"Nak, jika Ayah menelpon angkat ya, maaf Ayah ga bisa ngasih apa-apa untuk saat ini." Ahza segera merapikan tasnya hendak pamit pulang."Iya ga apa-apa, Yah, hati-hati di jalan ya," Balas Fatimah sendu.Sejujurnya ia masih rindu dengan mereka. Namun, terlalu lama berada di sana juga untuk apa, masih ada beberapa waktu lagi untuknya berkunjung.Lebih tepatnya rasa rindu itu terhalang oleh status, meski ia ayahnya anak-anak, tapi ia bukan lagi mahram dari ibundanya."Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam," jawab mereka serempak.Tiba-tiba Uwais menyambut seorang tamu yang dipastikan berjenis kelamin laki-laki tersebut, pemuda itu menuntunnya untuk masuk.Seorang lelaki yang berumur sedikit lebih muda dari Ahza. Namun, tak ada garis-garis penuaan yang nampak di wajahnya, lelaki itu duduk di kursi bersebelahan dengan putra sulungnya."Uwais, Om hanya mau mengantarkan ini," ucap lelaki itu seraya menyerahkan sebuah map ke tangan Uwais.Ahza penasaran, ia menatap benda yang kini dipegang ol
"Emm ... ini dari ... temenku, Mas." Wirda berbohong."Teman lelaki?" Ahza menatap tajam istrinya yang sedang gelagapan, dari gerakan tubuh ia sudah menebak jika wanita di hadapannya sedang berbohong."Bukan, aku mau ke kamar Mama dulu ya, Mas, dia pasti sendirian sejak Mbak Ami pulang," jawab Wirda mengalihkan perhatian.Mbak Ami adalah seorang penjaga Mama ketika Wirda sedang berjualan, wanita paruh baya itu yang menemani sang Mama juga yang menyiapkan segala kebutuhannya."Aku tahu kalung itu dari Deri mantan kamu 'kan?" Wirda menghentikan langkah merasa terkejut kenapa suaminya bisa tahu asal-usul kalung ini, lekas ia berbalik badan mendekati Ahza."Tau dari mana, Mas? jangan so tahu," jawab Wirda sambil mencebik."Aku tahu semuanya, Wirda! Bahkan lelaki itu kerap memberimu uang lebih 'kan, dia cukup cerdik selalu menemuimu saat aku ga ada di warung," Ahza mendelik.Wirda hanya mendengkus, menatapi wajah suaminya penuh kekecewaan."Aku tanya kamu dari mana tadi sampai pulang sore
Pagi-pagi sekali Wirda segera mengemasi barang-barang miliknya, wajahnya merah padam menahan amarah, semua ia masukkan ke dalam koper dan tas besar, air matanya mulai menitik kala mengingat dirinya akan segera berpisah dengan Ahza, lelaki yang pernah membuatnya sangat jatuh cinta.Bukan salahku, tapi salahnya sendiri yang tak pernah mau membuka mata untuk menerima kehadiranku, batin Wirda.Ia menatap lelaki yang terbaring diatas ranjang sana dengan derai air mata, sebentar lagi dirinya hanya akan menjadi bagian dari masa lalu Ahza, ia menyadari ternyata menjalani rumah tangga yang diwali dengan kecurangan dan kedzaliman tidak akan berjalan mulus, sekalipun itu sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.Rumah tangga ini bagai sebuah siksaan baik bagi Wirda ataupun Ahza, mereka tak ada yang merasa tentram dan bahagia, Ahza sibuk dengan penyesalannya sendiri, sedangkan Wirda merasakan lelah yang tak berkesudahan, karena terus menunggu Ahza menerimanya.Wirda mengayunkan langkah perlahan, takut
Hari senin merupakan hari hari yang dipilih oleh Fatma untuk melangsungkan acara sakralnya, setelah sekian purnama ia menyendiri, akhirnya ia melabuhkan cintanya pada seorang Zhafran, tanpa melalui banyak drama seperti pasangan pada umumnya.Mereka diperkenalkan oleh Uwais yang merupakan pernah menjadi gurunya ketika menempuh pendidikan strata satu, keduanya dipertemukan melalu jalan ta'aruf, tak ada komunikasi diantara mereka sebelum terjadinya pernikahan, semua komunikasi dilakukan melalui perantara orang ketiga yakni, Uwais.Lelaki itu mapan dan berpendidikan, usianya sedikit lebih muda dari Ahza, Antara Zhafran dan Fatma hanya terpaut usia dua tahun.Zhafran adalah seorang duda beranak dua, kisah hidupnya hampir memiliki kesamaan dengan Fatma, yaitu melajang dalam waktu yang lama.Hanya saja Zhafran menduda karena pernah ditinggal mati oleh istri pertamanya, lelaki itu fokus membesarkan dan mendidik kedua putrinya yang kini sudah menikah, ia bertekad tidak akan menikah sebelum ked
Fatma terus memperhatikan wajah yang sedang fokus menunduk itu dengan seksama, dugaanya sempurna kala wanita itu mendongkak hingga wajahnya terlihat jelas, ya, itu Wirda tidak salah lagi."Mas, aku permisi sebentar ya, mau menemui perempuan itu," ucap Fatma pada suaminya."Oh silakan," jawab Zhafran mengangguk ramah.Fatma melangkah dengan sedikit tergesa takut kehilangan jejak wanita itu."Wirda," sapanya.Lekas Wirda mendongkak dan akhirnya mereka saling memandang beberapa saat."Fatma," jawab Wirda, ia memang tidak mengenali tubuh Fatma, tetapi suara itu ia masih ingat."Iya, Wirda, kamu ngapain di sini?" tanya Fatma ramah, seolah tak pernah terjadi apapun diantara mereka."A-aku ... sedang bekerja." Wirda tertunduk malu.Bertemu dengan mantan kakak madu dalam keadaan seperti ini memang membuatnya sedikit minder, ia tidak menyangka akan bertemu dengan Fatma kembali."Kamu jadi ....""Ya, aku petugas catering, Mbak." Mereka saling memandang, mata Wirda sedikit berkabut, ia merasa me
"Bun, sebelum berangkat kita temui Ayah dulu ya, aku sudah kirim pesan WA, tapi ga dibaca di telpon juga ga tersambung, aku khawatir, bisakah kita pergi ke rumahnya?" tanya Fatimah.Rencananya lima hari lagi kedua kakak beradik itu akan terbang ke negri tempatnya mencari ilmu. Namun, mereka merasakan firasat buruk tentang sang ayah yang tak kunjung memberi kabar.Sejujurnya Uwais pun merasakan hal yang sama dengan adiknya, akan tetapi ia tak terlalu terbawa oleh perasaan tersebut, dan lebih memilih menyibukkan diri mempersiapkan keberangkatannya juga mengurus bisnis sang Bunda bersama pamannya, Fatan."Kamu yakin, Dek, mau berkunjung ke rumah Ayah?" tanya Uwais sambil mengerutkan dahi."Iya, Kak, aku pengen banget lihat rumah yang kalian tinggali waktu masih bersama," jawab Fatimah mengiba, ia tak pernah ingat bagaimana hari-hari yang pernah dilalui di rumah itu karena usianya masih tiga tahun."Gimana, Bund?" tanya Uwais."Ya sudah kita berangkat aja besok ke rumah Ayah kalian, biar
"Astaghfirullah, mengerikan sekali," ungkap Zhafran tak kalah panik."Bunda, jangan-jangan itu ...." ucapan Fatimah terhenti"Ayaah!" tariak Fatan, ia yakin jika mayat yang sudah membusuk itu merupakan ayah yang selama ini dibencinya."Ayaaaah! Astaghfirullah, Astaghfirullah, Bunda itu mayat Ayah, dia meninggal seorang diri tanpa diketahui siapapun, astaghfirullah," teriak Fatimah sambil terisak-isak.Mereka semua menangis, bau amis yang tercium begitu menyengat seolah tak terhirup lagi."Bunda gimana ini? itu pasti Ayah, kalau bukan Ayah siapa lagi coba." Fatimah terisak di pelukan sang Bunda."Gimana ini, Mas?" tanya Fatma kebingungan."Mas akan lapor polisi, kalian di sini beritahu para tetangga," usul Zhafran.Setelah sepakat, Zhafran pergi ke kantor polisi terdekat sementara Fatimah dan putra-putrinya segera berlari keluar berteriak minta tolong, tak menunggu waktu lama para tetangga muncul berdatangan hingga halaman rumah itu penuh oleh orang-orang yang berkumpul."Ada apa ini,
Sejak dua Minggu Ahza di kebumikan, rumah dua lantai yang dahulu merupakan simbol cinta, kasih sayang, dan harapan itu dikosongkan, baik Wirda ataupun Fatma tak ada yang mau menempati.Fatma berencana akan merenovasi rumah itu kemudian mengontrakannya pada orang lain. Namun, rencana itu belum terealisasi hingga saat ini, karena dirinya disibukkan dengan urusan yang lain.Sementara Wirda memilih pergi dan tinggal di rumah kecil di sebuah desa bersama sang Mama yang mana kondisinya semakin memburuk.Di sana Wirda membuka usaha warung kecil-kecilan sebagai penunjang hidupnya, selepas lelaki yang bernama Deri beringkar janji, Wirda lebih memilih pergi sejauh mungkin melupakan semuanya.Wanita yang berumur hampir kepala lima itu terdiam di teras rumahnya sambil menunggu warung yang tak juga dikunjungi pembeli, teringat ucapan Deri dua hari yang lalu."Maafkan aku, Wirda, ga bisa tepati janjiku waktu itu," ucap seorang Deri, lelaki yang berumur tak jauh dengan Ahza . Namun, ia masih terliha
"Oke kalau gitu, saya nggak akan ambil uangnya lagi, Bapak ambil aja.""Baiklah, Pak."Saat itu juga Uwais langsung pergi ke kos-kosan tempat Anisa, dia menemui pemilik rumah kos kosan untuk bertanya perihal gadis yang membuat perasaannya tidak tenang "Saya nggak tahu soal itu, lagi pula Anisa juga nggak ada bilang apa apa sama saya, kirain dia masih di dalam kamarnya.""Ya ampun." Uwais mengusap wajahnya, dia benar benar merasa khawatir."Memangnya ada apa gitu?""Saya curiga Anisa diculik seseorang, Bu.""Hah, masa sih?""Saya pergi dulu, Bu.""Nak, kau telpon saja polisi."Uwais hanya menoleh sekilas.Ribet banget harus telepon polisi segala, belum harus nunggu 24 jam Setelah Anisa pergi lalu harus ada bukti kuat, lebih baik kucari sendiri.Naik ojek online, Uwais pergi ke rumah salah satu temannya yang paham IT, dia memberikan nomor ponsel Anisa untuk melacak keberadaan saat ini, tentunya sebelum itu Uwais melakukan basa basi."Di sini nih tempatnya."Akhirnya nomor ponsel gadis
Ayah dan anak yang selama ini nampak akrab itu kini mulai saling memandang dengan tajam, Uwais kecewa karena ternyata semua ayah di dunia ini sama, baik itu ayah kandung yang dulu sudah menelantarkannya, juga ayah tiri yang kini boleh mengungkit ngungkit pemberiannya.Kalau tahu akan begini lebih baik dahulu Aku tidak pernah mengizinkan ibuku menikah dengan siapapun, lagi pula kau sanggup menghidupinya sebagai balas jasa karena ia sudah membesarkan seorang diri, begitu pikir Uwais."Nak, tenangkan dirimu ya." Fatma berdiri lalu mengelus bahu Uwais.Amarah yang akan meledak itu seketika pudar mendengar suara lembut yang keluar dari bibir Fatma, sejak dulu Jika ada masalah apapun dia memang tidak pernah mengeluarkan suara tinggi ataupun bicara kasar."Baiklah, Bi, aku akan pergi nggak bawa apa-apa, termasuk supermarket yang selama ini disokong oleh Abi, ambil aja, aku masih bisa cari uang dengan cara lain yang penting itu halal dan tidak menzalimi orang lain." Uwais tersenyum tipis.Sej
"Gimana Zhafran? Apa penyesalanmu itu ada gunanya?"Lelaki itu mengalihkan pandangannya, dia juga seorang lelaki normal, satu tahun yang lalu ketika bisnis mereka untung besar, kantor mengadakan pesta yang dihadiri oleh karyawan penting saja, Zhafran sempat mabuk berat dan dibawa ke sebuah kamar hotel lalu dengan lancangnya Selly masuk ke kamar pria itu, menggodanya mati Matian hingga dia mau mengga gahi Selly untuk pertama kali.Perempuan itu tidak bo doh, dia mengabadikan momen itu dengan ponselnya lalu menyimpan rapi dalam sebuah folder untuk dijadikan senjata, Selly yang ambisius sangat ingin menjadi Nyonya Zhafran yang kaya raya, tidak peduli walaupun dia sudah beristri, toh dia tidak pernah melihat wajah istrinya seperti apa karena selalu tertutup cadar, Selly berpikir jika Fatma adalah perempuan tua seperti kebanyakan ibu ibu lainnya karena sudah memiliki anak gadis dan bujang yang beranjak dewasa.Namun, ternyata Zhafran tidak sebodoh itu, sedikit pun dia tidak tertarik menjad
27Hiruk pikuk orang orang di pelabuhan ini membuat Uwais bisa melangkah perlahan tanpa takut dilihat oleh Zhafran dan yang lainnya, bagaimana pun juga Uwais ingin tahu sebenarnya untuk apa Anisa berada di tempat ini? Dirangkul lelaki pula? Apakah memang wanita itu tidak baik seperti kata ayahnya?Dia terus mengendap ngendap bahkan sekarang sudah mulai memakai masker walau wajahnya berkeringat banyak karena terkena teriknya sinar matahari di siang hari.Setelah hampir mendekat Uwais hampir mendengar jelas percakapan mereka, diabtidka terima seorang pria yang berada di hadapan Anisa menyentuh pipi gadis itu, entah kenapa ada rasa cemburu menyelusup ke dalam hatinya, dia pun melangkah lebih dekat lagi "Beneran dia masih pe ra wan ini?""Masih lah segelan, kalau ternyata udah jebol nanti duit kembali lima puluh persen.""Beneran nih ya duit kembali.""Kapan sih gua bohong."Uwais tercekat saat mendengar percakapan Zhafran dan lelaki itu, ternyata Anisa memang benar akan dijual dan mungk
"Tunggu!" Orang orang yang menyeret Anisa langsung menoleh, sementara gadis itu masih meronta ronta sambil menatap Uwais, untuk beberap detik mereka saling berpandangan."Ngapain kalian kasar sama perempuan? Dia itu temanku!"Lalu salah satu lelaki menyorotkan senter ke wajah Uwais hingga lelaki itu merasa silau."Kau kan anaknya Tuan, ngapain di sini?""Mau nyusul temenku, lepaskan dia."Beberapa orang lelaki itu saling berpandangan nampak bingung karena bagaimanapun juga perintah Zhafran pantang dilanggar."Bicarakan saja sama Tuan, urusanku cuma menangkap perempuan ini, dia masuk ke dalam ingin mencuri.""Hah?"Uwais langsung menatap Anisa, rasanya tidak mungkin gadis selembut dia harus mencuri, begitu pikir Uwais."Aku nggak mencuri! Aku mau menyelamatkan ….""Diam! Masuk ke dalam sekarang juga! Silakan Anda bicara dengan Tuan Zhafran, saya nggak mau disalahkan."Melihat Anisa kembali diseret Uwais langsung masuk ke dalam berlarian entah ke mana, beberapa kali dia menghadang para
Pagi itu Wirda sudah tak sabar menanti kedatangan Uwais, pasalnya malam tadi dia langsung pulang ke rumah karena sudah kemalaman dan kelelahan."Mbak, aku sudah agak enakan kalau mau pulang silakan, aku bisa sendiri kok."Fatma menatap Wirda dengan getir, pagi ini Wirda memang terlihat lebih bugar, baru satu malam saja sudah ada perubahan pada tubuhnya lain lagi ketika dirawat di rumah sakit kemarin Wirda lebih banyak tidur dan susah bergerak."Besok deh aku pulang ya, biar yang jaga gantian sama Uwais, hari ini dia ngajar dulu nanti siang baru kemari katanya.""Ngajar di mana, Mbak?" "DI sebuah universitas, Wir, ini hari pertamanya setelah kembali dari Madina, kamu sabar ya.""Oh hebat banget ya anak Mbak, punya bisnis jadi dosen lagi, iya deh aku sabar, tapi gimana suami Mbak?""Tidak hebat tapi Allah yang karuniakan kelebihan itu padanya." Dia tersenyum.Sejak dulu Fatma memang tidak pernah membanggakan dirinya ataupun prestasi anak anaknya pada orang lain, itu semua untuk menjaga
Uwais yang baru datang ke rumahnya mendadak merasa lemas, Serapi itu sang ayah tiri menyembunyikan kebusukannya hingga dia dan ibunya tidak tahu apa apa, dia benci dibohongi sekaligus bingung harus bagaimana karena Uwais bukan tipe pemarah yang meledak ledak, dia cenderung seperti Fatma yang menghadapi segala masalah dengan kepala dingin, begitulah didikan ibunya.Tidak ada suara lagi di dalam sana entah sedang apa Zhafran di dalam, Uwais pun memilih masuk ke kamar, dia membuka laptop dan mulai melakukan pencarian tentang bisnis sang ayah.Malam harinya dia mendatangi Fatma di rumah sakit, untuk saat ini Uwais hanya bisa menghindar dari pada bertatap muka."Mau ke mana, Nak?""Nyusul Umi, aku mau nyuruh dia pulang dulu.""Nggak makan malam dulu?" "Aku makan di luar aja, pergi dulu ya, Bi." Seperti biasanya Uwais selalu mencium tangan orang tua jika hendak bepergian, Zhafran pun tidak curiga jika anaknya itu telah mengetahui kebusukannya"Iya hati hati, pakai mobil Abi aja ya.""Aku n
Mobil Uwais masuk ke jurang tetapi beruntung sekali mobil itu tersangkut di sebuah batu besar, para warga yang sedang di kebun dan pengendara mobil lain berbondong-bondong turun ke bawah "Sepertinya kita harus lapor polisi.""Iya lapor saja."Sementara yang lain berusaha menyelamatkan Faisal yang terjepit di dalam mobil, lelaki itu tidak sadarkan diri, beberapa orang membuka paksa pintu mobil mulai dari memecahkan kacanya, tetapi setelah pintu terbuka Faisal masih belum bisa dievakuasi karena tubuhnya terjepit body mobil."Susah ini, tunggu polisi saja."Orang orang saling bertanya bagaimana kejadian kecelakaan itu bisa terjadi pada saksi mata."Mobil itu bunyiin klakson keras banget, entah dia lagi mabok atau mengalami rem blong saya nggak tahu, yang jelas dia menghindar," ujar sopir mobil pick up yang tadi hampir saja bertabrakan dengan Faisal.Tidak lama kemudian polisi datang bersama tim evakuasi, mereka menyuruh warga untuk naik ke atas jurang agar tim evakuasi bisa menyelamatka
Gadis muda itu membawa nampan berisi air putih dingin, dia tidak tersenyum hanya menganggukan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Silakan diminum.""Terima kasih, Teh.""Iya.""Kalian ini abis ngapain di atas bukit sana?" Tanya perempuan itu."Oh itu, kita tersesat, oh ya apa kamu tahu tentang bangunan besar di atas bukit itu?' Uwias balik nanya "Bangunan?" Gadis itu nampak tak mengerti "Iya bangunan gede.""Aku nggak tahu, soalnya bukan asli orang sini, aku dan beberapa teman lagi melakukan penelitian buat skripsi.""Oh kirain kamu ustazah di sini." "Bukan lah, saya masuk dulu, nggak enak berduaan.""Eh tunggu." Gadis itu kembali menoleh, hingga mereka saling berpandangan beberapa detik"Iya?""Kita mau pergi sekarang, terima kasih ya.""Oh mau pergi lagi? Sama sama, kalau gitu hati hati.""Iya." Uwais tersenyum sungkan, dia menatap wanita itu, hatinya berontak ingin kenalan."Om, tanya dong nama dia siapa ya?" "Ah tanya aja sendiri, masa gitu aja nggak berani," ledek Faisal