Sean tidak percaya apa yang sudah terjadi. Catherine tega menampar dan mempermalukannya di depan para pegawainya saat ini. Sean mendengus, sedari awal hubungan mereka memang sudah rusak dan akan semakin rusak."Seharusnya Anda melakukan ini sejak dulu dan tidak selalu menyalahkan Kania. Saya lega karena Anda melampiaskan amarah dengan benar,"Catherine berdecak, "Apa kamu tidak juga sadar kenapa Mama sampai menamparmu? Kamu sudah menikah dengan Sheline, setidaknya perlakukan dia seperti istri yang seharusnya.""Tidak mau, kenapa saya harus melakukan itu?"Catherine memasang raut wajah tidak percaya mendengar jawaban Sean, "Apa? Tidak mau? Kamu mau melawan perintah Mama?""Selama ini saya selalu menuruti permintaan Anda, Bu Catherine Sagara dan sekarang saya sudah muak. Karena Anda... Saya telah kehilangan kebahagiaan keluarga yang selalu saya impikan. Jadi, jangan memaksa saya untuk selalu menuruti permintaan Anda, saya tidak akan pernah lagi membiarkan kehidupan saya disetir oleh And
"Iya, kenapa? Apa kau sangat terkesan dengan masakanku ini?" ujar Sheline dengan senyuman lebar.Sean mengulas senyumnya mendengar ucapan Sheline, "Kau benar, aku memang terkesan dengan makanan ini."Senyuman Sheline semakin melebar, rencananya untuk memikat Sean telah berhasil."Tapi ngomong-ngomong darimana kau memesan seluruh makanan ini? Aku jadi ingin memesannya lain kali."Senyuman Sheline seketika terhapus mendengar ucapan Sean. Apa ini? Jadi Sean tahu?"Apa maksudnya? Ini aku yang membuatnya,"Sean mendengus, "Semua masakan ini bukanlah masakan rumahan, Sheline.""Tidak, aku yang membuatnya.""Apa kau bisa mendapatkan ikan ini di sekitar rumah kita?"Kania terhenyak melihat Sean yang menunjuk ke arah ikan yang berwarna merah dengan mata yang besar."Ikan ini adalah ikan kinki. Ikan ini sangat sulit ditemukan di negara kita."Sheline kehilangan kata-kata, ia lupa mengeceknya karena terlanjur merasa senang."Lagipula makanan rumahan tidak seperti ini. Makanan rumahan terlihat se
Rasanya ingin sekali Sheline menjawab ucapan Kania, namun melihat keberadaan Devan di antara mereka, Sheline terlihat menarik nafasnya panjang. Ia harus menahan segala amarahnya, jika Devan melihatnya mengamuk di depan Kania, semua rencananya bisa saja gagal.Sheline mencoba mengulas sebuah senyuman, "Kenapa kamu bicara seperti itu, Kania? Bukankah Devan anakku juga?"Netra Kania membola mendengar ucapan Sheline. Apa katanya tadi? Devan anaknya? Apa perempuan ini sudah kehilangan akal sehatnya? Sejak kapan dia perduli pada Devan?"Hanya karena kau menikah dengan Sean, bukan berarti Devan akan menjadi anakmu. Ibu Devan hanya aku," Balas Kania dengan geram."Kania, jangan seperti itu. Aku hanya ingin dia berkenalan denganku."Kania mundur saat melihat Sheline hendak menggapai Devan. Tidak, ia tidak akan membiarkan Sheline menyentuh puteranya."Aku sudah terlanjur menyayanginya, jadi biarkan aku juga dekat dengannya, hm?"Kania hanya bergeming tanpa membiarkan Sheline mendekat ke arah De
Melihat Devan yang mengangguk, Sheline mengulas senyuman dengan cerah. Rencananya berhasil, ia akhirnya bisa membawa bocah itu."Tante benar-benar akan mempertemukan Devan dengan Papa, bukan?""Tentu saja, Sayang. Bahkan Tante juga akan membawa Devan kepada nenek Devan.""Nenek? Devan punya nenek?""Tentu saja punya. Nenek Devan juga ingin bertemu dengan kamu." Sheline mengulurkan sebelah tangannya ke arah Devan lalu berkata, "Jadi, ayo ke mobil."Meski masih terlihat ragu, Devan akhirnya menyambut uluran tangan itu. Sheline membawa Devan ke arah mobil lalu masuk ke dalamnya. Tepat saat mobil itu bergerak, Bi Minah terlihat kembali dari arah kamar mandi. Ia berkeliling mencari Devan yang ternyata sudah dibawa oleh mobil Sheline.****Kania mengangkat wajahnya saat melihat ponselnya berdering dengan nyaring saat ia bekerja. Ia segera mengangkat panggilan itu dengan cepat saat layar benda itu menunjukkan nama Bi Minah."Iya Bi? Ada apa?""Neng Kania, Nak Devan hilang lagi, Neng."Raut w
"Sayang, kenapa kamu bicara seperti itu? Ini bukan rumah kita, ayo kita pulang."Kania tidak menyerah, meski Devan menolaknya ia kembali membujuk puteranya untuk ikut dengannya."Devan tidak mau! Devan mau bersama Papa dengan Tante Sheline."Hati Kania terasa sakit mendengarnya, ia tidak percaya Devan akan memilih Sean dan juga Sheline begitu saja."Kamu tidak dengar hah? Dia sendiri yang ingin berada di sini, puteramu sendiri yang membuangmu, Kania."Emosi Kania mulai tidak stabil mendengar cemoohan Sheline di sampingnya, dia yang merawat dan membesarkan Devan selama ini, ia tidak terima Devan memilih orang lain dibandingkan dengan dirinya. Tatapan Kania berubah menjadi tajam, ia merasa sangat marah hingga tidak peduli akan menyakiti Devan saat ini."Apa kamu tidak dengar ucapan Mama? Kenapa kamu jadi nakal seperti ini? Ini bukan rumah kita, kenapa kamu selalu menyusahkan Mama?" Bentak Kania.Dengan kasar Kania kembali menarik tangan Devan hingga Devan meringis kesakitan, "Mama sakit
Hingga pukul delapan malam belum ada tanda-tanda Devan kembali ke rumah. Kania bergerak kesana kemari merasakan kegelisahan yang melanda hatinya, bagaimana jika Sean tidak mengembalikan Devan? Bagaimana jika Devan tidak ingin kembali ke rumah mereka?"Kania, tenanglah. Kau sudah berjalan seperti selama dua jam lamanya."Kania menghela nafasnya lalu duduk di hadapan Leonard. Ya, setelah pulang bekerja Leonard menghampiri dirinya saat mendengar kabar yang diberikan oleh Kania. Meski Kania sudah melarangnya untuk datang, Leonard bersikeras menemaninya."Menurutmu Devan akan kembali? Bagaimana jika ia sangat marah dan membenciku? Aku mungkin percaya pada Sean, Leon, tapi di sana ada Sheline, aku cemas jika Devan mulai terhasut olehnya." ujar Kania dengan gelisah.Leonard mengambil tangan Kania yang gemetar lalu mengusapnya dengan perlahan. Sejenak ada rasa aman yang ia rasakan saat Leonard melakukan itu."Dia pasti akan kembali, jangan khawatir. Jika sampai besok Devan tidak kembali, aku
Kania tidak mempercayai penglihatannya saat ini, ia tidak percaya bahwa Sean akan mengambil langkah seperti ini untuk mengambil Devan."Saya akan mengkonfirmasi ini pada Pak Sean,""Tapi Bu Kania, tunggu sebentar."Tanpa menghiraukan panggilan pengacara yang bernama Nando itu, Kania masuk ke dalam mobil Leonard."Aku harus bertemu dengan Sean,""Aku tahu."Mobil Leonard segera melaju dengan kecepatan tinggi menuju kantor Sean. Dengan langkah yang terburu, ia berjalan menuju ruangan Sean."Anda datang lagi Bu Kania? Ah ada Pak Leon juga." sapa Garin dengan ramah."Mana Sean?""Silahkan tunggu di ruang tunggu Bu Kania, Pak Leonard.""Aku tidak bisa menunggu, panggil Sean sekarang juga.""Ah, baik. Anda bisa mengikuti saya."Melihat nada bicara Kania yang teramat dingin, Garin seketika menurut. Meski Kania bukan lagi istri atasannya, tapi Sean selalu memintanya untuk mengutamakan wanita itu jika ia berkunjung. Garin mengetuk pintu ruangan Sean untuk memberitahu perihal kedatangan Kania.
"Cerai?"Sheline terhenyak mendengar ucapan Sean di hadapannya. Setelah semua yang ia lakukan, Sean ingin bercerai?"Ya, aku ingin bercerai."Raut wajah Sheline yang awalnya menantang seketika berubah pucat. Ia tidak percaya kemarahannya akan membuat Sean ingin bercerai."Tapi aku... Aku tidak ingin bercerai, Sean.""Aku sungguh lelah Sheline, kita bercerai saja."Sheline mengambil tangan Sean dengan raut wajah yang memelas, "Tidak Sean, jangan ceraikan aku. Aku sangat mencintaimu."Sean menepis tangan Sheline dengan kasar, "Aku akan memberikan berkas-berkasnya besok padamu. Tunggu saja."Sheline hanya bisa tercengang mendengarnya sementara Sean bergerak meninggalkan Sheline yang terpaku di tempat. Saat Sheline hendak menyusul langkah Sean, kepalanya tiba-tiba terasa berputar lalu bruuuk...Sheline ambruk di lantai.****Sheline mengerjapkan matanya lalu terkejut saat mendapati pemandangan serba putih di hadapannya. Ia mencoba bangkit membuat sakit kepalanya yang sempat menghilang kin