Belum tamat yaaa... Masih lamaaaa... Semoga masih setia dengan karya Chida... Terimakasih
Ini hari pertama Rubi dan Regantara beraktivitas sejak kepulangan mereka dari Bali beberapa hari yang lalu. Rutinitas terbaru Rubi semenjak tinggal bersama Regantara adalah menyiapkan lelaki itu sarapan pagi hingga menyiapkan pakaian kerja untuk Regantara. Setelahnya Rubi akan menelpon Tama menanyakan apakah dia sudah siap ke sekolah, makan dan perlengkapan sekolah semua sudah siap. Tama memang belum mau ikut tinggal bersama Rubi dan Regantara, sedangkan Regantara merasa tak enak hati jika harus tinggal lagi bersama dengan mertua seperti saat dia menikah dengan Debby. Kata Regantara saat itu, dia hanya tidak ingin merepotkan ibu Widya."Kalo begitu Bunda tutup teleponnya ya, nanti siang Bunda jemput Tama kita makan di tempat biasa, mau?""Oke Bunda, itu supir Papa Regan sudah datang. Tama jalan dulu ya," ucap Tama di seberang sana.Baru saja Rubi meletakkan ponselnya, Regantara sudah memeluknya dari belakang."Siapa?" tanya Regantara."Tama, biasa aku cuma pastikan semua perlengkapan
Bono memperhatikan gerak gerik Ayu dari tempat dia berdiri, alisnya terkadang mengerut jika wanita itu melayani para pembeli begitu akrab. Bono masih tak habis pikir dengan keputusan Rubi mempekerjakan Ayu di toko roti miliknya."Heh ... ngelamun aja," hardik Rubi mengagetkan Bono dari belakang."Mbak ... kamu tuh— aduh aku nggak habis pikir loh Mbak sama kamu, kenapa berani banget mempekerjakan orang itu di toko kita," ujar Bono sedikit menkean nada suaranya."Kenapa sih, Bon. Enggak ada salahnya kita kasih kesempatan kedua buat dia. Lagian kasian lagi hamil, mana suami di penjara, uang habis nggak tersisa ... coba kamu pikir, kalo posisi kamu seperti dia atau aku yang seperti itu, apa kamu ya Hnggak kasian." "Iya tapi kan harusnya Mbak bicarakan dulu sama tim, minimal sama aku. Aku kaget loh, Mbak ... apalagi anak-anak." Bono memang kecewa dengan keputusan Rubi, toko roti itu di bangun dengan kerja keras Rubi serta di selingi pengkhianatan Dimas yang bertahun-tahun menyakitinya, l
"Belum tidur?" tanya Regantara yang baru saja masuk ke dalam kamar mereka dan melihat Rubi berdiri di balkon kamar malam itu."Mas ... aku nggak denger kamu masuk," ujar Rubi menghampiri suaminya yang berdiri di depan pintu kaca."Gimana kamu mau dengar aku masuk kalo kamu sendiri asyik dengan lamunanmu. Ngelamunin apa?" tanya Regantara meraih lengan Rubi hingga tubuh istrinya itu berhasil dia peluk."Aku mikirin kamu dan anak-anak," ucap Rubi sambil mendongakkan wajahnya menatap wajah lelaki bertubuh tinggi itu."Kenapa?" tanya Regantara bingung."Kamu dan anak-anak yang terpisah, Arsa dan Kayma di Jakarta sedangkan kamu di sini.""Kan kita sudah tawari mereka, Kayma sendiri yang menolak tinggal dengan kita karena nggak mau Oma dan Opa nya sedih. Sedangkan Arsa sebentar lagi juga akan sama kita setelah dia lulus TK. Aku malah mikirin kamu," kata Regantara."Kenapa aku?" "Karena Tama yang masih satu daerah saja sama kita malah tinggal di tempat berbeda."Rubi menghela napasnya, dia m
"Emang Mas Tama mau tinggal di Jakarta?" tanya Arsa saat Tama baru saja sampai di rumah Wahyu. "Kayaknya enggak, Ar ... kasian Uti kalo Mas tinggalin. Bunda juga sekarang kan tinggal sama Papa Regan." "Tapi nanti kalo Arsa tinggal di Semarang, Mas Tama tinggal bareng Arsa ya." "Iya kan bisa bolak balik kadang di Uti kadang di Bunda," ujar Tama mengacak rambut adik tirinya itu. "Kalo aku lebih pilih tinggal sama Oma Opa aja, pasti lebih asyik di sini. Kapan pun mau ke rumah Mama aku bisa kapan aja dateng nggak harus nunggu Papa libur," kata Kayma dengan nada sedikit kesal. "Kamu nggak suka ya sama Bunda?" tanya Tama. "Suka kok ... cuma aku belum mau aja tinggal sama Bunda Rubi apalagi harus tinggal di Semarang." "Ya terserah kamu aja. Arsa, punya buku apa lagi?" Tama lebih baik mengalah jika harus berdebat dengan Kayma. Baru dua jam yang lalu Rubi dan Regantara sampai di kediaman Wahyu. Irma sudah mempersiapkan kamar untuk mereka, jelas bukan di kamar Debby dan Regantara dulu.
Gundukan tanah berbalut rumput hijau itu sudah di penuhi bunga tabur dan rangkaian bunga kesukaan Debby. Rubi meletakkan tangkai terakhir tepat di dekat nisan putih berukir nama Debby. Setelah membacakan doa, Rubi membelai lembut nisan itu. Di liriknya sesekali Irma menyeka matanya, Kayma dan Wahyu yang tersenyum getir dan Arsa yang mencabuti rumput-rumput liar di makam sang Ibu. Sedangkan Rubi berusaha mencari tahu tatapan mata Regantara yang tertutup kacamata hitam itu. Tak nampak jelas, begitu pun dengan isi di hati suaminya. "Sudah cukup, kita pulang sekarang," ujar Wahyu beranjak dari tempatnya duduk. "Mama, Kay pulang ya ... nanti Kay akan sering-sering kemari," ujar Kayma lalu menggandeng tangan Irma berjalan lebih dulu. "Arsa pulang ya, Ma. Arsa mulai bulan depan akan tinggal sama Papa dan Bunda Rubi. Jadi Arsa kesininya pasti jarang banget, tapi Arsa janji akan selalu doain Mama." Arsa lalu membelai batu nisan dan beranjak pergi bersama Tama dan Wahyu. Rubi menoleh ke arah
Regantara menutup pintu kamar mandi dan berjalan sempoyongan menuju tempat tidur. Harusnya hari ini mereka pulang ke Semarang, namun karena kondisi Regantara sudah dua hari ini demam dan sakit kepala maka kepulangan mereka pun diundur."Ini teh hangatnya." Rubi membawakan teh hangat untuk Regantara diikuti Arsa dan Tama dari belakang."Makasih, Bunda," ucap Regantara yang memaksa untuk tersenyum."Kata Oma, nanti dokter Tio datang. Papa jangan sakit, ya." Wajah Arsa terlihat sedih."Papa cuma masuk angin, kok. Besok juga sembuh," ujar Regantara.Rubi meraba kening Regantara, masih terasa hangat. "Masih mual?" tanya Rubi mengusap punggung suaminya."Masih ... enggak enak banget rasanya. Sepertinya harus di suntik biar cepet reaksinya daripada minum obat terus.""Iya, nanti bilang aja sama dokternya. Biar enakan ....""Papa mau Tama pijetin?" Tama duduk di samping Regantara."Wah, mau dong ... kepala Papa berat sekali.""Arsa pijetin kaki, ya." Arsa naik ke tempat tidur bersiap menyambu
"Sudah belum?" Regantara menunggu Rubi di depan pintu kamar mandi yang tertutup. "Bi, lama banget.""Sabar, Mas ... masa pipis harus di paksa." Rubi berceloteh dari dalam.Setelah dokter Tio meminta mereka untuk melakukan testpack, detik itu juga tanpa sepengetahuan orang di rumah itu, Regantara menyuruh salah satu petugas keamanan di kediaman Wahyu untuk membelikan alat tes kehamilan itu.Setelah menunggu sekitar 10 menit Rubi pun keluar dengan tiga testpack berbeda merk di tangannya. "Gimana?" tanya Regantara.Rubi menyimpulkan senyuman, dia menyerahkan ketiga alat itu pada Regantara."Ya ampun ... serius?" tanya Regantara tak percaya."Aku hamil, Mas." Mata Rubi berkaca-kaca. "Anak kamu ada di sini," kata Rubi langsung memeluk Regantara."Ya ampun ... makasih, Sayang." Regantara memeluk erat istrinya, menciumi wajah itu berulang kali.Mereka saling berpandangan, Regantara menyematkan helaian rambut yang terjuntai ke balik telinga istrinya. Membelai lembut pipi Rubi, masih tak perc
"Usia kandungannya tujuh minggu, janin berada di kantung rahim ya," ujar dokter kandungan yang memeriksa Rubi, mengarahkan alat USG yang berada di atas perut Rubi kesana kemari mencari posisi yang tepat untuk mendeteksi keberadaan janin mungil itu. "Sehat ya, karena ini kehamilan kedua, semoga tidak terlalu banyak keluhan yang ibu rasakan." "Hingga saat ini memang nggak ada, Dok," ujar Rubi. "Tapi ... suami saya sepertinya yang mengalami itu." Wajah Rubi menahan tawa. "Oh ya? Wah jarang sekali itu terjadi, Pak. Ok, sudah selesai," ujar dokter tersebut sambil membersihkan sisa gel di perut Rubi. Kita bertemu lagi bukan depan ya untuk kontrol rutin bulanan. Selamat sekali lagi Pak Regan dan Ibu Rubi." Keluar dari ruangan dokter tadi, Rubi masih menggenggam tangan Regantara. Berjalan menuju bagian farmasi untuk mengambil obat yang di resepkan dokter wajah Rubi masih nampak tersenyum. "Kenapa jadi suka senyum, sih?" tanya Regantara setelah memberikan resep obat pada apoteker di sana.
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H