Leonard mengerjapkan matanya mendapat kecupan yang tidak terduga dari Kania untuk kedua kalinya. Ia melirik ke arah bir Kania yang masih tersisa setengah, "Apa kau sudah mabuk hanya karena meminum setengah bir?" tanya Leon tidak percaya.Kania terlihat menggeleng mendengar pertanyaan Leon, "Aku sama sekali tidak mabuk," balas Kania sambil menunduk malu-malu.Leonard kembali terkejut mendengar jawaban. Jadi kecupan tadi itu?"Kurasa kau ingin melakukan hal itu sejak lama. Aku–"Belum selesai Kania menyelesaikan kalimatnya, ia tersentak saat Leonard kembali menarik wajahnya lalu menciumnya. Ciuman ini bahkan berlangsung lebih lama dan dalam daripada sebelumnya. Leonard meraub bibirnya lembut, menyesap tiap lapisan di sana dengan penuh dahaga. Leonard menggigit kecil, meminta akses kepada Kania untuk membuka mulutnya lebih dalam. Dengan lihai, Leonard mengabsen satu per satu giginya lalu membelit lidahnya. Jantung Kania bergerak tidak karuan tiap kali sentuhan bibir Leonard semakin membua
"Ini nenek kamu, Devan. Ayo beri salam,"Mata Kania seketika melebar saat mendengar ucapan Sheline. Devan sudah bersiap untuk memberikan salam pada Catherine, namun Kania segera menahannya. Masih jelas terbayang bagaimana perlakuan Catherine kepada mereka, ia tidak akan bisa menerimanya. Tidak, saat ia tepat berada di hadapan mereka."Jangan lakukan itu, Devan. Ayo kita pergi."Kania segera bangkit berdiri, ia mengambil tas tangannya yang tersampir di kursi meja makan. Raut wajahnya menunjukkan kemarahan yang teramat. Entah Sheline sengaja atau tidak, tapi kedatangan Catherine telah merusak suasana hatinya. Setelah apa yang sudah Catherine lakukan, bagaimana ia dengan tidak berdosanya mengaku ahwa dia adalah nenek Devan?Melihat Kania yang bergegas untuk pergi bersama Devan, Sheline segera menahannya,"Tunggu Kania, kenapa? Ini hari yang baik, bukan? Mama juga sudah menyesal atas perbuatannya sepertiku, bukankah seharusnya kita saling memaafkan saat ini?"Kania menepis tangan Sheline
"Hallo? Bagaimana? Apa saya bisa bicara dengan Sheline?""Ya tentu saja, bisa."Sean segera menaruh gagang telepon di samping lalu memanggil Sheline, "Sheline ada telepon."Sheline mengangkat alisnya mendengar ucapan Sean, "Telepon? Siapa?""Namanya Erik."Sean mengerutkan keningnya dengan heran saat Sheline segera melonjak lalu mengambil alih telepon mereka dengan cepat. Alisnya terangkat dengan sempurna menyadari ada yang tidak beres dalam hal ini, entah kenapa ia merasa respon Sheline sungguh berlebihan."Aku mengerti, aku pasti menghubungimu."Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Sheline terlihat ketakutan. Dia terus menatap ke arah Sean dengan gugup, seolah-olah cemas jika Sean mencuri dengar pembicaraan. Setelah beberapa detik mereka berbincang, Sheline kembali ke meja makan."Siapa? Kau mengenalnya?""Itu hanya teman sekolahku dulu."Sean mengangkat alisnya kembali, "Teman sekolah? Tapi kenapa dia sampai harus menghubungi telepon rumah kita? Apa kau ada urusan dengannya?""Ah
Sean tidak menyangka akan bertemu dengan Erik, orang yang menelepon Sheline kemarin. Entah kebetulan atau tidak, tapi ia merasa bahwa ada yang aneh dari pria itu. Erik terlihat sangat antusias saat bertemu dengannya. Apa pria itu sengaja menunggu dan berpura-pura menemuinya secara tidak sengaja?Sean menatap Erik dengan tatapan menyelidik, "Apa Anda kenal dekat dengan istri saya?" tanya Sean penasaran."Tentu saja kami sangat dekat, apa dia tidak pernah membahas saya sebagai temannya?""Sepertinya tidak, Sheline tidak pernah membahas apapun tentang Anda.""Ah sayang sekali, sepertinya hanya saya yang merasa begitu."Sean menilik arloji di tangannya, ia ingin sekali menanyakan banyak hal pada orang di hadapannya, tapi sepertinya tidak bisa sekarang."Maaf, tapi saya benar-benar sibuk hari ini.""Ah benar, saya malah menahan Anda disini begitu saja. Saya benar-benar merasa bersalah atas baju Anda,"Pria bernama Erik itu terlihat mengambil secarik kertas kecil dari saku bajunya, "Karena
"Bagaimana Ma? Apa Mama sudah mengurus pria gila itu?"Herlina menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Sheline."Ya Mama sudah mengurusnya, tadi siang mereka sudah melakukannya." desahnya dengan lelah."Dia pasti sudah mati kan? Dia sudah menghilang dari dunia ini kan?" Berondong Sheline kepada Sheline."Mama memperkerjakan orang-orang yang mahir di bidang ini. Jarang sekali mereka melakukan kegagalan. Dia pasti sudah mati."Raut wajah Sheline berubah cerah mendengar ucapan Herlina, akhirnya setelah lama menunggu, akhirnya ia terbebas dari Erik, pengganggu itu. Ia tidak perlu lagi takut merasakan ancaman Erik. Akhirnya ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa mengkhawatirkan apapun."Terimakasih Ma, terimakasih karena Mama mau membantuku." serunya dengan penuh semangat lalu memeluk Herlina dengan erat."Dengar, jangan lagi memikirkan hal ini, Sheline. Fokus saja pada pernikahanmu dan jangan membuat masalah, Mama lelah menyelesaikan segala masalah yang kau buat saat i
"Aku sangat senang karena akhirnya kau mau menerimaku kembali, Sean." ujar Sheline sambil memeluk erat Sean. Sean membalikkan tubuhnya, menarik tubuh Sheline dari pelukannya lalu bertanya, "Apa kau bahagia?""Tentu saja."Sudah hampir satu Minggu semenjak ia melenyapkan Erik dan tidak ada kabar apapun lagi yang ia dengar. Nomor Erik bahkan sudah tidak terdaftar, pria itu sepertinya benar-benar lenyap dari muka bumi ini karena jejaknya benar-benar menghilang. Ia sangat lega sekarang, Sean sudah sangat mempercayainya dan berhenti mendekati Kania. Bukankah kehidupannya sangat sempurna sekarang?"Aku sangat bahagia,""Bagaimana jika kita mengadakan makan malam bersama keluarga, Sayang?" ujar Sean tiba-tiba.Sheline mengangkat wajahnya antusias mendengar ucapan Sean, "Makan malam keluarga? Itu ide yang bagus, Sayang, sudah lama kita tidak makan bersama orang tua kita.""Ya anggap saja ini adalah bentuk rasa syukur kita. Kau harus bertanya tentang jadwal mereka agar kita bisa melakukan hal
"Mama tidak menyangka bagaimana bisa? Bagaimana bisa Sheline berbuat seperti itu? Padahal Mama sangat mempercayainya, tapi kenapa Sheline mengkhianati kamu?""Apa sekarang Mama sudah puas?" ujar Sean dengan dingin. Hati dan perasaannya terasa remuk saat ini dan ia tidak bisa berbuat apapun, "Mama sadar sekarang? Keegoisan dan rasa angkuh Mama yang membuat kehidupanku menjadi seperti ini. Aku membuang anakku sendiri saat Kania hamil, tapi malah menganggap anak orang lain sebagai anakku. Benar-benar miris.""Mama minta maaf, Mama benar minta maaf." ujar Catherine dengan rasa bersalah. Segala yang dilakukannya demi kebaikan Sean, nyatanya malah mendorong puteranya sendiri ke lubang kesengsaraan. Keyakinan dan keangkuhannya seketika runtuh, nyatanya apa yang menurutnya benar belum tentu baik untuk Sean."Aku tidak akan memaafkan Mama. Sampai kapanpun aku akan selalu menyalahkan Mama atas segala kehancuran hidup yang aku alami. Jika saja Mama tidak ikut campur kehidupanku, mungkin aku... M
"Kania... Apa ini benar kau? Kau benar-benar ada di hadapanku?"Kania mengangkat alisnya mendengar gumaman Sean yang terasa janggal di hadapannya. Ia menelisik wajah Sean yang memerah dan pandangannya yang tidak fokus, bukan hanya itu bahkan dari mulutnya menguar bau alkohol yang khas.Kania mengibaskan tangannya, "Kau mabuk?" Tanyanya dengan nada tidak percaya.Alih-alih mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, Kania tersentak saat Sean tiba-tiba menubruk tubuhnya lalu memeluknya dengan erat."Astaga!" decaknya."Aku merindukanmu, Kania. Aku merindukanmu. Maafkan aku, aku sungguh-sungguh meminta maaf."Kania mencoba menyingkirkan tubuh Sean dari tubuhnya, namun pelukan pria itu malah semakin menguat. Ia mulai merasa sesak, sepertinya pria di hadapannya ini benar-benar mabuk. Bukankah akhir-akhir ini kehidupan Sean sangat baik, lalu kenapa pria itu datang kemari setelah bermabuk-mabukan? Berapa banyak sebenarnya pria ini minum?"Sean sadarlah!"Kania menepuk-nepuk punggung Sean agar pr