, "Ya, ini Sven."
"Sven, bisakah kita bicara?"
Sven menarik napas dalam, dia memang menyukai Kenzo tetapi ketika perasaannya tidak berbalas dengan baik dan pada saat ini hatinya masih terluka, seperti kata ibunya dia boleh menepi. Maka, Sven pun menolak untuk bertemu.
"Maaf, aku tidak bisa."
Gadis delapan belas tahun itu memandangi berkas cahaya senja yang mengintip di sela-sela kelambu putih, menarik napas pelan lalu mengembuskannya perlahan bersemoga di dalam hati agar rasa tak nyaman ini segera musnah.
***
Jangan Lupa tekan love dan masukkan cerita ini ke rak bukumu!
Love,
Mahar
Senna baru saja menyelesaikan mandinya ketika dilihatnya Hanggara sedang bercanda dengan kedua buah hati mereka. Si Kembar bungsu yang berjenis kelamin sama. Senna tidak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk memberikan Hanggara kesempatan kedua bisa membuatnya memiliki satu keluarga yang melimpahinya dengan cinta."Kenapa masih berdiri di situ? Ke sinilah." Hanggara memberikan isyarat melalui mata agar istrinya mau duduk bersama dengan dirinya. Oh, jangan lupakan, Hanggara begitu merindukan aroma Senna dan ingin segera menyelesaikan semua urusannya dengan cepat bahkan dirinya meminta Kian untuk menggantikan perannya. Bertemu dengan klien dari Eropa, orang-orang yang membutuhkan buah mangganya agar bisa diekspor ke negara mereka. Ada Kane Mitsuko yang sebenarnya sedang menjalankan tugasnya sebagai ahli waris
"Apa kau sudah menemukannya?""Sudah, Tuan Muda Mitsuko." Kian menunduk penuh hormat.Sementara pria yang kini memandang nyalang pada pemandangan kota Den Haag itu seakan menatap sesuatu yang teramat jauh. Sorot mata yang tajam berbanding terbalik dengan seringai tipis yang menghiasi sudut bibirnya. Sudah hampir delapan
Angin malam semakin dingin membuat Senna kembali merapatkan mantel bulunya, sudah pukul sembilan malam. Dan, harus bergegas untuk secepatnya pulang. Senna sebenarnya sedikit melupakan janjinya untuk pulang lebih awal dari biasanya. Dia sudah berjanji pada putrinya untuk menemaninya belajar malam ini. Akan tetapi, si bos memberi beberapa tambahan pekerjaan. Esok lusa tamu akan datang dan ingin mengecek beberapa hal. Termasuk bagian pengeleloaan buah-buah segar. Padahal Senna bekerja sebagai akunting di sini. Seharusnya pekerjaan itu bukan untuknya, tak apalah demi sekantong receh dia harus bekerja lebih keras agar bisa mudik awal tahun depan.
Senna berjalan dengan punggung tegap. Tak ada yang boleh menakutinya. Tidak, dia yang datang kembali dari ribuan jam yang telah berlalu ataukah mereka yang berdiri di depannya saat ini.Masa lalu bukan untuk diratapi meski seharusnya dia memaki karena sudah membuatnya terpaksa menjadi ibu tunggal. Tanpa suami. Beruntung kehidupan di sini tak mempermasalahkan siapa dan apakah dia sudah menikah atau belum.Hanya gelintir orang yang baru pertama kali mengenalnya dan itu takkan berlangsung lama. Sebab Senna mengatakan kalau Ayah Sven sedang tinggal jauh dari mereka. Bekerja yang entah kapan akan kembali pulang.
Pukul tujuh pagi saat menyiapkan sarapan mereka seperti biasa, Sven memimpin berdoa. Kedua tangan mungilnya menengadah. "Ya Tuhan, terima kasih atas segala Rahmat-Mu pagi ini, atas semua hidangan nikmat yang sudah dibuat sendiri dari tangan mamiku, dan aku bersyukur bisa menikmatinya hingga detik ini. Jadi, kumohon berikan kami berkat dan kasihMu, amin."Senyum Senna merekah. Putri kecilnya semakin besar dan pintar seiring dengan waktu.
"Makan siang sendiri?" Seorang pria berkacamata tebal datang menghampiri meja Senna saat ia menikmati makan siang. Cuaca di musim dingin kali ini cukup bersahabat sehingga dia tak perlu memesan cokelat panas seperti biasa."Boleh aku duduk?" Tanya pria itu."Apa kau perlu meminta izin? Menyebalkan."
Senna mengurung diri selama satu jam di dalam kamar mandi. Seharusnya seperti itu saja agar pria itu pulang dan meninggalkannya sendirian.Akan tetapi, meski selama apa pun dia mencoba mengabaikan, pria bernama Hanggara itu tetap duduk tenang ditemani sebotol minuman isotonik yang isinya tinggal separuh.Memperhatikan dengan seksama detil ruangan yang entah sudah ke berapa kalinya dia masuki. Jadi, sebenarnya Hanggara tak datang ke rumah ini hanya sekali – ralat – dua kali, tetapi sudah beberapa kali di saat pemilik rumah sedang sibuk di luar rumah.
Dalam KuasanyaMalam semakin larut saat Hanggara tetap tak mau pergi dari rumah kecil milik Senna. Bahkan saat ini pria itu justru berbaring di atas sofa lama dengan kaki terjulur hingga keluar badan sofa.Senna yang sejak tadi berjalan mondar-mandir, berkali-kali harus mengdengkus kesal. Bagaimana tidak, pria itu begitu kebal dan sangat menyebalkan. Se
Senna duduk dengan kaki ditekuk, matanya terlihat bengkak dan sembab, air mata yang sudah dihapus kembali mengalir seolah keras kepala tak mau mendengar makiannya barusan."Berhenti memikirkannya bodoh!""Kenapa kau menangisi pria sialan itu!"Dan, berbagai ucapan kasar yang hanya akan dikatakan saat sedang sendiri. Sven sedang pergi bersama Marco untuk berbelanja selama masa persembunyian mereka.Seharusnya, dia sedang di Indo
Manusia bisa merencanakan, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Pernah mendengar nasehat tersebut? Tentu saja iya, tetapi hanya Hanggara seorang yang tidak memiliki keyakinan mengenai hal itu.Dia lupa apakah karena selama ini takdir selalu mempermudahnya mendapatkan sesuatu hingga membuatnya jumawa.Bahkan ketika dia dengan setengah hati berdoa agar Tuhan mengabulkan pinta. Tunggu! Apa Hanggara pernah melakukannya? Maksudnya – berdoa? Kapan dan untuk apa? Berbagai macam kecamuk tersebut berputar dalam benak Keinarra kini.
Terhitung sudah enam belas hari, tiga jam, empat puluh tujuh menit Hanggara tinggal bersama mereka, meskipun pria itu masih pergi berkunjung ke tempat Senna bekerja dan tak membiarkan perempuan itu duduk manis di kursinya. Tentu saja, demi apa semuanya dilakukan Hanggara?Satu kata saja. Pernikahan.Tujuannya mencari keberadaan istri dan putrinya bukan hanya ingin bertemu dan melepas kerinduan semata.Hanggara memiliki tujuan lebih dari itu. Pernikahan impian yang akan segera diwujudkan, serta pe
Pram sudah pulang dari tugasnya di luar kota, sementara itu Alina juga sudah mengajukan cuti melahirkan sejak dua hari yang lalu.Mungkin ini adalah waktu terlama bagi Senna karena selain menunggu masa liburan akhir tahun ia juga harus menghadapi siksaan lahir dan batin dari Hanggara.Pria itu setiap malam selalu tidur dengan mereka bahkan demi kenyamanan, ranjang kecil itu Hanggara buang karena tak cukup untuk memuat panjang tubuhnya, karena Senna menolak dibelikan ranjang yang lebih lebar atau pindah tempat tinggal, maka ia pun tak bisa berbuat apa-apa.Hanya ranjang itu yang ke
Suara berisik saat segerombolan orang berjas hitam datang tepat pada pukul sebelas lebih tiga puluh dua menit.Senna dan satu temannya membawa buket bunga Lily of the valley di tangan. Menyambut dengan wajah ramah dan bibir tersungging manis.Ayo, Senna tunjukkan pada atasanmu bahwa kau memang mampu! Teriak Senna menyemati diri sendiri.Dari rombongan tersebut yang pertama datang adalah dua pria bersetelan serba hitam datang bersama seorang wanita cantik berambut pirang.Tubuh semampai bak biola spanyol itu
Pagi ini, matahari bersinar cukup cerah dengan aroma bunga mawar di halaman kecil rumahnya seolah menyambut mereka dengan senyum merekah. Sven yang sudah berdandan sangat cantik duduk di kursi tempat biasanya makan, sedangkan Senna sibuk dengan menu sarapan mereka bertiga.Baiklah, Senna harus menghitung satu pria dewasa yang saat ini duduk santai tanpa mengalihkan pandangannya pada Sven. Gadis kecil berusia tujuh tahun berambut ikal sebahu. Baju berwarna merah muda dengan bandana kelinci warna senada yang terlihat begitu manis tengah menguyah roti berlumur selai mangga miliknya.Tatapannya tidak beralih dari setangkup ke
Dalam KuasanyaMalam semakin larut saat Hanggara tetap tak mau pergi dari rumah kecil milik Senna. Bahkan saat ini pria itu justru berbaring di atas sofa lama dengan kaki terjulur hingga keluar badan sofa.Senna yang sejak tadi berjalan mondar-mandir, berkali-kali harus mengdengkus kesal. Bagaimana tidak, pria itu begitu kebal dan sangat menyebalkan. Se
Senna mengurung diri selama satu jam di dalam kamar mandi. Seharusnya seperti itu saja agar pria itu pulang dan meninggalkannya sendirian.Akan tetapi, meski selama apa pun dia mencoba mengabaikan, pria bernama Hanggara itu tetap duduk tenang ditemani sebotol minuman isotonik yang isinya tinggal separuh.Memperhatikan dengan seksama detil ruangan yang entah sudah ke berapa kalinya dia masuki. Jadi, sebenarnya Hanggara tak datang ke rumah ini hanya sekali – ralat – dua kali, tetapi sudah beberapa kali di saat pemilik rumah sedang sibuk di luar rumah.
"Makan siang sendiri?" Seorang pria berkacamata tebal datang menghampiri meja Senna saat ia menikmati makan siang. Cuaca di musim dingin kali ini cukup bersahabat sehingga dia tak perlu memesan cokelat panas seperti biasa."Boleh aku duduk?" Tanya pria itu."Apa kau perlu meminta izin? Menyebalkan."