Senna berjalan dengan punggung tegap. Tak ada yang boleh menakutinya. Tidak, dia yang datang kembali dari ribuan jam yang telah berlalu ataukah mereka yang berdiri di depannya saat ini.Masa lalu bukan untuk diratapi meski seharusnya dia memaki karena sudah membuatnya terpaksa menjadi ibu tunggal. Tanpa suami. Beruntung kehidupan di sini tak mempermasalahkan siapa dan apakah dia sudah menikah atau belum.Hanya gelintir orang yang baru pertama kali mengenalnya dan itu takkan berlangsung lama. Sebab Senna mengatakan kalau Ayah Sven sedang tinggal jauh dari mereka. Bekerja yang entah kapan akan kembali pulang.
Senna sudah berdiri di depan pintu rumah Bibi Maria. Mencoba menarik nafas secara perlahan, mencoba mengurai rasa sesak yang tadi sempat memeluknya begitu erat. Tangan kanannya terulur untuk memencet bel.
"Hai, ayo masuklah," ucap Bibi Maria setelah pintu terbuka, menyapanya dengan begitu ramah.
Senna mengurai senyum lebar, harus bersikap biasa saja agar Bibi Maria yang baik hati itu melihat ketakutan yang masih menikaamnya Senna membalasnya dengan senyuman merekah agar Bibi Maria tak melihat semburat kegelisahan di wajah yang coba ia sembunyikan."Sven pintar sekali hari ini, kau tahu. Bermain bersama Marco seharian dan lihatlah sekarang dia sedang terkapar karena kelelahan. Andai Marco tak bersamanya, mungkin aku yang akan kewalahan. Kau tahu, Sven sangat cerewet akhir-akhir ini," cerita Bibi Maria dengan wajah semringah.
"Maafkan aku, karena harus pulang terlambat," ujar Senna, tak enak hati. Bibi Maria menepuk bahu Senna meminta segera masuk ke dalam kamar tanpa kata.Senna berjalan menuju kamar dengan pintu yang tidak tertutup rapat, lalu berjalan mendekati ranjang di mana putri kecilnya tengah tertidur lelap di bawah hangatnya selimut. Kasur empuk tersebut melesak dalam saat Senna duduk di atasnya."Hai, sayang. Bangunlah, ayo kita pulang. Mama akan menggendongmu," bisik Senna di telinga kanan sang putri.
Tak perlu waktu lama, sebentar saja gadis kecil itu sudah mengerjapkan kedua mata sipitnya."Mama?" Sven beranjak lantas memeluk Senna dengan erat. "Ik hou van je, Moer, " ucap gadis kecil tersebut.Kata yang selalu diucapkan saat melihat sang ibu berwajah sendu. Senna bisa membohongi orang-orang di sekelilingnya, tapi tidak dengan Sven. Hati gadis kecil itu terlalu halus dan perasa, meski sudah disembunyikan serapat mungkin. Entahlah, dia memang anak yang sangat istimewa.
"Aku tahu dan terima kasih sudah menyayangi Ibu. Ayo kita pulang."
Sven mengangguk lalu Senna mengulurkan kedua tangannya. "Sven bisa berjalan sendiri, tidak usah digendong," katanya lalu segera turun dari ranjang.Sven bergerak lincah meski sempat terhuyung sebab baru saja terbangun dari lelapnya.
“Hati-hati, Sayang.”
Sven tersenyum kemudian dia meraih pergelangan ibunya untuk digandeng. Keduanya berjalan ke ruang makan dan bertemu Bibi Maria yang terlihat sibuk memanaskan sesuatu.
"Makan malamlah dulu, aku sedang menghangatkan supnya," kata Bibi Maria yang baru saja membuatkan segelas cokelat panas untuk Senna.
"Ah, aku merepotkanmu, Bi, tapi maaf, aku baru saja makan malam sebelum ke sini tadi," jawab Senna sambil mengancing jaket tebal milik Sven.
"Oh, begitu, ya? Baiklah, kalau begitu bawa bubuk cokelat ini, Sven bilang padaku. Mamanya kehabisan stok cokelat untuk diseduh saat malam hari."
Senna terkekeh sambil menggelengkan kepalanya pelan lalu mengambil setoples sedang bubuk cokelat yang diberikan Maria kepadanya.
“Bedankt, Bibi,” ucap Senna.
"Oke Sven, ucapkan selamat malam pada Bibi Maria."
Sven melangkah menuju wanita paru baya tersebut lalu mengecup kedua pipi wanita itu bergantian.
"Goedenacht, Sven," balas Bibi Maria.
Selama perjalanan menuju ke rumah, Senna tidak memperhatikan ke sekeliling. Dia makin mengeratkan genggaman tangan mereka, Sven tidak dibiarkan berjalan terlalu jauh darinya. Meski jarak rumah mereka hanya beberapa langkah, cuaca dingin membuat mereka harus bergegas.
"Segera ke kamar, Mami ke kamar mandi dulu," ucap Senna setelah mereka sampai di dalam rumah. Sven beranjak dan masuk ke dalam kamar.
"Senna apa kau akan menyembunyikan identitas ayah kandungnya?" Senna berbisik pada dirinya sendiri, ditatap wajahnya yang terlihat kusut. Lihatlah, baru beberapa menit mereka bertemu sudah membuatnya gugup setengah mati.
"Kau sangat jantan! Kuakui kelihaianmu dalam menaklukkan dalam waktu kurang dari dua minggu patut diacungi jempol, kaulah Sang Cassanova!" Suara kekehan para pemuda berusia dua puluh tahunan tersebut membuat Senna remaja merasa sakit hati.
Seharusnya dia tahu, pemuda yang selalu dikaguminya selama ini ternyata menyimpan berbagai muslihat mengerikan.Dirinya jadi ajang taruhan. Pantas saja, ketika ia rela melepaskan semua harga dirinya, pemuda itu masih enggan mengatakan cinta kepadanya.Siapa dia? Bocah ingusan yang dengan bodohnya tergila-gila kepada seorang pemuda kaya raya, populer serta pengusaha sukses dan jangan lupakan di atas semua itu ada kesombongan dan sifat arogan yang harus Senna ingat selama hidupnya.
Senna menggelengkan kepalanya kuat, bagaimana dia dulu begitu mudahnya mempercayai lelaki yang tidak pernah mengatakan ‘aku cinta padamu’ meskipun setelah menikah dan bercinta habis-habisan kemudian ditinggalkan tanpa alasan, bayang wajah lelaki itu masih bercokol kuat dalam otak dan hatinya.Senna menatap wajahnya pada cermin. Sekalipun sudah bertahun berlalu, ia masih tak bisa mendendam. Berlebihankah kalau Senna Camelia masih mencintai pria itu? Dan tak pernah bisa melupakannya?Senna embuskan nafas dalam membuat kaca berembun. Lupakanlah, dirinya tak harus menyalahkan siapa pun. Bahkan keadaan yang sudah membuat debar itu kembali menggila meski ia berusaha menolaknya.Senna membasuh wajah dengan air hangat. Lalu berdoa semoga malam ini dia masih bisa tidur dengan nyenyak.Namun, Senna terbangun di tengah malam. Jam dua pagi, dan dia terbangun karena bermimpi buruk. Lelaki itu datang kembali dan mencarinya seperti orang gila. Senna merasa dentam di jantungnya bekerja begitu kuat, dia pun bangun dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum, teko berisi air mineral sudah habis dan dia membutuhkan minum untuk melegakan pernapasannya.Terbangun dengan mimpi buruk bukanlah agenda baik jika pagi nanti kau akan disibukkan dengan berbagai agenda dan rutinitas harian yang akan berakhir saat pukul enam sore.Hanggara, lelaki itu datang menyelinap dan membuatnya terkejut setengah mati. Sudah berapa tahun dia bersembunyi? Senna bahkan lupa sejak kapan dirinya menghindari lelaki itu bukan karena takut tetapi ia memang tidak ingin. Tidak setelah ia tahu, bahwa ketulusan lelaki itu seperti sebuah kamuflase semata.Senna menenggak hingga tandas minuman dari gelasnya. Berharap air jernih itu bisa membuka kesadarannya. Dia tidak sedang berada di Indonesia dan Hanggara tidak mungkin ada di wilayah ini padahal sudah lama mereka berada di sini. Tentu saja dengan tidak memberikan jejak yang akan memudahkan Hanggara menemukan mereka.Senna harap memang sekilas bayang di masa lalu bukan sesuatu yang nyata.***
Love,
Mahar
Pukul tujuh pagi saat menyiapkan sarapan mereka seperti biasa, Sven memimpin berdoa. Kedua tangan mungilnya menengadah. "Ya Tuhan, terima kasih atas segala Rahmat-Mu pagi ini, atas semua hidangan nikmat yang sudah dibuat sendiri dari tangan mamiku, dan aku bersyukur bisa menikmatinya hingga detik ini. Jadi, kumohon berikan kami berkat dan kasihMu, amin."Senyum Senna merekah. Putri kecilnya semakin besar dan pintar seiring dengan waktu.
"Makan siang sendiri?" Seorang pria berkacamata tebal datang menghampiri meja Senna saat ia menikmati makan siang. Cuaca di musim dingin kali ini cukup bersahabat sehingga dia tak perlu memesan cokelat panas seperti biasa."Boleh aku duduk?" Tanya pria itu."Apa kau perlu meminta izin? Menyebalkan."
Senna mengurung diri selama satu jam di dalam kamar mandi. Seharusnya seperti itu saja agar pria itu pulang dan meninggalkannya sendirian.Akan tetapi, meski selama apa pun dia mencoba mengabaikan, pria bernama Hanggara itu tetap duduk tenang ditemani sebotol minuman isotonik yang isinya tinggal separuh.Memperhatikan dengan seksama detil ruangan yang entah sudah ke berapa kalinya dia masuki. Jadi, sebenarnya Hanggara tak datang ke rumah ini hanya sekali – ralat – dua kali, tetapi sudah beberapa kali di saat pemilik rumah sedang sibuk di luar rumah.
Dalam KuasanyaMalam semakin larut saat Hanggara tetap tak mau pergi dari rumah kecil milik Senna. Bahkan saat ini pria itu justru berbaring di atas sofa lama dengan kaki terjulur hingga keluar badan sofa.Senna yang sejak tadi berjalan mondar-mandir, berkali-kali harus mengdengkus kesal. Bagaimana tidak, pria itu begitu kebal dan sangat menyebalkan. Se
Pagi ini, matahari bersinar cukup cerah dengan aroma bunga mawar di halaman kecil rumahnya seolah menyambut mereka dengan senyum merekah. Sven yang sudah berdandan sangat cantik duduk di kursi tempat biasanya makan, sedangkan Senna sibuk dengan menu sarapan mereka bertiga.Baiklah, Senna harus menghitung satu pria dewasa yang saat ini duduk santai tanpa mengalihkan pandangannya pada Sven. Gadis kecil berusia tujuh tahun berambut ikal sebahu. Baju berwarna merah muda dengan bandana kelinci warna senada yang terlihat begitu manis tengah menguyah roti berlumur selai mangga miliknya.Tatapannya tidak beralih dari setangkup ke
Suara berisik saat segerombolan orang berjas hitam datang tepat pada pukul sebelas lebih tiga puluh dua menit.Senna dan satu temannya membawa buket bunga Lily of the valley di tangan. Menyambut dengan wajah ramah dan bibir tersungging manis.Ayo, Senna tunjukkan pada atasanmu bahwa kau memang mampu! Teriak Senna menyemati diri sendiri.Dari rombongan tersebut yang pertama datang adalah dua pria bersetelan serba hitam datang bersama seorang wanita cantik berambut pirang.Tubuh semampai bak biola spanyol itu
Pram sudah pulang dari tugasnya di luar kota, sementara itu Alina juga sudah mengajukan cuti melahirkan sejak dua hari yang lalu.Mungkin ini adalah waktu terlama bagi Senna karena selain menunggu masa liburan akhir tahun ia juga harus menghadapi siksaan lahir dan batin dari Hanggara.Pria itu setiap malam selalu tidur dengan mereka bahkan demi kenyamanan, ranjang kecil itu Hanggara buang karena tak cukup untuk memuat panjang tubuhnya, karena Senna menolak dibelikan ranjang yang lebih lebar atau pindah tempat tinggal, maka ia pun tak bisa berbuat apa-apa.Hanya ranjang itu yang ke
Terhitung sudah enam belas hari, tiga jam, empat puluh tujuh menit Hanggara tinggal bersama mereka, meskipun pria itu masih pergi berkunjung ke tempat Senna bekerja dan tak membiarkan perempuan itu duduk manis di kursinya. Tentu saja, demi apa semuanya dilakukan Hanggara?Satu kata saja. Pernikahan.Tujuannya mencari keberadaan istri dan putrinya bukan hanya ingin bertemu dan melepas kerinduan semata.Hanggara memiliki tujuan lebih dari itu. Pernikahan impian yang akan segera diwujudkan, serta pe
Senna duduk dengan kaki ditekuk, matanya terlihat bengkak dan sembab, air mata yang sudah dihapus kembali mengalir seolah keras kepala tak mau mendengar makiannya barusan."Berhenti memikirkannya bodoh!""Kenapa kau menangisi pria sialan itu!"Dan, berbagai ucapan kasar yang hanya akan dikatakan saat sedang sendiri. Sven sedang pergi bersama Marco untuk berbelanja selama masa persembunyian mereka.Seharusnya, dia sedang di Indo
Manusia bisa merencanakan, tetapi Tuhanlah yang menentukan. Pernah mendengar nasehat tersebut? Tentu saja iya, tetapi hanya Hanggara seorang yang tidak memiliki keyakinan mengenai hal itu.Dia lupa apakah karena selama ini takdir selalu mempermudahnya mendapatkan sesuatu hingga membuatnya jumawa.Bahkan ketika dia dengan setengah hati berdoa agar Tuhan mengabulkan pinta. Tunggu! Apa Hanggara pernah melakukannya? Maksudnya – berdoa? Kapan dan untuk apa? Berbagai macam kecamuk tersebut berputar dalam benak Keinarra kini.
Terhitung sudah enam belas hari, tiga jam, empat puluh tujuh menit Hanggara tinggal bersama mereka, meskipun pria itu masih pergi berkunjung ke tempat Senna bekerja dan tak membiarkan perempuan itu duduk manis di kursinya. Tentu saja, demi apa semuanya dilakukan Hanggara?Satu kata saja. Pernikahan.Tujuannya mencari keberadaan istri dan putrinya bukan hanya ingin bertemu dan melepas kerinduan semata.Hanggara memiliki tujuan lebih dari itu. Pernikahan impian yang akan segera diwujudkan, serta pe
Pram sudah pulang dari tugasnya di luar kota, sementara itu Alina juga sudah mengajukan cuti melahirkan sejak dua hari yang lalu.Mungkin ini adalah waktu terlama bagi Senna karena selain menunggu masa liburan akhir tahun ia juga harus menghadapi siksaan lahir dan batin dari Hanggara.Pria itu setiap malam selalu tidur dengan mereka bahkan demi kenyamanan, ranjang kecil itu Hanggara buang karena tak cukup untuk memuat panjang tubuhnya, karena Senna menolak dibelikan ranjang yang lebih lebar atau pindah tempat tinggal, maka ia pun tak bisa berbuat apa-apa.Hanya ranjang itu yang ke
Suara berisik saat segerombolan orang berjas hitam datang tepat pada pukul sebelas lebih tiga puluh dua menit.Senna dan satu temannya membawa buket bunga Lily of the valley di tangan. Menyambut dengan wajah ramah dan bibir tersungging manis.Ayo, Senna tunjukkan pada atasanmu bahwa kau memang mampu! Teriak Senna menyemati diri sendiri.Dari rombongan tersebut yang pertama datang adalah dua pria bersetelan serba hitam datang bersama seorang wanita cantik berambut pirang.Tubuh semampai bak biola spanyol itu
Pagi ini, matahari bersinar cukup cerah dengan aroma bunga mawar di halaman kecil rumahnya seolah menyambut mereka dengan senyum merekah. Sven yang sudah berdandan sangat cantik duduk di kursi tempat biasanya makan, sedangkan Senna sibuk dengan menu sarapan mereka bertiga.Baiklah, Senna harus menghitung satu pria dewasa yang saat ini duduk santai tanpa mengalihkan pandangannya pada Sven. Gadis kecil berusia tujuh tahun berambut ikal sebahu. Baju berwarna merah muda dengan bandana kelinci warna senada yang terlihat begitu manis tengah menguyah roti berlumur selai mangga miliknya.Tatapannya tidak beralih dari setangkup ke
Dalam KuasanyaMalam semakin larut saat Hanggara tetap tak mau pergi dari rumah kecil milik Senna. Bahkan saat ini pria itu justru berbaring di atas sofa lama dengan kaki terjulur hingga keluar badan sofa.Senna yang sejak tadi berjalan mondar-mandir, berkali-kali harus mengdengkus kesal. Bagaimana tidak, pria itu begitu kebal dan sangat menyebalkan. Se
Senna mengurung diri selama satu jam di dalam kamar mandi. Seharusnya seperti itu saja agar pria itu pulang dan meninggalkannya sendirian.Akan tetapi, meski selama apa pun dia mencoba mengabaikan, pria bernama Hanggara itu tetap duduk tenang ditemani sebotol minuman isotonik yang isinya tinggal separuh.Memperhatikan dengan seksama detil ruangan yang entah sudah ke berapa kalinya dia masuki. Jadi, sebenarnya Hanggara tak datang ke rumah ini hanya sekali – ralat – dua kali, tetapi sudah beberapa kali di saat pemilik rumah sedang sibuk di luar rumah.
"Makan siang sendiri?" Seorang pria berkacamata tebal datang menghampiri meja Senna saat ia menikmati makan siang. Cuaca di musim dingin kali ini cukup bersahabat sehingga dia tak perlu memesan cokelat panas seperti biasa."Boleh aku duduk?" Tanya pria itu."Apa kau perlu meminta izin? Menyebalkan."