Astaghfirullah! Kenapa bisa salah menekan nomor?
Kulihat lagi daftar panggilan barusan. Nama Alisha Maharani di urutan teratas. Diikuti Cinta Zara di urutan kedua.
Ya Allah! Ada apa dengan diriku?
Ponsel di tangan bergetar. Nama Alisha Maharani terpampang di layar. Kutarik napas sebelum menekan tombol hijau. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Enak banget, udah ngebangunin orang, trus dimatiin gitu aja?"
"Maaf, silakan tidur lagi," jawabku agak merasa bersalah.
"Aku minta kompensasi karena sekarang jadi ngga bisa tidur lagi," lanjutnya seperti pegawai disuruh lembur.
"Apa? Bedtime story?"
Dia mendengkus. "Aku lebih pinter ngedongeng daripada kamu."
Tentu saja, siapa yang berani bersaing dengan guru TK? "Lalu?"
"Ajak aku nonton, besok," putusnya tegas.
"Tidak bisa," balasku, "besok aku jadi bodyguard Naila."
"Sampe malem?" Sepertinya dia tidak terima alasanku.
"Belum tahu. Bisa jadi."
Dia mendengkus.
"Makan siang hari Senin?" usulku.
"Deal! Makan siang hari Senin, jemput aku di sekolah. Aku share lokasinya."
"Oke, ditunggu share loc-nya. Assalamu'alaikum." Tekan tombol merah.
Fiuh! Kukira dia akan bertanya-tanya soal siapa yang sebenarnya ingin kutelepon. Ternyata hanya minta kompensasi. Cukup dibayar dengan makan siang pula. Terlalu mudah.
Kutekan nomor Cinta Zara. Kali ini benar-benar harus dipastikan tidak salah tekan lagi.
Suara mesin segera mengambil alih begitu panggilan masuk jaringan, "Nomor yang Anda tuju salah. Periksa kembali nomor tujuan Anda."
Pantas saja tadi terdengar nada sambung. Harusnya aku curiga, tapi kerinduan telah memblokir logika. Aku benar-benar berharap bisa tersambung lagi dengannya, mendengar renyah tawanya, menikmati alunan suaranya.
Andai bisa, aku ingin membalikkan masa. Kembali ke saat-saat bersamanya.
"Aku bisa pulang sendiri, kok," katanya waktu itu.
Harusnya tak kuiyakan perkataannya.
Harusnya aku memilih mengantar dia pulang daripada mengurus persiapan turnamen keesokan hari.
Harusnya kutolak saja peran sebagai ketua tim.
Harusnya aku bersamanya.
***
"Makasih, ya, Bang, udah mau buka La Luna demi temen-temen aku," Naila berkata dengan senyum lebar di bibir.
Kunyalakan mesin mobil tanpa menjawab apa pun. Daripada hanya menjadi obat nyamuk di antara anak-anak baru lulus SMA, lebih baik mengurung diri di dapur bereksperimen dengan resep baru.
Teman-teman Naila sudah menunggu di kafe ketika kami baru tiba di sana. Mereka berencana belajar bersama untuk persiapan seleksi masuk perguruan tinggi pekan depan. Anak-anak muda harapan bangsa, yang siap belajar demi masa depan Indonesia.
Ah, klise.
Aku tak pernah mencicipi bangku kuliah. Sebelum UN, kuputuskan untuk pergi melanglang buana. Saat itu, yang terpikir hanya bagaimana lari sejauh mungkin dari kenangan tentangnya. Tiap sudut sekolah menyimpan senyumnya. Dinding-dinding menggemakan suaranya. Dadaku sesak oleh penyesalan. Jika tak pergi, mungkin aku sudah gila.
Di dapur La Luna, Pak Ali sudah siap dengan bahan-bahan segar pesananku. Tema menu hari ini adalah langit. Burung dara dan burung puyuh tergeletak di meja, siap dieksekusi. Begitu pula bunga telang kering, tinggal diseduh untuk jadi blue tea latte.
"Kafe hampir penuh, Pak," lapor Pak Ali sekembalinya dari mengantarkan pesanan pelanggan.
Bukan cerita baru. La Luna memang selalu begitu. Padahal foto blue tea latte baru di-post lima menit lalu.
"Oya, Pak." Pak Ali selalu menggunakan tanda ini ketika hendak memulai satu pembicaraan serius. "Pak Dirga itu sepertinya punya hubungan khusus dengan Mbak Alisha," katanya sembari duduk di hadapanku.
Sekali lagi, bukan informasi baru. Dengan santai, kusodorkan semangkuk kacang mede sebagai camilan. Dijumputnya satu dengan elegan.
"Kemarin, dia nangis waktu nelepon Mbak Alisha," Pak Ali melanjutkan laporannya.
Hm, informasi menarik. Seorang lelaki menangis di tempat umum. Dia memang cengeng, atau sedang menghadapi masalah berat. Kujumput kacang mede dengan dua jari.
"Saya ngga tahu kenapa," pungkas Pak Ali, kembali menjumput kacang mede.
Aku mengangguk, berterimakasih atas informasi yang diberikan. "Biar saja," kataku, "bukan urusan kita."
Suara denting bel yang diikat di pintu depan membuat Pak Ali refleks berdiri. "Permisi, Pak," pamitnya berbasa-basi.
Tiba-tiba Naila masuk tergopoh-gopoh. "Bang, ada Kak Alisha!" lapornya dengan napas agak memburu.
Mau apa dia ke sini? Mencari puding? Padahal aku berencana mengeluarkan puding itu dari daftar menu.
"Kok, bengong, sih? Samperin, gih! Dia Dateng bareng cowok, tauk." Naila terdengar panas.
"Lalu?"
"Lalu? Cewekmu selingkuh, Bang! Dirimu diem aja? Mereka masuk kafe pake gandengan tangan segala, tauk!" Sekarang dia benar-benar terlihat kesal.
"Dan masalahnya adalah?"
"Ih, Bang Akbar mau biarin aja mereka berduaan gitu?" Mata Naila membulat tak percaya.
Kusodorkan kacang mede di mangkuk. "Sudah selesai belajarnya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Dia membanting bokong ke kursi sambil menggerutu, "Aneh!"
Kuajukan satu kacang mede ke depan mulutnya. Dia membuka mulut, agak malas menerima suapanku. "Dia belum jadi isteri Abang, biarlah dia senang-senang dulu," kataku santai.
Naila mengunyah kacang mede di mulut. Wajah tegangnya berangsur jadi tenang. Mungkin nafsunya untuk melabrak Alisha sudah tersalurkan dengan menggerus kacang dengan gigi. "Apa, sih, yang Abang suka dari dia?"
Ini pertanyaan sulit karena tak ada yang bisa dijadikan jawaban. Aku cuma mau membantu gadis itu berbakti kepada ibunya.
"Kok, diem?"
Kukedikkan bahu. "Apa perlu alasan untuk satu perasaan?"
"Ih, Abang, nih."
Pak Ali kembali masuk dengan pesanan dari tamu yang baru datang. "Tamu terakhir, Pak," lapornya, "Mbak Alisha dengan Pak Dirga. Sepertinya mereka memang punya hubungan khusus. Itu tangan Mbak Alisha ngga dilepas-lepas."
"Hm. Barangkali kalau dilepas, tangannya bisa menguap," ujarku, berusaha bercanda.
"Ih, dasar Bang Akbar payah. Cowok ga punya harga diri. Cewekmu selingkuh di depan mata, dibiarin aja," Naila mengomel sambil berdiri, lalu keluar dapur dengan kaki mengentak.
Kubiarkan Naila dengan kekesalannya. Pak Ali menghela napas lalu dengan cekatan menyiapkan pesanan Alisha.
Kubuatkan secangkir kopi untuknya. Tentu saja dengan tambahan sesendok garam dan micin. Setelah koreksi rasa, kuserahkan cangkir itu pada Pak Ali. "Complimentary drink buat Alisha," pesanku.
Pak Ali mengangkat alis, tapi tetap tak membantah. Ia hanya mengangguk dan keluar dapur membawa nampan berisi pesanan.
Kulanjutkan mengunyah kacang mede sambil memasang kuping, menunggu reaksi secangkir kopi. Tak butuh waktu lama, terdengar ribut-ribut di luar. Suara seorang lelaki berteriak-teriak, membuat keributan. Kopi itu sudah diminum.
Sebenarnya Pak Ali sudah sangat terlatih menangani komplain pelanggan. Namun, khusus kali ini, aku ingin mengurusnya sendiri.
Tanpa melepas apron, aku keluar menemui mereka. Keterkejutan terlihat jelas di wajah Alisha. Dirga yang sedang dikuasai kemarahan tampak makin geram melihatku mendekat.
Kuberi kode pada Pak Ali agar meninggalkan kami. Dia mengangguk dan beranjak menuju dapur.
Aku beralih kepada Dirga dengan melipat tangan di dada. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Dirga?"
Dia mendecak. "Anda tukang masak di sini?" tanyanya terdengar merendahkan.
Peduli amat soal nada penghinaannya. Kuanggukkan kepala mengiyakan.
"Apa Anda tahu bedanya garam dengan gula?"
Aku mengangguk lagi. Alisha mulai gelisah. Diraihnya lengan Dirga, dengan tatapan mata, dimintanya lelaki itu duduk.
Namun, Dirga bergeming. Suaranya malah makin meninggi. "Jadi Anda sengaja memasukkan garam ke dalam kopi?"
Lagi-lagi kuanggukkan kepala. "Saya menyajikan kopi kesukaan calon isteri saya, apa itu masalah buat Anda?"
Astaga! Ternyata Akbar chef di sini. Berarti puding itu bikinan dia? Kok, bisa? Jadi selama ini aku salah sangka? Pantesan Dirga ngga pernah mau bikinin puding lagi. Kenapa dia ngga bilang? "Apa Anda tahu bedanya garam dengan gula?" Dirga makin nge-gas. Kutarik lengannya biar duduk aja. Ngga ada gunanya berdebat sama makhluk kutub. Akbar cuma manggut-manggut dari tadi. Gila! Mukanya bener-bener ngga ada ekspresi. Jangan-jangan dia emang bukan manusia, tapi patung es. "Jadi Anda sengaja memasukkan garam ke dalam kopi?" Akbar ngangguk lagi, masih ngga pake ekspresi. "Saya menyajikan kopi kesukaan calon isteri saya, apa itu masalah buat A
Dia menangis seperti anak kecil. Terisak-isak, sesenggukan di lenganku. Tak mungkin tangisan sehebat itu hanya karena film kartun konyol.Pasti karena membiarkan kekasihnya pergi. Bodoh sekali. Jika memang sangat mencintai Dirga, mengapa tidak memperjuangkannya?Suara dehaman Pak Ali mengalihkan perhatian. Entah sudah berapa lama dia berdiri di situ. "Klethikan buat Mbak Naila dan teman-teman sudah habis, Pak," lapornya.Kuanggukkan kepala menerima laporan singkat itu. "Kita bikin stik ubi pakai ubi ungu yang kemarin," tukasku."Baik, Pak." Dengan cekatan, ia mengambil ubi ungu dari kulkas dan mulai mengupasnya."Aku masak dulu," kataku pad
"Syukurlah, lidahmu cukup cerdas," katanya datar.Maksudnya apa coba? Udah gitu langsung pergi aja lagi. Ngga sopan. Padahal aku udah nawarin buat jadi pendengar curhat yang baik. Huh! Kutarik penawaran tadi!Bodi boleh seksi, tapi kelakuan bikin makan hati. Ngomong-ngomong, dia ikut olahraga apa sampe perutnya kotak-kotak gitu. Apa karena jadi chef, makanya roti sobek jadi nempel di badannya?Argh! Sialan! Kenapa tadi malah pake baju di depanku? Jadi ngebayangin kebalikannya, kan? Tutup muka pake tangan.Eh, tanganku masih megang hape. Dia lupa ngambil lagi hapenya. Hehehe, apa perlu aku ceki-ceki?Huahahahaha! Dasar CEO, layarnya pun ngga
Terima, ngga? Kalo diterima, ntar jadi oleng lagi. Kehangatannya, kelembutannya, perhatiannya, ugh, susah ditolak. Gimana, dong?Kalo ngga diterima, ntar marah. Biarpun sebenernya dia ngga pernah marah. Baru tadi ngeliat dia semarah itu. Kesel banget kayanya, padahal cuma kopi doang. Akbar aja dapet kopi kaya gitu bisa tetep kalem. Tapi, patung es ngga bisa dijadiin pembanding, sih. Kayanya dia emang ngga punya perasaan.Getar hape akhirnya brenti. Napasku bisa ngalir lagi. Cuma beberapa detik, trus getar lagi.Ya, ampun! Apa diblokir aja nomernya? Tapi, gimanapun, dia, kan, wali murid, mana mungkin diblokir?Trus? Cuekin aja?Tapi aku juga pengen tahu gimana reaksinya. Lagian, belom ada kata putus yang bener-bener jelas. Kay
Dasar Naila! Dia pikir bisa membodohiku.Kutemui para remaja beranjak dewasa itu. "Adek-adek, sudah selesai belajarnya?"Anak-anak baru lulus SMA itu serempak mengeluh. "Udah capek, Bang. Butuh hiburan, nih. Sekarang aja nontonnya."Hm, ini yang terjadi ketika belajar menjadi kewajiban. "Udah zhuhur. Shalat, makan, setelah itu baru nonton."Mereka bersorak lagi. Tentu saja, hanya Naila dan anak lelaki itu yang diam saling memandang."Musholla ada di kebun belakang, ada keran buat wudhu di sana, tapi tidak ada toilet," jelasku singkat."Oke, Bang!" sahut salah satunya. Tanpa perlu diperintah, para remaja menjelang dewasa ini merapi
"Aku udah milih!" kataku, dikuat-kuatin. Padahal mata udah mau nangis.Ngapain juga Dirga dateng lagi ke sini? Kenapa dia jadi kaya gitu? Dateng-dateng main pukul?"Ayo, shalat," ajak Akbar datar, trus pergi aja, ngga pake nunggu.Aku lagi ngantre toilet. Jadi orang terakhir di antrean itu ngga enak. Terpaksa harus ngantre sendiri.Naila keluar toilet dan langsung pamit ke pintu belakang yang ada di ujung koridor. Aku iyain aja, lagian masih harus ke toilet, kan?Baru aja mau masuk toilet, kedengeran langkah kaki buru-buru. Aku balik dan auto-terpaku. Dirga berhenti selangkah di depanku.Dia juga kayanya terpaku, cuma ngeliatin ngga pake ngomong sedikit pun. Akhirnya kuputus
Tak ada jawaban dari dalam. Tak ada suara juga. Duduk bersandar di pintu toilet, aku memikirkan diriku sendiri. Mengapa harus terlibat di antara mereka?Kuketukkan kepala ke pintu. Terdengar ketukan yang sama dari balik sana. Sepertinya dia juga duduk bersandar di balik punggungku. "Alisha?"Tak ada jawaban. Hanya suara kucuran air tak lama kemudian. Buatku, itu sudah cukup melegakan. Setidaknya, aku bisa yakin bahwa dia masih bisa berjalan ke wastafel.Pak Ali datang menghampiri ketika aku hendak keluar ke musholla. "Pak Dirga masih di luar, Pak," katanya setengah berbisik, "kayanya dia nunggu Mbak Alisha. Apa perlu saya usir?"Kulirik pintu toilet yang masih tertutup rapat. Dia memilih bertahan di dalam. "Biar saja," kataku, "apa yang dia lakukan, bukan urusan kita."
Uhuk!Asem! Udah minta maaf juga, masih diomongin. Kayanya Akbar tipe pendendam, deh. Salah dikit, diinget selamanya, huh!Enakan sama Dirga kalo soal ini. Seandainya aku nangis di lengan Dirga tadi, dia pasti bakal meluk aku dan ngga akan peduli soal baju yang basah.Ah, andai mereka tukeran tempat. Akbar yang ada di mobil merah itu, Dirga duduk di sini makan siang bareng sama aku."Aku tidak akan menghalangi kalau kamu mau ke sana." Kalimat Akbar ngalihin perhatian dari mobil Dirga.Kusendok kuah ramen yang udah dingin. Rasa kaldunya kentel banget, bikin ini jadi ramen terenak sepanjang masa. Akbar emang cowok paling jago masak yang pernah kutemui. Sekaligus cowok paling ngeselin sedunia. "Kenapa kamu aneh banget?"
Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.
Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.
Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung
Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"
Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m
Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,
Siang itu, mulai, deh, mempelajari segala hal tentang proyek resort di Magelang. Capek juga baca tumpukan dokumen satu-satu. Apalagi ini bukan dokumen yang aku ngerti sepenuhnya. Gambar-gambar rancangan, model 3D, anggaran, ya, ampun, kenapa Akbar nyuruh aku ngerjain yang kaya ginian, sih?Akhirnya aku cuma nyuruh mereka presentasiin progress proyek sampe hari ini, dan semua baik-baik aja. Jadi investigasi apa yang musti aku lakuin? Sama sekali ngga ngerti, deh, proyek ginian. Dia mau aku nyari kesalahan di mana?Akhirnya nanya-nanya Sari, si sekretaris magang yang dapat tugas buat jadi semacam pendampingku selama di Yogya. Dia cerita semua yang dia tahu soal proyek
Masih pagi waktu pesawat mendarat mulus di Adi Sutjipto. "Hoaaa!" Aku bener-bener bahagia jadi orang Indonesia. Matahari sepanjang tahun, ngga ada angin dingin yang bikin tulang jadi beku, daun-daun selalu ijo. Biar pun daun merah oranye cakep juga, sih, tapi daun ijo selalu nyegerin.Saking hepinya, aku diem dulu bentar di landasan, rentangin tangan sambil merem, menikmati hangatnya cahaya matahari pagi. Duh, tanahku emang tanah surga. Mungkin karena dulu ke New York pas lagi summer, jadi ngga berasa banget bedanya. Sekarang nyobain musim gugur di Baltimore, plis, deh, paling nikmat Indonesia ke mana-mana.Masuk ke gedung bandara, angin sejuk dari AC langsung menghambur. Tanpa sadar aku jadi senyam-senyum sendiri. Udara AC ini jadi kerasa ngga ada apa-apanya dibanding
Selagi menunggu mobil yang akan mengantar ke Kedutaan Korea, aku bertemu lagi dengannya. Dia menghampiriku dengan langkah tegap dan pandangan lurus tanpa ragu. "Saya sudah membicarakannya dengan calon istri. Kami sepakat menjadikan ini urusan keluarga."Aku berdiri, menantang matanya lurus-lurus. "Apa yang akan kalian lakukan?""Kami akan menggelar forum keluarga, keputusannya tergantung hasil pembicaraan di forum itu nanti."Kuanggukkan kepala. "Satu minggu," kataku, "jika dalam seminggu saya tidak mendengar tentang kelanjutan proses hukum kasus ini, saya sendiri yang akan minta dukungan Presiden untuk menuntaskannya."Sinar matanya yang mantap menatap, seketika berubah. Hanya sesaat, kemudian sebuah seringai tergambar di wajahnya. "Anda cukup pandai menggertak."