"Bi," panggil Ibu Widya di depan pintu kamar Rubi yang tidak tertutup."Iya, Bu?" Rubi menutup buku laporan keuangan usahanya lalu membenarkan posisinya duduk di tempat tidur."Ada Nak Regan di depan, temui sana. Sekalian ajak makan malam saja, Ibu baru selesai membuat rendang daging," ujar Widya."Ada Mas Regan? Kok nggak bilang kalo mau kesini," ujar Rubi beranjak dari tempat tidur dan merapikan pakaiannya. "Ibu kira kalian janjian sore ini, kan malam Minggu," goda Widya."Ibu bisa aja." Rubi tersipu malu."Tama sama Ibu mau ke tempat Budhe Pur, ada acara syukuran anaknya si Joko ulang tahun ke satu. Kamu nggak apa-apa Ibu tinggal sama Mbok Inah?""Iya, enggak apa-apa, Bu. Ibu pergi naik apa? Ibu pesan taksi online aja, ben ora ngerepotin Bono. Kasian dia bolak-balik ngurusin semuanya.""Ya sudah hati-hati ya Bu." Widya mengangguk-angguk lalu keluar dari kamar Rubi diikuti oleh Rubi yang melangkah di belakangnya.Ruang tamu sore itu sida ramai dengan celoteh Tama, anak lelakinya i
"Ikut aja, enggak enak juga masa klien nggak kita jamu," kata Ayu pada Regantara saat mereka berada di sebuah restoran.Regantara melirik jam tangannya, waktu menunjukkan setengah delapan malam. Siang tadi dia sudah mengirim pesan pada Rubi agar tidak menunggunya makan malam nanti."Kemana?" tanya Regantara beranjak dari tempat duduknya."Aku tau salah satu club di Semarang yang bagus, kita kesana aja," ujar wanita itu denga wajah penuh semangat."Club?""Iya club malam, menurut kamu kita harus kemana? Makan sudah, membawa mereka melihat pabrik dan suasana Semarang juga sudah. Lagi pula umur mereka belum tua, masih pantas di ajak ke tempat seperti itu. Tenang aja, aku traktir," katanya lagi meninggalkan Regantara lalu menghampiri tamu mereka seharian ini."Ck, ada-ada aja," batin Regantara akhirnya mau tak mau mengikuti kemauan investor serta rekan bisnis barunya itu."Betulkan sudah buka," kata Ayu saat mereka berjalan masuk ke club malam.Suara musik terdengar keras, suasana belum b
Rubi masih tertidur pulas dengan lengan Regantara sebagai bantal kepalanya. Regantara memandangi wajah ayu wanita yang sekarang berada di sisinya itu. Sudah sedari tadi saat dia membuka matanya, sudut bibirnya mengembang, mengetahui wanita yang saat ini dicintainya itu rela bermalam dan menungguinya hingga terlelap dalam keadaan mabuk.Rubi menggerakkan tubuhnya ketika di sadarinya cahaya matahari masuk melalui celah tirai. Regantara buru-buru menutup matanya, dia pura-pura kembali tidur. Rubi terperangah melihat posisi Regantara sudah menghadap ke arahnya. Dada besar lelaki itu masih tertutup selimut, Rubi menikmati keindahan wajah Regantara yang begitu sempurna. Alis tebal, hidung yang mancung, rahang yang tegas, rambut yang sedikit ikaal serta kulit wajah yang tidak terdapat goresan.Rubi membelai lembut wajah Regantara, mulai dari kedua mata Regantara, lalu jarinya menelusuri batang hidung yang mancung turun ke bentuk bibir yang sedikit tebal dan seksi. Rambut-rambut halus di seki
Bunyi bel apartemen Regantara menghentikan aktivitas pasangan yang sedang di mabuk cinta itu. Rubi mendorong tubuh Regantara pelan, dan menutup area sensitifnya. Sementara Regantara mengancingkan kembali celana yang dia kenakan dan membantu Rubi turun dari atas meja makan. "Kamu nunggu seseorang?" tanya Rubi sambil memakai kembali pakaian dalamnya dan membenarkan mini dress. "Enggak, ini hari Minggu ... aku cuma nunggu kamu seperti biasanya." "Coba di lihat, aku teruskan masak sarapan kamu dulu." Regantara membuka pintu apartemennya, lelaki bertubuh sedang dengan kaos berwarna hitam berdiri membelakangi pintu apartemen. "Bono?" Bono membalikkan tubuhnya dan tersenyum tak enak hati apalagi saat di lihatnya Regantara tak mengenakan kaos. "Eh Pak Regan," kata Bono sambil menggaruk kepalanya yang mungkin tidak terasa gatal itu. "Masuk ...." Bono masuk ke dalam apartemen Regantara, matanya memandang interior apartemen itu dan berdecak kagum. "Duduk, Bon," pinta Regantara. "Bi ..
Semalaman Rubi sengaja tidak membalas pesan dari Regantara apalagi mengangkat telepon dari Regantara. Masih terngiang di telinga Rubi bagaimana Ayu mengatakan sesuatu yang membuatnya naik darah.Ada lebih 20 pesan dan 50 panggilan tak terjawab di ponsel Rubi pagi itu. Rubi beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi, pagi ini dia menggantikan Mbok Inah belanja sayur mayur dan lainnya untuk catering Senin nanti.Setengah jam berlalu, Rubi keluar dari kamarnya mengenakan setelan kaos dan celana jeans bekel."Bun, pagi ini Tama diantar Pakde Bono futsal ya," ujar Tama yang sudah duduk menunggunya di ruang makan."Tama sudah bangun?" Rubi melihat jam di dinding. "Baru jam enam, kan futsalnya jam setengah delapan.""Tadi malam kan Tama tidur cepat, Bun. Jadi bangunnya juga cepat," ujar Tama sambil mengunyah roti berisi susu coklat kental manis."Oh iya, Bunda lupa." Ketukan di pintu membuat ibu dan anak itu menghentikan obrolan mereka."Uti mana?" tanya Rubi."Masih di kamar, tadi si
"Ada apa?" tanya Widya saat melihat Rubi masuk dengan wajah cemberut lalu di susul Regantara yang berhenti di depan pintu karena menyadari kakinya kotor."Ada apa?" tanya Widya lagi pada Regantara."Saya permisi ke belakang dulu, Bu ... mau cuci kaki," ujar Regantara."Ada-ada aja," gumam Widya. "Tama, Uti pergi melayat dulu ya, kamu di rumah sama Bunda," ujar Widya lalu meninggalkan Tama dengan kebingungan yang melihat orang-orang dewasa di sekitarnya seperti sedang pernah dingin.Rubi meletakkan barang belanjaannya, memisahkan satu demi satu agar bisa dia susun di lemari es. Wajah Rubi masih terlihat kesal, diambilnya keranjang buah satu per satu buah yang di sediakannya untuk seisi rumah sudah tersusun rapi. Regantara yang baru saja keluar dari kamar mandi melihat perilaku Rubi yang masih menampakkan wajah kesal."Ada apa sih, Bi. Cerita dong, gimana aku tau salah aku dimana kalo kamu nya begini."Rubi masih saja diam, sungguh enggan rasanya jika mengingat kembali perlakuan Ayu ke
Regantara memasuki kamarnya, Kayma dan Arsa sudah menunggunya di tempat tidur. Setiap kali Regantara pulang ke Jakarta, cara ini lah yang dia pakai untuk selalu dekat dengan anak-anaknya."Papa," panggil Kayma. "Sini." Kayma menepuk sisi tempat tidur.Regantara ikut masuk ke dalam selimut, menciumi pucuk kepala buah hatinya."Ada cerita apa?" tanya Regantara menepuk bantal kepalanya."Papa, Tante Ayu itu temannya mama?" tanya Kayma."Iya, kenapa?""Baik ya, Pa. Tadi sebelum Tante Ayu pulang, Tante Ayu janji mau ajak Kay sama Arsa ke mall.""Hhmm ....""Papa suka sama Tante Ayu?" Arsa yang tidur di sisi Kayma pindah tempat ke sisi Regantara."Tante Ayu itu teman bisnis Papa, jadi ya Papa harus suka," jawab Regantara."Tapi kalo Arsa sih senengnya kalo Papa dekat sama Tante Rubi. Tante Rubi itu baik, suka bikinin kita makanan, Mas Tama juga baik," celoteh Arsa."Tapi Tante Rubi nggak pernah ajakin kita jalan-jalan ke Mall," sahut Kayma. "Tante Ayu aja yang baru kenal kita udah janji mau
"Anak-anak sudah bangun?" tanya Rubi pelan saat bertandang ke apartemen Regantara pagi itu."Belum, masih pada tidur. Tama mana?" Regantara kembali merebahkan dirinya di sofa ruang tengah."Nanti naik di antar Bono. Tadi ke minimarket di bawah, katanya mau belikan Arsa sesuatu." Rubi langsung mengarahkan langkah kakinya menuju dapur. "Aku buat macaroni schotel buat anak-anak, salad buah buat kamu. Mas ...." Rubi sudah tak mendengar suara Regantara, lelaki itu tertidur kembali di atas sofa. Selesai menyiapkan sarapan pagi dan membukakan pintu untuk Tama, Rubi meminta Tama membangunkan Kayma dan Arsa sementara Rubi mencoba membangunkan Regantara."Mas ... Mas, bangun. Sarapan dulu, yuk." Rubi membelai lembut pipi Regantara, kekasihnya itu belum juga membuka matanya. Rubi menundukkan tubuhnya, wajahnya mendekat pada wajah Regantara."Nanti di liat anak-anak, loh. Takutnya aku nggak bisa nahan," ujar Regantara menarik sudut bibirnya tanpa membuka matanya."Ke ge-er an kamu," kekeh Rubi.
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H