"Usia kandungannya tujuh minggu, janin berada di kantung rahim ya," ujar dokter kandungan yang memeriksa Rubi, mengarahkan alat USG yang berada di atas perut Rubi kesana kemari mencari posisi yang tepat untuk mendeteksi keberadaan janin mungil itu. "Sehat ya, karena ini kehamilan kedua, semoga tidak terlalu banyak keluhan yang ibu rasakan." "Hingga saat ini memang nggak ada, Dok," ujar Rubi. "Tapi ... suami saya sepertinya yang mengalami itu." Wajah Rubi menahan tawa. "Oh ya? Wah jarang sekali itu terjadi, Pak. Ok, sudah selesai," ujar dokter tersebut sambil membersihkan sisa gel di perut Rubi. Kita bertemu lagi bukan depan ya untuk kontrol rutin bulanan. Selamat sekali lagi Pak Regan dan Ibu Rubi." Keluar dari ruangan dokter tadi, Rubi masih menggenggam tangan Regantara. Berjalan menuju bagian farmasi untuk mengambil obat yang di resepkan dokter wajah Rubi masih nampak tersenyum. "Kenapa jadi suka senyum, sih?" tanya Regantara setelah memberikan resep obat pada apoteker di sana.
Inggit datang ke toko roti Rubi saat semua staff Rubi sedang berbenah. Inggit juga tidak menyangka akan bertemu Ayu di sana. "Di minum, Nggit," ujar Ayu meletakkan secangkir Coffee latte di atas meja. "Biasanya Rubi sudah datang kemari jam segini," kata Ayu mencoba berbasa-basi padanya."Iya, terimakasih," ujar Inggit. "Sejak kapan disini?' "Baru tiga bulan," jawab Ayu sambil mengusap perutnya yang sudah membesar. "Rubi meminta aku untuk kerja di sini.""Oh, aku kira kamu yang mengemis pekerjaan padanya," ucap Inggit dengan menyunggingkan senyum tipis."Lebih tepatnya begitu, awalnya Regantara nggak setuju.""Oh, aku yakin itu." Tebakan Inggit ternyata benar, tidak mungkin Rubi tiba-tiba memberikan wanita ini pekerjaan kalau bukan karena iba. "By the way, bagaimana Dimas?""Dimas?" "Iya, suami kamu ... masih, kan?""Masih, Nggit." Sebersit senyum Ayu pun hadir. "Dimas baik, 10 bulan lagi kemungkinan akan bebas.""Oh, bagus kalo begitu."Rubi masuk ke dalam toko rotinya, melambaikan
"Malam, Bu," ucap Regantara yang menunggu sudah lebih 15 menit untuk di bukakan pintu malam itu.Melihat menantunya baru saja sampai dari Jakarta hanya berdua bersama Arsa yang sudah berada dalam gendongannya, buru-buru menyuruh Regantara masuk."Malam, Nak Regan. Malam sekali baru sampai ... masuk-masuk. Bawa saja Arsa ke kamar Tama, biar tidur di sana." "Iya, Bu." Regantara bergegas membawa Arsa menuju kamar Tama. "Maaf ya, Bu ... kami kemalaman," ujar Regantara membenarkan selimut Arsa."Enggak apa-apa, namanya juga perjalanan jauh. Ya sudah, istirahat sana sudah hampir jam tengah malam," ujar Widya seraya menepuk pundak Regantara lalu beranjak meninggalkan Regantara."Iya, Bu." Regantara mengusap lembut kening Arsa lalu bergantian dengan Tama. Anak lelaki Rubi itu sepertinya sudah terlelap lama. Pelan-pelan di tinggalkannya kamar Tama lalu beralih menuju kamar Rubi. Selama Regantara di Jakarta, Regantara meminta Rubi untuk tinggal sementara waktu dengan ibu mertuanya. Lagi pula
Rubi terduduk di kursi, dia kelelahan lantaran ikut mengatur barang-barang yang harus tersusun dan terlihat rapi di rumah Belanda yang dia sewa. Begitu juga Ayu yang terduduk di ujung ruangan, mereka saling pandang lalu tertawa melihat kondisi mereka yang sedang berbadan dua tapi masih bisa seaktif sekarang. "Bon, di letakkan di dekat pintu masuk," ujar Rubi sedikit berteriak pada Bono saat lelaki bertubuh kecil itu ingin meletakkan meja estetik. "Siap, Mbak ...." "Bon, pemanas bakery nya jangan terlalu dekat dengan kasir," kata Rubi lagi. "Siap, Mbak ...." "Eh jangan deh, Bon ... sebaiknya letakkan di dekat Coffee Grinder," titah Rubi agar Bono meletakkannya tidak jauh dari mesin pembuat kopi. "Hhmm ... iya, Mbak." Seketika mata Bono terpana pada sosok wania bertubuh semampai dengan kulit sawo matang yang datang masuk ke ruangan itu. "Maaf, cari siapa?" tanya Bono ramah. "Selamat siang, saya ada janji interview dengan Ibu Ayu," ujarnya. "Oh ya, nama saya Menik." Gadis itu me
Anak-anak kecil berlarian kesana kemari, resto itu sudah terisi dengan para undangan termasuk di dalamnya ada Wahyu, Irma, Widya bahkan Kayma. Mereka datang khusus untuk Arsa dan Rubi. Rubi terlihat sangat sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, perutnya yang sudah mulai membesar membuat semua orang menggelengkan kepala melihat kegesitan wanita itu. "Bi, duduk aja sih. Aku kok serem liatnya," ujar Inggit yang berkali-kali berseru jika di lihatnya Rubi tiba-tiba berdiri tiap ingin membenarkan sesuatu. "Itu lagi satu, mana perut tinggal nunggu hari aja susah banget diem sedetik," gerutu Inggit. "Aku yang nggak hamil jadi takut liatnya." Rubi tertawa melihat kekhawatiran sahabatnya itu. "Nanti kalo kamu menikah, lalu hamil rasakan sendiri," ujar Rubi malah melenggang meninggalkan Inggit seorang diri. Acara syukuran peresmian resto sekaligus ulang tahun Arsa berjalan dengan lancar. Tepuk tangan paling meriah Wahyu hadiahkan untuk istri mantan menantunya itu. Wahyu melihat Rubi adalah se
Regantara menggandeng tangan kecil Kayma, mereka memasuki resto yang sudah sepi hanya terlihat anggota keluarga inti yang berada di sebuah meja panjanh menunggu kehadiran Kayma, gadis kecil yang memiliki perasaan yang masih teramat labil. "Kayma ...." Rubi tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya bergegas menghampiri Kayma hingga lupa dengan perutnya yang sudah membesar. "Kayma ... kamu darimana, Nak? Bunda khawatir sama kamu. Kayma enggak kenapa-kenapa, kan?" Rubi memeluk Kayma lalu melihat keadaan gadis kecil Regantara itu, memastikan jika Kayma baik-baik saja. Kayma hanya mengangguk, Kayma tetap menatap Rubi dengan mata yang masih sembab. "Bunda minta maaf. Bunda minta maaf kalo Bunda ada salah sama Kayma. Bunda minta maaf kalo Bunda belum bisa menjadi ibu yang baik buat Kayma. Bunda tau kita berdua masih mencari celah untuk sama-sama saling terbuka. Bunda janji Bunda akan terus berusaha untuk bisa menjadi ibu yang seperti Kayma mau ... tapi tolong jangan pergi-pergi lagi," Is
Suara bayi mungil itu menggema di dalam ruangan bersalin. Melahirkan anak pertama tanpa di dampingi suami itu sangat menyesakkan hati Ayu. Air mata Ayu menetes kala bayi mungil itu di letakkan di atas dadanya. "Anak Mama ...," lirihnya. "Kuat ya, Sayang ...," ujarnya lagi.Memasuki kamar rawat inap, sudah menunggu Rubi, Regantara, Irma dan Wahyu di sana. Rubi tersenyum pada Ayu, di usapnya punggung tangan wanita itu. Rubi tahu betul bagaimana perasaan Ayu saat ini."Kamu hebat," bisik Rubi. "Selamat, ya.""Makasih, Bi ... aku enggak tau harus gimana kalo tanpa kamu dan keluarga," ucap Ayu dengan mata berkaca-kaca."Kamu enggak usah khawatir, kita di sini selalu ada buat kamu," ujar Rubi tulus."Bayinya udah boleh di bawa masuk belum?" tanya Irma."Sepertinya sudah, Ma ... coba Regan tanyakan." Regan beranjak dari tempat duduknya."Mama udah nggak sabar mau gendong bayi, kan?" Wahyu menjawil lengan Irma."Sudah lama Mama enggak gendong bayi, Pa ... jadi harap maklum," kekeh Irma."Seb
"Order an meja 10 dan ini order an meja 15," kata Rubi memberikan dua piring berisi sandwich dan burger serta dua minuman sesuai pesanan pelanggan yang datang. Sudah tiga minggu ini Rubi sibuk dengan resto baru nya, apalagi setelah resto miliknya menawarkan menu makanan yang di gandrungi kaum milenial. Bahkan perutnya yang semakin besar pun tak menghalangi Rubi untuk bergerak cepat. "Bu ...," panggil salah satu barista bernama Menik, saat mendapati Rubi terduduk di pojok ruangan karena kelelahan. "Ibu enggak kenapa-kenapa?" Rubi menggeleng. "Tapi wajah Ibu pucat," kata Menik lagi lalu memberikan segelas air putih. "Di minum dulu, Bu." Rubi meneguk gelas berisi air putih itu hingga habis, Rubi mengusap perutnya yang mengencang karena kelelahan. "Makasih, Menik." "Sebaiknya Ibu pulang saja," ujar gadis itu. "Saya telpon kan Mas Bono?" "Enggak usah Menik, sebentar lagi saya pulang. Saya cuma butuh waktu istirahat sebentar." Rubi mengatur napasnya. "Baiklah, kalo begitu saya ti
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H