Menggunakan kalimat bersayap untuk menyampaikan keputusan tentang masa depan. Bodoh sekali!
Amah Hana dan Tante Santi terlihat sangat bahagia. Mereka langsung terlibat percakapan hangat bernuansa nostalgia. "Inget banget waktu acara walimatul 'ursy saya, Akbar tiba-tiba ngilang. Sampe-sampe Bang Karim ikutan turun panggung buat nyariin. Heboh satu gedung, deh, waktu itu," lagi-lagi Amah Hana menceritakan kisah lama itu.
Alisha tampak tak mendengarkan. Dia masih menunduk, khusyuk menyendok nasi uduk di piring.
Naila menendang kakiku agak keras. Dengan ujung dagu, ditunjuknya Alisha yang seolah sedang menyingkir dari hiruk pikuk meja makan.
Kukedikkan bahu, malas. Siapa suruh tak jujur dengan perasaan sendiri!
Kulambaikan tangan pada Pak Ali agar dia mulai menyiapkan hidangan penutup. Dengan cekatan, manajer La Luna tersebut mengambil piring-piring yang telah kosong.
Alisha menyusun sendok dan garpu secara paralel di piring, pertanda ia telah selesai makan. Dia tidak terlihat berselera. Nasi uduk di piring hanya dihabiskan sepertiga, menyisakan dua pertiga bentuk hati yang bubrah. Tahu bacem, daun kemangi, dan ayam goreng, hanya itu yang dimakannya.
Pak Ali menghidangkan puding susu ubi ungu dengan cekatan. "Wah! My favourite!" seru Naila antusias, "makasih, Bang."
Wajah muram Alisha sedikit berubah begitu melihat puding terhidang di hadapan. Perlahan, tangannya menyendok puding susu itu. Gerakan halus tangan itu terhenti begitu sendok masuk ke mulut. Matanya membulat, tak lama kemudian berkaca-kaca.
"Permisi," katanya, menyelempangkan tas kecil di bahu lalu berdiri meninggalkan meja.
Dasar bodoh! Lihat akibatnya ketika mengambil keputusan yang salah.
"Permisi." Aku berdiri, meninggalkan meja makan.
***
Di pintu toilet, terdengar suara isakan perempuan. Sesuai perkiraan, gadis itu menangis. Kusandarkan badan ke dinding merah marun di samping pintu.
Kuembuskan napas kesal. Harusnya kubiarkan saja dia menerima konsekuensi keputusan. Buang-buang waktu berdiri di sini.
Pintu toilet terbuka setelah agak lama. Alisha keluar dengan wajah tanpa make up. Terlihat lebih segar. Sejujurnya, dia lebih manis begini.
Dia menatapku sebentar kemudian berlalu. "Masih ada waktu," kataku, "pikirkan baik-baik keputusanmu."
Kakinya berhenti melangkah. Berbalik mendekatiku, ia berujar lirih penuh penekanan, "Kalo ngga mau nikah, kenapa ngga kamu aja yang putusin?" Kemarahan terlukis jelas di matanya. Setelah berkata begitu, ia berbalik, meninggalkanku sendiri lagi.
Dasar bodoh!
"Aku ngga pernah ketemu ibuku," kataku menghentikan langkahnya, "Allah manggil dia, bahkan sebelum sempat menyusuiku."
Dia berbalik, menunggu kelanjutan kata-kataku.
"Jadi kupikir, ngga ada ruginya membantu orang lain berbakti kepada ibunya."
Dia masih berdiri di sana, menatapku lekat tak berkedip.
"Tapi itu sebelum aku tahu kamu punya pacar ...."
"Ssst!" Dia buru-buru kembali mendekatiku. "Cuma kamu yang tahu soal Dirga," katanya dengan suara sangat rendah, "dan ngga perlu tambah orang lain lagi!"
Kukedikkan bahu, tak peduli. "Terserah. Ini hidupmu. Aku cuma memperingatkan. Kamu sudah menangis hanya beberapa menit setelah menerima pernikahan ini. Apa kamu mau menjalani sisa hidup seperti ini?"
Dia bergeming.
"Pikirkan lagi putusanmu!" Kutinggalkan dia dan masuk ke toilet.
Sesuatu berpendar di wastafel, sebuah ponsel.
Nama Dirga tertera di layar. Bodoh sekali, gadis itu meninggalkan ponselnya di toilet umum. Kubiarkan benda pipih itu berpendar dan bergetar hingga berhenti sendiri.
Kutimang ponsel itu. Ada notifikasi panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali. Tiga-tiganya dari Dirga. Di bagian paling bawah, tulisan slide to unlock terlihat sangat menggoda. Namun, aku masih menganggap ponsel sebagai barang pribadi, tak selayaknya diutak-atik tanpa seizin si empunya.
Tiba-tiba layar berubah warna, diikuti getar halus yang merambat di tangan. Kemudian nama Dirga kembali tertera di sana.
Setelah berpikir sebentar, kuputuskan untuk mengusap tombol hijau yang terpampang di layar. Suara seorang lelaki masuk ke telinga. "Ah, akhirnya. Sorry, tadi lagi bantuin Lintang di kamar mandi, jadi ngga bisa bales WA."
Apa aku harus merespons permintaan maafnya?
"Kamu marah, Yang?"
Hmm, apa perlu kuberitahu bahwa saat ini ponsel Alisha sedang dipegang calon suaminya?
"Sorry, aku ngga bermaksud ngebo'ong. Aku cuma ngga bilang kalo puding itu aku beli di La Luna. Abis kayanya kamu seneng banget ngerasa udah dibikinin puding."
Oh, puding itu punya kenangan istimewa rupanya. Menu ini baru diluncurkan akhir tahun lalu. Berarti paling lama hubungan mereka baru berusia sekitar enam bulan, masih baru.
"Yang? Kamu marah?"
Sebaiknya kumatikan saja. Dia tak perlu tahu bahwa sekarang tidak sedang berbicara dengan kekasihnya.
"Kok, kamu tahu puding itu ada di La Luna? Kamu lagi di La Luna? Tapi barusan aku cek IG-nya, ngga ada pemberitahuan buka."
Tentu saja. Hari ini La Luna buka hanya untuk acara keluarga.
"Kalo kamu ngga mau jawab juga, aku ke La Luna sekarang."
Terserah! Aku tak peduli.
"Yang?"
Kutekan tombol merah. Beralih ke daftar panggilan, hapus panggilan terakhir. Selesai.
Kembali ke meja makan, kuletakkan ponsel di samping piring puding Alisha. Dia tampak terkejut tapi mulutnya tetap lirih mengucap terima kasih. Agak buru-buru dinyalakannya layar kemudian diusap-usapkannya jari di sana. Hanya beberapa detik, lalu dengan wajah sedikit kecewa diletakkannya kembali ponsel di meja.
"Gimana menurutmu, Bar?" Pertanyaan Amah Hana mengalihkan perhatianku. "Sebulan cukup, kan?" tanyanya lagi.
"Sebulan?" Aku tak mengerti topik yang sedang dibicarakan.
Amah Hana membalas santai, "Iya, sebulan buat persiapan pernikahan, cukup, kan?"
Astaghfirullah! Kulirik Alisha. Rona mukanya pun memucat seketika.
"Kan, semua udah siap. Gedung, kita udah ada. Catering, ready. Kalo kamu mau walimahan di kapal pesiar kaya bapakmu juga bisa," lanjut Amah Hana lagi.
Kutarik napas dalam. Itu semua hanya urusan teknis, sama sekali tak masalah. "Apa tidak perlu rembukan dulu dengan ayahnya Alisha?" tanyaku pada Om Karim.
"Ah, ya, benar," sahut Om Karim, "anak perempuan ngga bisa menikahkan dirinya sendiri. Dia butuh wali."
"Apa ngga bisa pake wali hakim aja?" balas Amah Hana enteng.
"Iya, saya juga udah lama ngga berhubungan lagi sama ayahnya Alisha," timpal Tante Santi ketus.
"Bisa saja, tapi aku lebih memilih mengusahakan buat ketemu wali nikahnya dulu sebelum memutuskan pakai wali hakim." Kupandangi semua yang hadir. Tak satu pun tampak berniat angkat bicara. "Kalau semua yang ada dalam daftar wali nikah sudah tidak ada lagi yang bisa menjadi wali, baru kita minta alihkan ke wali hakim."
Kulihat Tante Santi menghela napas. "Tapi saya bener-bener ngga tahu mau nyari ke mana," ujarnya lirih.
"Tante masih ingat nama lengkap dan tanggal lahirnya, kan?" tanyaku.
Tante Santi mengangguk. "Apa cukup pake itu aja?" tanyanya tak percaya.
"Cukup. Sisanya biar kita suruh orang buat cari tahu," jawabku, "kalo Tante masih nyimpen buku nikah, lebih bagus lagi. Di situ biasanya juga ada foto."
Tante Santi terperangah. "Kayanya masih ada di rumah," jawabnya sedikit ragu.
Akhirnya disepakati bahwa pembicaraan mengenai hari pernikahan ditunda hingga ada kejelasan mengenai ayah Alisha. Kulirik wajahnya. Ketegangan sepertinya telah menguap dari sana.Lihat saja, bagaimana dia memanfaatkan kesempatan yang baru saja kuciptakan.Kuputuskan untuk mengantar mereka pulang sekaligus mengambil buku nikah milik Tante Santi. Om Karim beserta keluarga telah lebih dulu bertolak karena harus menghadiri pesta pernikahan seorang kolega.Baru saja keluar dari kafe, sebuah mobil March merah masuk area parkir. Kulihat Alisha tertegun, dia pasti mengenali mobil itu."Ayo, pulang," ajakku, tetapi dia bergeming.Seorang anak lelaki kecil keluar sambil berlari. "Bu Guru!" serunya menyongsong Alisha.
Sumpah! Aku liat dia senyum! Tipis, sih, tapi yakin, deh, itu senyum! Biarpun cuma dari balik kaca depan mobil, aku ngga mungkin halu buat hal kaya gini. Lagian ngga butuh juga disenyumin sama dia. Justru aneh rasanya ngeliat makhluk kutub itu bisa senyum. "Aha!" Mama ngagetin banget sampe aku hampir kelompat. "Ternyata kamu beneran suka sama Mas Akbar, kan?" "Ish, Mama apa-apaan, sih?" "Nah, itu mukanya merah," ledek Mama sambil ngakak. "Ngga! Merah apaan?" Kuusap pipi. Ngga mungkin mukaku merah. Yang bener aja! "Nah, itu merahnya sampe kuping!" Mama makin semangat ngeledek. Refleks megang kuping. "Apaan, sih, Mama!" Tinggalin aja di teras. Kesel.
Astaghfirullah! Kenapa bisa salah menekan nomor? Kulihat lagi daftar panggilan barusan. Nama Alisha Maharani di urutan teratas. Diikuti Cinta Zara di urutan kedua. Ya Allah! Ada apa dengan diriku? Ponsel di tangan bergetar. Nama Alisha Maharani terpampang di layar. Kutarik napas sebelum menekan tombol hijau. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Enak banget, udah ngebangunin orang, trus dimatiin gitu aja?" "Maaf, silakan tidur lagi," jawabku agak merasa bersalah. "Aku minta kompensasi karena sekarang jadi ngga bisa tidur lagi," lanjutnya seperti pegawai disuruh lembur. "Apa? Bedtime sto
Astaga! Ternyata Akbar chef di sini. Berarti puding itu bikinan dia? Kok, bisa? Jadi selama ini aku salah sangka? Pantesan Dirga ngga pernah mau bikinin puding lagi. Kenapa dia ngga bilang? "Apa Anda tahu bedanya garam dengan gula?" Dirga makin nge-gas. Kutarik lengannya biar duduk aja. Ngga ada gunanya berdebat sama makhluk kutub. Akbar cuma manggut-manggut dari tadi. Gila! Mukanya bener-bener ngga ada ekspresi. Jangan-jangan dia emang bukan manusia, tapi patung es. "Jadi Anda sengaja memasukkan garam ke dalam kopi?" Akbar ngangguk lagi, masih ngga pake ekspresi. "Saya menyajikan kopi kesukaan calon isteri saya, apa itu masalah buat A
Dia menangis seperti anak kecil. Terisak-isak, sesenggukan di lenganku. Tak mungkin tangisan sehebat itu hanya karena film kartun konyol.Pasti karena membiarkan kekasihnya pergi. Bodoh sekali. Jika memang sangat mencintai Dirga, mengapa tidak memperjuangkannya?Suara dehaman Pak Ali mengalihkan perhatian. Entah sudah berapa lama dia berdiri di situ. "Klethikan buat Mbak Naila dan teman-teman sudah habis, Pak," lapornya.Kuanggukkan kepala menerima laporan singkat itu. "Kita bikin stik ubi pakai ubi ungu yang kemarin," tukasku."Baik, Pak." Dengan cekatan, ia mengambil ubi ungu dari kulkas dan mulai mengupasnya."Aku masak dulu," kataku pad
"Syukurlah, lidahmu cukup cerdas," katanya datar.Maksudnya apa coba? Udah gitu langsung pergi aja lagi. Ngga sopan. Padahal aku udah nawarin buat jadi pendengar curhat yang baik. Huh! Kutarik penawaran tadi!Bodi boleh seksi, tapi kelakuan bikin makan hati. Ngomong-ngomong, dia ikut olahraga apa sampe perutnya kotak-kotak gitu. Apa karena jadi chef, makanya roti sobek jadi nempel di badannya?Argh! Sialan! Kenapa tadi malah pake baju di depanku? Jadi ngebayangin kebalikannya, kan? Tutup muka pake tangan.Eh, tanganku masih megang hape. Dia lupa ngambil lagi hapenya. Hehehe, apa perlu aku ceki-ceki?Huahahahaha! Dasar CEO, layarnya pun ngga
Terima, ngga? Kalo diterima, ntar jadi oleng lagi. Kehangatannya, kelembutannya, perhatiannya, ugh, susah ditolak. Gimana, dong?Kalo ngga diterima, ntar marah. Biarpun sebenernya dia ngga pernah marah. Baru tadi ngeliat dia semarah itu. Kesel banget kayanya, padahal cuma kopi doang. Akbar aja dapet kopi kaya gitu bisa tetep kalem. Tapi, patung es ngga bisa dijadiin pembanding, sih. Kayanya dia emang ngga punya perasaan.Getar hape akhirnya brenti. Napasku bisa ngalir lagi. Cuma beberapa detik, trus getar lagi.Ya, ampun! Apa diblokir aja nomernya? Tapi, gimanapun, dia, kan, wali murid, mana mungkin diblokir?Trus? Cuekin aja?Tapi aku juga pengen tahu gimana reaksinya. Lagian, belom ada kata putus yang bener-bener jelas. Kay
Dasar Naila! Dia pikir bisa membodohiku.Kutemui para remaja beranjak dewasa itu. "Adek-adek, sudah selesai belajarnya?"Anak-anak baru lulus SMA itu serempak mengeluh. "Udah capek, Bang. Butuh hiburan, nih. Sekarang aja nontonnya."Hm, ini yang terjadi ketika belajar menjadi kewajiban. "Udah zhuhur. Shalat, makan, setelah itu baru nonton."Mereka bersorak lagi. Tentu saja, hanya Naila dan anak lelaki itu yang diam saling memandang."Musholla ada di kebun belakang, ada keran buat wudhu di sana, tapi tidak ada toilet," jelasku singkat."Oke, Bang!" sahut salah satunya. Tanpa perlu diperintah, para remaja menjelang dewasa ini merapi
Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.
Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.
Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung
Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"
Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m
Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,
Siang itu, mulai, deh, mempelajari segala hal tentang proyek resort di Magelang. Capek juga baca tumpukan dokumen satu-satu. Apalagi ini bukan dokumen yang aku ngerti sepenuhnya. Gambar-gambar rancangan, model 3D, anggaran, ya, ampun, kenapa Akbar nyuruh aku ngerjain yang kaya ginian, sih?Akhirnya aku cuma nyuruh mereka presentasiin progress proyek sampe hari ini, dan semua baik-baik aja. Jadi investigasi apa yang musti aku lakuin? Sama sekali ngga ngerti, deh, proyek ginian. Dia mau aku nyari kesalahan di mana?Akhirnya nanya-nanya Sari, si sekretaris magang yang dapat tugas buat jadi semacam pendampingku selama di Yogya. Dia cerita semua yang dia tahu soal proyek
Masih pagi waktu pesawat mendarat mulus di Adi Sutjipto. "Hoaaa!" Aku bener-bener bahagia jadi orang Indonesia. Matahari sepanjang tahun, ngga ada angin dingin yang bikin tulang jadi beku, daun-daun selalu ijo. Biar pun daun merah oranye cakep juga, sih, tapi daun ijo selalu nyegerin.Saking hepinya, aku diem dulu bentar di landasan, rentangin tangan sambil merem, menikmati hangatnya cahaya matahari pagi. Duh, tanahku emang tanah surga. Mungkin karena dulu ke New York pas lagi summer, jadi ngga berasa banget bedanya. Sekarang nyobain musim gugur di Baltimore, plis, deh, paling nikmat Indonesia ke mana-mana.Masuk ke gedung bandara, angin sejuk dari AC langsung menghambur. Tanpa sadar aku jadi senyam-senyum sendiri. Udara AC ini jadi kerasa ngga ada apa-apanya dibanding
Selagi menunggu mobil yang akan mengantar ke Kedutaan Korea, aku bertemu lagi dengannya. Dia menghampiriku dengan langkah tegap dan pandangan lurus tanpa ragu. "Saya sudah membicarakannya dengan calon istri. Kami sepakat menjadikan ini urusan keluarga."Aku berdiri, menantang matanya lurus-lurus. "Apa yang akan kalian lakukan?""Kami akan menggelar forum keluarga, keputusannya tergantung hasil pembicaraan di forum itu nanti."Kuanggukkan kepala. "Satu minggu," kataku, "jika dalam seminggu saya tidak mendengar tentang kelanjutan proses hukum kasus ini, saya sendiri yang akan minta dukungan Presiden untuk menuntaskannya."Sinar matanya yang mantap menatap, seketika berubah. Hanya sesaat, kemudian sebuah seringai tergambar di wajahnya. "Anda cukup pandai menggertak."