Ternyata yang tertembak adalah salah satu tukang pukul Pak Raka yang kebetulan masih hidup (namun kondisinya sudah mengenaskan), ia mau membantu Bossnya untuk melenyapkan Aliando, dengan menembaknya. Namun belum sempat ia menarik pelatuk pistol, dia sendiri lah yang tertembak duluan, akhirnya pistol di tangannya pun terjatuh. Sementara nyawa tukang pukul itu langsung melayang saat itu juga.Beberapa saat yang lalu, salah satu bodyguard yang melihat hal itu segera melepas tembakan sebelum tukang pukul itu berhasil menembak Aliando. Aliando sempat menoleh ke belakang, demi melihat apa yang terjadi. Tepat ketika Aliando balik badan, tukang pukul itu telah terkapar bersama dengan mayat-mayat yang lainnya. Raisa yang sudah panik bukan main, menghela napas lega seketika itu, ia tak bisa membayangkan jika Aliando sampai tertembak. Kemudian, Aliando menoleh ke arah bodyguard yang telah menembak tukang pukul itu. Yang telah menyelamatkan dirinya. "Terima kasih karna kau sudah melindungi
"AYAH!!!" Raisa langsung berseru saat mendapati sosok Ayahnya yang saat ini terlihat sedang duduk di kursi -ruang tengah di sebuah rumah. Rumah itu adalah milik saudara Ayahnya. Ternyata benar. Ayahnya dibawa ke rumahnya oleh saudara Ayahnya. Pak Harry menoleh, kedua matanya melebar -seketika. Raisa pun bergegas menghampiri dan seketika itu merengkuh tubuh Ayahnya dengan erat.Sekejab, mereka berdua saling berpelukan erat dan lama satu sama lain diiringi dengan isak tangis setelahnya. Sementara Aliando duduk di sofa dekat mereka setelah sebelumnya sempat melempar senyum ke arah seorang lelaki paruh baya yang sedang duduk di sofa sebrang -yang langsung menatap Pak Harry dan Raisa. Wajah lelaki paruh baya itu sekilas mirip Pak Harry, sepertinya dia adalah saudaranya yang dimaksud. Beberapa menit yang lalu, setelah mereka pergi dari markas besar Pak Raka, Aliando dan Nadine segera meluncur ke rumah sakit untuk memastikan keadaan Pak Harry. Raisa sempat khawatir dengan Ayahnya, m
"Tapi...katanya kamu tidak mau meminta bantuan kepada Tuan Al, Sa? Kamu tidak ingin Tuan Al turun tangan?" Tanya Pak Harry kepada Raisa. "Ya. Aku memang tidak menghendaki Bang Al ikut menyerang dan awalnya, aku juga tidak berpikir sampai ke situ, Yah kalau Bang Al akan datang untuk menyelamatkanku dan membantu menghabisi Pak Raka. Aku enggak meminta bantuan kepada Tuan Al tadi." Jawab Raisa. "Bang Al yang datang sendiri, tiba-tiba datang bersama para bodyguardnya, menyelamatkanku dan menghabisi Pak Raka!" Lanjut Raisa. Pak Harry manggut-manggut. Pandangannya kemudian beralih menatap Aliando. "Benar kah hal itu, Tuan Al? Tuan Al yang datang sendiri tanpa diminta sama Raisa?" Tanya Pak Harry. Hendak memastikan. Aliando balas mengangguk."Betul itu, Pak. Raisa tidak memintaku untuk menyelamatkannya. Hal itu aku lakukan atas inisiatifku sendiri. Aku sendiri yang memilih menyusul ke sana. Kebetulan...aku mendapat kabar dari tukang pukul yang aku kirimkan untuk bantu-bantu Raisa sebel
Aliando kira Nadine tidak akan kebangun.Sehingga ketika ia pulang, ia bisa langsung tidur dan paginya bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi sepertinya hal itu mustahil, karena, bahkan, hei, lihat lah, Nadine saja sampai bela-belain menunggu kepulangan dirinya di ruang tamu. Alamat ia akan diintrogasi Nadine setelah ini. Ia pun berpikir dengan keras, mencoba mencari kata-kata yang dirasa tepat dan pas untuk menjelaskannya kepada Nadine. Tiba-tiba Nadine memicingkan mata, menyelidik. "Tuh kan bener...kamu itu pasti habis berkelahi, Mas...lihat muka kamu tuh...penuh dengan luka-luka...dan tangan kamu juga, Mas...baju kamu juga kotor banget!" Nadine langsung berkomentar heboh begitu mendapati suaminya pulang dalam keadaan kacau. Matanya langsung memindai seluruh tubuh suaminya -seketika -separuh jengkel dan juga separuh prihatin. Meskipun tampaknya luka-luka ringan suaminya itu sudah diobati sebelumnya -keadaannya bisa dibilang tidak terlalu memprihatinkan -tapi tetap s
"Kalau ditambah dicium dan dipeluk sama kamu setelah ini. Pasti, akan langsung sembuh." Aliando menahan senyum di ujung kalimatnya. Kedua mata Nadine melebar, kemudian mendengus, lantas geleng-geleng kepala sembari berdecak.Astaga. Dengan situasi dan kondisi Aliando saat ini, tapi, suaminya itu masih sempat-sempatnya menggoda dirinya?Kata-kata manis yang keluar dari mulut Aliando memang selalu berhasil membuat moodnya langsung berubah.Akhirnya Nadine pun tak tahan untuk tidak balas tersenyum -namun hanya berlangsung beberapa detik -sebelum ia buru-buru menguasai diri, mengubah ekspresi wajahnya lagi. "Yaudah deh. Bakal aku lakuin kalau itu emang bisa buat lukamu langsung sembuh, Mas." Nadine menyeringai. Akan melakukan hal yang diminta suaminya. Ia juga penasaran. Beneran langsung sembuh atau tidak.Namun Nadine sudah tahu, kalau hal itu, hanya usaha Aliando untuk membuatnya supaya tidak ngambek lagi. Setelah terdiam sebentar, akhirnya Nadine beranjak mengecup pipi dan memelu
Nadine melirik suaminya sebentar, seakan meminta pendapatnya. Anggukan dagu Aliando membuat Nadine balas mangguk-mangguk, ia telah paham, lantas kembali menatap Ayah dan Ibunya. Nadine menghela napas, memperbaiki posisi duduk. "Jadi gini Ma...Pa...aku mau ngasih tau sama Mama dan Papa...kalau...Mas Al itu baru aja beli rumah baru -"Belum sempat Nadine menyelesaikan kalimatnya, namun kedua mata Kinanti dan Arjuna sudah melebar lebih dulu secara bersamaan seketika itu. Nadine pun memilih menghentikan kalimatnya sejenak, membiarkan kedua orang tuanya. Detik berikutnya, kedua orang tua itu saling pandang satu sama lain, menyamakan frequensi, mencerna ucapan Nadine barusan.Untuk beberapa saat, keduanya termangu. Selang sebentar saja, pandangan Kinanti kemudian beralih menatap Aliando. "B-bener an? K-kamu baru aja beli rumah baru, Al?" Tanya Kinanti dengan suara tergagap seraya menelan ludah susah payah. Hendak memastikan. Kursi yang tengah ia duduki mendadak terasa tidak nyaman.
"Aku udah menduga sih kalau sikap dan perlakukan Mama dan Papa akan langsung berubah sama aku setelah Mama dan Papa mengetahui rahasia aku yang bukan anak kandungnya Ayah Damar." Ucap Aliando sambil menggaruk keningnya."Pasti ...Mama dan Papa akan mulai berpihak kepadaku setelah ini, udah menerimaku sepenuhnya, Mama dan Papa akan membelaku di depan saudara-saudara Mama dan Papa ..." Lanjut Aliando, mengangkat kepala, menatap kedua mertuanya. "Tapi ...tidak dengan saudara-saudara Mama dan Papa yang pasti masih akan bersikap mengesalkan sama aku kalau aku tetap tinggal di rumah ini. Lagi pula, aku perlu memberi pelajaran sama mereka. Aku mau menunjukan diriku yang udah enggak bisa ditindas lagi sama mereka." Lanjut Aliando dengan ekspresi wajah dan nada bicara dingin. Hal itu berhasil membuat Kinanti dan Arjuna bergidik ngeri bersamaan begitu mendengar jika Aliando akan memberi pelajaran kepada saudara-saudaranya. Kini Kinanti dan Arjuna terdiam, tidak menimpali perkataan Aliando.
Mayang mengerutkan kening saat mendapati Kinanti yang langsung terlihat marah, mencerna dalam sepersekian detik, mencoba menerka apa kira-kira yang membuat Kinanti jadi marah seperti itu.Tapi ia merasa tidak salah ngomong barusan. Ia merasa apa yang baru saja ia katakan itu benar adanya ; memang pemandangan seperti itu yang kerap ia dapatkan ketika sedang ada acara makan malam atau acara lainnya di rumah ini. Mayang mengedikan bahu, memilih tak peduli dengan wajah Kinanti yang saat ini sedang mengeras -menatapnya tajam -tetap melanjutkan bicara dengan topik masih membahas Aliando. "Emang bener, kan, Kin? Kalo ada acara makan malam di rumah kamu atau pesta gitu, kamu dan Arjuna pasti selalu menjadikan Aliando sebagai pelayan?!" Tandas Mayang. Kinanti tidak kunjung menjawab, mukanya tambah merah padam. "Tapi, mana ini, kok Aliando malah belum kelihatan batang hidungnya sama sekali?" Mayang melongokan kepala, mengedar pandangan ke sekeliling, mencari keberadaan Aliando. "Nadine