"Mas Ikbal?" "Lho, Raina?" Aku tersenyum. Dia adalah kakak iparku. Suaminya Mbak Dania, kakak Mas Arga. Selama ini, hanya dialah orang yang mengetahui wajahku yang mengenakan make up.Itu semua berawal dari aku yang keluar rumah, lalu duduk sebentar di bangku depan warung sebelah rumah. Kala itu Mas Ikbal mau beli rokok, tak sengaja melihatku memakai make up. Ibu warung juga sudah kusogok untuk tak membocorkan rahasia ini. Kalau Mas Ikbal, Alhamdulillah dia mau membantuku merahasiakannya. "Kamu ngapain ke sini, Rain?" "Ada perlu, Mas. Iya, ada perlu," jawabku terbata. Ia memang mengetahui wajahku, tapi tak mengetahui jika aku memiliki usaha dan bisa dibilang sukses. "Oh, gitu. Mas habis beli anting untuk Mbakmu." Aku mengangguk, namun termenung seketika saat kulihat Mas Arga keluar dari tokoku sambil menggandeng seseorang. "Ya sudah, Rain, Mas pulang dulu, ya." "Oh, iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya." Kini, jarakku dengan Mas Arga sudah dekat. Apakah dia akan mengenali
Aku menatap tak percaya pada pemandangan di hadapanku. Lina, yang katanya tadi memasak, justru memporak-porandakan dapur. Sedangkan ia tengah bergelayut mesra pada Mas Arga, suamiku. "Eh." Ia buru-buru melepaskan tangannya, kemudian menarik diri dari Mas Arga. "Rain, ini bawakan!" perintah Mas Arga tepat setelah Shelina menjauh darinya. Kuambil tas itu, lalu kucium takzim tangan Mas Arga. Hal yang biasa kulakukan, namun sekarang Mas Arga terlihat canggung. Biasanya, suamiku itu akan langsung mencium keningku, namun sekarang tidak. Tentu, karena di sini sedang ada calon istri keduanya. Nyess! Mengingat Mas Arga yang akan menikah lagi, hatiku kembali patah. Tak dapat kupungkiri jika di hatiku ini ada nama MAs Arga. Namun, aku tak boleh lemah. Jika lemah, mereka kan menindasku. Hatiku boleh sakit, tapi ragaku harus tetap sehat. "Dia siapa, Ma?" tanya Mas Arga. Mama terlihat terkejut, begitupun dengan Megan. Ah, aku tahu. Jadi mereka belum membicarakan tentang Shelina ini akan men
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya, Hendranto ingin memberikan sebuah wasiat bagi anak saya. Jika dia tak bisa menikah dengan anak sahabatku yaitu Raina, maka semua harta ini akan jatuh ke pihak yayasan yang selama ini saya urus. Begitupun dengan anggota keluarga yang lain. Tak ada harta warisan, selama Arga tak menikah dengan Raina.Apabila diketahui sebelum memiliki anak dan keduanya bercerai, maka harta itu mutlak menjadi milik Raina kecuali rumah.Jika diketahui Arga berselingkuh di belakang Raina, dan Raina membawa bukti ke pengacara keluarga saya, maka semua harta itu mutlak menjadi milik Raina, tanpa terkecuali.Demikian, surat wasiat ini saya buat dalam keadaan sadar. Hendranto.-Mataku membulat membaca isi wasiat itu. Jadi, Mas Arga menikahiku hanya karena harta warisan? Jadi, selama ini, aku hanyalah wanita yang terlalu mereka bodohi."Lagi apa kamu?"Suara Mas Arga mengagetkanku yang tengah berjongkok. Buru-buru kutaruh kembali map itu, kemudian berdiri. Untung baju
Pagi hari. Aku bangun dengan semangat empat lima. Sudah lama, aku tak merasakan bangun di atas jam 5 pagi. Biasanya, sebelum jam 4, nenek lampir itu akan membuat seisi rumah heboh dengan menjatuhkan panci dan kawan-kawannya. "Pagi, Ma," ucapku kala melihat malaikatku itu tengah berada di dapur. "Pagi," jawab Mama. Aku membantu Mama mengiris kol dan wortel. Rencananya akan membuat bakwan, makanan kesukaanku. "Ma, kalau misalkan Papa menikah lagi, apa Mama bakal marah?" tanyaku. Mama seketika berbalik menatapku. Keningnya berkerut. "Tentu. Kenapa? Apa si Arga mengkhianatimu dan akan menikah lagi?" Pertanyaan Mama membuatku terdiam, kemudian menggeleng. "Nggak, Ma. Cuma nanya aja. Temen Rain ada yang mengalami nasib kaya gitu. Dia sama kayak Rain. Menikah karena dijodohkan. Tapi, nasibnya tak sebaik aku." Aku menunduk. Ada rasa perih yang menjalar dalam dada. Ya Allah, jika tahu akan begini, aku tak ingin menikah dengannya. "Lho, sejak kapan Raina di sini?" tanya Papa yang bar
"Assalamu'alaikum," ucapku dan Bapak secara bersamaan masuk ke dalam rumah. "Wa'alaikum salam. Lho, sudah pulang?" tanya Mama ramah. Wajah datarnya tadi hilang seketika. Ibu kenapa?"Iya, Bu. Lho, Mas, Shelina, kenapa kalian ke sini?" tanyaku datar. "Dek, ayo pulang." Dek? Jarang sekali dia memanggilku dengan sebutan itu. Kebanyakan ia memanggil nama panggilanku. Rain. "Ngapain? Aku masih betah di sini.""Dek, jangan begitu. Ibu nanyain kamu terus." 'Apa mereka sudah kelaparan, Mas? Sehingga kamu mencariku?' tanyaku dalam hati. "Apa Ibu merindukanku?" tanyaku padanya. "Iya, tentu. Bukankah kamu menantu yang paling mengertinya?" 'Maksudmu, karena aku mengerti keadaan rumah yang kotor harus selalu dibersihkan dan dibereskan?' tanya batinku."Memangnya, Ibu nanya apa, Mas?" tanyaku lagi. "Iya, katanya sepi nggak ada kamu, Dek," jawabnya dengan wajah menunduk. Khas seperti orang yang bersalah.'Apa karena tak ada yang bisa diteriakinya, Mas?' "Oh, begitu. Ya sudah, nanti aku pul
Aku sudah kembali ke rumah ini, dua hari yang lalu. Seperti biasa, aku melakukan semua pekerjaan rumah ini sendirian, tanpa bantuan siapapun. Semua orang, mungkin kini tengah bersiap untuk menghadiri pernikahan kedua Mas Arga. Aku tersenyum, membayangkan apa yang akan terjadi nanti. "Mbak, mana sarapan!" Gadis itu, ingin kutoyor saja kepalanya! "Kamu gak lihat, Mbak lagi ngapain? Ambil sendiri. Sudah Mbak bikinkan nasi goreng," ucapku sambil mencuci piring bekas semalam mereka berpesta. Ya, mungkin untuk merayakan malam pernikahan Mas Arga dan Shelina, mereka semalam begadang sampai tak tahu waktu. Aku mengurung diri di kamar, tak berminat ikut. Toh seandainya ikutpun, yang ada aku hanya akan dijadikan babu gratisan. Sudah cukup selama ini! Megan menghentakkan kakinya berjalan ke dapur, lalu mengambil piring dengan wajah cemberut dan bibir monyong. Aku terkikik geli. "Ada yang lucu, hah?" tanyanya nyolot. Kusudahi mencuci piring karena memang semuanya sudah beres, lalu mengel
Pagi ini, aku dengan ditemani Mama akan berangkat menuju kantor notaris. Di sana, juga sudah ada pengacara keluarga Mas Arga. "Kamu sudah siap? Yakin akan melakukan ini?" tanya Mama."Tentu, Ma. Aku tak ingin terus menerus dijadikan babu di sana," ucapku sambil menyetir mobil Mama. "Babu?" Aku terdiam. Duh, keceplosan. Dasar mulut tak bisa direm! "Yaa kan, kalau Raina jadi istri Mas Arga, di sana harus menyiapkan segela kebutuhan-""Seluruh keluarganya?" potong Mama dengan cepat. Aku diam lagi. Memang Mamaku ini instingnya begitu hebat. "Nggak lah, Ma. Hanya Mas Arga saja." "Rain.""Ma, percaya sama Raina." "Apa kamu baik-baik saja? Selama menikah pun, kamu tak pernah bercerita apapun pada Mama. Sampai Mama mengira bahwa rumah tanggamu baik-baik saja." "Maaf, Ma.""Nah, kan, bener? Kamu selama ini dimanfaatin sama keluarga itu?" Bodoh! Seharusnya aku tak terpancing dengan jebakan Mama. Aku hanya menggeleng lemah."Stop di sini.""Kenapa?""Mama punya rencana. Batalkan janj
"Eh, anu. Jadi dari kecil, Shelina sama Arga ini udah main bareng. Jadi, biasa manggil Ibu," jawab Ibu tergagap. "Oh. Saya nggak disuruh duduk, nih?" "Eh? Iya, duduk, Besan." Kami semua duduk. Mas Arga tampak berdiri dan menyalami mertuanya ini. Aku diam saja, tak menggubrisnya. "Arga, ajak istrimu ini jalan-jalan. Kayaknya kusut banget kaya orang ditinggal lakinya kawin lagi."Uhuk-uhuk! Shelina yang tengah melanjutkan makan jeruk, malah terbatuk mendengar ucapan Mama. "Ma-maksud Mama apa?" "Ya nggak. Lagian dari tadi si Rain ini bengong terus. Mama malah ketemu sama dia lagi duduk di depan mini market. Melongo aja." Duh, Mama! Kenapa bikin aku seolah ngenes gitu, sih? Gimana kalau mereka mikirnya aku depresi karena ditinggal Mas Arga nikah lagi? "Oh, iya, Shelina sudah punya pacar? Tante punya keponakan, lho. Ganteng. Cocok sama kamu.""Shelina ini sudah punya tunangan, Besan. Jadi terpaksa saran besan saya tolak," jawab Ibu."Ya nggak papa kali, Bu. Lagian keponakan Rain i
BAB 58 Aku tak bisa tinggal diam saja ketika melihat suamiku diharapkan oleh perempuan lain. Terlebih ini adalah oleh wanita di masa lalu Mas Uji. "Ayo, Na, kita teruskan jalan-jalan. Misi ya, Nak Riris." Seperti ada kekecewaan di kedua manik hitam perempuan manis itu. Seolah-olah mengharapkan sesuatu yang memang sangat ia inginkan. "Umi duluan, Nana mau ngobrol dulu sama Mbak Riris." Riris membeliakkan matanua seakan bingung dengan keinginanku. Aku meminta Umi untuk menunggu di warung dekat lapangan. "Ada apa, Mbak?" tanya Riris. "Begini ya, Mbak Riris. Aku tak ingin menggunakan cara kasar. Singkatnya saja, tolong jauhi suami saya. Mbak Riris sudah tahu Mas Uji memiliki seodang istri, kenapa masih mengharapkannya?" tanyaku pada Riris yang langsung menunduk. Kupikir, wanita itu mengerti, namun ternyata tidak. Ia justru terkekeh mendengar ucapanku. "Lantas, kalau dia sudah menikah memang kenapa? Banyak kok, pernikahan yang hancur karena orang ketiga." Dadaku berdebar kencang
"Eh, Nak Raina. Nggak papa, tadi Bibi salah ngomong. Kalau begitu, aku pulang dulu ya mbak, soalnya bentar lagi mau ada tamu. Maaf gak bisa ngebantu dulu," ucap Bi Waroh. Umi menggelengkan kepalanya, Aku hanya bisa beristighfar dan mencoba sabar untuk menghadapi bibinya Suamiku itu. Aku sadar, jumlah manusia itu banyak dan tak mungkin semuanya itu menyukai kita. Ada saja permasalahan yang terjadi, meski kita hanya diam saja. "Mau masak apa, Mi? Biar Nana bantu." "Nggak usah, Na. Umi bisa melakukannya sendiri, lagi pula kamu di rumah Mama kan nggak pernah ngapa-ngapain, Masa Iya Umi mau menyuruh-nyuruh kamu." Aku terkekeh, memang banyak orang yang mengira jika Mama terlalu memanjakan aku. Padahal sebenarnya tidak, karena aku pun mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya anak pada umumnya ketika di rumah. "Nggak, Mi, Nana juga sering masak di rumah. Enak masakannya, Mi," ucap Mas Uji sambil keluar dari kamar. "Iyakah? Wah Umi nggak tahu, Ayo kalau gitu sini, Na, bantu kupaskan kentan
BAB 56 "Maafkan Riris, ya, dia memang terkenal pendiam. Jadinya begitu," ucap Bu Ina. Pendiam? Dari mananya? Terlihat sekali jika anaknya itu memendam perasaan pada suamiku. "Iya, Bu, nggak papa," jawabku. Mas Uji mengajakku keliling kampung lagi. Kampung suamiku memang sangat asri lingkungannya. Banyak pepohonan yang masih rindang. "Mas, Riris beneran pendiam?" tanyaku. "Iya, memang begitu. Kenapa?" "Nggak papa." Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di rumah. Rupanya, Umi sudah membuatkan kudapan. Aku jadi tak enak, karena tak membantunya. "Maaf ya, Umi, Raina nggak bantuin." "Nggak papa, Nak Rain. Ayo, dimakan." Aku mengangguk, kami lalu lanjut mengobrol tentang masa-masa Mas Uji setelah pindah dulu. Ternyata, Umi tak jauh berbeda. "Sudah, Mi. Uji malu, ah." Umi terkekeh, lalu mengajakku untuk ikut pengajian nanti malam. Sementara Mas Uji berlalu untuk mandi sore. "Di mana, Mi?" tanyaku. "Ada di mushola, tadi Uji ngajak ke sana, nggak? Ke guru ngajinya U
BAB 55Aku kembali ke kamar. Perasaan senang yang tercipta dari rumah tadi mendadak menguap begitu saja. Hatiku sakit saat lagi-lagi mendapat hinaan semacam itu. Meski tak diucapkan secara langsung, tapi itu bisa membuatnya lebih sakit hati. "Kenapa balik lagi?" tanya Mas Uji. "Oh, nggak papa. Ada Bik Waroh di belakang," jawabku. "Apa Bik Waroh ngomong yang nyakitin hati?" tanya Mas Uji sambil memegang pundakku. "Nggak, Mas. Cuma aku memang agak capek aja." "Oh, ya sudah, istirahat. Kamu kan akhir-akhir ini sering bolak-balik ke toko. Belum ke toko cabang. Jadi, selama di sini, kamu bisa istirahat." Aku mengangguk. Kantor Mas Uji dengan rumah Umi jauh lebih dekat daripada dari rumahku. Itu sebabnya, aku menyetujui ketika kami akan tinggal di sini selama seminggu. Aku keluar kamar, lalu melihat foto keluarga yang sepertinya sudah lama diambilnya. Di sana ada almarhum bapak mertua. "Sayang sekali, Raina nggak bisa bertemu dengan Bapak," ucapku sambil mengelus bingkai fotonya. "
Aku menghela napas, ragu akan menjelaskan semuanya. Bukan tidak mungkin, Mas Uji malah akan menuduhku melakukan alibi untuk menutupi semua kesalahanku. "Laki-laki emang begitu kalau sudah cemburu, Na. Dulu saja Papamu begitu." "Iyakah? Mama kan nggak punya mantan suami," ucapku sambil cemberut. "Kata siapa? Mama punya." "Hah? Serius? Lalu, apa Raina bukan anak Papa?" tanyaku dengan sendu. "Hust! Ngawur. Kamu ya anak Mama dan Papa. Dulu, Mama dijodohkan. Nggak lama pernikahan, cuma bertahan satu bulan aja. Mama kabur dan nggak mau kembali ke rumah itu. "Wah, Rain baru tahu soal ini, Ma." "Memang sengaja dirahasiakan. Buat apa? Mama jadi kepikiran sama kamu. Kenapa nasib kita sama? Apa ini karma dari perbuatan kami di masa lalu?" "Tidak, Ma. Ini sudah takdirnya. Dulu, pas Raina menikah dengan Mas Arga, itu sebuah kesalahan sehingga pernikahan pun gagal. Semoga dengan Mas Uji ini, kami bisa akur." "Aamiin. Ya sudah, Mama masuk dulu. Sudah adzan magrib." Aku mengangguk, lalu ik
"Mas?'" ulangku. Aneh, Mas Uji bahkan tak melirik sekalipun. Aku menghela napas, lalu segera mandi. Sebaiknya aku memang membersihkan diri terlebih dahulu, sebelum aku bertanya padanya. Usai mandi, masih kulihat Mas Uji di depan layar laptopnya. Ia bahkan tak bersuara sama sekali. "Mas, kamu kenapa sih?" tanyaku. "Kamu nanya aku kenapa? Harusnya aku yang nanya, kamu kenapa? Apa kamu mau kembali ke mantan suamimu?" Aku mengerutkan kening saat mendengar ucapan Mas Uji. Apa maksudnya? Kapan aku bilang akan kembali ke mantan suamiku? Jika pun iya, aku pasti sudah gila. Atau jangan-jangan.... "Mas apa kamu tadi-" "Ya, aku melihatmu masuk ke rumahnya Arga, mantan suamimu." Aku tersentak mendengar teriakan Mas Uji. Apakah ia cemburu? Seandainya iya, bukankah harusnya bicara pelan-pelan?"Dari mana kamu tahu, Mas?" "Jelas aku tahu, karena aku mengikutimu dari belakang," jawab Mas Uji. "Apa?" "Kenapa? Aku mau turun di toko, tapi ngeliat mobilmu pergi. Kupikir kamu mau pulang, terny
, “Lho, Raina. Ayo masuk dulu,” ajak mantan mertuaku.“Nggak usah, Bu. Raina ada janji dengan suami. Jadi langsung saja,” ucapku.“Apa karena kesalahan di masa lalu, makanya kamu nggak mau lagi silaturahmi dengan kami, Rain? Apa suami barumu itu melarangmu bergaul dengan orang lain, sehingga kamu begini?”“Bukan begitu…”“Kalau begitu, ayo masuk.”Megan menatapku dengan tidak enak, melihat itu aku jadi tak tega dengannya dan akhirnya masuk ke dalam rumah yang penuh dengan kenangan pahit itu. setelah mengembuskan napas, aku akhirnya duduk. Teringat beberapa bulan yang lalu aku bahkan sempat dijadikan babu gratisan di sini.“Kakak ambilkan minum dulu ya, Rain.”Aku hanya mengangguk saja. Bukan hanya Kak Diana, tapi Ibu pun ikut pergi ke belakang. Megan segera mendekatiku dan meminta maaf karena telah menuimbulkan rasa tak nyaman ini.“Iya, nggak papa. Tapi habis ini pulang, ya?” pintaku.“Iya, Kak. Megan juga sudah kangen sama Mama,” jawabnya dengan tersenyum lebar.
, BALASAN UNTUK SUAMI PELIT—Aku masih berpikir keras, haruskah kukirim pesan pada Arlan? Tapi, apa yang akan aku ucapkan? Ah, sudah lah. Yang terpenting sekarang, aku sudah memiliki nomor lelaki itu. Kulihat kembali nomor lelaki yang sanggup membuat jantungku berdebar itu. Ya Allah, sesungguhnya aku tak boleh begini, tapi hamba tak bisa mengendalikan perasaan ini.Pagi hari.Kak Raina melihatku dengan senyum merekah, membuatku menjadi salah tingkah. Apakah Mas Uji memberitau semuanya padanya? Jika iya, maka aku bisa-bisa abis diledeki olehnya.“Kenapa, Kak?” tanyaku, sambil bergeser karena terus dilihat dari tadi.“Nggak papa, kok. Megan nggak jadi nginap semalam.”“Iya, Kak, hujan lebat juga, kan?”Kak Raina mengangguk, kukira ia akasegera berlalu dan menyusul suamiya di depan karena sudah agak siang. Namun ternyata aku salah, ia malah semakin mendekatiku, dan sudah dipastikan hal apa yang akan ia lakukan.“Cie, nemu tambatan hati baru nih, ye!”Aku hanya mendeli
Ia tengah chattingan dengan Nur. Adikku itu ternyata curhat dan nanya-nanya soal lelaki yang kemarin datang ketika lamaran.Namun, kenapa Mas Uji sampe tersenyum seperti itu?"Rain, ngapain?"Aku panik, segera kubuka aplikasi facebook. Berpura-pura tengah melihat akun sosial media miliknya."Nggak papa. Pengen liat sosial media suamiku aja. Ga boleh emang?"Mas Uji tersenyum, lalu berjalan menuju lemari. Bukannya dia tadi mau mandi?"Mas nggak jadi mandi?" tanyaku."Handuknya ketinggalan, Adek Sayang," ucapnya sambil mencubit pipiku.Ish, lelaki ini! Mau sampai kapan gombalin dan bikin jantungku berdetak tak karuan?"Sudah ah, mandi sana!"Mas Uji tergelak melihat tingkahku yang menjauhkannya dariku. Kemudian ia pergi setelah sebelumnya mengacak rambutku.Aku merebahkan diri di atas kasur. Setelah bercerai dengan Mas Arga, aku lebih posesif pada Ma