Pelajaran pertama untuk Helen.Setelah melempar kerikil ke arah mobil Helen yang melaju kencang, tangisku pun pecah. Sakit sekali. Aku memukul-mukul dadaku dan berbalik berniat masuk kedalam rumah. "Mala! Ada apa?" tanya Tika, yang datang tiba-tiba entah dari arah mana. Dia membalikan tubuhku lalu mendekapnya. Aku menangis sesenggukan dipelukan Tika."Ayo, Masuk. Gak enak nanti dilihat orang," ajaknya. Tika memapahku dan mencoba menenangkan aku. Kuhenyakan bokong di kursi ruang tamu. Tika tak berkata sepatah katapun. Ia hanya mengelus punggungku yang masih terisak. Entah berapa lama aku menangis dan Tika masih setia menemaniku. Kebetulan pagi ini, aku sendirian di rumah. Bapak sudah pergi bekerja, mbak Susan belum pulang dan Wulan sekolah."Anakmu nggak di ajak?" tanyaku disela isakan sambil coba mengusap pipi dan mata oleh ujung dasterku, tapi tangisanku belum bisa reda. Airmata ini seakan berlomba untuk keluar membuat penglihatanku buram. "Aku kesini mau nganterin ini," ucapnya s
"Hah? "Tap—.""Tapi, saya hanya mau beli rumahnya saja, Bu! Gimana?" ucapku tergagap. Karena perabotan di rumah ini masih pada bagus dan aestetik. Seperti yang kubayangkan versi rumah DIY impianku."Kenapa?" tanyanya heran. "Uangnya takut gak cukup," cicitku dengan mata sayup. Membuat Bu Novi seketika tertawa. "Kalau 125 plus perabot, Dek Mala, mau?" tanyanya dengan senyum simpul. "Hah!" "Kok kagetan begitu?" ucapnya sambil terkekeh. "Serius, Bu? 125 sama perabotnya lengkap?" tanyaku menyakinkan. Beliau mengangguk dengan pasti. Rasanya aku ingin salto dan pargoy saja. Rumah dengan tampilan yang aku inginkan, perabot lengkap dan tinggal pindah sajaYa...Tuhaaaaaan, terima kasih. Aku berteriak riang dalam hatiku. "Nanti sore saya ke rumah, Ibu, lagi sama suami ya, Bu!" ucapku bahagia. "Saya tunggu!" sahutnya. Kami pun pulang ke rumah masing-masing, tak lupa aku pamit pada Tika, ku ucapkan terima kasih dan kuselipkan dua puluh ribu pada anaknya Tika. Meski Tika menolak. Aku tetap
Panik.Mala bergegas pergi ke kamarnya setelah mengoleskan sambal di wajahnya Helen. Ia bingung bagaimana mencuci tangannya yang belepotan oleh sambal. Untung saja di kamarnya tersedia tisu basah, dia dengan segera mengelapnya, lalu berbaring di ranjang seolah-olah sedang rebahan. Sedangkan teriakan Helen makin histeris dan ada suara ribut juga dari arah dapur. Ia meyakini itu adalah suara ibu mertuanya. Tapi ia tak peduli, ia meraih ponselnya lalu memainkannya. Tapi kupingnya ia tajamkan agar keributan di dapur bisa terdengar dengan jelas."Ada apa?" tanya bu Samirah kaget dan bingung saat melihat Helen. "Mala mengoleskan sambal ke mataku, Bu!" adunya dengan wajah yang tidak karuan, akibat digosok dengan air. Eyelinernya belepotan mengakibatkan cemong, bulu matanya rontok sebagian. Baju depannya basah terkena tetesan air. "Mana Mala? Dia tidak di sini?" ucap bu Samirah sambil celingukkan mencari menantunya. Sedangkan Helen terus mengusap-ngusap mukanya dengan air."Dia lari setelah
"Ada apa ini rame sekali sih dari tadi?" ucapnya, sambil menggosok kepalanya dengan handuk. Untung saja Rahman telah berpakaian di dalam kamar mandi, jadi ketika dia keluar sudah rapi.Memang kebiasaan di rumah Bu Samirah seperti itu, siapapun yang mandi pasti saat keluar harus sudah berpakaian rapi.Alasannya, karena anak-anak Bu Samirah sudah dewasa. Tidak pantas kalau keluar kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk. Belum lagi kalau tiba-tiba ada tamu atau tukang gas yang suka masuk dapur. Kebiasaan itu sudah berjalan lama, sejak Rahmat dan Eni remaja. "Istri kamu tu, Man. tiba-tiba saja mengolesi wajahku dengan sambal. kurang ajar sekali, kalau saja bukan wanita hamil, sudah kuhajar dia," ucap Helen berapi-api. Dia berharap, Rahman akan membelanya. Karena dulu, Rahman tidak pernah membiarkan siapapun menyakiti dirinya, bahkan ketika mereka jalan dan ada seekor nyamuk yang menggigit Helen, pasti nyamuk itu akan diuber oleh Rahman, sampai nyamuk itu mati ditelapak tangannya. Ra
Drama istri sah."Eh, mobilku ada, Man," tawar Helen. "Mala gak akan mau?" "Kenapa?" "Nggak, aku mau ke pak RT aja," ucap Rahman sambil melangkah ke pintu. "Ini darurat, Man. Bagaimana kalau ada apa-apa sama istrimu," ucap Helen, yang sontak membuat langkah Rahman terhenti. Ia berdiri sejenak memandang ke arah istrinya yang terbaring di kasur dan Helen yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri. Gamang? tentu saja. Rahman tak ingin membuat kecewa istrinya untuk kedua kali. Kalau membawa kakaknya saja, Mala marah, apalagi kalau sekarang malah Mala yang dibawa oleh mobil Helen. "Nggak, nggak!" tolak Rahman sambil berbalik hendak keluar. Saat itu juga pas dengan Susan berdiri di ambang pintu kamar Rahman. "Assalamualaikum, ucapnya. Ia mengerutkan dahinya saat melihat keluarganya berkumpul di kamar adik iparnya. "Ada apa ini?" tanya Susan, dengan hati berdebar, karena ia mempunyai suami yang sedang sakit. Meski bagaimanapun sikapnya pada Rahmat, tapi jika terjadi sesuatu pada su
POV Mala. Ternyata menyenangkan sekali bermain drama kayak di sinetron. Hahaha. Tadi kalau aku tidak pura-pura pingsan, maka perihal sambal itu sudah pasti belum selesai hingga saat ini, aku yakin si pirang tidak akan menyerah untuk membuatku mengaku. Iya kali aku akan mengakuinya. Tidaklah, Bestie. Jika dia berniat mempermainkan kewarasanku, maka aku akan membuat dia gila sekalian. Dia pikir karena aku hanya ibu rumah tangga dan berpenampilan kusam, aku akan diam saja. Tidak begitu konsep nya. Aku sudah bilang, bahwa aku akan diam seribu bahasa, jika yang bersuara itu mertuaku, ibu suri rumah ini, tapi jika yang lainnya akan aku lawan hingga titik darah penghabisan. Tapi setidaknya saat aku pingsan tadi, aku tau, bahwa ibu yang selama ini bawel dan terkesan otoriter dalam memerintah penghuni rumah ini, setidaknya ia juga mengkhawatirkan aku. Eh, entah aku atau cucu nya yang ada di perutku yang sesungguhnya ia khawatirkan. Tapi itu pun sudah cukup membuatku senang. Meski setiap ome
#part aku masih mencintainya."Ada apa ini?" tanya Rahman kepada ibu dan bapaknya, saat memasuki ruang tengah. Ia menangkap percakapan seolah saling tegang antara kedua orang tuanya.Bu Samirah tak menjawab, ia kembali memusatkan pandangannya pada sinetron kesukaan emak-emak +62. Sedangkan Pak Manto, meraih cangkir kopinya dan menyeruputnya hingga menimbulkan suara. "Bagaimana rumahnya?" tanya pak Manto pada Rahman. Sungguh ia pun merasa berat melepas Rahman, karena hanya anak ketiganya itu saja yang bisa diandalkan dari segi apapun. Bahkan Rahman itu, pemikirannya lebih bijak dan lebih dewasa dibandingkan dengan kedua kakaknya. Jadi, cukup wajar saja kalau pak Manto dan bu Samirah tidak mau jauh dari Rahman. Karena, lewat Rahman lah Bu Samirah bisa menjadi seorang ibu yang selalu disayangi, dihargai dan diperhatikan. Rahman jarang sekali membantah perkataan ibunya, dia selalu menuruti apapun kata ibunya. Tapi, itu dulu sebelum dia menikahi Mala. sekarang kewajibannya bertambah, sela
Helen memang cantik dengan tubuh yang semampai dan kulit yang putih hasil perawatan dari salon, laki-laki mana yang tidak akan tergiur saat pertama melihat sosok Helen? Bahkan, Rahman pun terpukau saat pertama melihat mantan pacarnya itu. "Ini demi kebaikanmu, Len. Ibu gak sudi kalau sampai besanan sama orang miskin. Nanti mereka hanya akan jadi benalu di keluarga kita," ucapnya. Ia geram dengan kelakuan anaknya yang mulai tidak waras karena cinta masa lalunya. "Jangan menghina keluarga Rahman, Bu! Ingat! Dulu bahkan kita lebih miskin dari mereka," ucapnya dengan tatapan tajam pada ibunya."Ibu, tidak menghina, itu kenyataannya. Bapaknya dari dulu tak pernah berubah, hanya kuli tukang kayu," cibir ibunya dengan pongah. Membuat Helen naik pitam melihat kelakuan ibunya yang berubah setelah ia memiliki uang banyak. "Jangan lupa saat bapak kecelakaan, yang menolongnya adalah bapaknya Rahman. Bahkan mereka yang membayar biaya puskesmas bapak saat itu," ucap Helen mengingatkan ibunya. Bu