"Jadi, dia masih kerja di sini?" tanya Inggit pada Rubi tentang keberadaan Ayu yang masih bekerja dengan Rubi. "Iyo toh, Nggit. Mau kerja dimana lagi dia? Wong butuh uang untuk susu anak, belum lagi kebutuhan bayi itu banyak loh jangan salah. Makanya cepet nikah, kamu nunggu apa toh sebenarnya?" "Nunggu di lamar, Bi," kekeh Inggit. "Lama aja ngelamarnya, tapi ngamarnya gencar." Rubi tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut besarnya. "Ah embuh lah, aku wis males kalo ngomongin lamar me-lamar ini." "Ya kalo nggak ada arah ke jenjang yang serius, wis lah tinggal aja. Umur terus bertambah, kasian ibu mu itu loh nunggu kabar kapan punya cucu," ujar Rubi. "Cucunya udah kemana-mana, Bi ...." Lagi-lagi tawa dua wanita itu memenuhi ruangan. "Eh, balik lagi ke Ayu," kata Inggit penasaran sambil.melihat Ayu yang duduk di belakang meja kasir. "Kenapa?" Rubi menyesap secangkir susu putih. "Si Dimas itu sudah bebas, kan?" "Iya, terus kenapa Nggit? kamu penasaran banget," ujar Rubi me
"Serius?" tanya Rubi pada Inggit yang menghubunginya malam itu. "Iya, besok mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Tapi sebelumnya harus ketemu ibuku dulu," kata Inggit. "Ah akhirnya ibu nimang cucu juga," kekeh Rubi. "Tapi, aku ucapin selamat ya Nggit ... penantian kamu membuahkan hasil." "Makasih ya, Bi ... makasih karena setia menemani kejombloanku," ujar Inggit dengan tawa kecilnya di seberang sana. "Oh ya, Bi ... ternyata jodohku duda." Hampir satu jam dua sahabat itu menghabiskan obrolan di telepon. Regantara yang menunggu Rubi sambil mengerjakan pekerjaan kantornya di laptop sesekali mendongakkan kepalanya melihat istrinya di balkon tertawa dengan lawan bicaranya. "Mas ...." Rubi naik ke tempat tidur, berbaring di sisi Regantara. "Kenapa Inggit?" tanya Regantara masih dengan tatapan ke arah laptopnya. "Inggit mau nikah," ujar Rubi senang. "Syukurlah, selamat sampaikan pada Inggit." "Aku seneng banget dia akhirnya menikah, Mas ...." Regantara menutup laptopnya, meletak
Kayma menatap lama bayi yang tertidur pulas di sisi Rubi. Sesekali jari jemarinya menyentuh pipi gembil bayi berumur satu hari itu."Ternyata Bunda benar," kata Kayma."Tentang apa, Kay?" Rubi menyematkan helaian rambut Kayma ke belakang telinga."Ternyata adik Kayma selucu bayi nya Tante Ayu," ujar Kayma tersenyum."Secantik Kakak Kay," ucap Rubi lembut."Bundaa ...." Arsa yang baru datang berlari ke sisi tempat tidur hingga membuat bayi mungil Rubi terkejut."Arsa! Kan jadi kaget Qiara nya," ujar Kayma marah"Kan nggak sengaja, Kak ... Bunda." Wajah Arsa berubah sedih."Enggak apa-apa, Qia nya cuma kaget. Abang Arsa mau duduk di sini?" tanya Rubi sambil menepuk pinggir tempat tidurnya."Kay duduk dimana, Bun?" Kayma pun tak mau kalah."Kay di—""Kay duduk di sini," kata Tama membawakan kursi untuk gadis kecil itu duduk."Makasih, Mas," ucap Kayma malu.Regantara yang melihat dari sudut ruangan hanya tersenyum. Tak dia sangka akan di kelilingi malaikat-malaikat kecil hidupnya. Sudah
"Bunda ...." Kayma berdiri di depan pintu kamar Rubi, Rubi yang sedang menyusui Qiara pun mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Kenapa, Kay? Sini, masuk ...," pinta Rubi. Kayma duduk di sisi tempat tidur sambil memperhatikan Qiara yang menyesap air susunya. "Kayma mau pamit, besok Kayma pulang ke Jakarta," ucap Kayma dengan wajah sedih. "Iya, tapi kenapa Kayma sedih?" tanya Rubi menatap wajah sendu itu. "Kayma sedih karena pisah dari semua orang di rumah ini," isak Kayma. "Kenapa Kayma nggak mau tinggal sama Bunda dan papa?" "Kay mau, tapi Kay kasian sama Oma dan Opa nggak ada yang jagain," ucapnya pelan. "Anak baik." Rubi membelai rambut panjang Kayma. "Mudah-mudahan secepatnya kita bisa berkumpul lagi, ya." "Bunda nggak mau ya tinggal di Jakarta?" "Wah Bunda mau, mau banget ... tapi kalo Bunda di sana bagaimana dengan usaha Papa dan Bunda. Lagian kalo Bunda di sana juga nggak mungkin tinggal di rumah Oma," ujar Rubi memberikan pengertian pada Kayma. "Jadi, untuk sementara kit
Rubi tengah duduk di depan teras rumahnya pagi itu saat Bono datang membawakannya roti yang dia pesan di restonya sendiri. Bono terlihat nampak kusam dan murung, entah ada apalagi dengan lelaki berumur 27 tahun itu."Rupamu esuk-esuk wis ora enak men, ono opo sih Bon?" (Wajah kamu pagi-pagi udah nggak enak banget liatnya, ada apa sih Bon?)"Ora popo, Mbak. Nanging lagi nggak enak awak wae (Enggak kenapa-kenapa, Mbak. Cuma lagi nggak enak badan aja)," ucap Bono lalu mencubit kecil pipi Qia. " Iki rotine, Mbak ... aku jalan sek yo, Mbak (Ini rotinya, Mbak ... aku jalan dulu ya, Mbak)," pamit Bono. "Kamu yakin ngga mau cerita? Aku kok curiga kamu kenapa-kenapa." Rubi masih penasaran ada apa di balik senyum tipis Bono pagi ini."Tenang aja Mbak, i'm Ok," ujarnya tersenyum lalu pergi mengendarai motor Vespa lama yang baru di belinya beberapa bulan lalu.*****Bono berjalan lunglai memasuki resto Rubi sore itu, matanya sedikit melirik pada sosok gadis yang berada di belakang meja barista.
Gedung hotel tempat resepsi pernikahan Inggit sudah ramai dengan para undangan, Rubi dan Regantara beserta anak-anaknya pun tak luput dari pandangan para tamu. Ada beberapa yang berbisik satu sama lain ada juga yang tersenyum kita mata mereka saling bertemu pandang. "Selamat ya, Nggit ... semoga cepat nyusul cucu Ibu," ujar Rubi tertawa kecil. "Doain ya, biar Qia ada temen mainnya," kata Inggit sambil menautkan kedua pipinya pada pipi Rubi. "Kamu manglingin loh malem ini," bisik Rubi lagi. "Berarti aku berhasil membuat orang percaya aku masih perawan ya," kekeh Inggit tak henti tertawa. "Hush ... kalo ngomong suka bener." Tawa mereka membuat para suami menggelengkan kepala. "Ini dari kami, Nggit ...." Regantara memberikan amplop putih berisi tiket penerbangan dan hotel selama pengantin baru itu berada di Lombok. "Wah, tiket bulan madu nih ...." Inggit nampak senang. "Makasih Re, makasih ya Bi." Inggit memeluk erat sahabatnya itu. Ada juga beberapa orang-orang terdekat Rubi yan
Rubi tengah sibuk melayani pesanan para pelanggannya siang itu. Resto Rubi memang akan sedikit sibuk di waktu-waktu makan siang dan malam. Sudah hampir satu tahun berjalannya usaha ini, memang tak terasa namun kendala juga cukup banyak Rubi hadapi mulai dari pergantian karyawan hingga beberapa kali kebingungan karena harga-harga bahan dapur yang naik drastis namun Rubi harus bisa mempertahankan kualitas dan harga jual produknya. Qiara masih tertidur di strollernya, kebisingan ramainya pengunjung tak membuat bayi yang sekarang sudah berumur empat bulan itu terbangun dari tidurnya. Sesekali Rubi melirik ke arah Qiara alih-alih takut Qiara terbangun tapi sepertinya memang bayi mungilnya itu sungguh mengerti kesibukan sang Bunda. Rubi baru saja terduduk di ruang kerjanya yang kecil namun nyaman untuk dia tempati di sela-sela kesibukannya. Ponsel Rubi berbunyi, alisnya berkerut saat nama Wahyu yang sudah dia anggap sebagai pengganti mertuanya itu tertera di ponselnya. "Halo, Pa," sapa Ru
Operating lamp akhirnya padam setelah hampir tiga jam menyala, itu artinya operasi pemasangan ring jantung Wahyu pun selesai. Dokter yang menangani Wahyu pun tak lama muncul membawa kabar."Selamat sore semua," sapa dokter berumur setengah baya itu. "Bagaimana, Dok?" tabya Irma dengan harap cemas."Operasi pemasangan ring berjalan dengan lancar tidak terkendala satu apapun, namun pasien masih harus berada di ruangan ICU guna observasi lebih lanjut," jelas dokter itu."Suami saya selamat, Dok?""Iya, Bu ... Ibu tidak usah khawatir semua baik-baik saja. Sebaiknya keluarga juga beristirahat karena keadaan Pak Wahyu tidak ada yang harus di khawatirkan.""Terimakasih banyak, Dok," ujar Hendra menjabat tangan dokter itu begitu pula dengan Regantara.Wajah letih keluarga ini pun terbalas dengan kabar keadaan Wahyu yang bisa melewati masa-masa kritis serta operasi dengan baik dan lancar."Rubi, sebaiknya kamu pulang dan beristirahat di rumah, kasihan Qia sudah dua hari kamu tinggalkan bolak
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H