Mata Leonard membelalak lebar mendengar ucapan itu. Kecupan balasan Kania di bibirnya mulai membangkitkan hasrat yang selalu Leonard simpan. Ia menarik tubuh Kania hingga kulit mereka menempel sempurna."Kau yang memulai lebih dulu, Kania. Jangan menyesal karena kau yang telah memancingku."Leon mulai mengecup bibir Kania. Kecupan itu lama kelamaan berubah menjadi lumatan yang dalam. Sedetail mungkin Leon menjelajah ke tiap sudut mulut Kania dengan penuh gairah. Baru saat ia melihat nafas Kania mulai terengah, Leon menghentikan lumatannya.Setelah membiarkan Kania mengambil nafas untuk beberapa detik, Leon kembali memulai ciumannya yang panas.Puas bermain di dalam mulut Kania, sentuhan Leon mulai turun ke area bawah. Ia mengecup leher jenjang Kania yang memutih, menelusuri tiap detailnya tanpa ada yang terlewat.Aroma raspberry dan juga vanilla yang menguar dari balik tubuh Kania membuat gairahnnya semakin membara. Leon memangku tubuh Kania yang mungil lalu membawanya ke arah ranjang
"Devan, Sayang? Kamu sudah bangun Nak," ujar Kania dengan gugup.Devan terlihat mengangkat alisnya melihat Leonard dan juga Kania, "Kenapa Mama dan Paman Leonard malah mengobrol disini? Aku sudah lapar."Kania tersenyum dengan canggung, "Tidak, tidak ada. Kami hanya bercanda, Sayang. Ayo kita ke meja makan."Kania memberikan tatapan memperingatkannya ke arah Leonard sementara Leonard hanya tersenyum menyeringai.Mereka berjalan menuju ke arah meja makan lalu duduk berhadapan di sana."Kamu tumben sudah bangun, Sayang?" ujar Kania."Ah iya Ma, Devan kebelet pipis tadi. Mama sendiri tumben bangun siang,"Belum sempat Kania menjawab, Leonard terlihat menimpali, "Sepertinya Mama kelelahan karena aktivitas kami semalam, Devan."Mata Kania mendelik saat mendengar ucapan Leonard. Apa pria ini sudah gila? Kenapa tiba-tiba membahas aktivitas semalam pada puteranya yang baru berumur tujuh tahun?"Aktivitas semalam? Aktivitas semalam apa? Kenapa Devan tidak diajak,""Jangan dengarkan paman Leona
Sean tidak percaya apa yang sudah terjadi. Catherine tega menampar dan mempermalukannya di depan para pegawainya saat ini. Sean mendengus, sedari awal hubungan mereka memang sudah rusak dan akan semakin rusak."Seharusnya Anda melakukan ini sejak dulu dan tidak selalu menyalahkan Kania. Saya lega karena Anda melampiaskan amarah dengan benar,"Catherine berdecak, "Apa kamu tidak juga sadar kenapa Mama sampai menamparmu? Kamu sudah menikah dengan Sheline, setidaknya perlakukan dia seperti istri yang seharusnya.""Tidak mau, kenapa saya harus melakukan itu?"Catherine memasang raut wajah tidak percaya mendengar jawaban Sean, "Apa? Tidak mau? Kamu mau melawan perintah Mama?""Selama ini saya selalu menuruti permintaan Anda, Bu Catherine Sagara dan sekarang saya sudah muak. Karena Anda... Saya telah kehilangan kebahagiaan keluarga yang selalu saya impikan. Jadi, jangan memaksa saya untuk selalu menuruti permintaan Anda, saya tidak akan pernah lagi membiarkan kehidupan saya disetir oleh And
"Iya, kenapa? Apa kau sangat terkesan dengan masakanku ini?" ujar Sheline dengan senyuman lebar.Sean mengulas senyumnya mendengar ucapan Sheline, "Kau benar, aku memang terkesan dengan makanan ini."Senyuman Sheline semakin melebar, rencananya untuk memikat Sean telah berhasil."Tapi ngomong-ngomong darimana kau memesan seluruh makanan ini? Aku jadi ingin memesannya lain kali."Senyuman Sheline seketika terhapus mendengar ucapan Sean. Apa ini? Jadi Sean tahu?"Apa maksudnya? Ini aku yang membuatnya,"Sean mendengus, "Semua masakan ini bukanlah masakan rumahan, Sheline.""Tidak, aku yang membuatnya.""Apa kau bisa mendapatkan ikan ini di sekitar rumah kita?"Kania terhenyak melihat Sean yang menunjuk ke arah ikan yang berwarna merah dengan mata yang besar."Ikan ini adalah ikan kinki. Ikan ini sangat sulit ditemukan di negara kita."Sheline kehilangan kata-kata, ia lupa mengeceknya karena terlanjur merasa senang."Lagipula makanan rumahan tidak seperti ini. Makanan rumahan terlihat se
Rasanya ingin sekali Sheline menjawab ucapan Kania, namun melihat keberadaan Devan di antara mereka, Sheline terlihat menarik nafasnya panjang. Ia harus menahan segala amarahnya, jika Devan melihatnya mengamuk di depan Kania, semua rencananya bisa saja gagal.Sheline mencoba mengulas sebuah senyuman, "Kenapa kamu bicara seperti itu, Kania? Bukankah Devan anakku juga?"Netra Kania membola mendengar ucapan Sheline. Apa katanya tadi? Devan anaknya? Apa perempuan ini sudah kehilangan akal sehatnya? Sejak kapan dia perduli pada Devan?"Hanya karena kau menikah dengan Sean, bukan berarti Devan akan menjadi anakmu. Ibu Devan hanya aku," Balas Kania dengan geram."Kania, jangan seperti itu. Aku hanya ingin dia berkenalan denganku."Kania mundur saat melihat Sheline hendak menggapai Devan. Tidak, ia tidak akan membiarkan Sheline menyentuh puteranya."Aku sudah terlanjur menyayanginya, jadi biarkan aku juga dekat dengannya, hm?"Kania hanya bergeming tanpa membiarkan Sheline mendekat ke arah De
Melihat Devan yang mengangguk, Sheline mengulas senyuman dengan cerah. Rencananya berhasil, ia akhirnya bisa membawa bocah itu."Tante benar-benar akan mempertemukan Devan dengan Papa, bukan?""Tentu saja, Sayang. Bahkan Tante juga akan membawa Devan kepada nenek Devan.""Nenek? Devan punya nenek?""Tentu saja punya. Nenek Devan juga ingin bertemu dengan kamu." Sheline mengulurkan sebelah tangannya ke arah Devan lalu berkata, "Jadi, ayo ke mobil."Meski masih terlihat ragu, Devan akhirnya menyambut uluran tangan itu. Sheline membawa Devan ke arah mobil lalu masuk ke dalamnya. Tepat saat mobil itu bergerak, Bi Minah terlihat kembali dari arah kamar mandi. Ia berkeliling mencari Devan yang ternyata sudah dibawa oleh mobil Sheline.****Kania mengangkat wajahnya saat melihat ponselnya berdering dengan nyaring saat ia bekerja. Ia segera mengangkat panggilan itu dengan cepat saat layar benda itu menunjukkan nama Bi Minah."Iya Bi? Ada apa?""Neng Kania, Nak Devan hilang lagi, Neng."Raut w
"Sayang, kenapa kamu bicara seperti itu? Ini bukan rumah kita, ayo kita pulang."Kania tidak menyerah, meski Devan menolaknya ia kembali membujuk puteranya untuk ikut dengannya."Devan tidak mau! Devan mau bersama Papa dengan Tante Sheline."Hati Kania terasa sakit mendengarnya, ia tidak percaya Devan akan memilih Sean dan juga Sheline begitu saja."Kamu tidak dengar hah? Dia sendiri yang ingin berada di sini, puteramu sendiri yang membuangmu, Kania."Emosi Kania mulai tidak stabil mendengar cemoohan Sheline di sampingnya, dia yang merawat dan membesarkan Devan selama ini, ia tidak terima Devan memilih orang lain dibandingkan dengan dirinya. Tatapan Kania berubah menjadi tajam, ia merasa sangat marah hingga tidak peduli akan menyakiti Devan saat ini."Apa kamu tidak dengar ucapan Mama? Kenapa kamu jadi nakal seperti ini? Ini bukan rumah kita, kenapa kamu selalu menyusahkan Mama?" Bentak Kania.Dengan kasar Kania kembali menarik tangan Devan hingga Devan meringis kesakitan, "Mama sakit
Hingga pukul delapan malam belum ada tanda-tanda Devan kembali ke rumah. Kania bergerak kesana kemari merasakan kegelisahan yang melanda hatinya, bagaimana jika Sean tidak mengembalikan Devan? Bagaimana jika Devan tidak ingin kembali ke rumah mereka?"Kania, tenanglah. Kau sudah berjalan seperti selama dua jam lamanya."Kania menghela nafasnya lalu duduk di hadapan Leonard. Ya, setelah pulang bekerja Leonard menghampiri dirinya saat mendengar kabar yang diberikan oleh Kania. Meski Kania sudah melarangnya untuk datang, Leonard bersikeras menemaninya."Menurutmu Devan akan kembali? Bagaimana jika ia sangat marah dan membenciku? Aku mungkin percaya pada Sean, Leon, tapi di sana ada Sheline, aku cemas jika Devan mulai terhasut olehnya." ujar Kania dengan gelisah.Leonard mengambil tangan Kania yang gemetar lalu mengusapnya dengan perlahan. Sejenak ada rasa aman yang ia rasakan saat Leonard melakukan itu."Dia pasti akan kembali, jangan khawatir. Jika sampai besok Devan tidak kembali, aku