Home / Romansa / Balada Cinta ShaBar / 69. Alisha: Teman Seperjalanan

Share

69. Alisha: Teman Seperjalanan

Author: Nesri Baidani
last update Last Updated: 2021-10-20 08:44:43

Akbar bersikeras buat salat dulu, padahal aku udah laper banget. "Mushollanya tidak jauh dari food court, nanti setelah salat kita langsung makan," katanya manis banget. Ya, udah, deh, manut aja. 

Mushollanya ternyata lumayan juga. Ada satu keran buat berwudhu plus dua lembar sajadah, tapi ngga ada mukena. "Kamu bawa mukena, kan?" tanya Akbar, nyodorin ransel yang dari tadi dia panggul.

Bawa, sih, tapi di bawah banget. Mana kepikiran buat salat di jalan. Akbar, nih, nyebelin, deh. Emang, sih, salat itu wajib, tapi, kan, kita lagi di perjalanan gini. Mana ini, kan, Jepang, bukan tempat yang gampang banget buat salat, ya, kan? 

Mana kutahu, ternyata bandara nyediain musholla. Perasaan waktu ke Amrik bareng Alex dulu, kita

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Balada Cinta ShaBar   70. Alisha: Kamu Ngga Khawatir?

    "Halo, assalamu'alaikum, Topan."Ngga ada jawaban."Topan?""Mbak Alisha?""Lah? Bengong. Mana salamku ngga dijawab.""Oh, sorry, Mbak. Tadi kaget, takut salah sambung. Mbak Alisha tiba-tiba pake salam soalnya."Halah! "Lagi tobat aku. Jalan sama CEO Alim, ngga bisa macem-macem." Ngomong gini sambil ngelirik Akbar yang mukanya lurus kaya jalan tol. "Gimana, Pan?"Topan terkekeh di ujung telepon. "Pak Akbar sama Mbak Alisha ke Baltimore, kan?""Eh, dapat info dari mana?"

    Last Updated : 2021-10-21
  • Balada Cinta ShaBar   71. Alisha: Maaf

    Kulingkarkan lengan di leher Akbar. Harum kopi merasuk, menguasai otak, bikin aku menghirup lebih banyak udara di atas pundaknya. "Akbar ....""Hm?""Maafin aku, ya." Kurebahkan kepala di bahunya. Seluruh beban yang bikin kepala berat dua bulan ini kaya meluncur jatuh ketarik gravitasi bumi, atau gravitasi Akbar? "Aku ngga bisa jagain Naila," kataku. Kubiarkan air meleleh dari sudut mata. "Padahal kamu udah ngasih aku hape baru buat jagain Naila, kan?"Tiba-tiba Akbar brenti, trus ngomong pake bahasa Jepang. Ngagetin aja, deh. Cepet-cepet kutegakkan kepala dan kuapus airmata di muka. Sebulatan kecil air juga ikut ngebasahin kemeja Akbar. Jadi ngga enak ati, mudah-mudahan ngga dimintain uang laundry.

    Last Updated : 2021-10-22
  • Balada Cinta ShaBar   72. Akbar: Imajinasi

    Kutahan gemetar di bibir. Kuabaikan entakan jantung dalam rongga dada. Kukepalkan tangan agar tak ada getar yang menjalar. Ternyata, begini rasanya mengaku dosa.Di hadapanku, Alisha tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya memandang tanpa berkedip hingga ponsel di saku kemejaku bergetar. Mulanya kukira jantungku berdebar terlalu keras sampai beresonansi dengan ponsel. Ternyata panggilan video dari GM Baltimore.Dia sedang berada di kamar Naila, menunjukkan suasananya melalui kamera. Kuajak Alisha untuk ikut melihat apa yang ada di layar. Kamar Presidential Suite itu tampak sangat rapi seolah memang tak pernah ditinggali. Tak ada barang bertebaran di ruang tamu, pintu kaca ke ruang tidur utama pun tertutup rapat. Saat aku di sana, ruang tidur utama adalah ruang prib

    Last Updated : 2021-10-23
  • Balada Cinta ShaBar   73. Akbar: Salah

    "Fine!" Kututup mata, berusaha fokus memikirkan ke mana kira-kira Naila akan pergi. Namun, yang muncul malah gambaran es krim cokelat yang sedang meleleh kepanasan. Mungkin aku terlalu lelah.Lampu kabin telah diredupkan dari tadi, penumpang lain mungkin sudah tidur. Kuatur bangku hingga menjadi tempat tidur. Untuk ukuran badanku, The Room terasa terlalu kecil. Terpaksa berbaring diagonal dengan sedikit menekuk kaki. Tidak terlalu nyaman sebenarnya, tapi ini yang terbaik karena bangku First Class sudah penuh kemarin."Kamu ngga mau es krimnya?" tanyanya ketika aku hendak menarik selimut ke muka.

    Last Updated : 2021-10-24
  • Balada Cinta ShaBar   74. Alisha: Let's Learn Together

    "Kamu tahu, gara-gara ini, kurasa, cara terbaik menghadapi persoalan hidup emang ngikutin aturan yang udah dikasih Allah." Kutarik napas dalem, susah banget gara-gara idung mampet.Duh, cengeng banget, sih. Gini aja nangis. Abis, gimana, dong? Aku bener-bener berharap bisa muter ulang waktu, trus bilang sama Akbar biar dia nyuruh Naila mutusin Fikri.Ngga ada respon dari Akbar. Aku cuma denger suara napasnya yang kedengeran mendesah kaya putus asa. "Kita belum salat," katanya, ngalihin pembicaraan tiba-tiba, "wudhu di toilet sana!""Heh? Di toilet?""Ada air, kan, di wastafelnya? Hati-hati jangan sampai toiletnya basah."Lah? Gimana? Wudhu pake aer tapi ngga boleh basah?Ya, pasti

    Last Updated : 2021-10-25
  • Balada Cinta ShaBar   75. Akbar: Perjalanan Panjang

    "Lalu?" tanyaku tak sabar. Debar jantung terasa terlalu keras hingga memicu nyeri di sambungan tulang dada. Aku harus mengatur napas agar debaran ini tak terlalu menyakitkan.Alisha menghela napas dalam. Matanya yang jenaka seperti berusaha menghindariku. Dia menggumam lalu mendeham. "Kalo kamu terdampar di pulau tak berpenghuni, kamu berharap terdampar sama siapa?"Pertanyaan macam apa ini? Dia berusaha mengalihkan pembicaraan? "Out of topic," balasku."In of topic banget," bantahnya, "ayo, jawab.""Apa hubungannya?""Jawab aja, sih," balasnya gemas.

    Last Updated : 2021-10-26
  • Balada Cinta ShaBar   76. Alisha: Lempeng

    Ah, tidur yang menyenangkan. Akbar masih bobo, mending rapi-rapi dulu. Ada body sheet di toilet, bisa buat lap-lap dikitlah. Kucopot kompres yang nempel semaleman di kaki. Sekarang pergelangan kaki udah jauh lebih enakan. Musti inget-inget, jangan lari-lari dulu, jangan nendang-nendang dulu, ntar sakit lagi. Eh, tapi kalo kakiku sakit, kan, jadi bisa digendong Akbar lagi, he he he.Akbar masih merem aja, padahal aku udah selesai poles-poles bedak sama lipstik tipis-tipis. Bulu mata juga udah lentik pake maskara dikit. Barusan juga udah pesen sarapan, nasi goreng gunung berapi. Tau, deh, kaya gimana itu nasi goreng. Apa mungkin nasi gorengnya meledak-ledak? Seru, nih.Ceki-ceki IG, deh. Notifnya bejibun, ya, ampun. Pada nanyain soal hubunganku sama Akbar. Ehem, apa kasih

    Last Updated : 2021-10-27
  • Balada Cinta ShaBar   77. Akbar: My Fiance

    Baru sepuluh derajat, bibir Alisha sudah gemetar. Tampaknya dia tak hanya butuh mantel, tapi juga sarung tangan, syal, dan sepatu boot.Syukurlah, suhu di dalam terminal sedikit lebih hangat. Kalau terlalu lama di luar, aku khawatir Alisha akan mengalami hipotermia bahkan sebelum sampai di Baltimore. "Ayo, ngopi dulu," ajakku untuk menghangatkan badan."Apa ngga kelamaan nanti?""Masih empat jam lagi. Memilih mantel paling hanya beberapa menit," balasku, langsung berbelok ke kios kopi yang ada di pojokan selasar."Double espresso, please," kataku pada barista di balik meja.

    Last Updated : 2021-10-28

Latest chapter

  • Balada Cinta ShaBar   105. Akbar: Galau

    Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.

  • Balada Cinta ShaBar   104. Alisha: On Fire!

    Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.

  • Balada Cinta ShaBar   103. Alisha: Ujian

    Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung

  • Balada Cinta ShaBar   102: Akbar: Aaaargh!

    Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"

  • Balada Cinta ShaBar   101. Akbar: Bukan Salahmu

    Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m

  • Balada Cinta ShaBar   100. Akbar: Kesempatan Kedua

    Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,

  • Balada Cinta ShaBar   99. Alisha: Cuma Kamu

    Siang itu, mulai, deh, mempelajari segala hal tentang proyek resort di Magelang. Capek juga baca tumpukan dokumen satu-satu. Apalagi ini bukan dokumen yang aku ngerti sepenuhnya. Gambar-gambar rancangan, model 3D, anggaran, ya, ampun, kenapa Akbar nyuruh aku ngerjain yang kaya ginian, sih?Akhirnya aku cuma nyuruh mereka presentasiin progress proyek sampe hari ini, dan semua baik-baik aja. Jadi investigasi apa yang musti aku lakuin? Sama sekali ngga ngerti, deh, proyek ginian. Dia mau aku nyari kesalahan di mana?Akhirnya nanya-nanya Sari, si sekretaris magang yang dapat tugas buat jadi semacam pendampingku selama di Yogya. Dia cerita semua yang dia tahu soal proyek

  • Balada Cinta ShaBar   98. Alisha: Kemarahan

    Masih pagi waktu pesawat mendarat mulus di Adi Sutjipto. "Hoaaa!" Aku bener-bener bahagia jadi orang Indonesia. Matahari sepanjang tahun, ngga ada angin dingin yang bikin tulang jadi beku, daun-daun selalu ijo. Biar pun daun merah oranye cakep juga, sih, tapi daun ijo selalu nyegerin.Saking hepinya, aku diem dulu bentar di landasan, rentangin tangan sambil merem, menikmati hangatnya cahaya matahari pagi. Duh, tanahku emang tanah surga. Mungkin karena dulu ke New York pas lagi summer, jadi ngga berasa banget bedanya. Sekarang nyobain musim gugur di Baltimore, plis, deh, paling nikmat Indonesia ke mana-mana.Masuk ke gedung bandara, angin sejuk dari AC langsung menghambur. Tanpa sadar aku jadi senyam-senyum sendiri. Udara AC ini jadi kerasa ngga ada apa-apanya dibanding

  • Balada Cinta ShaBar   97. Akbar: Topan

    Selagi menunggu mobil yang akan mengantar ke Kedutaan Korea, aku bertemu lagi dengannya. Dia menghampiriku dengan langkah tegap dan pandangan lurus tanpa ragu. "Saya sudah membicarakannya dengan calon istri. Kami sepakat menjadikan ini urusan keluarga."Aku berdiri, menantang matanya lurus-lurus. "Apa yang akan kalian lakukan?""Kami akan menggelar forum keluarga, keputusannya tergantung hasil pembicaraan di forum itu nanti."Kuanggukkan kepala. "Satu minggu," kataku, "jika dalam seminggu saya tidak mendengar tentang kelanjutan proses hukum kasus ini, saya sendiri yang akan minta dukungan Presiden untuk menuntaskannya."Sinar matanya yang mantap menatap, seketika berubah. Hanya sesaat, kemudian sebuah seringai tergambar di wajahnya. "Anda cukup pandai menggertak."

DMCA.com Protection Status