BAKU HANTAM DENGAN MERTUA
PART 7 CHEK"Noda apa, Bu?" Aku reflek berhenti. Dan menoleh ke rok belakang.Astaga! Iya, tadi aku habis makan es krim sama anak tetangga. Lupa, bekas es krim itu ada di kursi teras dan aku mendudukinya. Kukira noda apaan."Oalah, ini noda es krim, Bu. Tadi aku jajan es krim sama Naura anaknya Bu Mimin. Karena dia geletakin es-nya di kursi, jadi nggak sengaja aku dudukin karena tak tinggal ambil tissu ke dalam.""Oh, aku kira apaaan Yen. Ya udah, sana mandi. Mumpung belum antri.""Woke, Bu. Siap!" jawabku santai, sesantai pas lagi pinjam duit ke temen.*"Hai Sayang. Baru pulang ya?" tanyaku manja sambil bergelendotan di tubuh mas Irfan."Iya, udah tahu baru pulang. Masih nanya lagi. Sana! Mas bau belum mandi. Masih bau sapi ini." elaknya mendorong lenganku pelan."Bagiku kamu wangi, Mas. Sewangi kembang raflesia." Aku tersenyum kecil."Hih, sama aja ngeledek kamu ya, bunga raflesia mah bau. Jadi, Mas baunya kayak bangkai dong," cetusnya menoel daguku."Hihi, enggak, Mas. Bercanda doang, gitu aja ngambek," ledekku lantas mengambil hasil USG tadi dari laci.Mas Irfan menaruh jaket di gantungan kayu. Saat itu juga selembar kertas aku tunjukkan padanya dengan senyum lebar selebar lebarnya."Tara … kejutan buat Mas Irfan!" pekikku antusias.Kedua mata lelaki ini menatap benda yang tengah aku tenteng di udara tersebut."Ini apa?" tanyanya agak menciutkan mata.Aku menghembuskan napas kesal. Masa Mas Irfan nggak ngerti sih sama gambar ini?"Aku hamil Mas! Udah enam Minggu," kataku sembari menatap dalam wajah Mas Irfan yang kini berekspresi melotot."Aaa! Serius Dek?" Ia mengambil kertas dalam tanganku."Iya Mas, ini hasil USG-nya." Tunjukku pada titik kecil mirip kantong warnanya abu abu ke hitam."Ini letak bayinya sebelah mana? Kok gelap semua?" Celingukan Mas Irfan seperti mencari-cari sesuatu."Emang gelap gini Mas. Ntar deh ke kota kalau mau USG yang hasilnya lebih jelas," ujarku."Iya Dek Iya, alhamdulillah ya Allah, akhirnya kamu hamil juga." Mas Irfan memelukku sembari mencium keningku berkali-kali."Ih, peluk ciumnya ntar aja Mas. Sana pergi mandi dulu, Mas Irfan bau sapi," ucapku tentu bernada candaan."Iya-iya. Tunggu Mas Mandi ya, ntar lanjut peluk ciumnya." Ia melangkah ke arah pintu kamar. "emuah …!" sebelum beranjak, Mas Irfan masih kiss bye dengan bibir monyong beberapa senti.Gemas sekali menatap pria yang kini hilang terhalang pintu kayu warna cokelat tua tersebut.Sepeninggal Mas Irfan. Aku merebahkan tubuh di atas kasur. Rasanya nyaman sekali. Emang ya, kalau perasaan lagi senang seperti ada bunga yang bermekaran dalam hati. Kayak beban hidup mendadak enyah entah ke mana.Saat menatap langit-langit genting di atas sana. Pikiranku menjalar ke sembarang arah. Ada sedikit rasa sedih terpantik, ingat akan kedua sosok orang tuaku yang sudah tiada. Andai saja mereka masih ada di dunia ini, sudah pasti ikut bahagia mendapati kabar kalau putrinya sedang mengandung. Doaku senantiasa terpanjat, semoga Ayah dan Ibu bahagia di surga. Amin.Ting! Ting! Ting!"Bakso … bakso …!"Lamunanku seketika terbuyar begitu suara tak asing masuk ke dalam rongga telinga.Dari kejauhan saja hidungku sudah bisa mencium aroma lezat kuah bakso berkaldu yang kuperkirakan sekarang lagi parkir di depan rumah.Tanpa ba bi bu lagi, cepat aku bangkit tak lupa mengambil lembaran uang warna biru dan segera meluncur ke Abang tukang bakso sana."Yeni, Ibu kira kamu lagi tidur. Udah Ibu pesenin satu porsi bakso buat kamu," ucap Ibu begitu aku baru ke luar dari pintu.Tumben Ibu seperhatian ini. Aku cuma nyengir lihat wanita berdaster ungu itu di dekat gerobak."Makasih Bu," ucapku. Mau ngucapin apa lagi, soalnya jarang sekali beliau berbaik hati."Ibu pesan baksonya pedas nggak?" tanyaku memastikan. Kalau aku biasanya pesan bakso dengan level pedas dan kuah yang kental."Nggak! Kamu nggak boleh makan pedas lagi. Kasihan anak kamu kalau dikasih makan pedas terus. Mulai sekarang kamu harus makan makanan yang sehat dan bernutrisi. Seperti sayur, daging, dan buah," cerocos Ibu membuat Abang tukang bakso tertawa kecil."Oh, oke Yeni mau Bu makan daging. Tapi ntar sem-belihin sapi Ibu satu ya," kataku lalu meringis menahan tawa."Eh, ya ndak bisa! Itu sapi ntar mau Ibu jual buat beli kebun lagi," sanggah Ibu menggelegar seperti kilat menyambar.Dasar pelit! Padahal sapi Ibu 'kan ada banyak. Masa nyem-belih satu aja nggak boleh. Padahal yang selalu ngarit itu Mas Irfan."Iki Bu baksone. Seng iki, punyane Mbak Yeni sama Mbak Mira seng ora pedes." (Ini Bu baksonya. Yang ini punyanya Mbak Nyeni sama Mbak Mira yang nggak pedas.) ucap tukang Bakso disela obrolan aku dan Ibu. Mereka biasa mengobrol dengan bahasa Jawa."Nyoh duite." (Ini uangnya.) Ibu mengangsurkan tiga lembar uang warna merah. Kalau untuk beli bakso ini jelas uang itu kebanyakan. Karena biasanya satu porsi bakso harganya hanya sepuluh ribu."Kok akeh temen Bu duite?" (Kok banyak amat By uangnya?) tanya tukang bakso seraya menerima lembaran uang yang diangsurkan Ibu."Iki gae traktir uwong-uwong. Wes gek ndang ditutuk' mangkokmu. Ben uwong-uwong gek ndang Rene." (Ini buat traktir orang-orang. Udah cepetan pukulin mangkokmu. Biar orang-orang datang ke sini.Aku langsung speechless mendengar kata traktir dari mulut Ibu. Meski aku belum mahir ngomong bahasa Jawa. Tapi kali ini aku ngertilah apa yang diomongin sama mereka. Ibu mau traktir orang-orang sekitar sini. Benar-benar kesambet apa Ibu kok bisa jadi royal begini. Biasanya dia paling perhitungan, jangankan keluarin yang tiga ratus ribu. Orang uang belanja hilang seribu aja dia menghitungnya sampai tujuh hari tujuh malam."Wah alhamdulillah laris manis tanjung kimpul," ucap kang bakso mesam-mesem riang. "matur nuwun Bu, mugi-mugi rejekine Ibu tambah lancar, amin." (makasih Bu, semoga rejekinya Ibu semakin lancar, amin.)Sesuai permintaan Ibu. Abang kang bakso langsung memukul mangkuk dengan sendok sampai berbunyi nyaring.Ting! Ting! Ting!"Bakso gratis! Bakso gratis! Ditraktir sama ibunya Mas Irfan!" teriak kang bakso sambil terus memukul mangkuk.Selang beberapa menit. Tetangga sekitar pada berdatangan. Ada yang membawa baskom dan mangkuk sendiri dari rumah."Serius ini ditraktir?" tanya salah satu tetangga yang datang."Iyo serius. Wes nek mengko duite kurang ngomongo oke." (Iya serius. Udah nanti kalau uangnya kurang ngomong aja ok.) Ibu menyahut. Kalimat agak terdengar sombong."Siap Bu siap." Penjual bakso itu manggut-manggut sambil melayani orang-orang yang berdatangan.Saat mereka sibuk mengantri. Aku mendekati Ibu lalu memepetinya."Wah, tumben Ibu royal mentraktir orang-orang. Biasanya 'kan pelit," bisikku pada Ibu."Iya Yen, soalnya tadi habis dikasih uang sama Irfan lima ratus ribu buat syukuran atas kehamilan kamu. Jadi Ibu traktir bakso para tetangga tiga ratus ribu. Masih untung dua ratus ribu 'kan Ibu. Lumayan." Ibu tersenyum memamerkan deretan giginya.Sumpah demi apa pun. Mulutku langsung menganga mendengar kalimat dari Ibu. Jadi … itu uang Mas Irfan yang buat traktir orang-orang?***Baku Hantam Dengan MertuaBab 8Sumpah demi apa pun. Mulutku langsung menganga mendengar kalimat dari Ibu. Jadi … itu uang Mas Irfan yang buat traktir orang-orang?Aku bergegas lari masuk ke dalam rumah. Mencari sosok lelaki bergelar suami tersebut."Mas Irfan!" panggilku menggema di ruangan tengah. "Lagi di kamar," suara sahutan dari arah sana.Cepat kaki ini melangkah ke bilik berpintu kayu itu.Setelah terbuka. Kulihat Mas Irfan baru saja selesai memakai baju. Seperti biasa, kaos oblong warna putih dengan celana pendek selutut favoritnya."Ada apa Dek? Kok teriak-teriak?" tanyanya padaku."Mas Irfan kasih uang lima ratus ribu ke Ibu?" ucapku to the point. Coba mau ngaku nggak dia."Iya, Dek. Sebagai rasa syukur atas kehamilan kamu," jawabnya tak lupa dengan senyuman lebar."Kenapa Mas nggak bilang ke aku dulu sih kalau mau ngasih uang Ibu. Mas tahu apa, yang udah Ibu lakuin? Ibu ntraktir orang-orang makan bakso tiga ratus ribu. Terus yang sisanya dua ratus ribu diambil sama dia. In
BAKU HANTAM DENGAN MERTUABab 1"Nih makan!""Kenapa gosong lagi sih nasi gorengnya?" desisku seusai membolak-balik gumpalan nasi goreng berwarna hitam kecokelatan yang barusan disodorkan ibu mertuaku. "Makan aja apa yang ada! Nggak usah ngomel. Kamu aja bangunnya selalu siang, masih bersyukur Ibu masih sisihin nasi goreng buat kamu!" gertak ibu melemparkan tatapan mencemooh. "Lah ... itu, nasi goreng Mbak Mira kenapa nggak gosong kayak punyaku?!" Kutatap lekat makanan yang tengah ditata ibu itu dalam wadah bekal. "Punya Mira beda sama kamu. Mira kerja, sedangkan kamu cuma enak-enakan di rumah. Tiap hari kamu selalu ngurung diri di kamar, kadang Ibu panggil juga nggak nyahut," kata Ibu sibuk dengan benda-benda di depannya. Aku mendengus pelan. Dasar, mertua tak berperikemanusiaan. Masa sesama menantu harus dibedakan. Padahal, selama ini yang selalu mengurus pekerjaan rumah 'kan aku bukan dia. Siapa suruh dia masak nasi goreng ambaradul begini. "Cepetan makan! Anggap aja nasi gore
BAKU HANTAM DENGAN MERTUABab 2Aku tersenyum membayangkan. Pasti nanti mas Irfan bakalan seneng banget kalau aku ngomong itu ke dia. *Selepas mandi sore. Aku berdandan cantik dan bersiap untuk menunggu kepulangan belahan jiwa di seberang sana. Meskipun dia orang kampung, tapi ketampanannya mengalahkan oppa-oppa Korea. Mirip sekali dengan Kim Soo Hyun. Ah, lagi-lagi hatiku bermekaran kalau membayangkan betapa tampannya mas Irfan. "Assalamualaikum." Lamunanku terbuyar saat terdengar ucapan salam dan terbukanya pintu kamar. Rupanya itu mas Irfan. Tumben sekali dia pulangnya cepat. Ah iya, aku lupa, mas Irfan kan bos di kantornya sendiri. Aku menyebutnya kantor, kandang kotor. Karena memang suamiku kerjanya di peternakan sapi. "Waalaikumsalam. Tumben pulang cepet?" tanyaku, tak lupa mencium takzim tangannya yang beraroma khas sapi. "Tangan Mas bau kan? Karena Mas belum mandi. Kamu tumben dandan cantik begini, mau ke mana?" Mas Irfan melepas jaketnya dan duduk di tepi ranjang. "Em
BAKU HANTAM DENGAN MERTUABab 3"Sama ajalah, Bu!" cebikku kesal. "Emangnya kamu tahu sego itu apa?" Ibu menggelontor pertanyaan yang bagiku mudah dijawab. "Tahulah, aku kan sering beli sego gudeg punyanya Haji Taslim, yang itu tempatnya di deket alun-alun," jelasku lantas berbalik hendak kembali duduk bersama mas Irfan. Kami makan seperi biasa, sambil mengobrol hangat. Meski entah bagaimana kondisi perasaan masing-masing. *"Dek, kenapa belum tidur?" tanya mas Irfan yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya. "Nggak pa-pa, Mas. Mas lanjut tidur aja. Aku belum ngantuk." tukasku sibuk dengan gawai yang kupegang dengan kedua tangan."Kamu nggak capek ya?" tanyanya lagi. Kini posisi lelaki itu menatap wajahku lama. Meski ia tengah berbaring dan aku terduduk, posisi yang berbeda ini tak menghalangi tatap netra kami yang semakin mendalam. Segera kutepis pikiran menyebalkan dalam otakku. Biasanya kalau mas Irfan ada manis-manisnya gini, bau-baunya dia mau minta ronde ke dua. "Ngapain Mas
BAKU HANTAM DENGAN MERTUABab 4"Huek!"Hampir saja aku muntah, bukan karena bau pete yang barusan aku terima. Namun, bau ini agak lain. Mirip bau bangkai yang membuat aku bergidik sembari menahan guncangan dalam perut."Yeni kamu kenapa?" tanya ibu was-was. "Ibu kentut ya?" cetusku to the point. Tak lupa, kujepit ujung hidungku dengan kedua jari. "Ih iya, bau banget lagi." Mbak Mira yang duduk di sana pun turut mencium aroma khas gas oksigen yang baru keluar dari sarangnya tersebut. Ibu meringis. "duh, maaf ya, Ibu kelepasan," ujarnya tanpa sungkan. Padahal, aku sama mbak Mira tuh menantu ibu. Tapi, dia biasa begini. Suka buang angin sembarangan. Ibu sih lega, udah kehilangan kentut itu. Lah kita yang nemu, pasti nggak mungkin menganggap itu rezeki nomplok. Tentu aku hanya membatin. Mana berani aku nyeletuk kayak gitu. Ya, meskipun aku menantu yang kadang suka dibilang kurang waras. Tapi setidaknya aku masih punya etika kesopanan, dan kekurangajaran. Hanya sedikit. "Aku ke kamar
BAKU HANTAM DENGAN MERTUA PART 5 CHEKRupanya, hewan yang merembet ke kakiku itu luwing. Ya, orang sini menyebutnya luwing. Kalau bahasa Indonesianya kaki seribu. Aku tahu nama hewan ini karena memang sering sekali ia bergerilnya di area pekarangan rumah. Membuatku bergidik geli saja. Kalau ibu malah membuang hewan itu tanpa takut. Ia pernah bilang, kalau luwing itu nggak berbahaya, orang disentuh aja melingkar atau menggulung tubuhnya. Pasti dia takut lihat wajah ibu yang garang bak peran antagonis. "Tuh 'kan, Mas bilang juga apa? Kamu sama hewan kecil aja takut." cetus mas Irfan membuatku lekas tersadar dan segera turun dari pangkuannya. "Enggak, aku nggak takut kok Mas. Aku cuma geli aja," elakku tak terima. "ya udah, Mas cari rumput aja. Aku mau menikmati ciptaan Tuhan yang indah ini." Mas Irfan menangguk dan segera mencari rumput hijau di sebelah sana. Kuhirup udara sejuk hingga rongga dadaku terasa penuh. Lalu menghembuskannya perlahan. Ah, lega sekali rasanya. Jemariku l
NASI GORENG GOSONG DARI MERTUA Bab 6"Tapi, aku takut kalau hasilnya negatif, Mbak." cetusku pada mbak Mira yang tadi memberi saran padaku. "Coba aja, Yen. Siapa tahu kamu hamil. Kan malah bagus, kita kalau hamil barengan."Meski ragu, berulang kali kupikirkan hal ini. Tak ada salahnya juga saran mbak Mira. Bismillah, semoga tidak mengecewakan. "Ayo, Yen." Ia menarik tanganku menuju ruangan. Sesampainya dalam ruang periksa. Wanita berkacamata bening menyambut dengan ramah. Tak salah lagi, itu Lina mantan mas Irfan. Tapi, dia lumayan baik. Tidak ketus seperti mantan-mantan lainnya."Ini siapa yang mau periksa?" tanya Lina sopan. "Yeni aja dulu, Lin. Tadi dia mual-mual soalnya." kata mbak Mira tanpa menyebut Lina dengan sebutan Dokter atau sebagainya."Oh, udah berapa hari mualnya, Yen?" Lina bertanya sembari memapahku untuk berbaring di bangsal. "Baru tadi pas nyium bau obat." jelasku biasa saja. "Oh …." Kedua tangan Lina sibuk menata alat untuk USG di atas perut datarku. "oya,
Baku Hantam Dengan MertuaBab 8Sumpah demi apa pun. Mulutku langsung menganga mendengar kalimat dari Ibu. Jadi … itu uang Mas Irfan yang buat traktir orang-orang?Aku bergegas lari masuk ke dalam rumah. Mencari sosok lelaki bergelar suami tersebut."Mas Irfan!" panggilku menggema di ruangan tengah. "Lagi di kamar," suara sahutan dari arah sana.Cepat kaki ini melangkah ke bilik berpintu kayu itu.Setelah terbuka. Kulihat Mas Irfan baru saja selesai memakai baju. Seperti biasa, kaos oblong warna putih dengan celana pendek selutut favoritnya."Ada apa Dek? Kok teriak-teriak?" tanyanya padaku."Mas Irfan kasih uang lima ratus ribu ke Ibu?" ucapku to the point. Coba mau ngaku nggak dia."Iya, Dek. Sebagai rasa syukur atas kehamilan kamu," jawabnya tak lupa dengan senyuman lebar."Kenapa Mas nggak bilang ke aku dulu sih kalau mau ngasih uang Ibu. Mas tahu apa, yang udah Ibu lakuin? Ibu ntraktir orang-orang makan bakso tiga ratus ribu. Terus yang sisanya dua ratus ribu diambil sama dia. In
BAKU HANTAM DENGAN MERTUA PART 7 CHEK"Noda apa, Bu?" Aku reflek berhenti. Dan menoleh ke rok belakang. Astaga! Iya, tadi aku habis makan es krim sama anak tetangga. Lupa, bekas es krim itu ada di kursi teras dan aku mendudukinya. Kukira noda apaan. "Oalah, ini noda es krim, Bu. Tadi aku jajan es krim sama Naura anaknya Bu Mimin. Karena dia geletakin es-nya di kursi, jadi nggak sengaja aku dudukin karena tak tinggal ambil tissu ke dalam." "Oh, aku kira apaaan Yen. Ya udah, sana mandi. Mumpung belum antri." "Woke, Bu. Siap!" jawabku santai, sesantai pas lagi pinjam duit ke temen. *"Hai Sayang. Baru pulang ya?" tanyaku manja sambil bergelendotan di tubuh mas Irfan. "Iya, udah tahu baru pulang. Masih nanya lagi. Sana! Mas bau belum mandi. Masih bau sapi ini." elaknya mendorong lenganku pelan. "Bagiku kamu wangi, Mas. Sewangi kembang raflesia." Aku tersenyum kecil."Hih, sama aja ngeledek kamu ya, bunga raflesia mah bau. Jadi, Mas baunya kayak bangkai dong," cetusnya menoel daguk
NASI GORENG GOSONG DARI MERTUA Bab 6"Tapi, aku takut kalau hasilnya negatif, Mbak." cetusku pada mbak Mira yang tadi memberi saran padaku. "Coba aja, Yen. Siapa tahu kamu hamil. Kan malah bagus, kita kalau hamil barengan."Meski ragu, berulang kali kupikirkan hal ini. Tak ada salahnya juga saran mbak Mira. Bismillah, semoga tidak mengecewakan. "Ayo, Yen." Ia menarik tanganku menuju ruangan. Sesampainya dalam ruang periksa. Wanita berkacamata bening menyambut dengan ramah. Tak salah lagi, itu Lina mantan mas Irfan. Tapi, dia lumayan baik. Tidak ketus seperti mantan-mantan lainnya."Ini siapa yang mau periksa?" tanya Lina sopan. "Yeni aja dulu, Lin. Tadi dia mual-mual soalnya." kata mbak Mira tanpa menyebut Lina dengan sebutan Dokter atau sebagainya."Oh, udah berapa hari mualnya, Yen?" Lina bertanya sembari memapahku untuk berbaring di bangsal. "Baru tadi pas nyium bau obat." jelasku biasa saja. "Oh …." Kedua tangan Lina sibuk menata alat untuk USG di atas perut datarku. "oya,
BAKU HANTAM DENGAN MERTUA PART 5 CHEKRupanya, hewan yang merembet ke kakiku itu luwing. Ya, orang sini menyebutnya luwing. Kalau bahasa Indonesianya kaki seribu. Aku tahu nama hewan ini karena memang sering sekali ia bergerilnya di area pekarangan rumah. Membuatku bergidik geli saja. Kalau ibu malah membuang hewan itu tanpa takut. Ia pernah bilang, kalau luwing itu nggak berbahaya, orang disentuh aja melingkar atau menggulung tubuhnya. Pasti dia takut lihat wajah ibu yang garang bak peran antagonis. "Tuh 'kan, Mas bilang juga apa? Kamu sama hewan kecil aja takut." cetus mas Irfan membuatku lekas tersadar dan segera turun dari pangkuannya. "Enggak, aku nggak takut kok Mas. Aku cuma geli aja," elakku tak terima. "ya udah, Mas cari rumput aja. Aku mau menikmati ciptaan Tuhan yang indah ini." Mas Irfan menangguk dan segera mencari rumput hijau di sebelah sana. Kuhirup udara sejuk hingga rongga dadaku terasa penuh. Lalu menghembuskannya perlahan. Ah, lega sekali rasanya. Jemariku l
BAKU HANTAM DENGAN MERTUABab 4"Huek!"Hampir saja aku muntah, bukan karena bau pete yang barusan aku terima. Namun, bau ini agak lain. Mirip bau bangkai yang membuat aku bergidik sembari menahan guncangan dalam perut."Yeni kamu kenapa?" tanya ibu was-was. "Ibu kentut ya?" cetusku to the point. Tak lupa, kujepit ujung hidungku dengan kedua jari. "Ih iya, bau banget lagi." Mbak Mira yang duduk di sana pun turut mencium aroma khas gas oksigen yang baru keluar dari sarangnya tersebut. Ibu meringis. "duh, maaf ya, Ibu kelepasan," ujarnya tanpa sungkan. Padahal, aku sama mbak Mira tuh menantu ibu. Tapi, dia biasa begini. Suka buang angin sembarangan. Ibu sih lega, udah kehilangan kentut itu. Lah kita yang nemu, pasti nggak mungkin menganggap itu rezeki nomplok. Tentu aku hanya membatin. Mana berani aku nyeletuk kayak gitu. Ya, meskipun aku menantu yang kadang suka dibilang kurang waras. Tapi setidaknya aku masih punya etika kesopanan, dan kekurangajaran. Hanya sedikit. "Aku ke kamar
BAKU HANTAM DENGAN MERTUABab 3"Sama ajalah, Bu!" cebikku kesal. "Emangnya kamu tahu sego itu apa?" Ibu menggelontor pertanyaan yang bagiku mudah dijawab. "Tahulah, aku kan sering beli sego gudeg punyanya Haji Taslim, yang itu tempatnya di deket alun-alun," jelasku lantas berbalik hendak kembali duduk bersama mas Irfan. Kami makan seperi biasa, sambil mengobrol hangat. Meski entah bagaimana kondisi perasaan masing-masing. *"Dek, kenapa belum tidur?" tanya mas Irfan yang tiba-tiba terbangun dari tidurnya. "Nggak pa-pa, Mas. Mas lanjut tidur aja. Aku belum ngantuk." tukasku sibuk dengan gawai yang kupegang dengan kedua tangan."Kamu nggak capek ya?" tanyanya lagi. Kini posisi lelaki itu menatap wajahku lama. Meski ia tengah berbaring dan aku terduduk, posisi yang berbeda ini tak menghalangi tatap netra kami yang semakin mendalam. Segera kutepis pikiran menyebalkan dalam otakku. Biasanya kalau mas Irfan ada manis-manisnya gini, bau-baunya dia mau minta ronde ke dua. "Ngapain Mas
BAKU HANTAM DENGAN MERTUABab 2Aku tersenyum membayangkan. Pasti nanti mas Irfan bakalan seneng banget kalau aku ngomong itu ke dia. *Selepas mandi sore. Aku berdandan cantik dan bersiap untuk menunggu kepulangan belahan jiwa di seberang sana. Meskipun dia orang kampung, tapi ketampanannya mengalahkan oppa-oppa Korea. Mirip sekali dengan Kim Soo Hyun. Ah, lagi-lagi hatiku bermekaran kalau membayangkan betapa tampannya mas Irfan. "Assalamualaikum." Lamunanku terbuyar saat terdengar ucapan salam dan terbukanya pintu kamar. Rupanya itu mas Irfan. Tumben sekali dia pulangnya cepat. Ah iya, aku lupa, mas Irfan kan bos di kantornya sendiri. Aku menyebutnya kantor, kandang kotor. Karena memang suamiku kerjanya di peternakan sapi. "Waalaikumsalam. Tumben pulang cepet?" tanyaku, tak lupa mencium takzim tangannya yang beraroma khas sapi. "Tangan Mas bau kan? Karena Mas belum mandi. Kamu tumben dandan cantik begini, mau ke mana?" Mas Irfan melepas jaketnya dan duduk di tepi ranjang. "Em
BAKU HANTAM DENGAN MERTUABab 1"Nih makan!""Kenapa gosong lagi sih nasi gorengnya?" desisku seusai membolak-balik gumpalan nasi goreng berwarna hitam kecokelatan yang barusan disodorkan ibu mertuaku. "Makan aja apa yang ada! Nggak usah ngomel. Kamu aja bangunnya selalu siang, masih bersyukur Ibu masih sisihin nasi goreng buat kamu!" gertak ibu melemparkan tatapan mencemooh. "Lah ... itu, nasi goreng Mbak Mira kenapa nggak gosong kayak punyaku?!" Kutatap lekat makanan yang tengah ditata ibu itu dalam wadah bekal. "Punya Mira beda sama kamu. Mira kerja, sedangkan kamu cuma enak-enakan di rumah. Tiap hari kamu selalu ngurung diri di kamar, kadang Ibu panggil juga nggak nyahut," kata Ibu sibuk dengan benda-benda di depannya. Aku mendengus pelan. Dasar, mertua tak berperikemanusiaan. Masa sesama menantu harus dibedakan. Padahal, selama ini yang selalu mengurus pekerjaan rumah 'kan aku bukan dia. Siapa suruh dia masak nasi goreng ambaradul begini. "Cepetan makan! Anggap aja nasi gore