Kania segera bergegas ke ruang guru. Ia menghela nafasnya panjang saat melihat sosok Devan yang tertunduk bersama dengan Bi Minah. Di sampingnya terlihat seorang ibu paruh baya dan seorang anak yang memandang Devan tidak senang.
"Anda ibu dari anak yang bernama Devan itu, bukan? Akhirnya Anda datang juga. Lihat apa yang dilakukan putera Anda kepada putera saya."Wanita paruh baya itu seketika berdiri sambil menunjuk ke arah luka anak yang berada di sampingnya. Kania tersentak melihat luka yang ia lihat sekarang, ada luka robek yang terlihat di sudut pipi bocah lelaki itu. Kenapa Devan sampai melukai temannya seperti ini?Devan terlihat hanya menunduk tanpa sedikitpun menatap ke arah Kania. Devan selalu bertindak seperti itu jika merasa dirinya bersalah.Kania menghela nafasnya panjang, ia menundukkan kepalanya sebagai permintaan maaf atas perlakuan puteranya."Saya minta maaf atas apa yang dilakukan oleh putera saya. Pasti ada alasan kenapa Devan bertindak seperti ini. Saya akan berbicara dengan Devan di rumah nanti.""Makanya tolong ajari anak kamu dengan benar."Kania menundukkan wajahnya sekali lagi, "Sekali lagi saya minta maaf." Ia melirik ke arah Devan lalu berkata, "Devan, ayo kita pulang."Dengan wajah yang masih menunduk, Devan mengikuti langkah ibunya. Namun baru saja Kania dan Devan hendak beranjak dari ruangan kepala sekolah, ibu paruh baya itu kembali menggerutu."Pantas saja tingkah anaknya seperti itu, mungkin dia mencontoh tindakan binal ibunya. Ya begitulah sikap anak yang tidak jelas asal usulnya."Raut wajah Kania seketika berubah mendengar ucapan wanita paruh baya itu. Dengan refleks ia berbalik arah lalu menghadap ke arah wanita itu tidak senang. Kania mencegah langkah Devan lalu berkata, "Tunggu sebentar Devan,""Sepertinya saya jadi tahu alasan kenapa Devan memukul anak Anda." Kania melirik ke arah puteranya lalu bertanya, "Devan, apa dia mengejek dirimu tadi?"Dengan takut-takut Devan menganggukkan kepalanya."Anak memang mencontoh perlakuan ibunya. Jika ibunya senang menggunjing maka dia akan melakukan hal yang sama. Jika ibunya berkelakuan rendah, maka ia juga pandai menirunya." sindir Kania tajam.Raut wajah wanita paruh baya itu memerah mendengar ucapan Kania, "Apa Anda sedang menjelekkan saya?"Kania memilih mengabaikan perkataan wanita itu lalu beralih kepada kepala sekolah Devan, "Jika ada anak yang ditindas seperti ini di sekolah, bukankah sekolah juga bertanggung jawab? Apa saya harus mencari tahu lebih banyak dan membongkar semua ini ke pihak luar?"Raut wajah kepala sekolah itu menjadi panik mendengar ucapan Kania, "Sepertinya ini hanya kesalahpahaman biasa. Tidak seharusnya ini menjadi hal yang dibesar-besarkan. Ini hanya pertengkaran anak kecil biasa.""Bagaimana bisa Anda begitu? Lihat, anak saya terluka!"Kania segera mengeluarkan beberapa lembar uang ke arah wanita paruh baya itu, "Ini untuk biaya pengobatan anak Anda. Kalau begitu saya permisi. Saya harap ini tidak terjadi lagi, Bu kepala sekolah."Tanpa mendengarkan ocehan wanita paruh baya itu kembali, Kania menarik tangan Devan lalu keluar dari ruangan guru. Saat tidak ada lagi orang-orang di sekitarnya, Kania menghentikan langkah. Ia melirik ke arah tangan Devan yang lebam lalu bertanya dengan lembut, "Sakit tidak?"Devan menganggukkan kepalanya dengan air matanya yang mulai berderai, "Mama tidak marah sama Devan?"Kania mengulas senyuman tipisnya mendengar ucapan Devan, "Kenapa Mama harus marah?""Karena tadi Devan sudah membuat masalah. Maafin Devan, Ma."Kania mengacak rambut Devan dengan gemas, "Tidak apa-apa, kamu hanya membela diri, Sayang. Terkadang membela diri itu perlu, tapi lain kali jangan memakai kekerasan, kamu paham?"Devan menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Kania."Paham Ma,"Kania mengulas senyuman kembali lalu berkata, "Sekarang Devan mau apa, Sayang?""Apa Mama akan mengabulkan semua permintaan Devan hari ini?"Dengan cepat Kania mengangguk, "Tentu saja.""Kalau begitu Devan ingin bertemu dengan Papa. Dimana Papa, Ma?"Deg.Tubuh Kania seketika membatu mendengar ucapan Devan. Bibirnya terasa kelu. Ia tahu suatu saat Devan pasti akan meminta hal seperti ini, tapi apa yang harus ia jawab? Ia tidak mungkin menjawab bahwa ayahnya sama sekali tidak ingin mengakui mereka."Ma, kenapa Mama diam saja? Apa Mama tidak mau mempertemukan Devan dengan Papa? Apa benar kata ibu tadi bahwa asal usul Devan tidak jelas?"Hati Kania terasa remuk mendengar anak sekecil itu berkata sepahit itu. Dengan cepat Kania memeluk erat Devan. Rasanya sakit sekali karena ia tidak bisa menjaga perasaan anaknya dengan baik."Sayang, bukan seperti itu. Mama bukannya tidak mau mempertemukan kalian. Hanya saja Mama tidak bisa."Mendengar ucapan Kania yang menggantung, Devan tiba-tiba melepaskan pelukan mereka. Dengan wajah polosnya ia bertanya, "Tidak bisa kenapa?""Karena Papa Devan sudah berada di syurga.""Papa sudah meninggal?"Kania segera mengangguk, "Iya, Papa sudah meninggal.""Tapi Mama punya foto Papa kan? Pasti Mama punya kan?"Kania terhenyak mendengar pertanyaan Devan. Tentu saja Devan merupakan anak yang pintar, bagaimana mungkin dia bisa lupa?"Kita bicarakan ini lagi nanti ya. Sekarang kita pulang dan makan. Kamu pasti terkejut dengan kejadian tadi."Wajah polos itu terlihat sangat kecewa dengan jawabannya. Tidak ada keceriaan yang terlihat di mata Devan saat ini, Kania jadi merasa bersalah. Dalam hati ia bergumam memohon maaf kepada puteranya sendiri.Devan berjalan ke arah mobil mereka yang sedang terparkir dengan wajahnya yang menunduk. Kania yang melihat perubahan wajah Devan segera membuka pembicaraan, "Sayang, jadi kamu mau makan apa? Apa Devan mau pergi ke restauran ayam yang Devan mau waktu itu?""Tidak mau, Devan ingin pulang saja."Kania menghela nafasnya panjang mendengar jawaban singkat dari Devan. Devan sedang merajuk.Devan menutup mulutnya hingga sampai ke dalam rumah. Kania memungut tas yang di lempar Devan sembarang lalu menghela nafasnya panjang. Sekarang bagaimana?Kania mengetuk pintu kamar Devan yang terkunci, bahkan Devan tidak mau makan sama sekali."Sayang, makan yuk. Nanti kamu sakit.""Gak mau!"Mendengar jawaban itu, Kania menghela nafasnya dengan kecewa. Tidak bisa dibiarkan! Jika terus seperti ini, Devan akan benar-benar sakit.Ia segera bergegas ke arah kamar lalu membuka koper usang yang ia simpan di bawah ranjang. Ia mengambil potret Sean dari sana. Potret yang sudah hampir tidak berbentuk karena sudah ia remukkan beberapa kali sebagai pelampiasan amarahnya.Sekali lagi Kania mengetuk pintu kamar Devan lalu berkata, "Devan, Mama mau bicara."Tidak jawaban dari dalam sana. Sekali lagi Kania menghela nafasnya lalu berkata dengan lebih lembut, "Mama akan berbicara tentang Papa hari ini, apa Devan mau mendengarkan?"Sesaat setelah ia berkata seperti itu pintu kamar seketika terbuka. Raut wajah Devan yang berbinar terlihat di ambang pintu, puterinya kemudian berteriak dengan riang, "Benarkah Mama akan bercerita tentang Papa?"Devan akhirnya membuka pintu, Kania menghela nafasnya dengan lega. Ia menarik tangan Devan lalu membawanya ke ruang keluarga. Kania mengulurkan potret Sean yang sudah ia bawa lalu berkata, "Ini Papa,"Devan menelusuri potret itu dengan alisnya yang terangkat, "Tapi kenapa fotonya begini, Ma?" Tanya Devan bingung.Kania segera mengambil foto dari Devan, "Mama takut merindukannya jika fotonya terlalu jelas. Sudahlah, kamu sudah melihatnya, bukan? Sekarang kita makan." Kilah Kania dengan cepat.Namun, bukannya beranjak dari duduknya, Devan kembali menarik tangan Kania, "Papa itu orang seperti apa, Ma?"Kania tertegun. Ia menatap manik mata Devan. Manik mata itu terlihat berbinar, sepertinya Devan sangat ingin tahu tentang ayahnya. Kania menghela nafasnya, apa yang harus kita ia katakan? Tidak mungkin ia mengatakan pada Devan bahwa ayahnya mengusir mereka."Papa orang yang baik, ya sangat baik, dia sangat perhatian. Dia selalu membuat Mama merasa sangat dicintai. Meski sedang sibuk, Papa
"Kita akan mengikuti kontes ini."Dewi, Isa, dan juga Lana terlihat berpandangan mendengar ucapan Kania. Raut wajah mereka terlihat bingung melihat pamflet yang ditunjukkan oleh Kania ke hadapan mereka. Dewi yang lebih berani dan banyak bicara dari ketiga pegawainya terlihat mengangkat tangan, "Kita ikut lomba, Bu? Tapi bukankah selama ini kita tidak pernah ikut lomba? Apa Ibu yakin kita bisa ikut lomba ini tanpa mengganggu pesanan yang lain?" Tanya Dewi merasa sangsi.Kania menghela nafasnya dengan kasar. Ya selama mereka bekerja pada Kania, tidak pernah sekalipun ada kabar berita butiknya akan mengikuti kegiatan lomba atau kontes apapun. Ditambah lagi pekerjaan mereka yang saat ini sedang menumpuk, mungkin mereka menganggap Kania sudah gila karena mengambil keputusan ini. Kania sepertinya memang sudah gila. Ia merasa otaknya sebentar lagi akan meledak karena sering bertemu dengan Sean."Justru karena kita belum pernah mencobanya. Kita usahakan untuk tidak mengganggu pesanan yang lai
"Ada apa Ma?" Tanya Sheline saat melihat wajah Catherine menegang di sampingnya.Catherine segera menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Ah tidak, Mama hanya ingin tahu bagaimana rupa orang yang mendesain gaunmu.""Ah begitu."Catherine mengangguk dengan cepat, ia kembali ke arah kursinya, "Sudahlah, sebaiknya kita kembali makan. Setelah ini kita ke tempat lain,"Sheline balas mengangguk, "Baik Ma,"****Sepulangnya Catherine dari berbelanja, Catherine terlihat gelisah. Ia bergerak kesana kemari di rumahnya. Ia tidak menyangka Kania akan kembali bertemu dengan Sean. Padahal sudah tujuh tahun mereka tidak pernah bertemu kembali, tapi kenapa wanita rendahan itu harus muncul disaat yang penting? Ia tidak bisa membiarkan hal ini, bagaimana jika Sean kembali goyah karena kehadiran wanita itu? Ia sudah merasa senang karena Sean akan menikah dengan Sheline, wanita yang sederajat dengan mereka. Ia tidak akan membiarkan Sean kembali pada wanita itu.Catherine segera mengambil ponsel yang berad
"Aku memang masih hidup, kenapa? Apa kau kecewa?""Tidak, saya malah merasa bersyukur Anda masih hidup, jadi Anda bisa melihat bagaimana kerja keras saya setelah pengusiran yang Anda dan putera Anda lakukan."Catherine terlihat bertepuk tangan, "Wah wah wah hanya sampai di tahap ini, kau sudah besar kepala Kania. Kau masih bukan apa-apa, di mataku kau hanya seorang wanita kampungan."Amarah Kania seketika menggelegak, kepalan tangannya semakin menguat di samping tubuhnya. Tidak, ia tidak boleh terpancing emosi dengan hinaan kecil ini."Jika Anda kemari hanya untuk menghina saya, silahkan keluar."Dengan penuh amarah, Catherine mendekat ke arah Kania, ia menjambak rambut Kania dengan kasar, "Tundukkan pandanganmu di depanku, wanita rendahan. Aku tidak suka cara melihatmu itu."Kania meringis menerima jambakan yang dilakukan oleh Catherine, namun dengan cepat Kania menarik tangan Catherine lalu memelintir tangan mantan mertuanya. Memangnya ia pikir, Kania akan diam saja setelah dianiaya
Sean yang masih belum beranjak dari samping Kania tersenyum puas. Rencananya untuk mempermalukan Kania rupanya tidak main-main. Benar, dialah yang membuat model yang Kania sewa mengundurkan diri tepat sebelum acara dimulai. Biar saja Kania kebingungan saat ini karena rencananya berantakan. Ia tidak terima melihat Kania baik-baik saja setelah mengkhianati seluruh cintanya. Merasa yakin bahwa tidak akan ada jalan keluar bagi mereka, Sean mulai melangkahkan kakinya. Setelah ini Kania pasti merasa malu karena hasil karyanya tidak bisa ditampilkan. Ah, Sean jadi tidak sabar, bagaimana wajah Kania saat mengaku kalah padanya?Sekeras apapun Kania memutar otaknya, ia tidak dapat mendapat jawaban. Waktu berjalan begitu cepat selagi ia memikirkan solusinya. Sial, apa yang harus ia lakukan? Tidak mungkin ia mengundurkan diri setelah sampai di tahap ini."Saya sendiri yang akan menjadi modelnya." Jawab Kania dengan cepat.Mata Dewi melebar mendengar ucapan Kania, "Ibu mau jadi modelnya sendiri?"
"Jadi kau yang melakukannya?" Sergah Kania saat menemukan Sean yang berdiri di sudut gedung.Sean terlihat membalikkan tubuhnya, ia memberikan tatapan tidak mengerti, "Apa maksudmu?"Kania mendengus melihat sikap Sean, "Jangan berpura-pura, kau bukan yang sudah membuat modelku mundur sesaat sebelum acara berlangsung?""Oh itu. Ya aku yang melakukannya."Jawaban santai yang keluar dari mulut Kania membuat hatinya terasa diiris sesutu. Mulut Kania bergetar menahan desakan emosional yang kembali menghantamnya, "Kenapa? Kenapa kau melakukannya?" Tanya Kania getir."Tidak ada alasan, aku hanya ingin memberi pelajaran padamu.""Pelajaran?" Kania mendengus tidak percaya, dari sekian banyak alasan, Sean hanya ingin memberikan pelajaran padanya?"Haruskah kau melakukan hal sampai sejauh itu? Kau tahu bukan bahwa bukan hanya aku yang akan terluka di sini? Pegawai yang bekerja denganku, mereka sama sekali tidak salah." Lanjut Kania dengan kesal.Sean terlihat mengangguk, "Aku tidak perduli karen
"Kenapa kita tidak jadi bertemu dengan desainermu itu?" Tanya Sean saat jadwal pertemuan dengan Kania selanjutnya tiba. Sheline yang tengah menyantap sesuatu mengangkat wajahnya, "Kania akan memberitahukan seluruh desainnya melalui pesan untuk sekarang ini, jadi tidak ada pertemuan lagi untuk kita." Sheline menghela nafasnya panjang, "Dia sudah memenangkan kontes yang kau maksud sepertinya dia cukup sibuk,"Sean terlihat terkejut mendengar penuturan Sheline, "Tapi bagaimana jika kau ingin melihat hasilnya?" Tanya Sean."Aku yang akan kesana, tidak apa-apa.""Apa? Tapi, bukankah itu merepotkanmu? Aku sudah bilang akan membayar gaunnya dengan harga pantas, tapi kenapa dia masih merepotkan kita?" ujar Sean dengan nada kesal."Aku hanya sesekali kesana, Sean. Tidak apa-apa, lagipula prosesnya masih panjang. Bukankah kau sendiri yang membuatnya sibuk hingga memenangkan kontes itu? Kita tidak bisa menyalahkannya.""Kalau seperti itu, dia bisa saja mengerjakan gaun kita secara asal,"Sheline
"Oh jadi ini anak itu? Anak hasil perbuatan gelapmu tujuh tahun lalu."Mendengar Sean yang masih melanjutkan hinaannya, Kania segera menutup telinga Devan dengan kedua tangan, "Hentikan omong kosong Anda," teriak Kania geram."Sepertinya dia tidak tahu bagaimana kelakuan binal ibunya."Kania hampir meneteskan air matanya mendengar hinaan Sean lagi, "Saya bilang keluar! Dia masih kecil, tolong... Jangan racuni anak saya dengan perkataan kotor Anda," teriaknya kembali, kali ini lebih kuat dari sebelumnya."Devan, ini es krimnya..."Kania menatap kedatangan Leonard yang baru tiba di sana. Leonard terlihat mengerutkan keningnya bingung lalu bertanya, "Kania, ada apa ini?"Raut wajah Kania yang seolah tidak nyaman membuat Leon seketika paham. Ia menatap ke arah pria yang berdiri tidak jauh dari mereka. Melihat Kania yang hampir menangis, Leon yakin bahwa Kania membutuhkan pertolongannya.Leon segera maju ke arah pria itu lalu menegurnya dengan sopan, "Sepertinya Anda membuat pemilik di si
Saat mengetahui bahwa yang berada di hadapannya adalah Leonard, Kania segera mengambil langkah. Ia mundur untuk kemudian berlari menghindar dari pria itu.Leonard yang melihat Kania melarikan diri darinya segera menyusulnya. Dengan cepat ia kembali menahan Kania lalu bertanya dengan nafas tersengal saat berhasil mendapatkan tangannya, "Kenapa kau lari?""Lepaskan aku.""Baik, tapi bagaimana kalau kita bicara? Aku sudah menyewa seluruh tempat ini khusus untukmu, apa kau tidak sayang jika aku membuang-buang uang karena kau tidak mau menemuiku?""Aku tidak menyuruhmu menyewa tempat untukku,""Ayolah Kania, aku mohon."Kania terlihat menghela nafasnya panjang, "Baik, tapi lepaskan tanganku dulu."Dengan cepat Leonard melepaskan genggaman tangannya. Kania segera memilih kursi yang berada tepat di hadapannya lalu duduk di sana. Musik romantis segera mengalun saat mereka duduk berdampingan. Kania memberikan tatapan jengahnya, sebenarnya apa maksud pria ini?"Kenapa kau lari?""Tidak apa-apa,
Leonard pulang ke rumahnya dengan langkah gontai. Setelah berkeliling selama hampir satu jam di dalam bandara, Leonard sama sekali tidak bisa menemukan Kania dimanapun. Kania sudah pergi dari kehidupannya, ia terlambat, sangat terlambat."Jadi bagaimana? Kamu menemukan wanita itu?"Leonard mendengus kuat mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Lauren tepat saat ia tiba di kediaman mereka."Mama pasti senang sekarang, Kania tidak bisa aku temukan. Dia sudah pergi dari hidupku selamanya. Apa sekarang Mama puas?" Tukas Leonard dengan penuh emosional.Alih-alih merasa simpati Lauren yang malah menuang alkohol ke gelasnya membuat Leonard merasa geram. Lauren memang sudah tidak perduli kepadanya lagi."Sepertinya Mama cukup senang karena sudah menghancurkan hidupku." ucap Leonard dingin. Ia menghela nafasnya panjang lalu mulai beranjak meninggalkan Lauren.Namun, baru saja ia hendak melangkah, Lauren tiba-tiba memanggilnya kembali, "Kau akan menyerah begitu saja padanya?"Leonard seketika m
Leonard seketika tertegun mendengar ucapan Jasmine. Jasmine terlihat sangat serius di hadapannya membuat Leonard seketika mengangkat alis."Apa maksudmu?""Hari ini adalah keberangkatan Kania, apa kau akan terus berdiam diri di tempat ini dan membiarkan Kania pergi begitu saja?"Mata Leonard seketika melebar mendengar ucapan Jasmine, cekalannya di tangan Jasmine seketika terlepas, "Kania pergi hari ini?" tanyanya dengan nada tidak percaya. Sepengatahuannya projek mereka belum selesai dengan sempurna, masih ada beberapa tahapan pendistribusian dan promosi produk yang harus dilakukan."Pekerjaannya untuk membuat pakaian sudah selesai, jadi dia tidak akan ikut andil dalam promosi produk, semuanya hanya akan dilakukan oleh pihak Valerine."Leonard terlihat terhenyak mendengar penuturan Jasmine. Jadi Kania benar-benar akan pergi hari ini?"Tunggu apa lagi? Pergi!"Mendengar ucapan Jasmine, Leonard segera beranjak dari sana. Ia berlari keluar dari restoran itu tanpa menghiraukan panggilan d
"Yak selesai! Hasilnya bagus sekali."Semua bertepuk tangan ketika foto terakhir yang diambil dari Jasmine selesai. Beberapa orang menyalami Kania dan juga Jasmine karena projek itu berhasil dilakukan. Kania tersenyum, merasa cukup lega karena ia bisa melakukan projek itu tepat pada waktunya. Meski hatinya teramat berantakan dan juga banyak drama yang terjadi, akhirnya semuanya selesai. Ia menatap kursi tempat Leonard berada yang diduduki oleh Hannah. Masih sama, Leonard masih tidak ingin menemuinya sama sekali."Nanti malam akan ada perayaan kecil karena pekerjaan kita sudah selesai dilakukan, apa Ibu mau ikut?"Kania menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan dari Dewi, "Kalian saja yang ikut, saya akan mempersiapkan semua persiapan kita untuk terbang besok?""Apa tidak apa-apa, Bu?" Tanya Dewi merasa tidak enak."Tidak apa-apa, kalian sudah banyak bekerja keras selama dua Minggu ini. Bersenang-senanglah di sana. Ah, jangan lupa bawa instal aplikasi bahasa di ponsel kalian masing-
Setelah kejadian di rumah sakit tempo hari, Leonard tidak pernah datang lagi ke pertemuan mereka. Hanya ada asistennya yang mengikuti pertemuan mereka beberapa kali.Penasaran dengan keadaan Leonard, Kania menahan langkah asisten pribadinya setelah rapat selesai."Hannah, bisa bicara sebentar?"Hannah terlihat mengangkat alisnya lalu kemudian mengangguk mendengar pertanyaan Kania, "Ya, ada apa Bu Kania?""Apa Leonard baik-baik saja? Ah maksud saya sudah beberapa kali dia mangkir dari pertemuan kami.""Ah, Pak Leon baik-baik saja, dia sangat sibuk akhir-akhir ini karena projek yang lain. Apa ada masalah jika saya yang menggantikan Beliau?"Kania segera mengibaskan tangannya mendengar ucapan Hannah, "Ah tidak, kamu adalah orang yang kompeten juga, saya rasa Leonard tepat memilih kamu untuk mengurusi projek ini. Kalau begitu terimakasih,"Kania terlihat membalikkan tubuhnya untuk beranjak, namun Hannah kembali memanggilnya."Emm... Bu Kania? Apa Anda memiliki pesan untuk atasan saya?"Ka
Delon seketika terdiam mendengar ucapan Leonard. Keningnya berkerut dengan bingung, jadi mereka sudah saling mengenal sebelumnya? Tapi kenapa mereka berpura-pura tidak saling mengenal seolah baru berkenalan? Sebenarnya sedalam apa hubungan mereka hingga Leonard bersikap sangat posesif kepada Kania?Delon menghela nafasnya panjang, tidak ingin membuat keributan karena hal sepele akhirnya ia menyerah."Baiklah, saya serahkan Bu Kania kepada Anda."Delon menatap ke arah Kania yang masih tidak sadarkan diri lalu beranjak meninggalkannya. Untuk terakhir kalinya ia membalikkan tubuhnya lalu tertegun saat melihat pemandangan Leonard yang tengah memegang tangan Kania dengan erat. Delon terlihat mengangkat alis, sebenarnya apa hubungan mereka hingga Leonard bisa bersikap sedekat itu pada Kania?****Kania mengerjapkan matany saat mendapati atap putih di hadapannya, bau alkohol dan obat-obatan yang menyeruak membuat Kania seketika terhenyak. Dimana ia? Apa dia ada di rumah sakit?Kania mengangk
Kania mendesah panjang, "Haruskah kita melakukan ini?""Aku harus meyakinkan segalanya berjalan dengan lancar."Dengan ragu Kania menyambut telunjuk itu. Entah apa yang sebenarnya terjadi, Jasmine Maureen adalah gadis yang teramat percaya diri, kenapa ia melihat Jasmine sangat berusaha keras agar hubungannya dengan Leonard berjalan dengan lancar?"Sekarang, apa aku boleh pergi?"Jasmine menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan Kania, Kania mengusap mulutnya dengan serbet lalu bangkit berdiri.Tepat sebelum ia melangkah, Jasmine kembali memanggilnya."Aku minta maaf atas segala sikap menyebalkan yang aku tunjukkan selama ini padamu, Kania."Kania mengulas senyumnya mendengar ucapan Jasmine, "Ternyata kau sudah banyak berubah. Tidak apa-apa aku mengerti semuanya. Kau memang lebih pantas untuk Leonard."Setelah berkata seperti itu, Kania meninggalkan meja mereka. Ia menghela nafasnya panjang lalu kembali ke ruangan bengkelnya.Dewi yang melihatnya hanya bisa terkejut saat tatapan Kan
"Anda menyukai seseorang?""Ya, saya harap Anda mengerti ucapan saya hari ini Pak Delon. Kalau begitu saya permisi."Kania segera bergerak meninggalkannya Delon dengan cepat. Ia menghela nafasnya panjang, sebelum semuanya semakin rumit dan memusingkan, ia harus bisa menyelesaikan seluruh tugas ini dengan cepat. Jika perlu, ia akan menyelesaikan semuanya kurang dari dua minggu.****Selama seharian penuh, Kania berada di bengkel kerjanya. Seperti tekadnya kemarin, ia akan menyelesaikan seluruh pekerjaan ini dengan cepat. Ia sudah tidak bisa terus berada di sini dan menyiksa seluruh hatinya.Pintu ruangannya seketika diketuk, Dewi menghampiri dirinya lalu terhenyak saat melihat Kania berada di sana pagi-pagi sekali."Ibu? Ibu semalaman berada di sini?" Tanya Dewi dengan raut wajah terkejut."Ya, saya harus menyelesaikan semuanya dengan cepat agar kita segera kembali.""Tapi Bu, kalau begitu terus ibu bisa sakit.""Saya baik-baik saja, Dewi."Tepat saat ia mengatakan hal itu, darah segar
"Anda memang cukup jeli, Bu Jasmine. Siapa yang tidak tertarik pada Bu Kania? Dia wanita yang mandiri dan cantik, bagaimana saya tidak terpesona olehnya?"Kania terperangah tidak percaya mendengar ucapan Delon yang terus terang. Delon tersenyum ke arahnya tanpa beban sama sekali membuat Kania merasa sangat gugup. Kania segera mengambil minumannya lalu menyeruputnya dengan perlahan, mengabaikan tatapan tajam dari Leonard yang sejak tadi tiba-tiba terdiam."Pak Delon benar-benar tipe pria yang romantis, Anda menyatakan ketertarikan Anda pada Bu Kania tepat disaat Bu Kania ada di hadapan Anda.""Bu Kania hanya sebentar di sini, jadi saya harus bergerak cepat, bukan?""Ah, Anda benar."Berbeda dengan dirinya yang merasa canggung, Delon dan juga Jasmine malah terlibat pembicaraan seru. Kania menghela nafasnya, sungguh ia ingin melarikan diri saja dari tempat ini.Tepat saat ketidaknyamanan yang ia rasakan semakin tidak terkendali, ponsel Kania berdering dengan nyaring. Tidak peduli siapa