"Ih, pas banget! Aku baru aja nyampe. Tadi abis daftar buat ambil sertifikasi. Ntar aku bakal jadi tukang pijit besertifikat, loh, hahaha." Itu suara Naila, aku tahu. Kenapa dia ada di sini? Bukankah aku masih di suite?
"Makasih. Ngga nanya gimana kabar Baltimore?" Suara dia lagi, sambil cekikikan. Bicara sendiri? Atau sedang menelepon seseorang?
Kenapa mataku berat sekali dibuka?
Dia tertawa. "Alhamdulillah, Bang Akbar udah sadar. Kita berhasil, Kak."
Kak? Dia bicara dengan Alisha? Apa dia baik-baik saja? Bagaimana kakinya? Bagaimana tangannya?
Kenapa mulutku tak bisa terbuka?
"Yah, alham
"Okay, setelah dua hari, akhirnya bisa nelepon kamu lagi. Kangen, ngga?" Dia tertawa kecil. Penahan leher itu membuatnya tak bisa membuka mulut terlalu lebar. Meski begitu, Alisha tetap terlihat manis sekali. "Ngga, aku tahu, kamu ngga akan kangen."Tidak, dia tidak tahu."Oya, makasih, ya, parfumnya. Aku sukaaa sekali. Ini favoritku sejak pertama kali muncul di toko parfum isi ulang. Ternyata yang ori wanginya sama sekali ngga nyegrak. Udah gitu, lembuuut banget. Ini bener-bener intimate fragrance, baru bisa kecium wanginya kalo udah nempelin idung ke kuli
Lima menit ternyata terlalu singkat jika digunakan tanpa berpikir. Waktu seolah melompat dan tiba-tiba aku sudah harus berpisah lagi dengannya. "Okay, udah lima menit. Dah," katanya tiba-tiba. "No, wait!" "What?" "Kamu salah lihat jam." "Masa? Bener, kok. Tadi waktu kita mulai ...." "Di jamku, masih ada empat menit lima puluh sembilan detik lagi." "Ngga mungkin. Jammu rusak, kali." "Masa? Apa mungkin waktu terhenti ketika aku mulai mendengar suaramu?"
Pagi yang menegangkan dan Akbar ngga bisa dihubungi dari subuh. Masa dia belom bangun, sih? Kan, udah nyampe Jakarta semalem?Padahal tadi malem, katanya, ngomongin kerjaan pagi aja, lagi jet lag, mau ngereceh aja. Sekarang ditelepon malah ngga diangkat-angkat, huh, sebel!Kuentakkan kaki kanan ke lantai. Aw! Sakit. Lupa kalo masih ngga boleh kasar-kasar sama kaki biar pun perban elastisnya udah dibuka.Sampe Topan ngejemput, Akbar masih juga belom bisa dihubungi. Ih, ke mana, sih, tuh, anak? Masa masih tidur, jam segini? Apa jet lag-nya parah banget jadi masih serasa malem biarpun udah pagi?R
Aku terbangun dan mendapati puluhan missed call dari Alisha. Hmm, dia pasti stress sekali pagi ini. Tak mengapa. Kadang kita membutuhkan tekanan yang kuat agar dapat melenting tinggi. Lagipula, aku tahu dia pasti bisa mengatasi Dewan Direksi. Kami sudah berdiskusi berkali-kali dan aku yakin, amunisinya untuk menghadapi petinggi Purwaka Grup sudah lebih dari cukup. Ia hanya butuh melangkah dengan percaya diri. Itu saja.Aku tiba di rumah Alisha, tepat ketika ibunya selesai menggembok pagar. "Icha udah berangkat dari tadi, dijemput Topan," beliau memberitahu setelah berbasa-basi seperlunya."Saya tahu," kataku, "saya ada perlu bicara dengan Tante."Ibu Alisha terlihat kaget tapi kemudian tersenyum dan mengangguk. Kami berbasa-basi d
Hmm, mi ayam ini enak banget. Aku yang laper atau mereka emang sedikit ngubah resepnya? Udahlah, udah ngga sabar nyicipin dessert box bikinan Akbar.Kuambil kotak plastik itu dari freezer. Di bagian tutupnya ada emboss logo La Luna berbentuk bulan purnama. Bunga-bunga es yang nempel di tepi kotak bikin tutupnya susah banget dibuka pake satu tangan."Sini." Tau-tau Akbar udah berdiri menjulang di sampingku. Ngeliat dia real life kaya gini, rasanya kaya lagi di alam mimpi. Ya, Tuhan, dia ganteng banget, sih?Dengan seulas senyum disodorkannya kotak yang udah keb
"Jadi aku adalah tujuan keberadaanmu di sini?" tanyanya, memutar-mutar cincin di jari manis. Matanya seperti menatapku tapi tidak menatap apa-apa.Tak bisa kutebak arah pembicaraannya, seperti angin yang meliuk entah ke mana. "Aku sudah memilih mati, membiarkan Amanda mengambil jantungku."Alisnya mengernyit."Antara hidup dan mati, aku bertemu Ayah. Dia membantingku pada kenyataan. Mengingatkan bahwa masih ada janji yang harus ditepati. Aku janji membuatkan lima dessert box buatmu."Alisnya terangkat. "Kamu hidup untuk membuatkanku lima dessert box?"Ter
Cincin itu jatuh di samping kakiku, mantul sekali, trus brenti gitu aja."It's yours," katanya, "take it or leave it." Trus dia balik kanan, pergi ninggalin aku sendirian bareng cincin cantik itu.Aku duduk berhadapan sama cincin bermata putih yang cantiknya kebangetan. Di atas lantai parket, permata itu keliatan berkilau kaya bintang di langit malam.Duh, sayang banget kalo ngga diambil. Lagian, kata Akbar, aku boleh ngejual cincin ini, kan? Kalo liat kilaunya yang luarbiasa, pasti mahal, deh. Akbar, gitu, loh, parfum aja ngasihnya yang ori. Ngga mungkin dia ngelamar pake cincin abal-abal.Kua
"Akbar?" Duh mati aku, ketahuan. "Mau ke mana?" Semoga dia ngga liat kalo aku nyaris mati karena grogi."Itu pertanyaanku.""Oh, ya. Lupa, mau ke Jogja, ya." Harusnya aku yang ke Jogja hari ini. Untung dia udah bisa gantiin."Kamu mau ke mana?"Hmm, kasih tahu, ngga, ya. Udah janji sama Naila ngga bakal ngasih tahu abangnya, tapi mau minta tolong sama siapa lagi? Akbar musti tahu, kan?Hhh, pusing. Kuedarkan pandang ke sekeliling demi nyari pengalih perhatian. Biar masih pagi buta gini, tapi orang-orang udah rame juga lalu lalang. Ada yang parah, tuh, ciuman di pojokan deket pintu masuk keberangkatan. Hadeh, kaya ngga ada kata besok aja.Eh, bentar, kaya kenal, deh, sama cowoknya.
Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.
Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.
Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung
Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"
Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m
Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,
Siang itu, mulai, deh, mempelajari segala hal tentang proyek resort di Magelang. Capek juga baca tumpukan dokumen satu-satu. Apalagi ini bukan dokumen yang aku ngerti sepenuhnya. Gambar-gambar rancangan, model 3D, anggaran, ya, ampun, kenapa Akbar nyuruh aku ngerjain yang kaya ginian, sih?Akhirnya aku cuma nyuruh mereka presentasiin progress proyek sampe hari ini, dan semua baik-baik aja. Jadi investigasi apa yang musti aku lakuin? Sama sekali ngga ngerti, deh, proyek ginian. Dia mau aku nyari kesalahan di mana?Akhirnya nanya-nanya Sari, si sekretaris magang yang dapat tugas buat jadi semacam pendampingku selama di Yogya. Dia cerita semua yang dia tahu soal proyek
Masih pagi waktu pesawat mendarat mulus di Adi Sutjipto. "Hoaaa!" Aku bener-bener bahagia jadi orang Indonesia. Matahari sepanjang tahun, ngga ada angin dingin yang bikin tulang jadi beku, daun-daun selalu ijo. Biar pun daun merah oranye cakep juga, sih, tapi daun ijo selalu nyegerin.Saking hepinya, aku diem dulu bentar di landasan, rentangin tangan sambil merem, menikmati hangatnya cahaya matahari pagi. Duh, tanahku emang tanah surga. Mungkin karena dulu ke New York pas lagi summer, jadi ngga berasa banget bedanya. Sekarang nyobain musim gugur di Baltimore, plis, deh, paling nikmat Indonesia ke mana-mana.Masuk ke gedung bandara, angin sejuk dari AC langsung menghambur. Tanpa sadar aku jadi senyam-senyum sendiri. Udara AC ini jadi kerasa ngga ada apa-apanya dibanding
Selagi menunggu mobil yang akan mengantar ke Kedutaan Korea, aku bertemu lagi dengannya. Dia menghampiriku dengan langkah tegap dan pandangan lurus tanpa ragu. "Saya sudah membicarakannya dengan calon istri. Kami sepakat menjadikan ini urusan keluarga."Aku berdiri, menantang matanya lurus-lurus. "Apa yang akan kalian lakukan?""Kami akan menggelar forum keluarga, keputusannya tergantung hasil pembicaraan di forum itu nanti."Kuanggukkan kepala. "Satu minggu," kataku, "jika dalam seminggu saya tidak mendengar tentang kelanjutan proses hukum kasus ini, saya sendiri yang akan minta dukungan Presiden untuk menuntaskannya."Sinar matanya yang mantap menatap, seketika berubah. Hanya sesaat, kemudian sebuah seringai tergambar di wajahnya. "Anda cukup pandai menggertak."