Berpisah lagi dengan kedua buah hatinya merupakan sebuah balasan telak untuk diri Ahza, tubuhnya lunglai mendapati kenyataan jika ia tak bisa memiliki kedua anaknya.Tak bisakah mereka menyayangiku, layaknya seperti anak-anak yang lain? Ah, mengapa aku berharap terlalu tinggi."Fatma kalian mau ke mana lagi?" tanya Ahza sekali lagi, matanya sudah berkaca-kaca, di masa tua ia sangat berharap ada buah hatinya yang akan menemani, tapi nyatanya mereka malah memilih pergi bersama ibundanya.Fatma menghela napas sebelum memulai kata."Begini, Mas, Fatimah dan Uwais sudah mendapatkan beasiswa kuliah di Madinah, ya mau ga mau aku juga akan tinggal bersama mereka di sana, terlebih aku sangat ingin mati di tempat hijrahnya Rasulullah shalallahu alaihi wa salam itu," jawab Fatma.Seketika Ahza menyenderkan punggungnya di kursi, runtuh sudah harapannya untuk bisa menua bersama anak-anak, pandangannya lurus ke depan kabar ini cukup mematahkan harapannya."Tapi aku dengar dari kerabatmu kalau Uwai
Memang benar, setiap perbuatan itu akan ada balasannya baik di dunia dan di akhirat, Fatma tidak pernah membalas seperti kebanyakan wanita di luar sana, yang mana akan membalas dan mengambil hak miliknya.Namun, Fatma tidak lakukan itu karena ia yakin terhadap Tuhannya yang maha adil, dan terbukti sekarang ia dirundung kebahagiaan, bukan hanya anak-anak yang shalih saja melainkan dengan harta yang berlimpah.Uwais merupakan anak yang berbakti, sehingga seluruh hasil jerih payahnya ia berikan semua kepada sang Bunda, dan Fatma memanfaatkan pemberian anaknya sebaik mungkin.Berawal dari sebuah toko kecil hingga menjadi supermarket yang besar dan berkembang pesat dalam waktu dekat, supermarket yang ia dirikan bersama dengan Fatan ternyata sudah memiliki beberapa cabang di kota ini dan kota sebelah.Semua itu ia raih dengan derita dan air mata kini, Fatma tinggal menikmati masa tuanya dengan banyak beribadah, badai itu telah usai berganti dengan hari-hari yang cerah.Berbeda dengan Ahza,
"Nak, jika Ayah menelpon angkat ya, maaf Ayah ga bisa ngasih apa-apa untuk saat ini." Ahza segera merapikan tasnya hendak pamit pulang."Iya ga apa-apa, Yah, hati-hati di jalan ya," Balas Fatimah sendu.Sejujurnya ia masih rindu dengan mereka. Namun, terlalu lama berada di sana juga untuk apa, masih ada beberapa waktu lagi untuknya berkunjung.Lebih tepatnya rasa rindu itu terhalang oleh status, meski ia ayahnya anak-anak, tapi ia bukan lagi mahram dari ibundanya."Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam," jawab mereka serempak.Tiba-tiba Uwais menyambut seorang tamu yang dipastikan berjenis kelamin laki-laki tersebut, pemuda itu menuntunnya untuk masuk.Seorang lelaki yang berumur sedikit lebih muda dari Ahza. Namun, tak ada garis-garis penuaan yang nampak di wajahnya, lelaki itu duduk di kursi bersebelahan dengan putra sulungnya."Uwais, Om hanya mau mengantarkan ini," ucap lelaki itu seraya menyerahkan sebuah map ke tangan Uwais.Ahza penasaran, ia menatap benda yang kini dipegang ol
"Emm ... ini dari ... temenku, Mas." Wirda berbohong."Teman lelaki?" Ahza menatap tajam istrinya yang sedang gelagapan, dari gerakan tubuh ia sudah menebak jika wanita di hadapannya sedang berbohong."Bukan, aku mau ke kamar Mama dulu ya, Mas, dia pasti sendirian sejak Mbak Ami pulang," jawab Wirda mengalihkan perhatian.Mbak Ami adalah seorang penjaga Mama ketika Wirda sedang berjualan, wanita paruh baya itu yang menemani sang Mama juga yang menyiapkan segala kebutuhannya."Aku tahu kalung itu dari Deri mantan kamu 'kan?" Wirda menghentikan langkah merasa terkejut kenapa suaminya bisa tahu asal-usul kalung ini, lekas ia berbalik badan mendekati Ahza."Tau dari mana, Mas? jangan so tahu," jawab Wirda sambil mencebik."Aku tahu semuanya, Wirda! Bahkan lelaki itu kerap memberimu uang lebih 'kan, dia cukup cerdik selalu menemuimu saat aku ga ada di warung," Ahza mendelik.Wirda hanya mendengkus, menatapi wajah suaminya penuh kekecewaan."Aku tanya kamu dari mana tadi sampai pulang sore
Pagi-pagi sekali Wirda segera mengemasi barang-barang miliknya, wajahnya merah padam menahan amarah, semua ia masukkan ke dalam koper dan tas besar, air matanya mulai menitik kala mengingat dirinya akan segera berpisah dengan Ahza, lelaki yang pernah membuatnya sangat jatuh cinta.Bukan salahku, tapi salahnya sendiri yang tak pernah mau membuka mata untuk menerima kehadiranku, batin Wirda.Ia menatap lelaki yang terbaring diatas ranjang sana dengan derai air mata, sebentar lagi dirinya hanya akan menjadi bagian dari masa lalu Ahza, ia menyadari ternyata menjalani rumah tangga yang diwali dengan kecurangan dan kedzaliman tidak akan berjalan mulus, sekalipun itu sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.Rumah tangga ini bagai sebuah siksaan baik bagi Wirda ataupun Ahza, mereka tak ada yang merasa tentram dan bahagia, Ahza sibuk dengan penyesalannya sendiri, sedangkan Wirda merasakan lelah yang tak berkesudahan, karena terus menunggu Ahza menerimanya.Wirda mengayunkan langkah perlahan, takut
Hari senin merupakan hari hari yang dipilih oleh Fatma untuk melangsungkan acara sakralnya, setelah sekian purnama ia menyendiri, akhirnya ia melabuhkan cintanya pada seorang Zhafran, tanpa melalui banyak drama seperti pasangan pada umumnya.Mereka diperkenalkan oleh Uwais yang merupakan pernah menjadi gurunya ketika menempuh pendidikan strata satu, keduanya dipertemukan melalu jalan ta'aruf, tak ada komunikasi diantara mereka sebelum terjadinya pernikahan, semua komunikasi dilakukan melalui perantara orang ketiga yakni, Uwais.Lelaki itu mapan dan berpendidikan, usianya sedikit lebih muda dari Ahza, Antara Zhafran dan Fatma hanya terpaut usia dua tahun.Zhafran adalah seorang duda beranak dua, kisah hidupnya hampir memiliki kesamaan dengan Fatma, yaitu melajang dalam waktu yang lama.Hanya saja Zhafran menduda karena pernah ditinggal mati oleh istri pertamanya, lelaki itu fokus membesarkan dan mendidik kedua putrinya yang kini sudah menikah, ia bertekad tidak akan menikah sebelum ked
Fatma terus memperhatikan wajah yang sedang fokus menunduk itu dengan seksama, dugaanya sempurna kala wanita itu mendongkak hingga wajahnya terlihat jelas, ya, itu Wirda tidak salah lagi."Mas, aku permisi sebentar ya, mau menemui perempuan itu," ucap Fatma pada suaminya."Oh silakan," jawab Zhafran mengangguk ramah.Fatma melangkah dengan sedikit tergesa takut kehilangan jejak wanita itu."Wirda," sapanya.Lekas Wirda mendongkak dan akhirnya mereka saling memandang beberapa saat."Fatma," jawab Wirda, ia memang tidak mengenali tubuh Fatma, tetapi suara itu ia masih ingat."Iya, Wirda, kamu ngapain di sini?" tanya Fatma ramah, seolah tak pernah terjadi apapun diantara mereka."A-aku ... sedang bekerja." Wirda tertunduk malu.Bertemu dengan mantan kakak madu dalam keadaan seperti ini memang membuatnya sedikit minder, ia tidak menyangka akan bertemu dengan Fatma kembali."Kamu jadi ....""Ya, aku petugas catering, Mbak." Mereka saling memandang, mata Wirda sedikit berkabut, ia merasa me
"Bun, sebelum berangkat kita temui Ayah dulu ya, aku sudah kirim pesan WA, tapi ga dibaca di telpon juga ga tersambung, aku khawatir, bisakah kita pergi ke rumahnya?" tanya Fatimah.Rencananya lima hari lagi kedua kakak beradik itu akan terbang ke negri tempatnya mencari ilmu. Namun, mereka merasakan firasat buruk tentang sang ayah yang tak kunjung memberi kabar.Sejujurnya Uwais pun merasakan hal yang sama dengan adiknya, akan tetapi ia tak terlalu terbawa oleh perasaan tersebut, dan lebih memilih menyibukkan diri mempersiapkan keberangkatannya juga mengurus bisnis sang Bunda bersama pamannya, Fatan."Kamu yakin, Dek, mau berkunjung ke rumah Ayah?" tanya Uwais sambil mengerutkan dahi."Iya, Kak, aku pengen banget lihat rumah yang kalian tinggali waktu masih bersama," jawab Fatimah mengiba, ia tak pernah ingat bagaimana hari-hari yang pernah dilalui di rumah itu karena usianya masih tiga tahun."Gimana, Bund?" tanya Uwais."Ya sudah kita berangkat aja besok ke rumah Ayah kalian, biar