“Mak, ayo pulang.”
“Kenapa, Kir?”
“Aku lapar,” bisikku lirih.
Karena Emak nggak tega lihat perutku keroncongan, akhirnya kami pamit pulang. Abah Yai berpesan padaku, untuk jangan sering tidur menginap di tempat orang lain.
“Temanilah Emakmu. Kasihan kalau nanti ada maling malam-malam.” Abah Yai bercanda.
Aisyah kemudian mendekat dan memberikan bungkusan jajan padaku. “Ini buat Mas Cukir,” katanya manis sekali. “Aku tadi pagi bikin kue. Tapi maaf ya, Mas, kalau rasanya kurang enak. Aku lagi belajar bikin kue kering.”
Wajahku berbinar. “Waah cocok banget buat temen rokok. Hahahaa!”
“Huss!” Emak menyikutku. Matanya melotot. “Jangan keras-keras kalau ketawa. Nggak sopan ah.”
“Iya-iya, Maaf,” ujarku sambil menggaruk-garuk kepala. Aisyah tersenyum senang saat kuterima kue kering buatannya.
Setelah itu aku dan
H-5 menjelang rekaman.Pagi cerah, langit-langit rekah,cahaya matahari menembus ke bumi dengan perlahan dan tabah. Tadi pagi aku solat subuh berjamaah seperti yang disuruhkan Emak, tapi setalah itu aku ngantuk berat dan kembali tidur. Hingga pagi Emak kembali datang ke kamarku guna membangunkanku.“Bangun, Kir. Itu ada Aiysah.”“Astagfirullah!”“Kenapa kamu ini? Kayak orang kesetrum aja?”“Dimana Aisyah, Mak?” tanyaku mengucek mata.“Di luar itu nungguin kamu. Dia mau ngajak kamu jalan-jalan pagi sambil berjemur bareng Temu.”Baiklah kalau begitu. Maka hal pertama yang harus kulakukan adalah mandi sebersih mungkin, gosok gigi hingga gigiku menjadi seputih mungkin, dan memakai minyak wangi agar harum seharum-harumnya.Aku beranjak dan langsung melakukan itu semua. Aku bersiul-siul di kamar mandi. Membayangkan wajah Aisyah yang manis, lugu, polos, tentu membuat bulu kudu
H-4 menjelang rekaman. Karena ini adalah waktu dimana grup musik dangdut Tak Usah Kau Risau Rumput Tetangga Masih Hijau fokus beristirahat, maka tidak banyak yang kukerjakan. Sesekali bersama Emak aku hanya mampir ke Pondok untuk mengunjungi Temu. Lain kali aku hanya rebahan saja, sambil mengorek-orek barang bekas milik bapak yang tersimpan di dalam gudang. Seperti yang kulakukan hari ini. Selepas minum kopi di pagi hari, aku iseng masuk ke gudang untuk mencari barang-barang peninggalan bapak. Banyak sekali rupanya. Tidak tertata rapi, sebab gudang ini lebih sering dihuni tikus-tikus dan kecoa daripada dimasuki manusia. Foto bapak terpajang di sana, di dinding dekat jendela gudang. Kuamati lekat-lekat, kutaksir usia bapak saat di foto itu masih muda, mungkin sama sepertiku. “Ah, sekarang aku baru sadar dari siapa ketampananku ini berasal,” kataku menghibur diri sendiri. Meski seorang pemabuk berat, namun tak bisa dipungkiri Bapak memang seorang kepala
H-3 menjelang rekaman.Aku mulai berkemas menyiapkan segala keperluan. Mulai dari baju, alat mandi, keyboard, dan juga hati. Ya, untuk masalah hati, sebenarnya aku tak tega meninggalkan Emak sendirian di rumah sampai beberapa hari ke depan. Pasalnya aku masih mengingat dengan jelas kejadian di hari-hari itu.Tepatnya setelah Bapak meninggal dunia, Emak langsung syok! Dia kurus dan kerontang sebab tak pernah menganal apa itu yang namanya makan. Kami berusaha membujuk, merayu, dan bahkan dokter harus menyuntikkan gizi ke dalam tubuh Emak secara paksa, tapi itu tak cukup membantu. Emak mogok makan. Kami semua khawatir. Dan ketika ditanya, kenapa Emak tak mau makan? Jawaban Emak selalu sama.“Yang aku inginkan saat ini hany bertemu suamiku.”Matanya kosong. Seperti sedang melihat bintang di kejauhan malam. Tidak ada warna di kulitnya, semuanya seraba pucat, seperti jika kau sedang menonton acara televise di layar hitam putih. Dunia Emak tidak berw
H-2 menjelang rekaman.“Besok kamu berangkat ke Ibu Kota ya, Kir?” Selepas subuh Emak menyuruhku untuk tidak tidur, lalu menanyaiku begitu. Kami duduk di teras rumah. Langit masih gelap, meski berangsur-angsur membiru dengan tabah.“Iya, Mak. Emak baik-baik ya di rumah. Nanti, aku tinggalin uang yang cukup deh buat Emak.” Aku menyeruput kopiku yang masih panas. Emak menatapku tajam, seperti sedang menyelidik.“Di sana kamu kalian tidur dimana nanti?”“Ada hotel, Mak. Semua sudah dipersiapkan sama manajer kami. Mulai dari transport, jadwal, sampai penginapan. Beres pokoknya. Kami sebagai pemain tinggal ngikut aja.”Emak masih menatapku. “Kamu mau sekamar sama Dewik?”Hampir tersendak. Kutaruh kembali gelas kopiku. “Ya nggak tahu nanti, Mak. Bisa sekamar, bisa juga enggak. Kan udah aku bilang, semua yang ngatur itu manajer.”“Fiuuhh… Sebenarnya Emak itu
H-1 menjelang rekaman.Pagi ini kami harus berangkat. Setidaknya nanti kami sampai di Ibu Kota saat malam hari, lalu beristirahat, kemudian esoknya kami akan melakoni rekaman. Begitulah rencananya. Pagi ini, setelah berpamit kepada keluarga masing-masing, kami sudah janjian untuk berkumpul di Warung Kopi Mbok Bariyah menunggu travel yang akan menjemput.Yang datang paling awal adalah aku. Segera kupesan kopi hitam tanpa gula seperti biasa. Saat menyajikannya Mbok Bariyah heran sebab aku membawa koper yang cukup besar.“Kamu diusir Emakmu, Kir?” ledeknya sambil ketawa.“Halah, bukan. Ini kami udah mau berangkat lho, Mbok.”“Ke Ibu Kota?”“Iya. Eh, Kang Bambang sama Dewik belum ke sini, ya?”“Belum tuh. Daritadi Mbok belum lihat. Eh, emangnya kalian sudah mantap betul ya mau rekaman lagu di Ibu Kota?”Aku tertawa. “Ya iyalah, Mbok.”“Nah, nanti k
Sesampai di stasiun Inces langsung menyambut. Matanya sembap. Rautnya seperti tidak bergairah. Kang Bambang segera memeluknya dan berkata, “Aku ikut bela sungkawa atas meninggalnya kekasihmu, Inces.” Inces tergugu menumpahkan air mata.Kalau saja Inces tahu siapa pelakunya, pasti dia akan ngamuk besar. Dewik memegang tanganku erat sekali. Dia berbisik, “Drama apa ini, Mas? Jangan sampai bencong itu tahu kenyataan yang sebenarnya.”Aku berkedip menyuruh betina ini agar diam. “Jangan bahas sekarang!”“Sebagai hadiah kuberikan ini padamu, Inces.” Kang Bambang mengeluarkan jam tangan Swiss Army lalu memakaikannya ke tangan Inces.“Oh, kau ini baik sekali. Aku akan mengingat kebaikanmu selalu.” Inces berusaha tersenyum meski matanya masih menitikkan air mata.Selanjutnya Dewik ikut menyalami Inces serta mengucapkan bela sungkawa. Inces memeluknya erat. Berikutnya aku pun menyalaminya, serta den
Ibu Kota sibuk. Deretan gedung-gedung pencakar langti menyambut kedatangan kami. Kubangunkan Dewik yang masih tertidur, dan betapa betina itu takjub saat melihat pemandangan di luar jendela kereta api. Meski telah malam, tapi Ibu Kota terlihat seperti tak pernah tidur. Lampu-lampu terang. Orang berjalan lalu lalang. Macet jalanan. Klason saling berbunyi, saling memarahi. Dan masih ada banyak hal yang tidak mungkin bisa kutuliskan semuanya. “Menakjubkan!” Satu kalimat keluar dari mulutku secara spontan, seperti orang ndeso yang baru saja masuk ke kota. “Aku baru sadar jika ternyata Ibu Kota lebih indah ketimbang yang aku lihat di televisi,” ungkap Dewik yang juga terkagum. Tiba-tiba terdengar suara dari sepiker di dalam kereta, menginformasikan jika penumpang harus bersiap-siap sebab sebentar lagi akan sampai. Kang Bambang menghapiri tempat duduk kami. “Ayo kemasi barang-barang. Jangan sampai ada yang tertinggal.” “Siap, Kang!”
(BERISI KONTEN 18++ DAN BAB INI BISA ‘DI-SKIP’ UNTUK TIDAK DIBACA!)Aku cepat menutup mata, dan secepat itu pula betina itu tersenyum. “Kenapa?” tanyanya tertawa. Astaga, dia baru saja menanggalkan tank top dan celananya di depan laki-laki yang bukan suaminya dan masih bisa menanyakan ‘kenapa’?Aku meneguk air liur. Kuintip dari balik calah-celah jariku. Harus kuakui bahwa ‘buahnya’ besar dan padat, menggantung agak ke samping dan di antara keduanya ada jarak seukuran 3 jari. Meski masih tertutupi braa tapi bisa kulihat ia menyembul.“Apa kamu gila?” kataku.“Kenapa? Kenapa bisa aku gila? Aku hanya gerah dan aku melepas baju sebab aku ingin mandi. Apa ada yang salah?”Aku tak menjawab. Aku berahi. Mulutku seolah kaku sebab ada wanita hanya memakai braa dan CD berada di depanku saat ini.Dewik lalu duduk di sebuah sofa yang terletak di samping ranjang. Dia membuka HP dan
Dua Tahun Kemudian.Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.Pagi ini seperti
Seminggu Berlalu...Langit pagi yang cerah, sebagaimana cerah hati dan perasaanku. Hari ini adalah momentum bersejarah, sebab pada akhirnya, aku akan melamar seorang gadis anak Kiai, Aisyah.Sejak habis subuh, aku sudah sibuk mandi dan berdandan sangat rapi. Meskipun jarak rumah kami hanyalah selemparan batu, tapi aku tidak mau menyepelekan, apalagi kalau nanti sampai telat!Emak pun sudah ikut berdandan seraya mempersiapkan semua keperluan. Kotak-kotak yang berisi barang-barang seserahan, seperti jajanan pasar, baju-baju gamis, alat-alat mandi, roti, seperangkat alat rias, semua sudah tertata rapi di teras rumah, dibungkus kotak mika transparan serta diberi ikatan pita berwarna biru.Dan di antara kotak-kota besar itu, ada sebuah kotak kecil yang berisi cincin bbermata berlian biru. Mengilap terkena cahaya matahari pagi.Duh... cantiknya.Orang-orang mulai berdatangan di pagi yang masih ranum itu. Mereka adalah Pak Erte, Pak Erwe, serta beb
“Cincin siapa ini, Kir? Atau ini jangan-jangan mau diberikan ke Aisyah?” Emak berkata dengan masih menerawang cincin tersebut di bawah sinar matahari.Tampak berkilau dan terang, perhiasan itu jika ditilik sekilas memang sangat mahal.“Mmm, cincin itu sebenarnya punya Raline, Mak. Wanita itu yang memberikannya padaku. Dia bilang, suatau hari pasti akan berguna.”“Raline artis itu?”Aku mengangguk.Emak lanjut bicara dengan tertawa-tawa, “Woalah, ada-ada aja. Masak barang sebagus ini dikasihkan ke kamu?”“Memangnya itu bagus, Mak?”Emak mengendikkan kedua bahu. “Kalau pastinya ya Emak kurang tahu. Soalnya ini berlian. Tapi, Emak yakin harganya sangat mahal.”Tiba-tiba terbesit ide brilian. “Mak, pagi ini mau ke pasar nggak?”“Iya. Emak mau beli sayur buat masak.”“Yuk aku anterin, hehehehee. Sekalian manasin Vespa,
Awalnya aku tak ingin mengangkat. Lama telepon kubiarkan berdering. Tapi pada akhirya kuangkat juga panggilan tersebut.“Hallo?”“Mas...” suara Dewik serak, seperti baru saja menangis. “Kamu pulang tanpa pamit sama aku?”“Aku pikir kemarin kamu sedang sibuk.”“Tapi kalau sampai tidak pamit itu keterlaluan, Mas. Kita pergi ke Ibu Kota bersama, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pulang dan menikai seorang gadis lain, aku terima! Tapi apakah berat mengucapkan pamit?”Sebentar aku diam. Suara seraknya semakin kentara.“Mas? Hallo?”“Aku tahu kamu sedang sibuk dengan seorang laki-laki muda pengusaha kaya raya. Sebab itulah aku sengaja tidak pamit. Aku taku ganggu.”“Astaga, Mas! Mas?”Telepon kututup. Singkat tapi padat, aku tak ingin bicara lagi dengan dia. Malam ini tidak tepat. Sebab aku ingin segera tidur, dan berharap m
Selepas shalat magrib aku langsung diajak Abah Yai menuju ke Ndalem. Memang benar ternyata, setelah shalat hatiku terasa lebih adem.Abah Yai mempersilakan aku duduk dan berkata, “Gimana? Sudah adem kan hatinya sekarang?”“Betul, Yai. Sudah enakan.”“Nah, makanya jangan pernah tinggalkan sholat, ya.”Aku hanya mengangguk.“Jadi gimana tadi, soal mau melamar Aisyah? Nak Cukir sudah janji sama Aisyah?”“Betul, Yai. Bahkan saya sekarang ini sudah tidak ikut ke grup dangdut lagi. Saya sudah keluar karena saya ingin melamar Aisyah.”Mendengarku bicara, Abah Yai membuang napas berat. Seperti ada penyesalan dalam dadanya.“Mmm, maaf, Nak Cukir. Aisyah sekarang sudah dilamar sama orang. Lebih tepatnya kemarin siang, rombongan teman Abah datang ke sini buat melamarkan putranya. Yah, sayang sekali. Padahal kalau Nak Cukir yang melamar duluan tentu saja Abah mau.”
Aku tiba di gang ujung desa saat hari hampir surup. Langit senja menguning keemasan, sebentar lagi pasti akan padam.Aku berjalan pelan dengan tangan membawa koper dan barang-barang serta sedikit oleh-oleh yang sengaja aku beli di stasiun tadi. Meski uangku telah habis, tapi membawa buah tangan adalah hal yang lumrah dan harus kulakukan.“Emak lagi apa, ya?” batinku girang merasa sudah rindu sekali dengan perempuan tua itu. Maka segera kakiku melangkah lebih melalui jalan desa yang becek, barangkali hujan baru saja reda.Begitu sampai di depan rumah, betapa aku kaget karena merasa asing dengan bangunan tersebut. Aku sampai mengucek-ngucek mata guna memastikan jika penglihatanku tidak keliru.“Apa benar ini rumahku?”Sebab rumah yang tadinya kurang layak pakai kini telah menjadi lantai dua. Emak pasti sudah memanggil tukang dan juga merehapnya. Semuanya di cat serba warna putih dan bahkan kami sekarang memiliki pagar da
Pagi yang cerah.Aku terbangun dengan mata masih berat, dan ternyata Kang Bambang tidur di sebelahku.Semalam dia ikut bantu-bantu mengemasi barang-barangku, dan sekarang, waktunya aku pulang ke desa untuk menemui Emak dan Aisyah.Ada perasaan sedih sebenarnya, mengingat bila selama ini perjalanan di Ibu Kota tidaklah mudah. Tapi, keputusanku sudah bulat sempurna, sehingga aku beranjak dari kasur kemudian mandi.Selesai mandi, aku menyisir rambutku agar rapi.“Kang, oi, bangun, Kang!” Badan Kang Bambang kugoyang-goyangkan, dan seketika matanya mengerjap.“Eh?”“Anterin aku ke stasiun, yuk!”“Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanyanya sambil menguap.“Yakin lah.”“Nggak nunggu yang lainnya?”“Lainnya siapa?”“Dewik, Inces, atau Yudi Keling mungkin?”Kulihat di sekitar Markas. Sepi. Manusia-manusia yan
“Tolong berhenti di minimarket depan itu, Pak.”“Baik.”Setelah taksi merapat di bahu jalan, segera aku keluar dan mengambil 2 botol minuman. Satu untuk aku, satunya lagi untuk si supir.Namun ketika sampai kasir dan kuberikan kartu ATM, lagi-lagi ini eror.“Maaf, Pak, kartunya nggak bisa dipakai.”“Apa? Kenapa bisa begitu?”“Saya kurang tahu. Sepertinya ada yang memblokir kartu bapak.”“Mana mungkin, Mbak? Aku nggak pernah merasa memblokirnya.”Si kasir menyerahkan kartu tersebut dan berkata, “Kalau ada orang lain yang punya semua identitas bapak, mungkin saja dia yang melaukannya.”“Pasti ini ulah Inces!”“Maaf, Pak?”“Oh, nggak apa-apa. Mmm, kalau begitu saya bayar pakai uang tunai saja.”“Baik, Pak.”Dengan perasaan kesal aku menuju ke taksi dan langsung pulan
“Kenapa? Ada apa di meja VIP nomor tujuh?” tanyaku penasaran.Lita dengan wajah yang serius berkata, “Ada Mbak Dewik, Mas.”“Dewik?”“Iya. Sepertinya dia sedang mabuk berat. Barusan aku menyapa, tapi Mbak Dewik hanya ketawa-tawa seperti tidak mengenalku. Dan yang jelas, dia sedang bersama laki-laki muda yang mesum itu, berduaan saja,” pungkas Lita kemudian dia mengelap meja bar.Sial. Apa yang mesti kulakukan sekarang? Apakah aku harus pergi ke meja VIP nomor tujuh kemudian membawanya pulang? Atau aku biarkan saja dia, toh sekarang kami punya kehidupan sendiri-sendiri? Bingung. Aku benar-benar bingung.Malam semakin ramai. Pengunjung makin banyak memadati club, dan satu per satu mereka memesan minuman. Ada yang datang berdua membawa pasangan. Namun kebanyakan mereka atang sendirian, dan nanti berharap sepulang dari sini mereka akan membawa pasangan dalam keadaan mabuk kemudian melakukan kencan satu ma