Hiya! Akhirnya selesai juga drama hari ini. Ada dua anak beda ukuran yang berantem, banting-bantingan sampe bibir pecah. Satu anak kelas nol kecil, mencret di celana dan bikin kelas dipenuhi aroma kotoran manusia. Parahnya, dia cuma nangis, sama sekali ngga mau dideketin siapa pun buat dicebokin. Kan, repot, kita terpaksa nunggu Mbaknya jemput supaya bisa bersih-bersih kelas.
Setelah anak-anak pulang semua, baru bisa rebahan dikit di sentra seni. Di atas playmat, di tengah-tengah ruangan yang udah lengang, ngerentangin tangan sejauh-jauhnya ke kiri dan kanan. Segala kerumitan gara-gara anak-anak, segala drama dampingin mereka belajar, jauh lebih nyenengin daripada semua kerumitan hubungan sama Dirga. Syukurlah, aku udah lepas dari semua itu.
Hari ini, perasaanku ringan
Akhirnya pake hape Mama buat pesen ojol. Nyampe di IGD, pasiennya buanyak banget. Aku harus ngejar-ngejar perawat biar Mama cepet-cepet ditangani. "Sebentar, ya, Mbak, kita prioritaskan pasien gawat darurat dulu," gitu kata salah satu perawatnya.Mama keliatan makin lemes. Merem aja di brankar nungguin dokter. "Bentar, ya, Ma. Pasiennya banyak banget malem ini."Mama ngelus kepalaku, bikin mata jadi anget, nahan airmata biar ngga jatoh jadi tangis. "Mama ngga apa-apa," katanya agak serak, nyaris ngga kedengeran.Kugenggam tangan Mama. "Mama, kalo mau marah sama aku, marah aja. Jangan jadi sakit. Aku tahu, aku salah. Marahin aja, Ma." Ngga tahan lagi, airmata ngalir gitu aja.Tangan Mama balik menggenggam. Lemah dan anget. "Mama sayang Icha."
Tulis chat buat Akbar. "Hapenya udah nyampe. Makasih, ya. Jangan khawatir, ngga kamu kasih hape juga pasti aku bantu jagain." Kirim, centang satu."Oya, aku kesel karena kamu ambil fotoku tanpa ijin. Tapi karena kamu udah ngasih hape, aku anggap ini permintaan maafmu. Kumaafkan." Kirim, centang satu juga.Serah.Mama keliatan pules banget tidurnya. Bisa rawat inap di kelas satu kaya sekarang itu, rasanya cuma mimpi sepuluh tahun lalu. Atau sebelas tahun?Udah lama banget Mama berjuang sendiri. Jadi inget, dulu Mama
Abis itu, kita ngobrol banyak banget. Rasanya kaya dua sahabat yang udah lama ga ketemu. Udah lama juga kayanya, ngga punya temen ngobrol kaya gini. Mungkin sejak aku kehilangan sahabat gara-gara ketahuan jadi selingkuhan cowoknya. Dan sekarang judulnya, Isteri Mantanku Jadi Sahabatku, hahaha. Hidup ini gila!Aku bener-bener kagum sama ketegaran Lintang. Ngga tahu gimana kalo aku ada di posisi dia. Baruna mimisan parah abis maghrib tadi. Waktu dia mau ngasih tahu Dirga, suaminya itu ternyata udah berbusa di kamar mandi.Bener-bener idiot! "Tinggalin aja, Mbak. Ngga bisa diandelin gitu, cari cowok yang beneran bisa jadi suami aja."Dia tersenyum pahit. "Emang ada yang mau sama aku?" katanya ngebuang pandang ke bulan sabit yang maki
Waktunya untuk sedikit melemaskan kaki di Haneda. Sebelum lanjut ke Baltimore, singgah sebentar di satu-satunya all-vegan cafe di sini. Mencari makanan halal memang susah-susah gampang di bandara, tapi dengan restoran all-vegan, setidaknya tak perlu khawatir kandungan pork dan teman-temannya. Hanya perlu mengingatkan pelayan bahwa aku tidak mau kandungan alkohol, meski hanya setetes amazake.Jepang selalu mengingatkan pada Zara. Ini adalah negeri impiannya. Dia membayangkan mendaki Fujiyama dan berpiknik di bawah sakura. Sayang, aku tak bisa mewujudkan impiannya itu. Kematian lebih dulu mencegat harapan.
Aku kebangun gara-gara suara orang ngobrol. Mama sama satu cowok yang gaya ngomongnya formal banget, kaya Akbar, tapi bukan Akbar. Biarin, deh, males. Paling dokter.Lanjutin aja bobo di sofa samping tempat tidur."Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi saya, ya, Bu," suara laki-laki itu.Disambung sama suara Mama, "Iya. Tolong sampaikan terimakasih saya pada Pak Akbar, ya.""Iya, Bu. Pasti saya sampaikan."Eh, siapa, sih? Jadi pinisirin.Kubuka mata. Seorang laki-laki berdiri di samping tempat tidur Mama dengan sikap formal. Kemeja putih dan celana dongker yang diseterika rapi cocok banget sama dasi biru muda di lehernya."Mb
Berangkat pukul sepuluh pagi dari Haneda, tiba di Baltimore masih pukul sepuluh pagi juga. Waktu seperti berjalan mundur. Andai benar-benar bisa mundur, aku ingin kembali ke hari itu. Hari ketika Zara pergi. Argh! Jangan-jangan aku memang belum beranjak dari hari itu. Check in di hotel dekat John Hopkins Hospital, tempat Bunda Tania dirawat. Tadinya ini adalah hotel dengan pelayanan super buruk, tapi banyak yang terpaksa menginap di sini karena keluarga mereka dirawat di rumah sakit. Yah, daripada menghabiskan energi untuk mengeluh, kubeli saja hotelnya. Dengan kemampuan negosiasi yang luar biasa dari tim marketing, hotel ini berhasil dibeli dengan harga sangat masuk akal. Ini pertama kali aku mengunjungi hotel setelah menjadi milik Purwaka G
Sudah sore saat aku terbangun. Panggilan terakhir ternyata lupa ditutup hingga baterai habis. Ya Allah, ini keterlaluan. Aku harus merapikan lagi hidupku.Kuisi ulang daya sementara bersiap untuk berangkat ke rumah sakit. Ada notifikasi voice chat dari Om Ghaffar. "Udah sampai mana, Bar? Sorry, ...." Jeda, perasaanku mulai tak enak, jantungku berdegup kencang. "Ah, Tania ...." Jeda lagi. Tanganku gemetar memasang kancing kemeja. Terdengar embusan napas keras. "Just get some rest before get here, okay?"Allah! Imajinasik
Aku berpisah dengannya di lobby rumahsakit. Dia harus menjenguk kakaknya yang dirawat karena jantung koroner. "Apa kamu masih di sini besok?" tanyanya sebelum kami berpisah."Tergantung kondisi ibuku."Dia tersenyum dan cahaya matahari yang merangsek melalui jendela kaca seolah pudar begitu saja. "Semoga besok kita masih bisa ketemu," katanya."Ya, mudah-mudahan." Aku benar-benar berharap besok masih di sini karena itu berarti kondisi Bunda cukup stabil hingga dapat bertahan, setidaknya untuk duapuluh empat jam ke depan. Tak seperti yang kubayangkan dari voice chat Om Ghaffar.Dia tersenyum lagi. "Ak
Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.
Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.
Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung
Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"
Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m
Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,
Siang itu, mulai, deh, mempelajari segala hal tentang proyek resort di Magelang. Capek juga baca tumpukan dokumen satu-satu. Apalagi ini bukan dokumen yang aku ngerti sepenuhnya. Gambar-gambar rancangan, model 3D, anggaran, ya, ampun, kenapa Akbar nyuruh aku ngerjain yang kaya ginian, sih?Akhirnya aku cuma nyuruh mereka presentasiin progress proyek sampe hari ini, dan semua baik-baik aja. Jadi investigasi apa yang musti aku lakuin? Sama sekali ngga ngerti, deh, proyek ginian. Dia mau aku nyari kesalahan di mana?Akhirnya nanya-nanya Sari, si sekretaris magang yang dapat tugas buat jadi semacam pendampingku selama di Yogya. Dia cerita semua yang dia tahu soal proyek
Masih pagi waktu pesawat mendarat mulus di Adi Sutjipto. "Hoaaa!" Aku bener-bener bahagia jadi orang Indonesia. Matahari sepanjang tahun, ngga ada angin dingin yang bikin tulang jadi beku, daun-daun selalu ijo. Biar pun daun merah oranye cakep juga, sih, tapi daun ijo selalu nyegerin.Saking hepinya, aku diem dulu bentar di landasan, rentangin tangan sambil merem, menikmati hangatnya cahaya matahari pagi. Duh, tanahku emang tanah surga. Mungkin karena dulu ke New York pas lagi summer, jadi ngga berasa banget bedanya. Sekarang nyobain musim gugur di Baltimore, plis, deh, paling nikmat Indonesia ke mana-mana.Masuk ke gedung bandara, angin sejuk dari AC langsung menghambur. Tanpa sadar aku jadi senyam-senyum sendiri. Udara AC ini jadi kerasa ngga ada apa-apanya dibanding
Selagi menunggu mobil yang akan mengantar ke Kedutaan Korea, aku bertemu lagi dengannya. Dia menghampiriku dengan langkah tegap dan pandangan lurus tanpa ragu. "Saya sudah membicarakannya dengan calon istri. Kami sepakat menjadikan ini urusan keluarga."Aku berdiri, menantang matanya lurus-lurus. "Apa yang akan kalian lakukan?""Kami akan menggelar forum keluarga, keputusannya tergantung hasil pembicaraan di forum itu nanti."Kuanggukkan kepala. "Satu minggu," kataku, "jika dalam seminggu saya tidak mendengar tentang kelanjutan proses hukum kasus ini, saya sendiri yang akan minta dukungan Presiden untuk menuntaskannya."Sinar matanya yang mantap menatap, seketika berubah. Hanya sesaat, kemudian sebuah seringai tergambar di wajahnya. "Anda cukup pandai menggertak."