"Order an meja 10 dan ini order an meja 15," kata Rubi memberikan dua piring berisi sandwich dan burger serta dua minuman sesuai pesanan pelanggan yang datang. Sudah tiga minggu ini Rubi sibuk dengan resto baru nya, apalagi setelah resto miliknya menawarkan menu makanan yang di gandrungi kaum milenial. Bahkan perutnya yang semakin besar pun tak menghalangi Rubi untuk bergerak cepat. "Bu ...," panggil salah satu barista bernama Menik, saat mendapati Rubi terduduk di pojok ruangan karena kelelahan. "Ibu enggak kenapa-kenapa?" Rubi menggeleng. "Tapi wajah Ibu pucat," kata Menik lagi lalu memberikan segelas air putih. "Di minum dulu, Bu." Rubi meneguk gelas berisi air putih itu hingga habis, Rubi mengusap perutnya yang mengencang karena kelelahan. "Makasih, Menik." "Sebaiknya Ibu pulang saja," ujar gadis itu. "Saya telpon kan Mas Bono?" "Enggak usah Menik, sebentar lagi saya pulang. Saya cuma butuh waktu istirahat sebentar." Rubi mengatur napasnya. "Baiklah, kalo begitu saya ti
Rubi terus bergerak perlahan di atas tubuh Regantara, posisi ini yang menurutnya aman selama masa kehamilan. Payudaranya pun ikut bergerak, tatapan mata Regantara tak lepas menatap wajah Rubi yang sedang merasakan nikmatnya percintaan mereka malam itu."Terus, Sayang ...." Rahang Regantara mengeras, kedua tangannya meremas pinggang Rubi, menggerakkannya sedikit lebih cepat."Hhmm ...." Rubi mendesah saat pelepasan itu terjadi begitu pula Regantara yang akhirnya membuncah kan hasratnya yang lama terpendam.Jemari mereka saling bertaut, menggenggam dan menguat satu sama lain saat pelepasan itu terjadi. Peluh keringat menempel di tubuh keduanya, perut buncit Rubi sedikit menegang, Regantara melepaskan tautan jemarinya mengusap perut istrinya agar bayi yang berada di dalam sana pun merasa tenang.Napas Rubi masih terengah-engah, perlahan dia lepaskan penyatuan mereka. Wanita berbadan dua itu merebahkan tubuhnya di sisi Regantara, meringkuk miring menghadap suaminya. Regantara menarik seli
Satu tangan Ayu mendekap Amara dalam gendongannya, satu tangan yang lain menggandeng tangan Tama. Mereka berdiri di depan pintu lapas menunggu kedatangan Dimas yang bertepatan hari ini kbali menghirup udara bebas. Pintu lapas perlahan terbuka, lelaki tinggi dengan hidung mancung itu menampakkan dirinya. Rambut yang tersisir rapih, dan wajah segar itu pun tersenyum mendapati keluarga kecilnya sudah menanti kehadirannya. Dimas berjalan cepat menghampiri, degub jantungnya berdetak begitu cepat. Rasa rindu itu luar biasa, langkah itu semakin cepat hingga berubah menjadi berlari. Dia peluk Ayu beserta bayi mungilnya, berkali-kali dia menciumi wajah Amara, air mata Ayu pun tak terbendung. Tama tak luput dari pelukan hangat ayahnya. Dimas menangis memeluk anak lelakinya itu, sudah lama sekali rasanya dia tak mendekap putra sulungnya yang sudah beranjak remaja. Kembali dia menatao Ayu, dia usapkan air mata di wajah cantik Ayu. Wanita yang hampir dua tahun ini menderita karenanya, masih se
Dimas memutar kunci pintu rumah kercat putih itu, dia membuka perlahan rumah mergaya minimalis itu. Rumah dengan wangi khas sebuah keluarga yang baru saja memiliki seorang anak, harum bayi. Dimas mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga, dengan dua kamar yang saling bersebelahan semakinmasuk ke dalam Dimas mendapati dapur sekaligus ruang makan serta laundry room yang berada di sudut ruangan. Rumah yang sangat pas untuk sebuah keluarga kecil, rumah yang di beli oleh Ayu menggunakan uang simpanannya serta penjualan mobil kesayangan Ayu. Wanita itu berhasil bertahan selama badai menerpa kehidupannya."Mas." Ayu memeluk Dimas dari belakang, Dimas meraih tangan Ayu semakin dia eratkan pelukan tangan mulus itu."Amara mana?" "Sudah tidur," ucap Ayu."Rumah ini kamu tata sangat baik," kata Dimas memutar tubuhnya hingga menghadap ke arah Ayu, menatap teduh mata Ayu."Rumah itu tempat dimana hati kita berada, jadi harus dibuat senyaman
Mobil tipe SUV berwarna putih itu berhenti tepat di depan kediaman Ayu. Ayu masih menggunakan daster sedang menyapu teras rumahnya mengerutkan dahi saat melihat seseorang membuka pagar rumahnya. Wanita paruh baya yang masih berdandan sangat nyentrik itu pun menghentikan langkahnya saat melihat Ayu berdiri di dekat pintu masuk rumahnya."Mama?" Ayu setengah berlari menghampiri wanita yang mengenakan cardigan dari kain lurik mahal itu. "Mama ngapain di sini?" tanya Ayu pada wanita bernama Sartika itu."Mau lihat kehidupan kamu yang katanya bahagia sekarang," ketus Sartika.Sartika melihat sekeliling rumah mungil itu, bisa-bisanya putrinya ini hidup di tempat seperti ini dengan lelaki yang tidak jelas masa depannya."Dimana anak kamu?" tanya Sartika yang memang tujuannya ke kediaman Ayu untuk melihat Amara."Amara masih tidur, Ma. Mama ... kenapa bisa kesini? Maksud Ayu—""Kenapa? Enggak boleh? Ck, kamu betah sekali tinggal di rumah kecil kayak gini," ujar Sartika ketus berjalan masuk ke
"Jadi, dia masih kerja di sini?" tanya Inggit pada Rubi tentang keberadaan Ayu yang masih bekerja dengan Rubi. "Iyo toh, Nggit. Mau kerja dimana lagi dia? Wong butuh uang untuk susu anak, belum lagi kebutuhan bayi itu banyak loh jangan salah. Makanya cepet nikah, kamu nunggu apa toh sebenarnya?" "Nunggu di lamar, Bi," kekeh Inggit. "Lama aja ngelamarnya, tapi ngamarnya gencar." Rubi tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut besarnya. "Ah embuh lah, aku wis males kalo ngomongin lamar me-lamar ini." "Ya kalo nggak ada arah ke jenjang yang serius, wis lah tinggal aja. Umur terus bertambah, kasian ibu mu itu loh nunggu kabar kapan punya cucu," ujar Rubi. "Cucunya udah kemana-mana, Bi ...." Lagi-lagi tawa dua wanita itu memenuhi ruangan. "Eh, balik lagi ke Ayu," kata Inggit penasaran sambil.melihat Ayu yang duduk di belakang meja kasir. "Kenapa?" Rubi menyesap secangkir susu putih. "Si Dimas itu sudah bebas, kan?" "Iya, terus kenapa Nggit? kamu penasaran banget," ujar Rubi me
"Serius?" tanya Rubi pada Inggit yang menghubunginya malam itu. "Iya, besok mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Tapi sebelumnya harus ketemu ibuku dulu," kata Inggit. "Ah akhirnya ibu nimang cucu juga," kekeh Rubi. "Tapi, aku ucapin selamat ya Nggit ... penantian kamu membuahkan hasil." "Makasih ya, Bi ... makasih karena setia menemani kejombloanku," ujar Inggit dengan tawa kecilnya di seberang sana. "Oh ya, Bi ... ternyata jodohku duda." Hampir satu jam dua sahabat itu menghabiskan obrolan di telepon. Regantara yang menunggu Rubi sambil mengerjakan pekerjaan kantornya di laptop sesekali mendongakkan kepalanya melihat istrinya di balkon tertawa dengan lawan bicaranya. "Mas ...." Rubi naik ke tempat tidur, berbaring di sisi Regantara. "Kenapa Inggit?" tanya Regantara masih dengan tatapan ke arah laptopnya. "Inggit mau nikah," ujar Rubi senang. "Syukurlah, selamat sampaikan pada Inggit." "Aku seneng banget dia akhirnya menikah, Mas ...." Regantara menutup laptopnya, meletak
Kayma menatap lama bayi yang tertidur pulas di sisi Rubi. Sesekali jari jemarinya menyentuh pipi gembil bayi berumur satu hari itu."Ternyata Bunda benar," kata Kayma."Tentang apa, Kay?" Rubi menyematkan helaian rambut Kayma ke belakang telinga."Ternyata adik Kayma selucu bayi nya Tante Ayu," ujar Kayma tersenyum."Secantik Kakak Kay," ucap Rubi lembut."Bundaa ...." Arsa yang baru datang berlari ke sisi tempat tidur hingga membuat bayi mungil Rubi terkejut."Arsa! Kan jadi kaget Qiara nya," ujar Kayma marah"Kan nggak sengaja, Kak ... Bunda." Wajah Arsa berubah sedih."Enggak apa-apa, Qia nya cuma kaget. Abang Arsa mau duduk di sini?" tanya Rubi sambil menepuk pinggir tempat tidurnya."Kay duduk dimana, Bun?" Kayma pun tak mau kalah."Kay di—""Kay duduk di sini," kata Tama membawakan kursi untuk gadis kecil itu duduk."Makasih, Mas," ucap Kayma malu.Regantara yang melihat dari sudut ruangan hanya tersenyum. Tak dia sangka akan di kelilingi malaikat-malaikat kecil hidupnya. Sudah
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H